Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ngatijo
"Abstrak
Telah dilakukan analisis kadar uranium dan keasaman untuk menentukan kebutuhan sodium hidroksida pada penetralan limbah uranium cair di laboratorium kimia IEBE. Analisis kadar uranium dilakukan untuk mengetahui kandungan uranium dalam limbah sehingga jumlah dan keberadaan bahan nuklir dapat diketahui dalam rangka menjamin pelaksanaan pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir. Sedangkan analisis keasaman dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman limbah sehingga dalam pengolahan lebih lanjut dapat dilakukan secara efisien dan aman bagi lingkungan. Disamping itu juga analisis keasaman dimaksudkan untuk menentukan kebutuhan sodium hidroksida yang digunakan dalam penetralan limbah sehingga penggunaan sodium hidroksida lebih efisien dan efektif. Analisis kadar uranium dilakukan dengan metode potensiometri dan analisis keasaman menggunakan metode alkalimetri.
Dari hasil analisis diketahui bahwa untuk limbah drum nomor 1 kadar U sebesar 0,8665 g/L dengan keasaman 2,0790 mol/L, drum nomor 2 kadar U sebesar 0,6939 g/L dengan keasaman 1,9076 mol/L, drum nomor 3 kadar U sebesar 2,8901 g/L dan keasaman 8,1309 mol/L. Penetralan limbah uranium cair dilakukan sampai pH 7. Berdasarkan hasil analisis kadar U dan keasaman serta volume limbah uranium cair maka untuk menetralkan limbah uranium cair tersebut diperlukan sodium hidroksida masing-masing untuk drum nomor 1 sebanyak 12.474,44 g, drum nomor 2 sebanyak 11.445,95 g dan drum nomor 3 sebanyak 22.767,98 g. Total kebutuhan sodium hidroksida untuk menetralkan limbah uranium cair sebanyak 46.687,61 g (50 kg)."
Jakarta: Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional, 2017
600 PIN 10:19 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yasir Mulyansyah Fama
"Pada umumnya katalis seharusnya dapat berfungsi selamanya. Namun yang terjadi kenyataannya katalis dapat tidak aktif setelah digunakan dalam beberapa reaksi, salah satu penyebabnya yaitu terbentuknya kokas yang menutup inti aktif katalis HZSM-5 yang menyebabkan naiknya energi aktivasi dan menurunya nilai keasamannya. Regenerasi merupakan proses yang dilakukan untuk menghilangkan kandungan kokas di dalam katalis HZSM-5. Regenerasi ini dilakukan dengan menggunakan udara sehingga terjadi reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi ini dapat menghilangkan kandungan kokas sebesar 90% hingga 99%. Kondisi optimum dalam regenerasi katalis HZSM-5 yaitu suhu 450°C dan laju alir udara 150 mL/menit. Selain itu, telah dilakukan pula karakterisasi untuk katalis terdeaktivasi agar dapat diketahui senyawa penyusun kokas.

In general, the catalyst should be able to function forever. But what happens in reality catalyst can not active after being used in several reactions, one of the causes is the formation of coke which closes the active core of HZSM-5 catalyst which causes increased activation energy and decreased the acidity. Regeneration is a process to eliminate the content of coke in the catalyst HZSM-5. In this case regeneration is using air resulting in oxidation reactions. This oxidation reaction can remove the coke content of 90% to 99%. Optimum conditions in the regeneration of the catalyst HZSM-5 is 450°C temperature and air flow rate 150 mL/minute. Additionally, characterizations have been done also for deactivated catalysts that can be known compounds making up the coke. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S952
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Ronal Widjaya
"ABSTRACT
Pada penelitian ini telah dilakukan karakterisasi katalis Cr/Benton
it dan Zeolit HZSM-5 untuk proses katalitik etanol menjadi
biogasolin (setara bensin). Katalis tersebut memiliki sifat keasaman atau acidity yang tinggi serta tahan terhadap kandungan air yang banyak, sehingga selain mampu memproses umpan yang mengandung kadar air yang cukup besar
(>15%) dari campuran ethanol-air, juga tidak mudah terdeaktifasi. Cr/Bentonit kemudian digunakan sebagai material
katalis yang hasilnya dibandingkan dengan katalis Zeolit HZ
SM-5, serta dilakukan karakterisasi kedua katalis tersebut
dengan x-ray diffraction, Brunauer Emmett Teller (BET),
thermogravimetry analysis (TGA), alat uji aktivitas katalis
catalytic muffler, dan gas chromatography-mass spectrometry
(GC-MS). Dari hasil analis a tingkat keasaman dengan
menggunakan metode gravimetri dapat diketahui bahwa tingkat keasaman dari Cr/Bentonit yang paling tinggi dan juga
dari hasil XRD dapat diketahui adanya pergeseran sudut 2t
heta pada Cr/Bentonit, hal tersebut mengindikasikan bahwa
pilar Cr dalam bentonit mampu berinteraksi, serta didukung dengan data BET yang menunjukkan bahwa adanya
penambahan luas permukaan spesifik pada Cr/Bentonit dibandingkan dengan bentonit yang belum dipilarisasi.
