Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Risyda Zakiyah Hanim
"Pendahuluan: Xerostomia adalah stimulus utama yang menyebabkan ketidakpatuhan pembatasan cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Auricular acupressure merupakan salah satu terapi untuk mengatasi xerostomia. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh auricular acupressureterhadap xerostomia. Metode: Desain penelitian dalam penelitian ini adalah quasy experiment pretest-postest with control group design, dengan jumlah responden 40 orang yang dibagi menjadi kelompok intervensi (n=20) dan kelompok kontrol (n=20). Analisis data menggunakan paired dan independent t-test. Hasil: Hasil analisis pada kelompok intervensi menunjukkan ada perbedaan signifikan skor rerata xerostomia sebelum dan sesudah perlakuan (sesi HD ke-1 VS sesi HD ke-2 VS sesi HD ke-3) dengan nilai P value < 0,05. Terdapat perbedaan signifikan rerate skor xerostomia posttest antara kelompok intervensi dan kontrol dengan nilai P value 0.000. Kesimpulan: Auricular acupressure memberikan pengaruh terhadap xerostomia, sehingga dapat dikembangkan sebagai intervensi untuk mengatasi xerostomia pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis.
......ntroduction: Xerostomia is the main stimulus that often causes the problem of non-compliance with fluid restrictions in patients undergoing hemodialysis. Auricular acupressure (AA) is one of the alternative therapies to treat xerostomia. This study aims to analyze the effect of auricular acupressure on xerostomia in end-stage renal failure patients undergoing hemodialysis. Method: The research design used a quasi-experimental pre-test post-test with control group design, recruited 40 respondents of end-stage renal failure patients undergoing hemodialysis who were divided equally into the intervention group (n=20) and the control group (n=20). The analysis used paired and independent t-test. Results: There was a significant difference in the mean score of xerostomia before and after treatment (1st HD session VS 2nd HD session VS 3rd HD session) with a P value <0.05. The result of the difference in xerostomia scores post-test between both groups showed a significant difference in the mean score of xerostomia with P value = 0.000. Conclusion: Auricular acupressure effects on reducing xerostomia. Thus, auricular acupressure can be recommended as a nursing intervention in reducing xerostomia in end-stage renal failure patients undergoing hemodialysis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barnabas I Wayan Tirta
"Latar belakang: Kanker nasofaring menempati urutan ke lima kanker yang paling sering diderita di Indonesia hingga tahun 2020. Terapi pilihan yang menjadi pilihan tata laksana kanker nasofaring adalah terapi radiasi dengan teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) karena dapat mengurangi kejadian xerostomia. Namun sekalipun dengan teknik IMRT cedera pada kelenjar saliva pasca terapi radiasi masih sering terjadi. Penilaian cedera kelenjar saliva pasca radiasi menggunakan klasifikasi Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) di mana penilaian derajat keparahan berdasarkan gejala klinis pasien sehingga MRI yang mempunyai kelebihan dalam menilai jaringan lunak dapat membantu penilaian derajat xerostomia secara objektif dengan melihat perubahan volume dan perubahan intensitas kelenjar parotis.
Metode: Dilakukan pengumpulan data dosis radiasi dan derajat xerostomia dari 30 pasien kanker nasofaring yang menjalani terapi radiasi serta dilakukan pengukuran perubahan volume serta rasio intensitas kelenjar parotis terhadap otot temporalis dari data MRI nasofaring pasien sebelum dilakukannya radiasi, 3 bulan sesudah radiasi dan 12 bulan sesudah radiasi.
Hasil: Xerostomia derajat 1 memiliki perubahan rasio intensitas sebesar 0.9 pada  3 bulan sesudah radiasi dan sebesar 2.0 pada 12 bulan sesudah radiasi serta perubahan volume sebesar 4.0 ml pada 3 bulan dan 7.9 ml pada 12 bulan sesudah radiasi. Sedangkan xerostomia derajat 2 memiliki perubahan rasio intensitas sebesar 1.0 pada 3 bulan sesudah radiasi dan 2.0 pada 12 bulan sesudah radiasi serta perubahan volume sebesar 7.3 ml pada 3 bulan dan 9.5 ml pada 12 bulan. Hubungan korelasi dosis radiasi dengan  perubahan intensitas 12 bulan memiliki nilai P 0.002 dan nilai R 0.54, sedangkan hubungan dosis radiasi dengan perubahan volume 3 bulan memiliki nilai P sebesar 0.000 serta nilai R 0.9 dan dengan perubahan volume 12 bulan memiliki nilai P sebesar 0.000 dan nilai R 0.9.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan perubahan intensitas kelenjar parotis lebih besar pada bulan ke 12 dibandingkan dengan bulan ke 3 setelah radiasi serta pada xerostomia derajat 2. Semakin besar dosis radiasi maka semakin besar pula perubahan volume kelenjar parotis.
