Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Puspitaningrum
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian : AFP adalah protein onkofetal yang disintesis pada masa fetus dan ekspresinya ditekan pada. individu dewasa sehat. Kadar AFP ini akan meningkat kembali pada penderita keganasan hati. Telah diketahui bahwa ekspresi gen APP diakhir pada tingkat transkripsi, akan tetapi, mekanisme pengaturan dari faktor yang mendukung proses pengaturan sintesis AFP tersebut masih belum pasti. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi (ragmen DNA yang mengandung elemen promotor gen dan gen penyandi AFP. Fragmen DNA ini selanjutnya akan digunakan dalam penelitian ekspresi gen APP secara in vitro secara efisien. DNA AFP bahan uji yang digunakan adalah bersumber dari sel jaringan hati tikus Rattus navergic's strain Wistar. Tahap penelitian yang harus dikerjakan adalah mengisolasi DNA genam hati tikus dengan atau tanpa menggunakan kit Menelusuri data urutan nukleotida DNA AFP yang akan diisolasi. Merancang sepasang oligonukleotida primer. Mengisolasi fragmen DNA AFP dengan cara PCR dan memurnikannya dengan cara elektroelusi. Selanjutnya memotong fragmen DNA produk PCR tersebut dengan enzim endonuklease restriksi spesifik. Akhirnya membaca urutan nukleotida fragmen tersebut. Hasil dan Kesimpulan : Diperoleh fragmen DNA AFP produk PCR sepanjang 292pb dengan menggunakan sepasang oligonukleotida primer Twister I (5'CATAAGATAGAAGTGACCCCTGTG3') dan Twister II (5 'GCATCTTA CCTATTCCAAA CTCAT3 ' ). Fragmen DNA tersebut mengandung elemen promotor gen dan gen penyandi AFP dengan urutan nukleatida yang sama dengan urutan nukleotida pada fragmen DNA AFP yang diperoleh dari bank gen. Pemotongan fragmen DNA tersebut dengan menggunakan enzim menghasilkan fragmen DNA sepanjang 110pb yang hanya mengandung gen penyandi AFP. Fragmen DNA ini akan digunakan sebagai kontrol negatif untuk membuktikan pentingnya elemen promotor gen AFP dalam proses pengaturan ekspresi gen AFP.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Ahmad Azmi
Abstrak :
ABSTRAK
Angka kejadian keganasan hati terutama karsinoma hepatoseluler KHS dalam sepuluh tahun terakhir meningkat cukup pesat. Pola ekspresi KHS hampir sama dengan pola ekspresi hepatoblas selama periode perkembangan hati dan patogenesis KHS. Selain itu, DLK1 juga dianggap sebagai penanda bagi sel punca/progenitor hati. Oleh karena itu, perlu dipelajari pola ekspresi dan distribusi DLK1 dan korelasinya dengan AFP selama perkembangan hati. Penelitian observasional analitik untuk mempelajari ekspresi DLK1 dan AFP pada hati tikus Wistar dengan pewarnaan imunohistokimia telah dilakukan pada kelompok usia prenatal ED12,5; ED14,5; ED16,5; ED18,5 , neonatus, dan dewasa. DLK1 telah diekspresikan pada ED12,5; mencapai puncak pada ED16,5 dan ED18,5; selanjutnya menurun pada neonatus dan menghilang pada dewasa. Dengan pola yang hampir sama, AFP mencapai puncak pada ED18,5; selanjutnya pada neonatus dan dewasa menghilang. Uji korelasi Pearson terhadap pola ekspresi DLK1 dan AFP menunjukkan adanya korelasi positif kuat. Disimpulkan bahwa ekspresi DLK1 selaras dengan AFP. Ekspresi DLK1 mencapai puncak lebih awal dan menghilang lebih lambat dibandingkan dengan AFP, mengarahkan dugaan akan peran DLK1 dalam pemeliharaan status sel sebagai sel muda/progenitor.
