Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sandi Andaryadi
"Penelitian ini berfokus pada persoalan pencegahan dan penangkalan Keimigrasian yang terjadi di Indonesia, sejak diberlakukannya Undang-undang No 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian sampai dengan sekarang. Banyaknya permasalahan yang timbul mengenai pencegahan dan penangkalan yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya fenomena sosial tersendiri yang menjadi perhatian publik.
Persoalan yang terjadi pada umumnya adalah masalah kepastian hukum, terkait masa berlaku keputusan pencegahan dan penangkalan serta batasan kewenangan yang tidak pasti dari masing-masing instansi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pencegahan dan penangkalan. Hal ini disebabkan karena tidak jelasnya status dari keputusan pencegahan dan penangkalan itu sendiri, apakah suatu keputusan hukum ataukah keputusan administrasi.
Pencegahan dan penangkalan merupakan salah satu bentuk dari kewenangan negara dalam mengatur lalu lintas orang yang keluar masuk wilayah negara. Negara mempunyai kewenangan mencegah dan menangkal seseorang karena dasar asas kedaulatan yang dimiliki oleh sebuah negara yang berdaulat.
Dari hasil pengolahan data dan wawancara, dapat disimpulkan bahwa keputusan pencegahan dan penangkalan merupakan suatu keputusan administrasi negara, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atas dasar wewenang yang sah dan dilandasi oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang dimiliki oleh instansi-instansi merupakan kewenangan atribusi dari pemerintah. Dalam pelaksanaan pencegahan dan penangkalan masih ditemukan beberapa permasalahan antara lain kepastian hukum dan batasan kewenangan dari status pencegahan dan penangkalan yang dimiliki oleh beberapa instansi. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu dilakukan revisi dasar hukum yang mengatur mengenai pencegahan dan penangkalan serta dibentuknya peraturan pelaksana pencegahan dan penangkalan yang lebih pasti mengatur mengenai batasan kewenangan instansi.

This research focuses on the issue of entry and exit prohibition on immigration matters in Indonesia since the establishment of the Law number 9 in the year of 1992 on immigration matters until current situation. In line with this, there have been many issues rising given certain serious conditions caused by the government policy on entry and exit prohibition which attract the public attention.
The common related issue is about the application on the rule of law, concerning the duration of the prohibition and also the absence of the clear limitation on the scope of authority. This predicament is caused on the confusion whether the decision on exit and entry prohibition is a decision based on the legal decision or the administrative decision.
On this point, the entry and exit prohibition is one of the state?s authorities in managing the flow of people within their territory. The state has the absolute authority to prohibit a person either to enter or exit the country based on the law of sovereignty principle.
From the data derived within interviews and library research, it is concluded that the decision on the entry and exit prohibition is an administrative decision which issued by credential immigration authority based on law and regulations. On the other hand, such authority possessed by other governmental institutions is merely a complementary attribution given by the state. Interestingly however, at the practical level the problem on the legal status of the decision and the limitation on the scope of authority to make such decision. The research therefore suggests the government to revise the legal aspect on this issue, especially concerning the entry and exit prohibition and also the complementary regulations that can manage the scope of the probation authority."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25040
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Susilo Yanuardi
"Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP) adalah sebuah dewan etik independen yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan memutuskan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik, berikut memberikan sanksi atau rehabilitasi. Dalam prakteknya, DKPP tidak hanya membuat keputusan terkait dengan etika pelanggaran, sanksi, dan rehabilitasi tetapi juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah untuk meninjau ulang atau mengubah Keputusan tentang penetapan peserta pemilukada, sementara kewenangan untuk meninjau ulang atau mengubah susbstansi keputusan tata usaha Negara oleh KPUD adalah Pengadilan Tata Usaha.
Fokus tesis ini adalah pemilihan gubernur di Provinsi Jawa Timur sebagai contoh dimana Putusan DKPP memerintahkan KPUD untuk mengubah keputusan mereka terkait penetapan peserta pemilukada yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi peserta pemilukada oleh KPUD. Perintah DKPP semacam ini tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Putusan DKPP tidak mengubah prinsip-prinsip dan mekanisme pengujian sebuah keputusan tata usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang TUN.
Mekanisme penyelesaian sengketa TUN terkait pemilukada di PTUN yang tidak sejalan dengan proses dan tahapan pemilukada telah mengakibatkan DKPP menjadi pilihan bagi calon peserta pemilukada untuk mendapatkan keadilan. Dari sudut pandang penulis, perlu dibentuk suatu mekanisme khusus penyelesaian sengeketa TUN terkait pemilukada di lingkungan peradilan TUN yang sejalan dengan keberadaan, tugas, dan kewenangan DKPP.