......Background: Nasopharyngeal cancer ranks as the fifth most common cancer in Indonesia until 2020. The treatment of choice for nasopharyngeal cancer is Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) because it can reduce the incidence of xerostomia. However, even with the IMRT technique, injuries to the salivary glands after radiation therapy still occur frequently. Assessment of post-radiation saliva gland injury using classification Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) where the assessment of the degree of severity is based on the patient's clinical symptoms so that MRI which has advantages in assessing soft tissue can help assess the degree of xerostomia objectively by looking at volume changes and parotid gland intensity changes. .
Method: Data were collected on radiation dose and degree of xerostomia from 30 nasopharyngeal cancer patients undergoing radiation therapy and measurements of changes in volume and intensity ratio of the parotid gland to the temporalis muscle were taken from nasopharyngeal MRI data before radiation, 3 months after radiation and 12 months after radiation.
Results: Grade 1 xerostomia had an intensity change of 0.9 at 3 months and 2.0 at 12 months and a volume change of 4.0 ml at 3 months and 7.9 ml at 12 months while grade 2 xerostomia had an intensity change of 1.0 at 3 months and 2.0 at 12 months and a change volume of 7.3 ml at 3 months and 9.5 ml at 12 months. The correlation between radiation dose and intensity change for 12 months has a P value of 0.002 and an R value of 0.54, while the relationship between radiation dose and volume change for 3 months has a P value of 0.000, an R value of 0.9 and a 12 month volume change with a P value of 0.000 and an R value of 0.9l.
Conclusion: This study showed that the change in the intensity of the parotid gland was greater at 12 months than at 3 months after radiation and at grade 2 xersotomia. The greater the radiation dose, the greater the parotid gland volume change."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Wilda Hafny
"In general annoyance of noise appears after many years of exposure. The speeds of disturbance depend on level of noise, impulsive component and duration of exposure, personal sensitivity that unknown characteristic. Noise belonging to acute stress needs short period to occur different from sorrow that takes long period. Stress will activate the regulator nerve and maintain intern environment to creates the homeostatis. Stress condition in long period will influence hormonal system, autonomic system until the exhaustion stadium and a few emotional expressive will be fixed for example dry mouth. Stress will also influence immune system so it is not effective to destroy the virus, microorganism and irregular cell that finally cause oral diseases."
Jakarta: Journal of Dentistry Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwik Mayanti
"Populasi lansia di Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan usia harapan hidup lansia dengan meningkatkan kualitas hidup. Mulut kering merupakan masalah umum pada lansia yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai mulut kering pada lansia melalui kuesioner, namun belum ada kuesioner yang telah melakukan analisis psikometrik dalam menggambarkan kondisi mulut kering, serta melakukan analisis kuesioner SXI versi Indonesia terhadap laju alir saliva. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis psikometrik pada kuesioner Summated Xerostomia Inventory (SXI) versi Indonesia serta melakukan analisis kuesioner SXI versi Indonesia terhadap laju alir saliva lansia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) binaan Dinas Sosial DKI Jakarta. Responden penelitian didapat melalui metode consecutive sampling. Dari 219 penghuni PSTW yang dilakukan wawancara kuesioner mini mental state exam (MMSE) dan SXI versi Indonesia, diperoleh 110 yang memenuhi kriteria inklusi. Data sosiodemografi diperoleh melalui wawancara terhadap lansia, sedangkan riwayat penyakit sistemik dan riwayat medikasi diperoleh dari rekam medis di PSTW. Pada semua responden dilakukan wawancara MMSE, kuesioner SXI versi Indonesia, pemeriksaan laju alir saliva tanpa stimulasi dan terstimulasi, viskositas saliva dan pH saliva. Kuesioner SXI versi Indonesia memiliki nilai signifikansi (p) validitas konstruk <0,05. Nilai Cronbachs Alpha sebesar 0,9 dan intraclass correlation coefficient sebesar 0,9. Sedangkan pada konfirmasi klinis kuantitas saliva, tidak terdapat korelasi antara skor total SXI versi Indonesia dengan laju alir saliva tanpa stimulasi dan laju alir saliva terstimulasi (p>0,05). Penelitian ini menunjukkan Summated Xerostomia Inventory (SXI) versi Indonesia valid dan reliabel untuk menilai serostomia pada responden penelitian.
