Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, V. Harlen
Abstrak :
Buku ini tidak hanya berguna bagi calon advokat dan para mahasiswa fakultas hukum, tetapi juga bagi siapa saja yang tertarik mendalami seluk beluk keadvokatan khususnya dan hukum umumnya. Adapun materi yang dibahas dalam buku ini adalah, sebagai berikut: pengertian advokat dan sejarah organisasi advokat ; pendirian PERADI sebagai organisasi advokat berdasarkan UU No. 18 tahun 2003, kepangkatan advokat, kode etik advokat dan undang-undang advokat, hak imunitas dan pemanggilan advokat.
Jakarta: Erlangga , 2011
347.052 SIN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Riyanto
Abstrak :
Eksistensi profesi Advokat secara praktek telah dikenal dari sejak jaman pemerintah Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan hingga pemerintah Orde Baru berkuasa. Akan tetapi eksistensi profesi Advokat tersebut tidak diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri melainkan hanya terdapat pada pasal-pasal pada peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang bantuan hukum. Tidak seperti profesi hukum lain Polisi, Jaksa dan Hakim dimana ketiga profesi hukum tersebut keberadaannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Memasuki masa reformasi, Indonesia telah mengalami 4 (empat) tahap perubahan UUD 1945. Perubahan secara signifikan adalah dianutnya secara tegas prinsip negara berdasar atas hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip negara hukum, peran serta fungsi Advokat merupakan hal yang sangat penting dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat serta turut serta menciptakan lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain. Sejalan dengan usaha mewujudkan prinsip negara hukum maka telah disahkan Undang-undang Nomor 1B Tahun. 2003 tentang Advokat, yang memberikan legitimasi bagi Advokat dalam menjalankan profesinya sekaligus menjadikan profesi Advokat sejajar dengan penegak hukum lain. Advokat mempunyai fungsi memberikan jasa hukum di bidang litigasi dan non litigasi. Dibidang litigasi khususnya dalam perkara pidana, Advokat dapat mewakili klien sebagai kuasa di Pengadilan untuk memberikan keterangan dan kejelasan hukum dalam persidangan dari tahap pemeriksaan Polisi sampai pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam perkara perdata Advokat dapat mewakili pihak yang berperkara, tetapi hal yang sangat penting adalah Advokat dapat mendamaikan pihak yang berperkara sebelum perkara dibawa ke pengadilan. Di bidang non litigasi Advokat dapat memberikan konsultansi kepada perseorangan atau badan hukum swasta lainnya. Advokat Asing yang bekerja pada Kantor Advokat Indonesia, berstatus sebagai karyawan atau tenaga ahli bidang hukum asing, dan hanya dapat memberikan jasa hukum dibidang non litigasi dan wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan, penelitian hukum selama 120 jam setiap tahun. Dengan diberlakukan Undang-Undang Advokat, menjadikan peran negara atau pemerintah bersifat statis, karena seluruh penyelenggaraan kepentingan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Karena itu Undang-Undang Advokat perlu direvisi dan dibentuk Komisi Independen yang bertugas untuk rekruitmen dan pengawasan terhadap Advokat.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Pratidina Susilo
Yogyakarta: Lembah Manah, 2013
610.73 AST l (1);610.73 AST l (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirullah
Abstrak :
Indonesia Corruption Watch (ICW) merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti korupsi yang lahir pada masa bergulirnya reformasi pada Mei 1998. Kelahiran ICW tidak terlepas dari konteks perubahan sosial dan politik yang ada pada saat itu. Dan korupsi ini menjadi salah satu isu dari berbagai isu lainnya yang dihembuskan oleh kalangan mahasiswa dalam rangka melengserkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Selain itu, ICW sebagai salah satu aktor gerakan sosial yang menghendaki adanya perubahan sosial. Yaitu ingin menghilangkan praktek-praktek dan sistem pemerintahan yang penuh dengan nuansa koruptif. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui latar belakang kelahiran ICW dalam konteks perubahan sosial politik dan ingin mengetahui strategi gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh ICW. Untuk perlu dipahami latar belakang kemunculan ICW. Selain itu, perlu diketahui juga arah, karakter dan aksi program ICW dalam mewujudkan perjuangannya yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini, penyusun menggunakan kerangka konseptual, yaitu; teori gerakan sosial, konsep korupsi dan konsep LSM. Adapun yang dimaksud dengan gerakan sosial itu ialah sebagai upaya kolektif yang mengupayakan suatu kepentingan bersama atau menjamin suatu tujuan bersama melalui tindakan bersama di luar dari kelembagaan yang mapan. Sedangkan korupsi itu yaitu suatu monopoli kekuasaan dengan kewenangan yang dipegangnya tapi tanpa adanya akuntabilitas. Terus, LSM itu ialah organisasiorganisasi privat yang secara umum memperoleh atau mendapat dukungan keuangan dari lembaga-lembaga donor internasional dan yang mengkonsentrasikan diri mereka dalam merancang, memperlajari dan melaksanakan program dan projek di negara-negara berkembang. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ICW termasuk salah satu bentuk gerakan sosial yang ada di Indonesia. ICW dalam melaksankan visi dan misi organisasinya terdapat berbagai aksi program pemberantasan korupsi. Beberapa cakupan aktifitas ICW dapat dilihat dari pelaksanaan divisi monitoring pelayanan publik, divisi korupsi, dan divisi hukum dan monitoring peradilan. Sedangkan untuk strategi gerakan yang dipergunakan oleh ICW yaitu; aliansi, jaringan, publikasi, individu atau organisasi. Untuk pendekatan gearakannya yaitu penelitian, investigasi, advokasi, kampanye, altematif kebijakan. Secara tipologi, ICW tergolong dalam LSM advokasi dengan beberapa karakteristik, yaitu; pemantauan, terminasi dan penilaian. Dalam aksi program ICW banyak melakukan kontrol publik, baik terhadap negara maupun sektor swasta. Tipologi ICW dimasukkan ke dalam kategori LSM advokasi. Hal ini sejalan juga dengan temuan-temuan dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa beragamnya pendekatan dan strategi yang dipergunakan ICW. Pada awal kelahiran ICW, lembaga ini berfungsi sebuah sebagai lembaga watchdog. Tapi dalam perkembangan selanjutnya terdapat pendekatan lainnya seperti riset dan kebijakan altematif. Sedangkan strategi ICW yaitu menggunakan jaringan (networking) dalam menjalankan perjuangan organisasinya. Secara teoritis, bila menggunakan tipologi Tim Lindsey tadi, maka ICW termasuk ke dalam tipe LSM advokasi. Namun dalam tipe advokasi juga terdapat berbagai macam variannya yaitu tipe advokasi supporter, tipe advokasi partner dan tipe advokasi main actor. Berdasarkan kerangka analisis dan temuan lapangan menunjukkan bahwa ICW masuk ke dalam tipe advokasi partner. Yaitu membuat jaringan dengan organisasi rakyat dan LSM lain. Demikian dapat disimpulkan bahwa ICW merupakan sebuah LSM anti korupsi-advokasi-partner. Di dalam penelitian ini, penyusun menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Sedangkan untuk pengumpulan data dilakukan dengan cara, yaitu; Pertama, wawancara mendalam (indepth interview). Kedua. dokumen (documentation). Dan ketiga, observasi (observation). Untuk nara sumber dalam wawancara mendalam ini yaitu; dari pihak Pendiri ICW, Dewan Etik ICW dan Badan Pekerja ICW. Sedangkan rekomendasinya yaitu sebagai berikut Pertama, untuk menambah daya dorong dalam gerakan anti korupsi di Indonesia, ICW perlu terus menggalang kekuatan rakyat secara massif dalam pemberantasan korupsi. Kedua, di dalam memperkuat dan menjaga kesinambungan kelembaagaan ICW dapat melakukan penggalangan dana dari masyarakat sebagai salah satu bentuk peran aktif dalam gerakan anti korupsi.. Ketiga, ICW perlu juga melakukan kajian-kajian tentang strategi dan pendekatan gerakan anti korupsi lainnya dengan belajar dari pengalaman negara-negara lain. Keempat, ICW perlu membangun juga jaringan dengan kalangan perguruan tinggi. Ini dapat membangun kerja sama yang sinergis terutama dalam tinjauan akademik.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Hanafi
Abstrak :
Permasalahan dalam penelitian ini mencakup pengaturan kewajiban pelaporan advokat kepada PPATK terhadap klien dengan indikasi transaksi keuangan mencurigakan, kedudukan advokat dalam posisinya sebagai pelapor sekaligus menjaga kerahasiaan klien, serta bagaimana seharusnya pengaturan pelaporan advokat terhadap PPATK. Peneletian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan melihat norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Advokat, dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil penelitian tesis ini yaitu pengaturan kewajiban advokat kepada PPATK diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2010 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021. Profesi advokat tidak ditegaskan dalam Undang-Undang TPPU, melainkan pada Peraturan Pemerintah. Sementara itu, kedudukan advokat dari segi etika harus mengesampingkan kode etik advokat dalam perkara TPPU. Dari segi peraturan perundang-undangan, kedudukan advokat dapat melakukan pelaporan terhadap kliennya dengan didasari keyakinan kuat bahwa aset milik kliennya diperoleh dengan cara ilegal. Seharusnya, dalam pengaturan kewajiban pelaporan advokat dalam perkara TPPU dicantumkan dalam aturan setingkat undang-undang serta juga ditegaskan pengecualian atau pengkhususan atas kode etik profesinya sehingga menjadi jelas batas-batasnya. ......The problems in this study include the regulation of the obligation to report advocates to PPATK against clients with indications of suspicious financial transactions, the position of advocates in their position as reporters while maintaining client confidentiality, and how should the arrangement of reporting advocates to PPATK. This research uses the juridical-normative method by looking at the legal norms contained in the legislation, especially