ABSTRACT
The incidence of liver malignancy, especially hepatocellular carcinoma HCC inthe last ten years has increased considerably. The pattern of HCC expression issimilar to that of hepatoblas expression during the period of liver developmentand HCC pathogenesis. In addition, DLK1 is also considered a marker for liverstem progenitor cells. Therefore, it is necessary to study the expression anddistribution patterns of DLK1 and its correlation with AFP during liverdevelopment. Analytic observational studies to study the expression of DLK1 andAFP in Wistar liver mice with immunohistochemical staining were performed inthe prenatal age group ED12.5, ED14.5, ED16,5, ED18,5 , neonatus, and adults.DLK1 has been expressed on ED12.5 peak at ED16,5 and ED18,5 subsequentlydecreases in the neonate and disappears in adulthood. With a similar pattern, AFPpeaks at ED18.5 furthermore neonatus and adults disappear. The Pearsoncorrelation test of the DLK1 and AFP expression patterns indicates a strongpositive correlation. It was concluded that the DLK1 expression is in tune withAFP. The DLK1 expression peaked earlier and disappeared more slowly thanAFP, leading to alleged role of DLK1 in the maintenance of cell status as aimmature progenitor cell.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Msy Rulan Adnindya
Abstrak :
ABSTRAK
Sel oval merupakan sel punca tetap pada hepar dewasa, ditandai oleh OV6, yang terlibat dalam proses regenerasi. Sel oval ditemukan pada masa embrional dan memiliki kemiripan dengan hepatoblast, ditandai oleh AFP. Sel oval diduga merupakan sisa hepatoblast embrio. Hubungan antara keduanya belum diketahui pasti; pola dan distribusi ekspresi OV6 dan AFP pada masa perkembangan belum diketahui. Dilakukan penelitian observasional analitik pada hati tikus Wistar usia ED12.5, ED14.5, ED16.5, ED18.5, neonatus, tikus 8 minggu dan 7 bulan. Jaringan diproses secara histologis. Dilakukan pewarnaan HE dan imunohistokimia OV6 dan AFP . Ekspresi OV6 terlihat pada ED16.5 di sel lempeng duktal yang merupakan duktus biliaris primitif. Ekspresi OV6 mencapai puncak di neonatus dan menurun saat dewasa. Ekspresi OV6 pada neonatus dan dewasa terlihat di duktus biliaris, kanal Hering, dan area periporta. Ekspresi AFP sudah terlihat sejak ED12.5, mencapai puncak pada ED18.5, dan menurun postnatal. AFP terekspresi pada sel hepatoblast. Pada kondisi hati normal, tidak semua sel yang mengekspresikan OV6 juga mengekspresikan AFP. Ekspresi OV6 berkaitan dengan pembentukan duktus biliaris. Ekspresi AFP berkaitan dengan aktivitas proliferasi sel hepatoblast maupun sel oval. Peningkatan ekspresi AFP dan OV6 menunjukkan proliferasi sel oval yang ditemukan pada kondisi kerusakan hati kronis.
ABSTRACT
Oval cells, identified with OV6, are resident stem cells in adult liver that involved in liver regeneration. These cells are found during embryonic liver development and have similar characteristics with fetal hepatoblast. It is thought that oval cells are fetal hepatoblast remnants. However, relationship between oval cells and hepatoblasts, expression patterns and distribution of OV6 and AFP in liver development are not yet known. Observational analytic studies were done on Wistar rat rsquo s livers ED12.5, ED14.5, ED16.5, ED18.5, neonates, 8 weeks, and 7 months . The tissues were histologically processed and stained with HE and immunohistochemistry OV6 and AFP . OV6 expression appeared at age ED16.5 in ductal plate cells which are primitive bile ducts, reached peak in neonates and decreased in adults. In neonates and adults rats, OV6 expression were distributed in bile ducts, canal of Hering, and periportal. AFP were expressed in hepatoblasts, started at ED12.5, reached peak at ED18.5, decreased after birth. In normal liver, AFP was not expressed in all OV6 cells. OV6 expression are related to bile duct formation. Meanwhile, AFP expression are associated with proliferative activity of hepatoblasts and oval cells. Increased expression of AFP and OV6 indicates proliferation of oval cells found in chronic liver injury.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rahmawati
Abstrak :