The older people population in Indonesia is always increasing each year, the Indonesian government seeks to increase the life expectancy of the older people by improving the quality of life. Dry mouth is a common problem in the older people that can affect quality of life. Many studies have been conducted on dry mouth in the older people through questionnaires, but no questionnaire has been psychometrically analyzed in describing condition of dry mouth, as well as conducting analyzed of xerostomia and salivary flow rate. This study to psychometric analysis of Summated Xerostomia Inventory (SXI) Indonesian version and do analysis of xerostomia and salivary flow rate of the older people at The Government Nursing Home In Jakarta. Research respondents were older people population at government nursing home in Jakarta. There were 219 residents who were examined, only 110 residents who met the inclusion criteria. Sociodemographic data were obtained through interviews with the older people, while a history of systemic diseases and a history of drug consumption were obtained from medical records. All respondents had MMSE and Indonesian version of the SXI questionnaire interviews, examination of flow rate, salivary viscosity and pH of saliva were collected. The Indonesian version of the SXI-D questionnaire was declared valid, with a significance value (p) construct validity <0.05. Cronbachs Alpha value is 0.9 and intraclass correlation coefficient is 0.9. Whereas in the clinical confirmation of saliva quantity, there was no correlation between the total SXI-D score and the stimulated and unstimulated salivary flow rate (p >0.05). This study shows that Summated Xerostomia Inventory (SXI) Indonesian version is valid and reliable in assessing xerostomia in research respondents."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan
dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan
30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511 (p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.

Unstimulated Salivary Flow Rate Corresponds with Severity of Xerostomia: Evaluation using Xerostomia Questionnaire and Groningen RadiotherapyInduced Xerostomia Questionnaire.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan
dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan
30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511
(p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan
dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan
30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511
(p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan
dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan
30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511 (p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien."
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Faculty of Dentistry, Undergraduate Program;Journal of Dentistry Indonesia;Journal of Dentistry Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dinny Atin Amanah
"Program pembatasan cairan perlu dilakukan pada pasien gagal jantung yang mengalami hipervolemia. Pembatasan cairan berdampak positif terhadap kualitas hidup pasien, tetapi intervensi tersebut tidak menyenangkan dan menantang. Pasien melaporkan ketidaknyamanan akibat rasa haus yang tidak terkontrol dan xerostomia yang sangat mengganggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan pengaruh pemberian stroberi beku sebanyak 3 kali/hari dan 5 kali/hari terhadap rasa haus dan xerostomia pasien gagal jantung yang menjalani program pembatasan cairan. Penelitian ini merupakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single-blind dan parallel group design yang terdiri dari 3 kelompok, yaitu kelompok frozen strawberry 0 (FS0), 3 kali/hari (FS3), dan 5 kali/hari (FS5). Responden berjumlah 22 pasien gagal jantung pada masing-masing kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan intensitas haus, distress haus, dan xerostomia yang signifikan antara ketiga kelompok (p 0,00; α 0,05). Namun, analisis perbandingan antara kelompok frozen strawberry 3 kali/hari dengan 5 kali/hari dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan intensitas haus (p = 0,45), distress haus (p = 0,08), dan xerostomia (p = 0,69) yang signifikan diantara kedua kelompok tersebut (p > α). Pemberian stroberi beku 3 kali/hari memiliki pengaruh yang sama dengan pemberian stroberi beku 5 kali/hari. Penelitian ini merekomendasikan perawat untuk mengatasi haus dan xerostomia pada pasien gagal jantung yang menjalani pembatasan cairan dengan memberikan stroberi beku 3 kali/hari ataupun 5 kali/hari. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mencari alternatif buah yang memiliki kandungan serupa dengan stroberi, namun lebih murah dan lebih mudah didapatkan pasien.
