Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rajuddin
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan hasil pengobatan adenomiosis dengan reseksi dan pemberian inhibitor aromatase. Kasus adenomiosis dengan infertilitas dikumpulkan selama 3 tahuti (Januari 1999 sampai December 2001) yang ilikonfirmasi dengan USG transvaginal. Kasus dibagi 2 kelompuk, masing-masing kelompok I (dengan reseksi per laparotomi) dan kelompok 2 (mendapat inhibitor aromatase anastrozole). Keduanya dinilai tentang gejala klinik, angka kehamilan. dan angka perkainbuhan pascaoperasi. Selama 3 tahun telah ditangani 1619 kasus infertilitas, di antaranya 66 (4.07%) adenomiosis sebanyak 55 kasus dianalisis, terdiri alas 32 kasus kelompok I dan 23 kasus kelompok 2. Dan 32 kasus yang menjalani reseksi, hasil histopatologik menunjukkan 30 (93.75%) adenomiosis dan 2 (6.25%) mioma uteri. Dalatn kelompok 1, 3 kasus hamil, 2 melahirkan bay! hiditp, I kasus teraklnr dengan abortus pada kehamilan 6 minggu. Sebanyak 25 kasus (78.1%) tidak hamil,4 kasus (12.5%) mengalami perkainbuhan, dan pada 24 kasus (75.35%) gejala-gejala klinis hilang. Sementara itu, 23 kasus kelompok 2, sebanyak 2 (8.6%) hamil, masing-masing 1 lahir hidup dan I abortus. Sebanyak 14 kasus (59.1%) gejala klinik hilang. Selama pengobatan 3 bulan dengan inhibitor aromatase terjadi penunuum ukuran lesi antara 7.31 mm' dan 25.90 mm dengan Cl 95% (p < 0.001). Disimpulkan bahwa pengobatan dengan inhibitor aromatase tidak menyembuhkan lesi, hanya mengurangi ukuran lest adenomiosis. Sebaliknya reseksi dapat menghilangkan lesi walauptin perkainbuhan dapat terjadi (12.5%) sesudah I tahun pascaoperasi. (MedJ Indones 2006; 15:18-23).
The objective of this study was to observe the results of adenomyosis management with resection and administration of aromatase inhibitor. Cases ofademyosis in infertile women were collected for rhree years (January 1999 to December 2001) and the diagnoses were confirmed using transvaginal USG. Cases were grouped into two groups, i.e. group 1 (undergoing laparotomic resection) and group 2 (receiving treatment with aromatase inhibitor of anastrozole). Both groups were evaluated for changes in clinical symptoms, rate of successful pregnancy, and postoperative recurrency rate. During three years as many as 1619 infertility cases were managed, and among which 66 (4.07%) cases of adenomyosis were diagnosed with transvaginal USG. As many as 55 cases were analyzed, i.e., 32 cases underwent resection and 23 cases received aromatase inhibitor. Of 32 cases of surgical resection, the histopathologica! results showed 30 (93.75%) cases of adenomyosis and 2 (6.25%) cases of uterus myoma. In the group undergoing resection three cases (9.4%) were successfully pregnant, i.e., two cases had live birth, one case ended up with 6-week abortion. Moreover. 25 (78.1%) cases were not pregnant and 4 (12.5%) cases had recurrency, while 24 (75.35%) cases experienced disappearance of symptoms yet not pregnant. On the other hand, of 23 canes in the group receiving aromatase inhibitor 2 (8,6%) cases were able to be pregnant, one case had live birth and another case ended up with abortion, while 14 (59.1%) cases had disappearance of symptoms yet not pregnant. During three months of treatment with aromatase inhibitor, a reduction in the lesion size between 7.3! mm and 25.90 mm' were observed with Cl 95% (p < 0.001). In conclusion, treatment with aromatase inihibitor did not heal lesions, but only reduced the size of adenomyosis lesions. On the other hand, resection could heat lesions, yet recurrency of disease may occur (12.5%) after one postoperative year. (Med J Indones 2006; 15:18-23).