Selanjutnya dilakukan uji aktivitas katalis dan hasil yang didapatkan diuji dengan GC-MS diketahui bahwa ada
kandungan butanol dan kemungkinan juga terbentuk hexanol, decane, dodecane, undecane, yang mana senyawa- senyawa tersebut termasuk dalam range gasolin (C4 sampai C12).

Abstract
The characterization on Cr/Bentonit and Zeolit HZSM-5 catalyst
s for ethanol catalytic process to biogasoline (equal to
gasoline) has been done in this study. Cr/Bentonit has high acidity and resistant to a lot of moisture, in addition to being
able to processing feed which a lot of moisture (>15%) from ethanol-water mixture, it is also not easy to deactivated.
Cr/Bentonit which is then used as the catalyst material on the process of ethanol conversion to be biogasoline and the
result was compared with catalyst HZSM-5 zeolite. Several characterization methods: X-ray diffraction, Brunauer
Emmett Teller (BET), thermogravimetry analysis (TGA), and catalyst activity tests using catalytic Muffler instrument
and gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS) for product analysis were performed on both catalysts. From
acidity measurement, it is known that acidity level of Cr/Bentonit is the highest and also from XRD result, it is known
there is shift for 2theta in Cr/Bentonit, which indicates that Cr-pillar in the Bentonite can have interaction. It is also
supported by BET data that shows the addition of specific surface are
in Cr/Bentonite compared
with natural Bentonite
before pillarization. Futhermore catalyst activity test produced
the results, analyzed by GC-MS, identified as butanol
and also possibly formed hexanol,
decane, dodecane, undecane, which are all included in gasoline range (C4 until C12)."
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2012
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Ronal Widjaya
"Indonesia mempunyai banyak sumber daya alam, salah satunya adalah tanah liat yang sangat potensial dijadikan katalis pada proses konversi ethanol menjadi gasolin yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar dari fosil. Tanah liat yang disebut juga dengan bentonit, dapat dimodifikasi strukturnya dengan metode pilarisasi logam, karena relatif sederhana dan mudah untuk dilakukan. Paduan logam Sn-Cr/Bentonit memiliki sifat keasaman yang cukup tinggi serta tahan terhadap kandungan air yang banyak, sehingga dapat memproses umpan yang mengandung kadar air yang cukup besar dari campuran ethanol-air dan juga mempunyai umur katalis yang panjang.
Tujuan penelitian ini untuk mensintesis dan mengevaluasi kinerja katalis Sn-Cr/bentonit yang digunakan pada proses konversi ethanol menjadi gasolin. Pengukuran X-ray Diffraction, X-ray Absorption Spectroscopy, Thermogravimetry Analysis, Fourier Transform Infra Red, X-ray Fluorescence, Brunauer Emmett Teller, Scanning Electron Microscope / Energy-Dispersive X-ray, Field Emission Scanning Electron Microscopy/Electron dispersion X-ray Spectroscopy, dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry digunakan dalam penelitian.