In accordance with Law No. 15 Year 2011 on the General Election Implementers, Election Organizers Ethics Council is an independent ethic council that has authority to investigate and decide on complaints of alleged violations of code of conduct,which include sanctions or rehabilitations,committed by election organizers (included in the governor/regional elections). In practice, DKPP not only make decisions related to ethic violations, sanctions, and rehabilitations but also order the election organizers to review and/or change the Regional Election Commission decision. Whereas reviewing and changing KPUD decisions is Administrative Court authority.
This thesis focus on governor election in East Java Province as an example area which DKPP verdict compelled KPUD to alter their decision related to electoral candidates, who previously ruled ineligible, could participate in the election. This mechanism is not in line with Law No. 15 Year 2011. DKPP verdict should not change the principles and mechanisms of test administrationin Administrative Court asstipulatedin Administrative law.
Mechanism of election dispute in PTUN is not in line with election process in the regional level. Therefore, DKPP be a favourable option for election candidates to gain justice. From author perspective, it is necessarry to establish special administrative resolution mechanisms in administrative court which it should be along with the existence of DKPP.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adia Misqa Imtiyaz Rohman
"Terdapat konsekuensi hukum terkait pengalihan dan pengubahan bentuk bangunan cagar budaya yang dikuasai secara pribadi, yang tidak bisa dilakukan tanpa izin pemerintah yang berwenang. Sengketa TUN berkaitan dengan penetapan status bangunan cagar budaya tanpa izin ditemukan di Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg dengan pihak penggugat para ahli waris Alrmarhum ES melawan Bupati Sumedang. Tesis ini berbasis metode penelitian doktrinal, dengan mengangkat dua pembahasan masalah yakni permasalahan mengenai kesesuaian penerbitan penetapan status bangunan cagar budaya pada putusan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta perlindungan hukum yang dapat dilakukan pemilik bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tanpa persetujuan. Sesuai peraturan perundang-undangan yaitu UU Administrasi Pemerintahan dan UU PTUN serta UU Cagar Budaya, penetapan status cagar budaya pada putusan PTUN Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg cacat prosedur dan substansi. Tersedia penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif (antara lain berupa keberatan dan banding administrasi) dan gugatan ke PTUN. Masih dapat ditemukan kekosongan hukum dalam penetapan bangunan cagar budaya sehingga seharusnya pemilik dilibatkan dalam proses penetapannya dan selain diberitahukan penetapannya pada pemilik tanah status cagar budaya juga harus dicatatkan dalam buku tanah. Hal ini menjadi sorotan guna terselenggaranya kepastian hukum sebagai perlindungan hak kepada penguasa bangunan. Peraturan perundang-undangan hanya mengatur tentang pendaftaran cagar budaya, sehingga pengaturan mengenai pendataan dan publikasi cagar budaya perlu diatur lebih lanjut dan membutuhkan kerjasama antara BPN dan Dinas Budaya. Penting juga untuk memperhatikan keterlibatan profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas bangunannya.

Legal consequences exist related to the transfer and change of form of privately controlled cultural heritage buildings. The dispute relating to determining the status of cultural heritage buildings was found in the Bandung State Administrative Court (PTUN) Decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg between the bulding owner against the Regent of Sumedang. Based on doctrinal research methods, this thesis spotlights specifically about the conformity of publication of the determination of the status of cultural heritage buildings based on applicable laws and regulations and the legal protection that can be done by cultural heritage building owner without owner’s approval. Based on the Government Administration Law and PTUN Law as well as the Cultural Heritage Law, the determination of cultural heritage status in the Bandung PTUN decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg is procedurally and substantively flawed. TUN settlements are available through administrative measures (including approval and administrative appeals) and lawsuits to the PTUN. Legal vacuum exists in determining cultural heritage buildings, so apart from involvement of the owner in the determining process and notifying the owner with the result, the status of cultural heritage land must also be recorded in the land book. This is highlighted in order to emphasize legal certainty as a protection for the rights of building owners. Legislative regulations only regulate the registration of cultural heritage, so regulations regarding data collection and publication of cultural heritage need to be regulated and require cooperation between BPN. It is also important to pay attention to the involvement of the Notary profession and Land Deed Officials."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library