the Law on Advocates, and the Law on the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. The result of this thesis research is that the regulation of the obligation of advocates to PPATK is regulated in Law Number 18 of 2010 in conjunction with Government Regulation Number 61 of 2021. The profession of advocate is not defined in the Money Laundering Law, but in a Government Regulation. Meanwhile, the position of an advocate in terms of ethics must override the code of ethics for advocates in Money Laundering cases. In terms of laws and regulations, the position of an advocate can report to his client based on a strong belief that his client's assets were obtained illegally. Supposedly, in the regulation of the obligation to report advocates in money laundering offenses cases, it should be included in the rules at the level of the law and also emphasized the exceptions or specializations of the professional code of ethics so that the boundaries are clear.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marion Mutiara Matauch
Abstrak :
Menjelang 100 tahun kemerdekaan negara ini, nyatanya banyak penyelesaian permasalahan hukum yang masih berpedoman pada produk legislasi era Pemerintahan Hindia Belanda seperti Herzienne Indonesisch Reglement (HIR)–S. 1941 No. 44 dan Rechtsreglement Buitengeweten (RBg)–S. 1927 No. 277 yang masih dianggap berlaku. Salah satunya adalah Pasal 118 HIR yang tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan penyelesaian perkaranya kepada orang lain. Alhasil, pasal tersebut menjadi sebuah alasan bagi hakim-hakim di pengadilan untuk menolak gugatan yang memintakan agar pihak lawan menanggung ganti kerugian berupa biaya honorarium advokat yang telah dikeluarkan. Padahal dengan dapat dipulihkannya baya honorarium advokat melalui mekanisme ganti kerugian, maka diharapkan kedepannya fenomena gugatan sembrono (vexatious litigation) akan menurun dikemudian hari. Alasannya karena penggugat akan lebih mempertimbangkan langkahnya sebelum mengajukan gugatan, sebab dia kemungkinan akan menanggung biaya honorarium advokat pihak lawannya sebagai kerugian apabila gugatan tersebut terbukti sebagai gugatan sembrono (vexatious litigation). Pemulihan biaya honorarium advokat di Inggris sendiri sudah lebih lama berlaku melalui doktrin pengalihan biaya (cost shifting), atau pecundang membayar (loser pays), atau follow the event. Secara umum prinsip tersebut mewajibkan pihak yang gagal memenangkan perkara untuk membayar biaya pihak yang memenangkan perkara. Prinsip tersebut juga telah memperoleh payung hukum berupa Hukum Acara Perdata (Civil Procedure Rules) (CPR) tahun 1998, (Costs Practice Direction atau CPD), Civil Supreme Court Practice (SCP) atau Rule of the Supreme Court (RSC). Melihat dari perbandingan pengaturan pengalihan biaya honorarium advokat dengan Inggris dapat menghantarkan kita pada sebuah pandangan bahwa pemikiran atau pandangan hukum progresif dalam penggunaan konsep kerugian tampaknya belum sepenuhnya melandasi pembentukan hukum di Indonesia ......Approaching the 100th anniversary of this country's independence, many legal dispute resolutions are still to this day guided by legislative products from the Dutch East Indies era such as the Herzienne Indonesisch Regulation (HIR)–S. 1941 No. 44 and Rechtsreglement Buitengeweten (RBg)–S. 1927 No. 277. One of such archaic regulations can be found on Article 118 HIR which does not oblige the parties to be represented in the settlement of their cases by an advocate, which is still in power. As a result, the article becomes an excuse for the judges at the court to reject a lawsuit requesting that the opposing party bear compensation in the form of an attorney's fee that has been issued. With the restoration of an advocate's honorarium through a compensation mechanism, it is hoped that in the future the phenomenon of reckless litigation will decrease significantly. This should cause the plaintiff to be more considerate before filing in a lawsuit, because he is likely to bear the cost of the opposing party's advocate’s honorarium as a loss if the lawsuit is proven to be a reckless lawsuit (vexatious litigation). The recovery of advocate’s honorarium in England itself has been in effect for a long time through the doctrine of cost shifting, or loser pays, or follow the event principle. In general, this principle obliges the party who fails to win the case to pay the costs of the party who won the case. This principle has also obtained a legal umbrella in the form of Civil Procedure Rules (CPR) of 1998, (Costs Practice Direction or CPD), Civil Supreme Court Practice (SCP) or Rule of the Supreme Court (RSC). Judging from the comparison of the regulation of the recovery of the cost of an advocate’s honorarium with the UK, it can lead us to a view that progressive legal ideas or views in the use of the concept of loss do not seem to fully underlie the formation of law in Indonesia. 
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library