Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ira Ruswati Aprilia
Abstrak :
Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi, Kegiatan usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum, pengusahaannya diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai, dalam hal inilah dibutuhkan suatu pengaturan akses. Kewajiban penyediaan meter sebagai alat ukur volume gas bumi di Titik Terima maupun Titik Serah pipa gas bumi selalu menjadi isu antara Transporter dan Shipper. Alat ukur yang digunakan pada pipa SSWJ adalah Turbin dan USM, bergantung pada volume aliran. Untuk kewajiban penyediaan alat ukur pada pipa SSWJ, pada Titik Terima Shipper wajib menyediakan, mengembangkan, mengoperasikan dan memelihara alat ukur secara rutin, aman dan handal. Sedangkan pada Titik Serah Transporterwajib menyediakan, mengembangkan, mengoperasikan dan memelihara alat ukur secara rutin, aman dan handal. Dampak dari kewajiban penyediaan alat ukur tersebut maka semua biaya dan pengeluaran dari setiap Metering Station termasuk asuransi terhadap Pipeline System maupun pihak ketiga yang terkait, ditanggung oleh Transporter pada Titik Serah dan Shipper pada Titik Terima. Penetapan kewajiban penyediaan alat ukur juga berpengaruh pada biaya yang timbul akibat adanya Shipper baru. ......Based on Law Number 22 of 2001 concerning Oil and Natural Gas, the business activity of transporting natural gas through pipes which concerns the public interest, the business is regulated so that its use is open to all users, in this case an access regulation is needed. The obligation to provide meters as a means of measuring the volume of natural gas at the Receiving Point and Delivery Point for natural gas pipelines is always an issue between Transporters and Shippers. The measuring instruments used on SSWJ pipes are Turbine and USM, depending on the flow volume. For the obligation to provide measuring instruments on SSWJ pipes, the Shipper Receiving Point is obliged to provide, develop, operate and maintain measuring instruments routinely, safely and reliably. Meanwhile, at the Delivery Point, Transporters are required to provide, develop, operate and maintain measuring equipment on a routine, safe and reliable basis. The impact of the obligation to provide measuring instruments is that all costs and expenses of each Metering Station, including insurance for the Pipeline System and related third parties, are borne by the Transporter at the Delivery Point and the Shipper at the Receiving Point. Determining the obligation to provide measuring equipment also affects the costs incurred due to the presence of a new shipper.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gafuraningtyas
Abstrak :
Dalam upaya mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah, dilakukan program reforma agraria yang mencakup penataan aset dan penataan akses. Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas program reforma agraria, diintegrasikan model penataan aset dan penataan akses di lokasi yang sama. Sebagai percontohan, implementasi Kampung Reforma Agraria (KRA) pertama diwujudkan di Desa Mekarsari, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang dengan membagikan tanah kepada 225 subjek. Namun, setelah lima tahun pelaksanaan reforma agraria berjalan, masih ada sejumlah subjek yang belum menempati lokasi KRA. Hal tersebut mengindikasikan adanya keengganan sebagian subjek untuk tinggal di lokasi yang sudah ditetapkan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profil dan karakteristik tempat tinggal subjek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang belum menempati tanah yang sudah diberikan di KRA dan pengaruh kedua hal tersebut terhadap preferensi spasial mereka terkait kebijakan Reforma Agraria. Dengan mewawancarai sejumlah 23 subjek TORA yang belum menempati lokasi TORA dalam kondisi belum melakukan peralihan hak atas tanahnya, diketahui bahwa sebesar 52,5% menyatakan ingin berpindah ke KRA sedangkan 47.5% sisanya tidak ingin menempati tanahnya di KRA. Berdasarkan analisis karakteristik fisik tempat tinggal subjek TORA, jarak fisik dari tempat tinggal subjek saat ini ke KRA dan tingkat kerawanan banjir tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap preferensi mereka. Preferensi spasial subjek untuk memilih antara tempat tinggalnya saat ini atau lokasi barunya di KRA cenderung dipengaruhi oleh karakteristik non fisik tempat tinggalnya dan juga status hukum tanahnya yang dimiliki saat ini. Subjek yang sudah memiliki tanah dan tinggal dengan satu KK dalam satu rumah cenderung memilih menetap di lokasi yang sudah ditempatinya sejak lama karena adanya keterikatan dengan tempat tinggalnya. Sedangkan subjek yang saat ini berstatus menumpang dan yang tinggal dengan lebih dari satu KK dalam satu rumah cenderung memilih untuk menempati tanahnya di KRA karena perasaan tidak nyaman akan keterbatasan kontrol terhadap ruang dalam huniannya. ......An agrarian reform program encompassing asset and access arrangement was implemented to address the inequality in land ownership. Furthermore, asset and access arrangements are integrated in the same location to increase the effectiveness of the agrarian reform program. The first Kampung Reforma Agraria (KRA) implemented the pilot project in Mekarsari Village, Panimbang District, Pandeglang Regency, by distributing land to 225 subjects. However, after five years of implementing agrarian reform, some subjects still have not occupied KRA locations. This condition indicates the reluctance of some subjects to live in the designated location. This research aims to analyze the profile and characteristics of the residences of Land Objects of Agrarian Reform (TORA) subjects who have not yet occupied the land granted in the KRA and how these two factors influence their spatial preferences regarding agrarian reform policies. By interviewing 23 TORA subjects who had yet to occupy the TORA location and transfer their land rights, the results show that 52.5% wanted to move to KRA. In contrast, 47.5% did not want to occupy their land in KRA. Based on the analysis of the physical characteristics of TORA subjects' residences, the physical distance from the subjects' current residence to the KRA and the level of flood vulnerability did not exert a significant influence on their preferences. The non-physical characteristics of their residences, as well as the legal status of the land they currently own, appear to influence the spatial preferences of the subjects in choosing between their current residence and a new location in the KRA. Subjects who already own land and live with one family in one house tend to opt to settle in the location they have occupied for a long time due to their attachment to their current residence. In contrast, subjects with boarding status who live with more than one family member in one house tend to choose to occupy their land in the KRA, driven by their discomfort with the limited control over space in their current residence.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library