Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dadan Hendrawan
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan yang menarik di Indonesia saat ini adalah banyaknya perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Undang-undang administrasi seperti perbankan, lingkungan hidup, dan lain-lain mengandung pidana yang sangat berat, yang mestinya khusus untuk rumusan deliknya dibuat undang-undang pidana tersendiri.Hukum pidana dalam perkembangannya ternyata semakin banyak digunakan dan diandalkan dalam rangka mengatur dan menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Pencantuman bab tentang ketentuan sanksi pidana tersebut bagi beberapa kalangan menimbulkan keresahan karena dikhawatirkan akan menimbulkan overkriminalisasi. Kekhawatiran ini dikarenakan tidak adanya kebijakan kriminalisasi yang jelas yang dimiliki oleh pembentuk undang-undang. Penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan bagaimanakan kedudukan administrative penal law di Indonesia dalam kerangka kebijakan kriminal, bagaimanakah kebijakan formulasi pemidanaan yang ada di dalam administrative penal law di Indonesia, dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah overkriminalisasi dalam administrative penal law. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan sanksi pidana di dalam undang-undang yang bersifat administratif masih merupakan pilihan utama. Pola pemidaan yang terdapat dalam berbaga administrative penal law, ternyata tidak memiliki keseragaman pola pemidanaan. Pidana penjara ternyata masih menjadi pilihan utama dalam pengenaan sanksi di dalam hukum administrasi. Perlu diupayakan re-evaluasi pada tahap formulasi sehingga tidak terjadi overkriminalisasi di dalam undang-undang yang bersifat administrasi.
ABSTRACT
Currently, there is an interesting phenomena in Indonesia.There are so many administrative law containing criminal sanctions. Administrative law such as banking law, environmental law, and others contain many criminal sanctions, which suppose to be regulated specially. Criminal law used as a tool to control and regulate the society by the laws. Some of the expert thought that the use of criminal sanction in the administrative penal law, for some reasons can make overcriminalization condition. Overcriminalization can arise because the regulator (government and legislative) do not have no one clear criminal policy. This researchobliged to answer the research questions such as how is the position of administrative penal law in frame of criminal policy, how is the penal formulation in the administrative penal law in Indonesia, and what efforts can be done to prevent overcriminalization in administrative penal law. This is a normative juridical research.Based on the research, the use of criminal sanction in the administrative penal law is still the main choice for the regulator. There is no specific pena formulation that used in the administrative penal law. The prison sanction still become the main choice in admnistrative penal law. By the conditions, we need to re-evaluate the formulation step in order to prevent overcriminalization. The formulation step is a strategic step in criminalize or not a conduct.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okti Primurianti Zakaria
Abstrak :
Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi dan komunkasi, Jaringan 3G adalah salah satu sumberdaya terbatas yang sangat diperlukan bagi industri telekomunikasi. Pemerintah dituntut untuk mengatur dan mengawasi pemakaian sumberdaya alam tidak terbatas tersebut, salah satunya dengan mekanisme perizinan dalam Undang-undang Telekomunikasi. Perizinan merupakan salah satu bagian dari hukum administrasi negara. Sanksi administrasi yang diangap kurang efektif membuat sanksi pidana akhirnya menjadi jalan untuk penegakan norma hukum administrasi negara, yang dikenal dengan administrative penal law. Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai administrative penal law membuat kebingungan disaat terjadi kasus pelanggaran terhadap administrative penal law yang juga memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Kasus semacam itu di satu sisi dapat digolongkan sebagai concurus idealis, tapi disisi lain ketentuan Pasal 63 ayat (2) yang menyangkut asas lex speclialis derogat legi generalisdalam kasus ini asas lex systematische specialiteit mengingat Undang-undang Telekomunikasi dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan aturan pidana khusus-juga perlu diperhatikan untuk menentukan ketentuan mana yang harus diterapkan. ...... Along with the advances of technology and communication, the 3G network become one of most needed limited resources for telecomunication industry. Government forced to manage and control the usage of that limited resources, one of them is the licensing mechanism on Telecomunication Act. Licensing is one kind of administrative law. The uneffectiveness of administrtative sanctions made penal sanctions be the way to enforce the administrative norm, also known as administrative penal law. Lack of understanding about administrtive penal law by the law enforcement officers made confusion when there?s case that a violation of adinistrative penal law, in the same time breaking the law of Eradication of Criminal Acts of Corruption. A case like this can categorized as concursus idealis, but in the other side, we can?t avoid the provision of article 62 (2) of The Book of penal Code (KUHP) about lex specialis derogat legi generalis-in this case, lex systematische specialiteit, becasuse both of the Telecomunication Act and Eradication of Criminal Acts of Corruption are special rules of criminal offences-also need to be considered to determine which provisions should be applied.