......Fluid restriction programs need to be carried out in patients with heart failure who experience hypervolemia. Fluid restriction has a positive impact on patients' quality of life, but the intervention is unpleasant and challenging. Patients report discomfort due to uncontrolled thirst and xerostomia which is very disturbing. This study aimed to identify differences in the effect of giving frozen strawberries 3 times/day and 5 times/day on thirst and xerostomia in heart failure patients undergoing a fluid restriction program. This study was a Randomized Controlled Trial (RCT) with single-blind and parallel group design consisting of 3 groups, namely frozen strawberry group 0 (FS0), 3 times/day (FS3), and 5 times/day (FS5). Respondents were 22 heart failure patients in each group. The results showed that there were significant differences in thirst intensity, thirst distress, and xerostomia between the three groups (p 0.00; α 0.05). However, a comparative analysis between the frozen strawberry 3 times/day and 5 times/day groups in this study showed that there was no difference in thirst intensity (p = 0.45), thirst distress (p = 0.08), and xerostomia (p = 0.69) which was significant between the two groups (p > α). Giving frozen strawberries 3 times/day has the same effect as giving frozen strawberries 5 times/day. This study recommends that nurses treat thirst and xerostomia in heart failure patients undergoing fluid restriction by giving frozen strawberries 3 times/day or 5 times/day. Future research is expected to be able to find alternative fruit that has a similar content to strawberries, but is cheaper and easier to obtain for patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Khairani
"Xerostomia merupakan masalah yang sering terjadi pada penderita penyakit ginjal terminal PGT di perkotaan dan menimbulkan dampak terhadap kualitas hidup klien. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan pada penderita PGT dengan xerostomia menggunakan oral hygiene dengan kassa basah dingin. Hasil intervensi menunjukkan penurunan Visual Analog Scale VAS Xerostomia setelah intervensi oral hygiene dari 59 menjadi 16. Gejala yang menurun secara signifikan adalah sensasi kurangnya saliva, sensasi bibir kering, sensasi mulut kering, dan derajat haus. Intervensi ini juga memberikan kepercayaan diri pada klien untuk mengurangi asupan cairannya. Oral hygiene direkomendasikan bagi penderita PGT yang mengalami xerostomia dan dapat mendukung intervensi restriksi cairan dengan mengurangi haus.
......
Xerostomia is a common problem found in ESRD clients in urban area that affect the quality of life. This case study aimed to analyze nursing care in ESRD with xerostomia by performing oral hygiene with cold and wet gauze. The result shows oral hygiene decreased Visual Analog Scale Xerostomia from 59 to 16. This intervention significantly decreased lack of saliva sensation, dry lips sensation, dry mouth sensation, and degree of thirst. Also, it encouraged client to reduce fluid intake. Thus, oral hygiene is recommended for ESRD with xerostomia which in turn will support fluid restriction through reducing thirst."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cytha Nilam Chairani
"Latar Belakang: Kanker kepala dan leher (KKL) termasuk kanker yang paling umum, menempati urutan keenam secara global. Kanker rongga mulut termasuk dalam entitas KKL, yaitu sekitar 75% kasus. Salah satu modalitas terapi onkologi, yaitu radioterapi (RT) dapat menyebabkan efek samping di oral, contohnya seperti berkurangnya fungsi mengunyah dan menelan, serta penurunan nafsu makan yang kemudian berkaitan dengan penurunan berat badan kritis. Penurunan berat badan kritis (PBBK) didefinisikan sebagai penurunan berat badan yang tidak disengaja sebesar 5% pada 1 bulan atau 10% pada 6 bulan sejak dimulainya RT. Tujuan: Mengetahui faktor yang berhubungan dengan PBBK pada pasien RT kepala dan leher di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Metode Penelitian: Analisis observasional retrospektif dengan menggunakan data sekunder (rekam medis) dari 125 pasien kanker mulut di Rumah Sakit Kanker Dharmais periode 2018-2022. Hasil: Rata-rata usia pasien adalah 50,2±14,5 tahun terdiri dari laki-laki sebanyak 68 orang (54,4%) dan perempuan sebanyak 57 orang (45,6%). Pasien yang mengalami PBBK pada satu bulan sejak RT selesai sebanyak 69 orang (72,6%). Analisis bivariat untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap PBBK menunjukkan hanya variabel xerostomia selama RT yang signifikan (p = 0,006). Kesimpulan: Xerostomia selama RT merupakan faktor yang berpengaruh terhadap PBBK. Kolaborasi multidisipliner tim onkologi diperlukan untuk mencegah PBBK, termasuk dokter gigi untuk memantau komplikasi oral selama RT.