Dari analisa hasil pengukuran didapatkan kenaikan jarak basal bentonit dari 12,83Å menjadi 25,67Å, peningkatan luas permukaan spesifik dan volume pori masing-masing 23,8 m2/g menjadi 199,2 m2/g dan 9,9x10-3 cm3/g menjadi 81x10-3 cm3/g. Muatan logam yang terbentuk, didominasi logam Sn4+ dan Cr3+ dengan daya tahan termal maksimal sebesar 700°C. Sn-Cr/bentonit memiliki dua tipe keasaman Bronsted dan Lewis yang keduanya dibutuhkan untuk proses konversi ethanol menjadi gasolin.
Diketahui juga sebaran unsur yang terkandung pada bentonit, antara lain Si, Al, O, Mg, Na, Ca, Sn dan Cr. Konversi ethanol menjadi gasolin dengan katalis Sn-Cr/bentonit didapatkan kandungan senyawa utama yang mirip dengan bensin komersial. Hasil cairan yang terkonversi didapatkan nilai yang cukup baik, yaitu 60 ml dari 100 ml umpan bahan baku berupa ethanol atau memberikan hasil sebesar 60 %.

Indonesia has many natural resources, one of them is clay. The clays are very potential to be used as a catalyst in ethanol to gasoline conversion process, which was used as an alternative fuel substitute for fossil fuel. The Clay was also called bentonite and it can be modified the structure by metals pilarization method, because this method is simple and feasible relatively. Sn-Cr/bentonite metal alloys have high acidity properties and resistant to water content, so that they can process the feeds that contain large moisture content from the mixture of ethanol-water and they have long life catalyst.
The purpose of this research was to synthesis and evaluate the performance Sn-Cr/bentonite catalyst which was used in ethanol to gasoline conversion process. Measurement of X-ray Diffraction, X-ray Absorption Spectroscopy, Thermogravimetry Analysis, Fourier Transform Infra Red, X-ray Fluorescence, Brunauer Emmett Teller, Scanning Electron Microscope / Energy-Dispersive X-ray, Field Emission Scanning Electron Microscopy/Electron dispersion X-ray Spectroscopy, dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry was used in this research.
The measurement results showed enhancement the basal spacing of bentonite from 12.83Ǻ to 25.67Ǻ, and enhancement in specific surface area from 23.8 m2/g to 199.2 m2/g and pore volume from 9,9x10-3 cm3/g to 81x10-3 cm3/g. The metal content formed was dominated by Sn4+ and Cr3+ and 700 °C maximum thermal resistance. Sn-Cr/bentonite has two types of acidity, Bronsted and Lewis. They were needed for ethanol to gasoline conversion process.
The distribution of bentonite element contents, such as Si, Al, O, Mg, Na, Ca, Sn dan Cr. The ethanol to gasoline conversion by Sn-Cr/bentonite catalyst, it was obtained compounds similar to commercial gasoline. The converted ethanol results, it was obtained good value, which was 60 ml gasoline of 100 ml of ethanol or the yield is 60%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
D2683
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutanto, 1950-
"ABSTRACT
In the area of Cibinong-Citeureup Bogor has many industries, dusty and there are has been acid rain. About 75.63 % people in this area take well water for drinking. It was studied impact of acid rain for well water degradation in order to know the trend and rate of well water pH change. Preliminary research was done in order to make sure the effect of acid rain to well water using soil column leaching simulation. The main research was done by pH monitoring of acid rain and well water in the specific location. The pH of acid rain was monitored in the first 30 minutes on 12 locations from the year of 1999 to 2009, and the well water pH was measured from the year of 1995 to 2009. The acidity (pH) was measured using pHmeter electronic. The rate of pH change was calculated by first order reaction. The result showed that the well water acidity has uptrend (the pH to be lower). The acid rain has a little impact to the acidity of well water (r = 0.68). The rate of acidity of well water has constant value, k = 0.004 year-1."
