Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yvonne Ivon
"Gangguan Mental Emosional (GME) adalah suatu kondisi yang mengidikasikan seseorang mengalami perubahan psikologis yang mungkin merupakan sebuah kondisi normal, tetapi dapat juga merupakan kondisi patologis. Istilah lain GME adalah distress psikologik atau mental distress.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi GME dan hubungannya dengan lingkungan kerja, sosiodemografis, dan stressor kerja pada pekerja navigasi udara (airnav) cabang Pontianak di Bandara Udara Internasional Supadio-Pontianak.Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan potong lintang. Seratus tiga puluh pekerja airnav dari 97 petugas airnav cabang Pontianak telah diambil datanya lewat kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi GME pada seluruh petugas airnav adalah 12%, diantaranya 9,5% petugas lalu lintas udara (controller), tidak terdapat hubungan bermakna faktor sosiodemografis dan lingkungan kerja terhadap gangguan mental emosional dan terdapat hubungan bermakna faktor stressor pengembangan karier dengan gangguan mental emosional. Kesimpulannya prevalensi gangguan mental emosional pada seluruh pekerja airnav adalah 12% , diantaranya 9,5% adalah petugas lalu lintas udara (controller). Terdapat hubungan bermakna faktor stressor kerja pengembangan karier terhadap gangguan mental emosional pada pemandu lalu lintas udara di Bandara Udara Internasional Supadio-Pontianak.
......Mental Emotional Disorder (MED) is a condition that indicates a person experiencing psychological changes which may be a normal condition, but can also be a pathological condition. Another term for MED is psychological distress or mental distress. This study aims to determine the prevalence of MED and its relationship with the work environment, sociodemographics, and work stressors of the worker air navigation (airnav) branch West-Borneo at West Borneo-Supadio International Airport. This research was conducted descriptively with a cross section. One hundred and thirty Airnav workers out of 97 Airnav Pontianak branch officers had their data collected through questionnaires. The results showed that the prevalence of MED in all airnav workers was 12%, including 9.5% air traffic controllers, there was no significant relationship between sociodemographic factors and work environment on mental emotional disorders but there was a significant relationship between career development stressors and MED. In conclusion, the prevalence of mental emotional disorders in all airnav officers is 12%, of which 9.5% are air traffic officers (controllers). There is a significant relationship between career development work stressors and emotional mental disorders in air traffic controllers at West Borneo-Supadio International Airport."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Carmia Pratiwi Santoso
"

Pendahuluan: Suatu keadaan ketika karyawan hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi mengalami penurunan kinerja dikenal dengan istilah presenteeism. Di Indonesia belum ada penelitian yang memberikan gambaran mengenai stressor kerja yang terjadi pada Polisi yang dihubungkan dengan presenteeism dan dibandingkan dari fungsi tugas nya. Penelitian pada polisi di Swedia berusaha mencari hubungan karakteristik pekerjaan dengan presenteeism dimana didapatkan hasil sebesar 47 % anggota polisi yang dilaporkan mengalami presenteeism. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stressor kerja dengan presenteeism terkait status kesehatan pada polisi dengan memperhatikan perbedaan antara polisi tugas operasional dan pembinaan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang perbandingan (comparative cross-sectional) menyertakan 220 polisi di Polres X sebagai responden yang dipilih dengan convenience sampling. Responden terdiri dari petugas polisi dari departemen administrasi dan departemen operasional dengan jumlah yang sama. Data dikumpulkan dengan menggunakan empat kuesioner yang telah divalidasi. Presenteeism dinilai dengan Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) versi Indonesia, stressor kerja dengan Survei Diagnosis Stres (SDS), stres dengan Self-Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), dan stressor bukan akibat kerja dengan Holmes and Rahe, juga karakteristik sosiodemografi dengan kuesioner Identitas Responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Proporsi Presenteeism pada anggota polisi di Polres X yang memiliki presenteeism tinggi (high presenteeism) adalah sebesar 65,9%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara fungsi tugas dan presenteeism terkait status kesehatan dengan nilai p <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), juga stressor kerja beban kerja kualitatif dengan nilai p = 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73) yang menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap presenteeism pada polisi. Sedangkan variabel lainnya tidak ditemukan berhubungan.

