Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Salsabila Siliwangi Surtiwa
"

Fungsi advisory adalah salah satu fungsi yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional sebagai organ utama PBB. Terdapat perkembangan untuk membahas pertanyaan hukum yang terkait sengketa berjalan melalui fungsi advisory meski memiliki karakteristik contentious. Perbedaan antara dua fungsi ini adalah signfikansi dari prinsip state consent sebagai landasan. Terdapat dua pandangan bertentangan terkait kedudukan prinsip state consent dalam advisory opinion terkait sengketa berjalan. Pandangan pro state consent menekankan pada kaitannya dengan prinsip international obligation, compliance, dan prinsip yudisial dengan karakteristik serupa yakni res judicata dan lis pendens. Di sisi lain, pandangan yang mengesampingkan state consent menegaskan pada urgensi pada isu tertentu yang berkaitan dengan tujuan PBB sebagai organisasi, salah satunya mengenai isu dekolonialisasi dan pendapat Mahkamah Internasional sebelumnya bahwa state consent tidak dibutuhkan dalam yurisdiksi advisory. Setelah melakukan penelitian dengan metode studi pustaka, dapat disimpulkan bahwa pembahasan suatu sengketa berjalan dalam advisory opinion harus dilihat secara kasus per kasus, dari perumusan pertanyaan hukum yang diajukan, ada tidaknya isu terkait perdamaian dan keamanan dunia, serta keanggotaan dari negara pihak dalam PBB, untuk dapat menentukan dicederainya prinsip state consent. Dalam Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, terdapat isu dekolonialisasi yang belum terselesaikan karena terdapat pemisahan paksa antara Kepulauan Chagos dengan Mauritius. Selain itu, Mauritius dan Inggris Raya merupakan anggota PBB, yang mana artinya telah memberikan state consent fondasional terhadap yurisdiksi Mahkamah Internasional. Adapun saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya ketentuan lebih mendetail bagi pelaksanaan fungsi advisory opinion, terutama dalam hal pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan sengketa berjalan.

 