Bogor: Program Pascasarjana Universitas Pakuan, 2018
370 JPLH 6:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kartiwa Hadi Nuryanto
"Tujuan
Mengetahui berapa besar hubungan (sensitivitas dan spesifisitas) antara keluhan dan temuan objektif, baik secara klinis dan sitologi vagina, pada wanita pasca menopause dengan vaginitis atrofi.
Tempat
Poliklinik ginekologi, laboratorium sitologi dan subbagian sitopatologi bagian obstetri dan ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.
Bahan Dan Cara Kerja
Wanita pasca menopause yang datang ke poliklinik ginekologi diminta kesediaannya untuk mengikuti penelitian ini. Anamnesis dilakukan sesuai dengan lampiran 1 (status penelitian), dilanjutkan sesuai dengan lampiran II (panduan pertanyaan untuk mengetahui adanya keluhan vaginitis atrofi) dan pemeriksaan klinis vagina sesuai dengan lampiran III ( panduan pertanyaan untuk mengetahui adanya gejala klinis vaginitis atrofi ). Kemudian dilakukan pemeriksaan pH vagina dengan menggunakan kertas lakmus dan pengambilan apusan vagina ( diwarnai dengan pewarnaam Papaniculaou ) untuk penilaian maturasi set. Pengukuran maturasi set selain oleh peneliti, dilakukan juga oleh seorang ahli sebagai konfirrnasi untuk menjaga objektifitas pengukuran. Bila dari penilaian indeks maturasi didapatkan efek estrogen rendah, maka sampel dinyatakan sebagai vaginitis atrofi dan akan dianalisis selanjutnya.
Hasil
Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2005 sampai dengan Desember 2005 di poliklinik ginekologi, laboratorium sitologi dan subbagian sitopatologi bagian obstetri dan ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta. Didapatkan 38 sampel yang sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan. Didapatkan bahwa usia peserta penelitian berkisar antara 46 - 64 tahun, dengan rerata usia 55,07 ± 5,67 tahun, dengan usia menopause peserta penelitian berkisar antara 42 - 57 tahun, dengan rerata usia 49,5 ± 4,73 tahun dengan lama menopause peserta penelitian berkisar antara 1 - 18 tahun, dengan rerata lama menopause 7,42 ± 5,41 tahun. Dari ke 5 keluhan yang ditanyakan pads peserta penelitian, hal yang terbanyak dikeluhkan adalah rasa keying ( n=4, 10.5% ), diikuti oleh dispareunia ( n=3, 7.9%) dan keputihan (n=3, 7.9% ). Sedangkan iritasi dan rasa menekan tidak dikeluhkan. Keadaan vagina yang atrofi ditegakkan berdasarkan dari hasil temuan obyektif berapa sekresi vagina yang berkurang (n=4, 10.5% ), integritas epitel vagina yang berkurang ( n=3, 7.9% ), ketebalan epitel vagina yang berkurang ( n=3, 7.9% ), warna vagina yang pucat ( nom, 10.5% ), dan pH vagina yang basa ( n=31, 81.6% ). Berdasarkan dari temuan-temuan tersebut, pH vagina merupakan temuan obyektif yang paling banyak dibandingkan yang lainnya. Dari temuan-temuan obyektif tersebut, kecuali pH vagina, vaginitis atrofi tidak banyak ditemukan pada peserta penelitian. Dari 38 sampel hanya terdapat 24 sampel yang secara sitologi didiagnasis sebagai vaginitis atrofi ( pemeriksaan sitologi sebagai baku emasnya ). Dari basil uji diagnostik hubungan antara keluhan rasa kering dan vaginitis atrofi dengan n=24 sampel, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 16,6% dan nilai spesifisitas sebesar O. Dari hasil uji diagnostik hubungan antara keluhan dispareuni dan vaginitis atrofi dengan n=24 sampel, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 12,5% dan nilai spesifisitas sebesar O. Dari hasil uji diagnostik hubungan antara keluhan keputihan dan vaginitis atrofi dengan n=24 sampel, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 4,2% dan nilai spesifisitas sebesar 14,2%. Dari hasil uji diagnostik hubungan antara temuan objektif pH vagina yang basa dan vaginitis atrofi dengan n=24 sampel, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 100% dan nilai spesifisitas sebesar 50%.