Kesimpulan: Polisi dengan fungsi tugas operasional memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami presenteeism dibandingkan dengan polisi fungsi tugas pembinaan. Polisi dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori sedang-berat memiliki risiko lebih tinggi menjadi presenteeism dibandingkan dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori ringan.

Pendahuluan: Suatu keadaan ketika karyawan hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi mengalami penurunan kinerja dikenal dengan istilah presenteeism. Di Indonesia belum ada penelitian yang memberikan gambaran mengenai stressor kerja yang terjadi pada Polisi yang dihubungkan dengan presenteeism dan dibandingkan dari fungsi tugas nya. Penelitian pada polisi di Swedia berusaha mencari hubungan karakteristik pekerjaan dengan presenteeism dimana didapatkan hasil sebesar 47 % anggota polisi yang dilaporkan mengalami presenteeism. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stressor kerja dengan presenteeism terkait status kesehatan pada polisi dengan memperhatikan perbedaan antara polisi tugas operasional dan pembinaan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang perbandingan (comparative cross-sectional) menyertakan 220 polisi di Polres X sebagai responden yang dipilih dengan convenience sampling. Responden terdiri dari petugas polisi dari departemen administrasi dan departemen operasional dengan jumlah yang sama. Data dikumpulkan dengan menggunakan empat kuesioner yang telah divalidasi. Presenteeism dinilai dengan Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) versi Indonesia, stressor kerja dengan Survei Diagnosis Stres (SDS), stres dengan Self-Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), dan stressor bukan akibat kerja dengan Holmes and Rahe, juga karakteristik sosiodemografi dengan kuesioner Identitas Responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Proporsi Presenteeism pada anggota polisi di Polres X yang memiliki presenteeism tinggi (high presenteeism) adalah sebesar 65,9%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara fungsi tugas dan presenteeism terkait status kesehatan dengan nilai p <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), juga stressor kerja beban kerja kualitatif dengan nilai p = 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73) yang menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap presenteeism pada polisi. Sedangkan variabel lainnya tidak ditemukan berhubungan.

Kesimpulan: Polisi dengan fungsi tugas operasional memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami presenteeism dibandingkan dengan polisi fungsi tugas pembinaan. Polisi dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori sedang-berat memiliki risiko lebih tinggi menjadi presenteeism dibandingkan dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori ringan.


Introduction: A situation when an employee is physically present at work, but has decreased work performance is known as presenteeism. In Indonesia there are no studies that provide an overview of work stressor that occur in police related to presenteeism and compared to their task function. Research among Swedish police officer in 2011 found a relationship between job characteristics and presenteeism in which 47% of police officer reportedly experienced presenteeism.This study was aimed to know the relationship between work stressor and presenteeism related to health status of police by observing the difference between operational and administrative police.

Method: This research used a comparative cross sectional design with 220 police officer from a District Police Office as respondents selected by convenience sampling. The respondents consisted of the same number of the police officer from Administrative and Operational Department. Four validated questionnaires were used. Presenteeism was identified using with Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) Indonesian version, work stressor with Survey Diagnostic Stress (SDS), stress with Self Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), and non work stressor with Holmes and Rahe, as well as sociodemographic characteristics with questionnaire of respondents. The statistical test used was Chi-Square with a multivariate analysis using logistic regression test.

Result: The proportion of high presenteeism among the police was 65,9 %. This study show statistically significant relationship between operational task function with presenteeism related to health status with the result of p-value is <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), so does qualitative workload work stressor with the result of p-value is 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73). It showed a statistically significant related to presenteeism among the police. Meanwhile, other variables were not significantly related to presenteeism.