The advisory function is one of the functions upheld by the International Court of Justice (ICJ) as one of the principle organs of the United Nations (UN). There is a trend to discuss legal questions related to pending disputes through the advisory function despite having contentious characteristics, where the two functions share different significance of the principle of state consent. The pro state consent view emphasizes its relation to the principles of international obligation, compliance, and judicial principles such as res judicata and lis pendens. The opposing view refers to the mandate of UN to maintain international peace and a previous ICJ opinion which points out that state consent is not required in the advisory jurisdiction. It can be concluded that advisory opinion on pending disputes must be seen on a case-by-case basis; from the formulation of the questions, its relation to international peace, as well as the state membership to the UN, to determine the role of state consent. In the Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, there is an unresolved issue of decolonialism due to the forced separation between the Chagos Islands and Mauritius. In addition, Mauritius and the United Kingdom are members of the UN, which means they have given their foundational state consent to the jurisdiction of the ICJ. The recommendation that can be given is the need for more detailed provisions for the implementation of the advisory opinion function, especially related to a pending dispute.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toweula, Stefan Bonardo
"Skripsi ini membahas hal-hal apa saja yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di area dasar laut Internasional (Kawasan) yang dilakukan oleh subjek hukum privat yang disponsori olehnya. Kawasan merupakan wilayah dasar laut yang terletak di luar yurisdiksi negara manapun dan menyimpan kekayaan sumber daya mineral yang begitu besar. International Seabed Authority melaui Bab XI dari UNCLOS 1982 merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur segala macam kegiatan eskplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral yang dilaksanakan di Kawasan. Salah satu fungsi dari International Seabed Authority adalah mempromosikan partisipasi efektif dari negara-negara berkembang untuk melakukan kegiatan di Kawasan. Akan tetapi sampai saat ini tidak banyak negara berkembang yang terlibat secara efektif dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan. Minimnya partisipasi negara berkembang ini lebih disebabkan kepada kurang jelasnya tanggung jawab dan kewajiban negara-negara yang terlibat secara efektif dalam kegiatan di Kawasan. Kekurangjelasan ini menyebabkan banyak negara-negara berkembang tidak mampu untuk menakar apakah dirinya sanggup untuk terlibat dalam kegiatan di Kawasan. Dalam pembahasan demi pembahasan di skripsi ini, akan dijelaskan mengenai apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari negara-negara terkhusus sponsoring state dalam melakukan kegiatan di Kawasan berdasarkan Advisory Opinion dari Seabed Disputes Chamber tahun 2011. Secara ringkas, kejelasan mengenai tanggung jawab dan kewajiban negara dalam kegiatan di Kawasan membuat partisipasi negara-negara berkembang mulai bermunculan.
......
This undergraduate thesis discusses the responsibilities and obligations of Sponsoring State in accordance with activities of exploration and exploitation in International Seabed Area (The Area) carried by the private subject which is sponsored by such state. The Area is area of seabed that lies outside the jurisdiction of any state which holds extremely huge amount of mineral resources. International Seabed Authority through Part XI of UNCLOS 1982 is an institution authorized to organize all sorts of activities to explore and exploit the mineral resources in the Area undertaken. One of the functions of the International Seabed Authority is to promote the effective participation of developing countries to carry out activities in the Area. But until 2011, not many developing countries engage effectively in the activities of exploration and exploitation in the Area. The lack of participation of developing countries is due to the lack of clear responsibilities and obligations of the states that effectively engage in activities in the Area. This lack of clarity led to many developing countries not to be able to measure whether they are have the capability to engage in activities in the Area. In the analysis in this paper, will be explained about what the responsibilities and obligations of states especially those sponsoring state in conducting activities in the area by the Advisory Opinion of the Seabed Disputes Chamber in 2011. In summary, the clarity regarding the responsibilities and obligations of the state in accordance with activities in The Area make the effective participation of developing countries began to appear."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faiz Idris Wiyasa
"Penelitian ini membahas mengenai potensi pengaruh yang mungkin timbul dari dikeluarkannya Advisory Opinion tentang Kewajiban Negara Terkait Perubahan Iklim oleh Mahkamah Internasional. Tiga inti permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, yakni kewenangan Mahkamah Internasional dan peran advisory opinion-nya terhadap dinamika hukum internasional secara umum; status quo hukum perubahan iklim; serta prospek dampak yang mungkin timbul ketika Mahkamah Internasional menjawab pertanyaan dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sehubungan dengan tanggung jawab negara terkait perubahan iklim. Penelitian akan dilakukan secara doktrinal, dengan memaparkan berbagai instrumen hukum yang relevan secara sistematis, menganalisis kaitan masing-masing instrumen, serta mengidentifikasikan implikasi hambatan dan potensi dari berbagai instrumen terseput. Hasil dari penelitian ini mencatat tiga skenario respon Mahkamah Internasional dari pengajuan advisory opinion ini: 1) penolakan untuk menjawab inti pertanyaan; 2) afirmasi semata atas status quo hukum perubahan iklim; 3) diberikannya kontribusi progresif terhadap status quo hukum perubahan iklim. Terkait skenario terakhir, tulisan ini akan mencatat ekspektasi bentuk kontribusi tersebut. Terakhir, pengaruh bagi hubungan internasional dan hukum domestik juga ditelaah.
......This research discusses the potential influences that may arise from the upcoming Advisory Opinion on State Obligations Regarding Climate Change issued by the International Court of Justice. The study focuses on three main issues: the authority and role of the Court’s advisory opinions in the dynamics of international law in general; the status quo of climate change law; and the prospective impacts that may emerge when the Court responds to questions presented by the United Nations General Assembly in relation to States’ climate change obligations. The research will be conducted doctrinally, meaning that it will systematically present various relevant legal instruments, analyze the relationship between each instrument, and identify the obstacles and potential implication of these various instruments. The findings of this research suggest three scenarios on which the Court may respond to the request: 1) refusal to clarify the “core” of the question; 2) mere affirmation of status quo climate change law; and 3) progressive contributions from status quo climate change law. With regards to the latter, this study will also suggest in what way can the Court make such progressive contributions. Lastly, influences towards international relations and domestic law will also be analyzed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library