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 15 (1) January-March 2006: 18-23, 2006
MJIN-15-1-JanMarch2006-18
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wachyu Hadisaputra
Abstrak :
Dalam kurun waktu Juni 2003 sampai dengan Juni 2004, pasien-pasien yang menderita adenomiosis berdasarkan ultrasonografi transvaginal dan memiliki keluhan menorhagia, dismenore, mcmpun nyeri pelvis diikulsertakan dalam penelitian. Randomisasi dilakukan untuk mengalokasikan subjek ke dalam kelompok reseksi dan kelompok miolisis. Semua pasien dan kedua kelompok mendapal GnRH analog 3 siklus pasca-laparnskopi operatif. Penilaian dilakukan dalam jangka waktu 6 bulan, baik secara subjektif melalui kuesioner maupun secara objektif melalui evaluasi volume adenomiosis per ultrasonografi transvaginal di akhir semester. Terdapat 20 pasien yang menjalani pembedahan, 10 dalam kelompok reseksi dan JO dalam kelompok miolisis. Komplikasi bermakna tidak ditemukan pada kedua kelompok. Evaluasi subyektif dapat dilakukun pada semua pasien sedangkan evaluasi objektif hanya dapal dilakukan pada 17pasien. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antar-kelompok dalam penentuan skor keluhan menorhagia (p = 0.399) dan dismenorea (p=0.213). Tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam median penambahan volume adenomiosis (p = 0.630) antara kelompok reseksi (medicui= +15,35% (-100 - 159)) dengan kelompok miolisis (median=+48,43% (-100 - 553)). Lima pasien hamil, 3 dari kelompok reseksi, 2 dari kelompok miolisis, dengan satu kasus ruptur uteri pada usia kehamilan 8 bulan pada kelompok miolisis. Efektifitas reseksi adenomiosis per laparoskopi tidak berbeda bermakna dengan miolisis adenomiosis per laparoskopi dalam penataksanaan adenomiosis bergejala. Miolisis tidak disarankan bagi wanitayang masih ingin hamil. (Med J Indones 2006; 15:9-17).
Effective therapy preserving reproductive function in adenomyosis is warranted. From June 2003 to June 2004, patients diagnosed as having adenomyosis by transvuginal ultrasound and had symptoms of menorrhagta, dysmenorrhea, and pelvic pain were randomly allocated to either receive laparoscopic resection or myolysis. GnRH analog was given for 3 cycles after surgery. Within 6 months, symptoms were evaluated using questionnaires and at the end of follow up, adenomyosis volume was assessed by transvaginal ultrasound. There were 20 patients included, 10 patients had resection and the rest underwent myolysis. Both procedures did not yield significant complications. Subjective evaluation by questionnaires was done in all patients. Three patients could not be evaluated objectively by transvaginal ultrasound, 2 patients resigned and I was pregnant. There was no significant difference in menorrhagia and dysmenorrhea reduction score between the 2 groups (p=0.399 and 0.213, respectively). In both groups, dysmenorrhea was reduced significantly after treatment. No significant statistical difference was found in median adenomyosis volume increment (p=0.630) between the resection (median= + !5.35% (-100-159)) and myolysis groups (median=+48.43% (-100-553)). Five patients were pregnant, 3 from the resection group and 2 from the myolysis group. Uterine rupture was found in I patient (from the myolysis group) at the age of 8 months of pregnancy. The effectiveness of laparoscopic adenomyosis resection was not significantly different compared with la-parascopic myolysis as an alternative conservative surgery in treating symptomatic adenomyosis. Myolysis was not recommended for women who wish to be pregnant. (MedJ Indones 2006; 15:9-17)
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 15 (1) January-March 2006: 9-17, 2006
MJIN-15-1-JanMarch2006-9
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Mainanda
Abstrak :
Latar Belakang: Perdarahan Uterus Abnormal PUA merupakan salah satu penyebab tersering wanita datang ke Poliklinik Ginekologi. Data WHO yang didapat tahun 2015 menyimpulkan kejadian PUA dapat berkisar hingga 27. Pada tahun 2016-2017 di RSCM Jakarta, PUA menjadi lima diagnosis terbanyak di poli Ginekologi. Tindakan penilaian adanya kelaianan struktural sebagai etiologi dari PUA menjadi hal yang penting untuk dilakukan dalam penegakkan diagnosa serta tatalaksana. Kuretase menjadi tehnik yang paling umum digunakan, walaupun dengan biaya yang tinggi, akurasi dalam ketepatan pengambilan jaringan biopsi, lama rawat, hingga komplikasi yang dapat ditimbulkan. Histeroskopi menjadi pilihan utama di negara maju dikarenakan memiliki tingkat ketepatan pengambilan jaringan biopsi yang baik, minimal biaya serta akurasi. Namun hingga saat ini, belum ada data yang dimiliki untuk penilaian akurasi histeroskopi dalam penilaian kelainan struktural di Indonesia Tujuan : Mendapatkan nilai diagnostik Office Hysteroscopy sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan AUC dalam mendiagnosis kelainan struktural di kavum uteri pada pasien dengan Perdarahan Uterus Abnormal di RSCM. Metode : Studi diagnostik metode potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak Juni 2014-Juli 2017. Kami mengumpulkan data berdasarkan data kunjungan poli Histeroskopi kemudian menginklusi berdasarkan kriteria PUA penelitian dengan dugaan kelainan struktural ketebalan endometrium Premenopause >8mm dan Menopause >5mm , kemudian menganalisa data temuan saat histeroskopi dan hasil Patologi Anatomi PA sesuai Standar Baku yang digunakan berdasarkan kriteria FIGO. Operator Histeroskopi telah dilakukan uji kesesuaian dengan nilai Kappa 92. Data selanjutnya dilakukan perhitungan sensitivitas, spesifisitas dan menilai AUC dari tindakan histeroskopi dibandingkan hasil PA Hasil : Kemampuan diagnostik OH dinilai sangat baik dalam evalusi kelainan di kavum uteri yakni sebesar 94. Akurasi OH dalam mendiagnosis kelainan polip sangat baik yakni dengan sensitivitas 87, spesifisitas 92, NDP 89, NDN 89, RKP 10,26, RKN 0,15, akurasi 89, dan AUC sebesar 89,1 CI 95 83,2-94,9. Kemampuan diagnostik OH dalam mendiagnosis hyperplasia juga memiliki kemampuan yang baik dengan sensitivitas 83, spesifisitas 95, NDP 89, NDN 92, RKP 17, RKN 0,18, akurasi 91, dan AUC seesar 87,9 CI 80,9 83,2-94,9. Dalam mendiagnosis leiomyoma, OH memiliki kemampuan yang sangat baik dengan sensitivitas 100 , spesifisitas 100, NDP 100, NDN 100, akurasi 100, dan AUC sebesar 100 CI 95 100-100. Kemampuan OH dalam mendiagnosis malignansi juga sangat baik dengan sensitivitas 94, spesifisitas 97, NDP 91, NDN 98, RKP 36,875, RKN 0,06, akurasi 97, dan AUC sebesar 100 CI 95 100-100. Kesimpulan: Kemampuan OH dalam mendiagnosis kelainan struktural di kavum uteri pada pasien PUA memiliki nilai akurasi 94. Terlebih pada pasien dengan kelainan lesi fokal, OH memiliki nilai AUC > 87. ......Abnormal Uterus Bleeding AUB is one of the most common causes of women coming to Gynecology Polyclinics. WHO data obtained in 2015 concluded the incidence of AUB can range up to 27. In 2016 2017 at RSCM Jakarta, AUB became the top five diagnoses in our outpatient clinic. Assessment of structural anomaly as the etiology of AUB becomes an important thing to do in diagnosis and management for the patient. Curettage is the most commonly used technique, albeit at a high cost, accuracy in precision of biopsy tissue taking, length of stay, until complications can be generated. Hysteroscopy is the main choice in developed countries because it has a good accuracy of biopsy tissue retrieval, minimal cost and accuracy. However, until now, there is no data available for the assessment of hysteroscopic accuracy in the assessment of structural abnormalities in Indonesia Objective Obtain an Office Hysteroscopy diagnostic value sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and AUC in diagnosing structural abnormalities in the uterine cavity in patients with abnormal Uterus Bleeding at RSCM. Methods A cross sectional diagnostic study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital from June 2014 July 2017. We collected data based on histeroscopy visit data then inclusive based on AUB study criteria with suspected structural abnormalities endometrium thickness of Premenopause 8mm and Menopause 5mm then analyzed the findings data during hysteroscopy and Anatomy Pathology PA as gold Standard based from FIGO Criteria. Hysteroscopic operator has been tested for conformity with 92 Kappa value. Further data were calculated for sensitivity, specificity and rate of AUC from hysteroscopic result compared to PA results Results OH diagnostic ability was assessed very well in the evalution of abnormalities in the uterine cavity by 94. The accuracy of OH in diagnosing polypic abnormality was excellent with 87 sensitivity, 92 specificity, 89 PPV, 89 NPV, 89 accuracy, and AUC of 89.1 CI 95 83.2 94.9. The diagnostic ability of OH in diagnosing hyperplasia also has good ability with 83 sensitivity, 95 specificity, 89 PPV, 92 NPV, 91 accuracy, and AUC of 87.9 CI 80, 9 83.2 94.9. In diagnosing leiomyoma, OH has excellent ability with 100 sensitivity, 100 specificity, 100 PPV, 100 NPV, 100 accuracy, and 100 AI 100 CI 95 CI 100 100. OH s ability to diagnose malignancy is also excellent with 94 sensitivity, 97 specificity, 91 PPV, 98 NPV, 97 accuracy and 100 CI 100 CI 95. Conclusions The ability of OH in diagnosing structural abnormalities in the uterine cavity in PUA patients has an accuracy of 94. Especially in patients with focal lesion abnormalities, OH has an AUC value of 87.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library