Conclusion: The police with operational task function has a lower risk for presenteeism compared to the police with administrative task function. The police with moderate-severe category work stressor qualitative workload has a higher risk for presenteeism compared to mild category work stressor qualitative workload.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Nindya Ayu NB
"Karyawan merupakan aset bagi suatu perusahaan, maka mereka harus sehat. Tidak hanya fisik namun juga mental dan sosial, sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Penelitian ini bertujuan untuk mengctahui hubungan antara stres kerja dengan gangguan mental emosional.
Metode :
Penelitian ini menggunakan disain kros-seksional terhadap 189 subjek penelitian yang terdiri dari karyawan administrasi dan karyawan lapangan. Data yang dikumpulkan meliputi data umum sosiodemografi, pengukuran stres kerja dengan menggunakan kuesioner Survai Diagnostik Stres, penilaian gangguan mental emosional dipergunakan kuesioner Symptom Check List 90 (SCL-90), dan penilaian stres yang ada pada kehidupan seseorang menggunakan kuesioner Skala Holmes Rahe.
Hasil :
Karyawan yang diduga mengalami gangguan mental emosional, ditemukan sebesar 49,2%. Prevalensi karyawan administrasi lebih rendah dari karyawan lapangan (47,4% : 51,1%). Gejala gangguan mental emosional yang paling banyak adalah psikotisme (48,38%) dan somatisasi (46,24%).
Karyawan administrasi mengalami stres kerja Iebih besar dibandingkan dengan karyawan lapangan. Karyawan dengan stres sedang mempunyai risiko 3,51 - 7,52 kali lebih besar, dan stres tinggi mempunyai risiko 5,69 - 97,50 kali lebih besar untuk mengalami gangguan mental emosional dibanding dengan stres rendah.
Semua stresor kerja mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional namun yang paling dominan adalah stresor pengembangan karier. Untuk faktor karakteristik tidak mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional namun faktor umur, pendidikan dan jenis pekerjaan, mempunyai hubungan bermakna dengan stres kerja, dan yang mempunyai hubungan bermakna paling dominan dengan stres, kerja adalah pendidikan.
Kesimpulan :
Stresor kerja berpengaruh terhadap timbulnya gangguan mental emosional. Beberapa faktor karakteristik (umur, pendidikan, jenis pekerjaan) berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja namun tidak sampai menimbulkan gangguan mental emosional.