......Introduction: Head and neck cancer (HNC) is the sixth most common cancer worldwide. 75% of HNCs are oral cancer. Radiotherapy (RT) is generally an oncology therapy that can develop side effects associated with oral complications due to RT. These complications can interfere with chewing and swallowing, which subsequently cause a decrease in appetite. Furthermore, patients may experience critical weight loss (CWL) defined as involuntary weight loss of 5% at one month or 10% at six months from the start of RT. Objective: To investigate the factor which correlates with CWL in head and neck RT patients treated in Dharmais Cancer Hospital. Methods: A retrospective observational analysis using secondary data (medical records) of 125 oral cancer patients at Dharmais Cancer Hospital in 2018-2022. Results: The mean age of patients was 50,2±14,5 years, with 68 (54,4%) male and 57 (45,6%) female. Sixty-nine patients (72,6%) developed CWL one month after RT, and the only significant factor in CWL was xerostomia during RT (p = 0,006). Conclusion: Xerostomia during RT is an influencing factor of CWL. Multidisciplinary collaboration of the oncology team is needed to prevent CWL, including the dentist to monitor oral complications during RT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Paramita
"Seiring dengan meningkatnya populasi lansia di Indonesia, masalah kualitas hidup menjadi salah satu hal yang menjadi perhatian. Salah satu yang menentukan kualitas hidup lansia adalah kesehatan rongga mulut, khususnya kondisi mulut kering. Mulut kering dapat didefinisikan sebagai keluhan subjektif (xerostomia) ataupun keluhan objektif (hiposalivasi). Xerostomia diukur dengan menggunakan kuesioner sedangkan hiposalivasi diukur dengan mengukur laju alir saliva per menit. Kuesioner Summated Xerostomia Inventory versi Indonesia (SXI-ID) telah dipakai untuk mengukur xerostomia pada lansia di panti sosial. Namun, perbedaan lingkungan pada lansia dapat memengaruhi kualitas hidup, dalam hal ini kondisi xerostomia. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan profil sosiodemografi, xerostomia yang diukur dengan SXI-ID, hiposalivasi yang diukur dengan laju alir saliva, dan hubungan antara ketiganya pada lansia non- institusi yang tinggal di Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan potong lintang pada individu berusia ≥60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan menandatangani informed consent. Kuesioner SXI-ID valid dan reliabel untuk digunakan pada populasi penelitian ini dengan nilai Cronbach alpha 0,938 dan interclass correlation coefficient (ICC) 0,938. Berdasarkan SXI-ID, prevalensi xerostomia pada kelompok lansia ini adalah 53%. Sementara itu, berdasarkan pemeriksaan laju alir saliva, prevalensi hiposalivasinya adalah 23%. Tidak ada perbedaan skor total SXI-ID berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, penyakit sistemik terkait mulut kering, dan juga konsumsi obat xerogenic. Terdapat perbedaan laju alir saliva tanpa stimulasi antara lansia laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat perbedaan laju alir saliva berdasarkan kelompok usia, penyakit sistemik terkait mulut kering, dan konsumsi obat xerogenic. Pada populasi ini laju alir saliva tanpa stimulasi hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin responden.