Kesimpulan
Keluhan rasa kering mempunyai nilai sensitivitas sebesar 16,6% dan nilai spesifisitas sebesar O. Keluhan dispareunia mempunyai nilai sensitivitas sebesar 12,5% dan nilai spesifisitas sebesar O. Keluhan keputihan mempunyai nilai sensitivitas sebesar 4,2% dan nilai spesifisitas sebesar 14,2%. Temuan objektif pH vagina yang basa dan vaginitis atrofi mempunyai nilai sensitivitas sebesar 100% dan nilai spesifisitas sebesar 50%.

Objective
To know the relation ( sensitivity and specificity) between symptoms and signs, clinically and by vaginal cytology, of atrophic vagina in post menopausal women.
Venue
Gynecology policlinic, cytology laboratory and cytopathology subdivision of obstetrics and gynecology department, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Methods and Materials
Post menopausal women who came to the gynaecology policlinic were asked to participate in this study. Anamnesis was performed according to attachment I ( study record ) and followed with attachment II ( questions to elicit the symptoms ) and clinical examimnation according to attachment liI ( questions to elicit the signs ). Vaginal acidity examination and vaginal smear to measure cell maturation ( stained with Papaniculaou) were then performed. Cell maturation was measuerd by the researcher and also by an expert to keep the objectivity of the measurement. If the maturation index showed low-estrogen effect, then sample was diagnosed as atrophic vaginitis and be analyzed afterwards.
Results
The study was performed from January 2005 until December 2005 at the gynecology policlinic, cytology laboratory and cytopathology subdivision of obstetrics and gynecology department, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. There were 38 samples that met the inclusion and exclusion criteria?s. The age of the participants were between 46 - 64 years old, with mean age was 55,07 ± 5,67 years. The age of menopause was between 42 - 57 years old, with mean age was 49,5 ± 4,73 years. The length of menopause was between 1 - 18 years, with mean time was 7,42 ± 5,41 years. Out of 5 symptoms asked, dryness was the most complained ( nom, 10.5% ), followed with dyspareunia (n=3, 7.9%) and vaginal discharge ( n=3, 7.9% ). Sense of irritation and throbbing was not complained. Atrophic vaginitis was clinically diagnosed by decreased vaginal secretion ( n=4, 10.5% ), decreased epithelial integrity ( n=3, 7.9% ), pale vaginal surface ( n=4, 10.5%) and alkaline vaginal acidity result ( n=31, 81.6% ). Vaginal acidity was found the most. Out of all the clinical findings, vaginitis atrophic was only found on samples with alkaline vaginal acidity. Out of 38 samples, there were 24 samples which were cytologically diagnosed as atrophic vaginitis. The diagnostic test between dryness and atrophic vaginitis ( n=24 ) revealed that the sensitivity was 16,6% and the specificity was O. The diagnostic test between dyspareuni and atrophic vagina ( n=24 ) revealed that the sensitivity was 4,2% and the specificity was 14,2%. The diagnostic test between alkaline vaginal acidity and atrophic vaginitis ( n=24) revealed that the sensitivity was 100% and the specificity was 50%.
Conclusion
The sensitivity of dryness is 16,6% and the specificity od dryness is 0. The sensitivity of dyspareuni is 12,5% and the specificity andd dyspareuni is 0. The sensitivity of vaginal discharge is 4,2% and the specificity is 14,2%. The sensitivity of alkaline vaginal acidity is 100% and the specificity of alkaline vaginal acidity is 50%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The study on the fluctuation of dissolved nutrient concentrations and acidity (pH) in the Cisadane Estuary was carried out in May 2004 October 2004 and July 2005...."