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62312
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathalina
Abstrak :
Sanksi pidana dan sanksi administratif merupakan dua jenis sanksi yang dirumuskan dalam berbagai ketentuan administrasi di Indonesia. Fenomena perumusan kedua jenis sanksi tersebut mengalami dinamika baik dalam perumusan maupun penerapannya, khususnya dalam ketentuan tentang kepabeanan dan cukai, perpajakan, kehutanan, dan lingkungan hidup, yang mana keadaan ini membawa permasalahan dalam praktik penegakannya. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok tentang pentingnya suatu pedoman untuk menentukan perumusan ketentuan pidana dalam ketentuan administrasi sebagai suatu pola formulasi yang melandasi perumusan sanksi dalam menentukan jenis sanksi administratif dan/atau sanksi pidana dalam ketentuan di bidang fiskal dan sumber daya alam serta perlunya pengaturan tentang pedoman bagi pejabat administrasi dan/atau penegak hukum yang berwenang dalam menerapkan sanksi tersebut. Jawaban dari pertanyaan penelitian dicari melalui studi dokumen terhadap ketentuan perundang-undangan, doktrin, dan putusan pengadilan dalam bidang yang menjadi topik penelitian. Mengingat fokus penelitian adalah pengaturan dan penerapan sanksi administratif dan pidana dalam ketentuan administrasi, maka kajian tentang sanksi administratif dan sanksi pidana, teori tentang pidana dan pemidanaan, serta penerapan prinsip ultimum remedium dan una via, digunakan untuk menganalisis bagaimana pembentuk undang-undang menyusun ketentuan dengan dua jenis sanksi tersebut dan bagaimana pejabat administrasi menentukan sanksi yang dijatuhkan dalam kasus-kasus faktual. Penelitian ini menghasilkan temuan, sebagai berikut: pertama, dalam pembentukan jenis dan sifat sanksi, pembentuk undang-undang merujuk pada ketentuan yang telah ada, namun dalam risalah pembahasan RUU tidak dilengkapi argumentasi tentang justifikasi pidana dan pemidanaan serta prinsip ultimum remedium, melainkan hanya mempertimbangkan bahwa sanksi pidana diperlukan untuk memperkuat sanksi administratif guna menjerakan para pelaku; kedua, penerapan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif dalam kasus-kasus faktual dilakukan sebagaimana kualifikasi dalam rumusan pasal yang dilanggar, urutan prosedur penyelesaian kasus serta dapat pula diterapkan secara bervariasi sehingga dapat bersifat kasuistis untuk tiap-tiap kasus dan tulisan ini memberikan pedoman untuk persoalan tersebut; ketiga, prinsip ultimum remedium digunakan dalam bidang perpajakan dan lingkungan hidup kecuali untuk rumusan yang tidak memberikan sanksi yang berjenjang karena mengingat sifat bahaya dan seriusnya perbuatan dari pelanggaran tertentu. Prinsip una via telah diterapkan dalam kasus fiskal khususnya di bidang perpajakan di tingkat Mahkamah Agung, dengan catatan bahwa prinsip una via berlaku sebagai perluasan dari prinsip nebis in idem, bahwa untuk satu pelanggaran yang serupa tidak dapat diterapkan dua jenis sanksi yang memiliki sifat punitif yang sama. Saat ini prinsip una via sudah dirumuskan dalam ketentuan di sektor keuangan. ......Criminal sanctions and administrative sanctions are two types of sanctions formulated in various administrative acts in Indonesia. The phenomenon of the formulation of these two types of sanctions experiences dynamics situation both in formulation and implementation, particularly in provisions concerning customs and excise, taxation, forestry, and the environment, which creates problems in the law enforcement practices. This research departs from the main problem regarding the importance of a guideline for determining the formulation of criminal provisions in administrative provisions as a pattern of formulation that underlies the formulation of sanctions in determining the types of administrative sanctions and/or criminal sanctions in provisions in the fiscal and natural resources sector and the need for setting guidelines for administrative officials and/or law enforcement officials authorized to apply the sanctions. To finds the answers for the research questions are sought through document studies of statutory provisions and acts, doctrines, and court decisions. Considering that the research focus is on the regulation