......Along with the increase of older people population in Indonesia, their qualities of life are being concerned. One of the qualities of life is oral health, especially dry mouth. Dry mouth is defined as subjective complaints (xerostomia) and objective complaints (hyposalivation). Xerostomia is measured with a questionnaire while hyposalivation is measured with salivary flow rate per minute. Summated Xerostomia Inventory-Indonesian Version (SXI-ID) has been used for measuring xerostomia status of institutionalized older people. However, different environments may influence the quality of life, including xerostomia. The objective of this study is to obtain sociodemography profile, xerostomia status measured by SXI-ID, and hyposalivation status measured by salivary flow rate of non-institutionalized older people living in Pegangsaan Dua Village Office, Kelapa Gading District, Jakarta Utara. This study is an analytical descriptive with cross-sectional design study on individuals ≥60 years that meet the inclusion criteria and sign informed consent. Summated Xerostomia Inventory-Indonesian Version is valid and reliable to measure xerostomia status in this population with Cronbach alpha 0,938 and interclass correlation coefficient 0,938. Based on SXI-ID score, xerostomia prevalence was 53%. Based on salivary flow rate, hyposalivation prevalence was 23%. There are no differences in SXI-ID total score according to age groups, gender, systemic disease associated with dry mouth, and also xerogenic drugs consumption. There is a significant difference of salivary flow rate between gender. There are no differences of salivary flow rate according to age groups, systemic disease associated with dry mouth, and xerogenic drug consumption. In this population, unstimulated salivary flow rate is only affected by gender."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harizah Umri
"Sebagai salah satu efek samping, xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring dirasakan mengganggu pada hampir 100 pasien karsinoma nasofaring setelah mendapat terapi radiasi. Beberapa studi memperlihatkan akupunktur bermanfaat sebagai terapi xerostomia pasca radioterapi. Penelitian ini merupakan penelitian akupunktur pertama di Indonesia dengan subyek pasien xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring. Dua puluh lima pasien xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring dibagi dalam tiga kelompok secara acak, kelompok akupunktur telinga A, akupunktur tubuh B dan akupunktur kombinasi C. Skor XI dinilai sebelum, setelah 6 dan 12 kali akupunktur sementara itu pH saliva dinilai sebelum dan setelah 12 kali akupunktur dengan menggunakan saliva check buffer kit. Angka keberhasilan terapi akupunktur pada kelompok A yaitu 71,4 - 100, kelompok B yaitu 66,7 -88,9 dan kelompok C yaitu 88,9 -100 p>0,05. Rerata pH saliva pada kelompok A sebelum akupunktur meningkat dari 6,18 0,60 menjadi 6,83 4,48, kelompok B dari 6,16 0,54 menjadi 6,67 2,26 dan kelompok C dari 6,00 0,49 menjadi 6,60 2,23 setelah akupunktur p>0,05. Rerata skor XI sebelum akupunktur pada kelompok A yaitu 35,70 5,14 menjadi 22,86 16,15, kelompok B yaitu 34,70 7,77 menjadi 20,89 10,06, serta kelompok C yaitu 36,70 5,25 menjadi 21,44 8,97 sesudah 12 kali akupunktur p>0,05. Akupunktur telinga, akupunktur tubuh serta akupunktur kombinasi mempunyai efek yang sebanding dalam meningkatkan pH saliva dan menurunkan skor XI pada xerostomia yang dialami pasien karsinoma nasofaring pasca kemoradiasi.
......
Distressing side effect from radiation for nasopharyngeal carcinoma treatment, radiation induced xerostomia commonly occurs in almost 100 patients undergoing such procedure method. Some studies suggest that acupuncture might be a useful method for the treatment of radiation induced xerostomia. This study is the first acupuncture research in Indonesia with the subject of xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma patients. Twenty five patients with xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma were divided randomly into 3 groups which are auriculo puncture group A, body acupuncture group B and combination acupuncture group C. XI scores was examined before, after 6th and 12th acupuncture treatment whereas salivary pH was examined before and after 12th acupuncture treatment using saliva check buffer kit. The success rate of acupuncture therapy in group A is 71,4 100, in group B is 66,7 88,9 and group C is 88,9 100 p 0,05. The mean salivary pH in group A was increased from 6,18 0,60 to 6,83 4,48, group B the mean salivary pH was increased from 6,16 0,54 to 6,67 2,26 and group C the mean salivary pH was increased from 6,00 0,4 to 6,60 2,23 after therapy p 0,05. The mean XI score was decreased from 35,70 5,14 group A, 34,70 7,77 group B, 36,70 5,25 group C before acupuncture therapy to 22,89 16,15 group A, 20,89 10,06 group B, 21,44 8,97 group C after 12th acupuncture therapy p 0,05. Auriculo puncture, body acupuncture and combination acupuncture have the same effects to increase salivary pH and decrease XI score in patients with xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>