MAREIND
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jepri Sutanto
"Tesis ini membahas kadar antioksidan dan tingkat keasaman pada kopi arabika, kopi luwak dan kopi hasil iradiasi BATAN. Penelitian menggunakan sampel kopi yang belum diiradiasi (0 kGy) dan sudah diiradiasi dengan dosis 2,5 kGy; 5 kGy dan 10 kGy. Penentuan kadar antioksidan menggunakan metode DPPH (2,2- diphenyl-1-picrylhydrazil) dengan perangkat spektrofotometer UV-Vis dan penentuan tingkat keasaman menggunakan pH meter. Penentuan gugus fungsi menggunakan FTIR dan penentuan jumlah partikel menggunakan ESR Spectrometer. Hasil kadar antioksidan pada kopi sebelum dan sesudah iradiasi ditentukan dengan nilai persen penghambatan (IC50). Nilai IC50 kopi arabika (Toraja) dengan dosis 0 kGy; 2,5 kGy; 5 kGy dan 10 kGy adalah 54,150 μg/ml (tinggi); 50,326 μg/ml (tinggi); 49,026 μg/ml (sangat tinggi) dan 46,546 (sangat tinggi) dan nilai IC50 kopi luwak dengan dengan dosis 0 kGy; 2,5 kGy; 5 kGy dan 10 kGy adalah 64,226 μg/ml (tinggi); 55,090 μg/ml (tinggi); 58,885 μg/ml (tinggi) dan 56,739 μg/ml (tinggi). Dari pengukuran didapatkan bahwa kopi hasil iradiasi menghasilkan kadar antioksidan meningkat setelah di iradiasi tetapi untuk tingkat keasaman tidak signifikan.

This thesis discusses the antioxidant and the acidity levels on coffee arabica, civet coffee, and irradiation coffee by National Nuclear Energy Agency (BATAN). This research utilized the sample of coffee before and after irradiation with the varieties of doses (2,5 kGy; 5 kGy and 10 kGy). In the experiment determining the levels of antioxidants using DPPH method (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil) with spectrophotometer UV-Vis and the acidity using pH meter. Determining the cluster functional using FTIR and the number of particles using ESR Spectrometer. Results antioxidant levels on arabica coffee and civet coffee before and after irradiation are shown with IC50 values. IC50 values on arabica coffee (Toraja) with the varieties of dose (0 kGy; 2,5 kGy; 5 kGy and 10 kGy) are 54.150 μg/ml (high); 50.326 μg/ml (high); 49.026 μg/ml (very high) dan 46.546 (very high) as well as IC50 values on civet coffee (Gayo) are 64.226 μg/ml (high); 55.090 μg/ml (high); 58.885 μg/ml (high) dan 56.739 μg/ml (high). From the measurement results showed that the antioxidant levels increased after irradiation but for the level of acidity is not significance."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
T46369
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Nabila Jafna
"Latar Belakang: Nitric oxide (NO) memiliki fungsi antibakterial dan peran dalam proses inflamasi. Penyakit gigi dan mulut berkaitan erat dengan kebersihan rongga mulut yang dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, termasuk kebiasaan merokok. Konsentrasi NO pada saliva dapat menjadi biomarker kesehatan rongga mulut dan sistemik. Namun, kaitannya dengan kebiasaan merokok dan kebersihan rongga mulut masih perlu dikaji lebih lanjut. Tujuan: Mengetahui korelasi antara status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan derajat keasaman (pH) saliva dengan konsentrasi nitric oxide (NO) pada perokok dewasa. Metode: Sampel yang diteliti merupakan saliva tidak terstimulasi pada 10 subjek perokok dewasa dan 8 subjek non perokok dewasa. Status kebersihan rongga mulut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kategori baik dan kategori sedang. Konsentrasi nitric oxide diukur menggunakan Griess assay di laboratorium. Analisis dilakukan dengan uji statistik Independent T-tes, Mann-Whitney U, korelasi Pearson, dan korelasi Spearman Hasil: Konsentrasi nitric oxide pada perokok dewasa lebih tinggi dibandingkan konsentrasi nitric oxide pada non perokok dewasa dengan perbedaan yang signifikan (p < 0,05). Korelasi antara status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dengan konsentrasi nitric oxide adalah positif sedang dengan hubungan yang tidak bermakna (r = 0,346, p > 0,05). Korelasi antara derajat keasaman (pH) saliva dengan konsentrasi nitric oxide adalah positif sedang dengan hubungan yang tidak bermakna (r = 0,285, p > 0,05). Kesimpulan: Konsentrasi nitric oxide tidak berkorelasi dengan status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan derajat keasaman (pH) saliva sehingga tidak dapat dijadikan sebagai biomarker status kebersihan rongga mulut.