Analysis of the influence of work stressor to mental emotional disorders among the agency and terminal company PT "S" Jakarta, 2001.Background and objective :
As an asset to a company, employees must stay healthy. Not only physically but also mentally and socially, to be productive in term of social and economical aspects. The aim of this research is to study the relationship of work stress and mental emotional disorders.
This study was using cross sectional design with a sample of 189 subjects. The data collected were data of socio-demography, measurement of work stress using "Survai Diagnoslik Srres" questionnaire, measurement of mental emotional disorders using Symptom Check List 90 (SCL-90) questionnaire, measurement of stress to the life of a person using Holmes Rohe Scale questionnaire.
The employees who assumption had mental emotional disorders in this population was 49,2%. Administrative employees were less than field employees (47,4%: 51,1%). The dominant symptoms of mental emotional disorders were psycotism (48,38%) and soniatisation (46,24%).
The administration employees had more work stressed than fields employees. Employees with moderate stress have a risk 3,51 -- 7,52 times more and high stress have a risk 5,69 - 97,50 times more for mental emotional disorder than those having low stress.
All the work stressor had significant relationship to mental emotional disorders but the most was career development. Characteristic factor has no significant relationship with mental emotional disorders. On the other side age, education and type of work were significant with work stress and the most was education.
Conclusion :
Work stressor influenced the occurrence of mental emotional disorders. Some characteristic factors (age, education, type of work) would be able to influence the occurrence of work stress, but they did not create mental emotional disorders."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T242
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusrat Numeiri
"Latar Belakang: Stresor psikososial pada pekerja dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan antara lain stres kerja, depresi dan penyakit kronik lainnya, yang pada akhirnya berdampak pada performa dan kepuasaan kerja pekerja. Tujuan penelitian mengetahui tingkat kepuasan kerja, hubungan stres kerja terhadap kepuasan kerja, hubungan usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, stresor diluar tempat kerja terhadap kepuasan kerja karyawan bagian marketing dan sales representative perusahaan farmasi PT.X di Jakarta.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Dengan sampel 71 orang pekerja dari 112 pekerja bagian marketing dan sales. Menggunakan kuesioner SDS, kepuasan kerja, serta penyebab dan tingkat stressor metode Holmes dan Rahe.
Hasil: Prevalensi kepuasan kerja sebesar 66.2 . Tingkat stres sedang paling banyak ditemukan pada stresor beban pekerjaan kualitatif berlebih sebanyak 85.9 . Berdasarkan karakteristik stresor-stresor kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kepuasan kerja dengan nilai p > 0.05.
Kesimpulan: Tingkat kepuasan kerja karyawan bagian marketing dan sales representative perusahaan farmasi PT.X di Jakarta sebesar 66.2 . Tidak didapatkan hubungan antara stres kerja dengan kepuasan kerja. Hipotesis penelitian tidak terbukti. Hubungan antara usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, dan stresor diluar pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kepuasan kerja.
......Background: Psychosocial stressors on workers can cause various health problems such as work stress, depression and other chronic diseases, which impact on work performance and job satisfaction. The purpose of the study to know the level of job satisfaction, the relationshipof work stress to job satisfaction, age, gender, position, employment, stress outside the workplace to job satisfaction on marketing and sales representative at x pharmaceutical company in Jakarta.
Methods: Analytical study with comparative cross sectional design is used for this research. 71 samples of 112 workers at marketing and sales. Use questionnaire SDS, job satisfaction, and the measurement of cause and level of stressor with Holmes and Rahe methods.
Result: Every job stressor has medium stress level. The level of stress is most commonly found in overload qualitative stressors which is amounting to 85.9 . Prevalence of job satisfaction is 66.2. Distribution of respondents based on the characteristics of work stressors has no significant relationship to job satisfaction with p value 0.05.
Conclusion: Job satisfaction level for employees who work on marketing and sales representative department at x pharmaceutical company in Jakarta is 66.2. There is no relationship between work stress and job satisfaction. The research hypothesis is not proven. While age, gender, position, years of service, and stressor out of the job have no significant relationship to job satisfaction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Riviyanti
"ABSTRAK
Keinginan berhenti kerja (intention to quit) adalah keinginan karyawan untuk berhenti dari
pekerjaan yang sekarang, hal tersebut bisa diakibatkan karena faktor pendorong (dari dalam organisasi)
ataupun faktor penarik (dari luar organisasi). Apabila tidak terkelola dengan baik akan menyebabkan
turnover secara nyata.Hal tersebut menjadi sangat penting karena tingginya angka turnover menunjukkan
kurang stabilnya suatu organisasi. Mengingat banyaknya dampak yang akan terjadi yang berkaitan
dengan turnover terutama terhadap pelayanan pasien, apabila banyak terjadi pada perawat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan berhenti
kerja perawat RS An-Nisa Tangerang. Pengukuran dalam penelitian ini terdiri dari 12 faktor, antara lain :
(1) Umur, (2) jenis kelamin (3) tingkat pendidikan, (4) lama kerja, (5) unit kerja, (6) status kepegawaian,
(7) jenjang karir, (8) pendidikan-pelatihan, (9) kompensasi, (10) stressor kerja, (11) komunikasi dan (12)
supervisi/kepemimpinan. Penelitian ini bersifat kuantitatif-kualitatif dengan menggunakan desain potong
lintang. Sampel penelitian ini 89 perawat yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Data yang didapat
menggunakan kuisioner.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS An-Nisa Tangerang ditemukan bahwa perawat yang
memiliki keinginan untuk berhenti kerja sebanyak 18%, angka ini apabila terjadi berarti angka turnover
pada tahun 2017 sebesar 12,8% yang berarti menjadi lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya yang
angkanya selalu mengalami kenaikan. Hasil analisa statistik ditemukan faktor-faktor yang berpengaruh
adalah lama kerja, dan kepemimpinan. Sedangkan faktor yang paling dominan adalah Kepemimpinan.

ABSTRACT
The desire to stop working (intention to quit) is the desire of employees to quit their job now, this can be
caused because the driving factor (from within the Organization) or towing factor (from outside the
organization). If not managed properly will cause a turnover . It becomes very important because of the
high turnover figures showed less relative of an organization. Given the large number of impacts that will
occur with regard to turnover especially against patients, when a lot is happening on nurses.
This research aims to know the factors that affect the desire to stop working nurses at RS An-Nisa
Tangerang. Measurements in this study consists of 12 factors, among others: (1) Age, (2) gender (3) level
of education, (4) long work, a work unit (5), (6) the status of staffing, (7)succession, (8) educationtraining,
(9)compensation, (10) a work stressor, (11) communication and (12) supervision/leadership. The
study is quantitative-qualitative design using cross sectional. The sample of this research 88 nurses who
meet the inclusion criteria and ekslusi. Data obtained using questionnaire.
Based on research conducted at RS An-Nisa Tangerang found that nurses who have a desire to stop
working as much as 18%, this figure means in case of turnover in the year 2017 of 12.8% which means
being better than the previous years that number is always rising. The results of the statistical analysis
found factors that influential work is the length of work and leadership. While the most influential factor
is work Leadership."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T47705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library