and application of administrative and criminal sanctions in administrative provisions, the study of administrative sanctions and criminal sanctions, the theory on justification of punishment as well as the application of the principles of ultimum remedium and una via, are used to analyze how legislators formulate provisions with the two types of sanctions and how administrative officials determine the sanctions imposed in factual cases. This research resulted in the following findings: first, in establishing the type and nature of sanctions, the legislators referred to existing provisions, however, the treatise on deliberating the bill was not accompanied by arguments regarding criminal justification and sentencing as well as the ultimum remedium principle, but only considered that criminal sanctions are needed to strengthen administrative sanctions to deter the perpetrators; secondly, the application of criminal sanctions and/or administrative sanctions in factual cases is carried out according to the qualifications in the formulation of the article that was violated, the sequence of procedures for resolving cases and can also be applied in a variety of ways so that it can be casuistic for each case and this research provides guideline to tackle the challenges; third, the principle of ultimum remedium is used in the fields of taxation and the environment except for formulations that do not provide tiered sanctions due to the nature of the harm and the seriousness of the actions of certain violations. The una via principle has been applied in fiscal cases, especially in the case of taxation at the Supreme Court level, with a main consideration that the una via principle applies as an extension of the ne bis in idem principle, that for one similar violation for two types of sanctions which have the same punitive sanction which cannot be applied. Currently, the una via principle has been formulated in provisions in the financial sector.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Bethsheba Alicia
Abstrak :
Salah satu prinsip yang harus diterapkan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya adalah prinsip kehati- hatian. Prinsip kehati-hatian sendiri merupakan ketentuan yang memaksa, namun tidak berarti pelanggaran akan prinsip tersebut akan serta-merta menimbulkan sanksi pidana. Namun, kelalaian dalam menerapkan prinsip kehati-hatian kerap dianggap sebagai perbuatan Tindak Pidana Perbankan. Pada kasus yang terjadi di Bank Permata, pegawai bank dianggap telah melanggar ketentuan pada Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan dikarenakan lalai dalam menerapkan prinsip kehati-hatian. Skripsi ini akan menganalisis mengenai bagaimana pengaturan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit oleh bank di Indonesia dalam rangka mencegah kredit yang menggunakan dokumen palsu dan implementasinya dalam putusan pengadilan di Indonesia. Metode penelitian pada skripsi ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian memperoleh kesimpulan bahwa pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit oleh bank di Indonesia diatur pada Pasal 2, Pasal 8, dan Pasal 29 UU Perbankan. Ketiga pasal tersebut memberi ketentuan mengenai prinsip yang tidak bersifat memberikan ancaman atau sanksi pidana. Selain itu, UU Perbankan merupakan administrative penal law yang mengedepankan sanksi administratif dimana penerapan sanksi pidana baru diberlakukan ketika penegakan sanksi administratif sudah tidak efektif. ......One of the principles that must be applied by banks in carrying out their business activities is the prudential banking principle. The prudential banking principle itself is a coercive provision, but the violation of this principle will not automatically result in criminal sanctions. However, imprudence in applying the prudential banking principle is often considered as a banking crime. In the case that occurred at Permata Bank, bank employees were deemed to have violated the provisions of Article 49 paragraph (2) letter b of the Banking Law. This thesis discusses about the regulations of prudential banking principle regarding lending by banks in Indonesia to prevent credits by using forged documents and its implementation in court decisions. The research method is juridical- normative with a qualitative approach, and uses library materials such as primary and secondary legal materials. The results of the study concluded that the regulation regarding the prudential banking principle in providing credit by banks in Indonesia is regulated in Article 2, Article 8, and Article 29 of the Banking Law. The three articles provide provisions regarding principles that do not provide threats or criminal sanctions. The Banking Law is an administrative penal law that prioritizes administrative sanctions in which the application of criminal sanctions is only applied when the enforcement of administrative sanctions is no longer effective.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library