Background: Nitric oxide has antibacterial functions and a role in inflammatory response. Oral diseases are closely related to oral hygiene which can be influenced by various factors, including smoking habits. NO concentration in saliva can be a biomarker of oral and systemic health. However, its relationship with smoking habits and oral hygiene still needs to be studied further. Objectives: To determine the correlation between oral hygiene status (OHI-S) and the degree of acidity (pH) of saliva with the concentration of nitric oxide (NO) in adult smokers. Methods: The samples studied were unstimulated saliva from 10 adult smokers and 8 adult non-smokers. Oral hygiene status is divided into two groups, the good category and the fair category. Nitric oxide concentration was measured using Griess assay in the laboratory. Analysis was carried out using the Independent T-test, Mann-Whitney U, Pearson correlation, and Spearman correlation statistical tests. Results: Nitric oxide concentrations in adult smokers were higher than nitric oxide concentrations in adult non-smokers with a significant difference (p < 0.05). The correlation between oral hygiene status (OHI-S) and nitric oxide concentration was moderately positive with no significant relationship (r = 0.346, p > 0.05). The correlation between the degree of acidity (pH) of saliva and the concentration of nitric oxide was moderately positive with no significant relationship (r = 0.285, p > 0.05). Conclusion: Nitric oxide concentration does not correlate with oral hygiene status (OHI-S) and degree of acidity (pH) of the saliva, thus it cannot be used as a biomarker for oral hygiene status"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwan Novarullah
"Korosi merupakan kerusakan atau berkurangnya mutu suatu material logam karena bereaksi dengan lingkungannya. Terdapat beberapa macam jenis korosi, seperti korosi seragam, korosi galvanik, korosi sumuran, dan korosi retak tegang. Pada penelitian ini dilakukan pengujian ketahanan korosi pada material baja sponge rotary kiln (SRK), yang tergolong baja karbon rendah.
Pengujian ketahanan korosi ini dilakukan dengan menggunakan variabel tegangan aplikasi dan pH lingkungan. Material baja sponge rotary kiln diberi tegangan aplikasi yang berbeda, kemudian dicelup pada lingkungan asam (pH 3), netral (pH 7), dan basa (pH 12) selama 115 jam. Dari hasil pengujian ini kemudian dilakukan karakterisasi korosi yang terjadi dengan melakukan perhitungan pengurangan berat dan laju korosi, pengukuran diameter dan kedalaman korosi sumuran, serta pengamatan struktur mikro permukaan material dengan menggunakan mikroskop optik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar tegangan aplikasi yang diberikan, maka terjadi peningkatan pengurangan berat, laju korosi, diameter dan kedalaman korosi sumuran. Sementara bila pH lingkungan semakin rendah (asam), maka terjadi peningkatan terhadap pengurangan berat dan laju korosi, namun terjadi penurunan terhadap diameter dan kedalaman korosi sumuran.

Corrosion is the destructive result of chemical reaction between a metal or metal alloy and its environment. Corrosion can take many forms, such as uniform corrosion, galvanic corrosion, pitting corrosion, and stress corrosion cracking. In this research, corrosion testing conducted on Sponge Rotary Kiln (SRK) steel, which included in low carbon steel.
The variables on this testing are applied stress and environment pH. Different applied stress were given to sponge rotary kiln steel, and then immersed it in acid (pH 3), neutral (pH 7), and basic (pH 12) environment for 115 hour. Measurement of corrosion characteristics includes weight loss, corrosion rate, diameter and depth of pitting, and also examination the microstructure of material surface using optical microscope.
This research shows that increased applied stress could increase weight loss, corrosion rate, diameter and depth of pitting. While decrease acidity (pH) could increase weight loss and corrosion rate, but decrease the diameter and depth of pitting."
2008
S41694
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>