Pencegahan dan pemberantasan penyakit, merupakan prioritas pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini tidak hanya terbatas pada upaya pengobatan, melainkan juga pencegahan terhadap kematian dan kecacatan. Menurut WHO, polio merupakan salah satu penyakit penyebab kecacatan. Pada tahun 1992, diperkirakan adanya 140.000 kasus baru kelumpuhan akibat poliomyelitis diseluruh dunia, dimana jumlah anak-anak yang menderita lumpuh sebesar 10 sampai 20 juta orang. Sedangkan jumlah kasus AFP (Accute Placcid Paralysis yaitu kasus lumpuh layuh yang belum tentu polio) yang ditemukan sampai dengan tanggal 15 Desember 2005 adalah 1.351 anak di bawah usia 15 tahun. Polio adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus polio, dan dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan yang permanen. Walaupun penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok umur yang paling rentan adalah umur < 3 tahun (50-70% dari semua kasus polio). Pelaksanaan surveilans AFP tahun 2005?2006 menemukan 305 kasus polio yang tersebar di 47 Kabupaten/Kota pada 10 Provinsi. Surveilans AFP dilakukan melalui tata laksanan kasus AFP dan penegakan diagnosis oleh laboratorium. Sampai sejauh ini belum diketahui bagaimana validitas penapisan AFP untuk diagnosis polio. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas penapisan AFP untuk diagnosis polio di Indonesia. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder Surveilans AFP Depkes tahun 2005. Populasi penelitian ini adalah semua anak usia kurang dari 15 tahun yang mengalami kelumpuhan secara tiba-tiba dan terjaring oleh petugas surveilans daerah yang mendapatkan pemeriksaan spesimen di laboratorium untuk menegakkan diagnosis polio yaitu sebanyak 1.601 pasien. Sedangkan, sampel penelitian adalah anak usia kurang dari 15 tahun yang mengalami kelumpuhan secara tiba-tiba dan terjaring oleh tenaga surveilans daerah (n = 1.601). Gejala penapisan AFP berupa layuh, akut, dan kelumpuhan mempunyai sensitivitas 98,5%, gejala demam mempunyai sensitivitas 91,7%, sedangkan gejala gangguan rasa raba mempunyai sensitivitas 21,9%. Nilai Prediksi Positif (NPP) yang paling tinggi terdapat pada gejala demam (29,4%), kemudian diikuti dengan gejala gangguan rasa raba. Nilai ini menunjukkan sebanyak 29,4% pasien penapisan AFP dengan gejala demam yang ternyata menunjukkan polio positif. Nilai Prediksi Negatif (NPP) tertinggi terdapat pada gejala gangguan rasa raba (75%) dan yang paling rendah adalah gejala kelumpuhan dan demam (60%). NPP menunjukkan bahwa 75% pasien penapisan AFP diagnosis polio negatif tidak memiliki gejala gangguan rasa raba. Dari gejala yang ada, yang mempunyai likelihood rasio positif (LR+) tertinggi adalah gejala demam (1,205) artinya gejala demam 1,205 kali lebih banyak ditemukan pada pasien penapisan AFP diagnosis polio positif. Persentase diagnosis polio pada penapisan AFP ini sebesar 0,256. Tujuan surveilans AFP adalah untuk menjaring sebanyak-banyaknya penderita AFP, sehingga yang perlu diperhatikan adalah nilai sensitivitas gejala penapisan AFP untuk diagnosis polio.Dari penelitian ini disimpulkan bahwa empat gejala (flaccid, akut, kelumpuhan, dan demam) cukup sensitif untuk diagnosis polio positif pada penapisan AFP. Sedangkan gejala gangguan rasa raba kurang sensitif untuk diagnosis polio positif pada penapisan AFP. Peningkatan sensitivitas pada gejala gangguan rasa raba dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas data gejala gangguan rasa raba. Peningkatan keahlian tenaga kesehatan dalam diagnosis gejala klinis penderita AFP dapat melalui pendidikan dan pelatihan mengenai anamnesis penyakit.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Mustika
Abstrak :
ABSTRACT
Background: increased serum alpha fetoprotein (AFP) levels are often found in patients with advanced hepatocellular carcinoma (HCC). Cluster Differentiation 44 (CD44) and CD90 are stem cell biomarkers that have been assumed as the early HCC markers and associated with onset and progressivity of HCC. The study related to HCC stem cell has not been available in Indonesia. The present study aimed to evaluate the expression of cancer stem cell markers (CD44, CD90) and AFP levels in patients with advanced liver disease. Methods: an observational study was conducted in 41 patients with chronic hepatitis B and/or C infection, liver cirrhosis, and HCC at dr. Saiful Anwar General Hospital. CD44 and CD90 expressions were measured with flow cytometry, and AFP serum levels with ELISA. Data on patient characteristics were evaluated using bivariate and multivariate statistical analysis (One-way ANOVA, Mann-Whitney, Chi-Square, Kruskal-Wallis). Data of CD44, CD90 and AFP were analyzed using Kruskal Wallis test with a significance value of p<0.05, and diagnostic power was analyzed using receiver operating characteristic (ROC). Results: the subjects of our study were 16 patients with chronic hepatitis, 15 patients with liver cirrhosis, and 10 patients with HCC. There was a significant difference regarding CD44+CD90+ and AFP among those three groups (p=0.001; p=0.000) specifically in chronic hepatitis compared to liver cirrhosis (p=0.002; p=0.000) and HCC (p=0.002; p=0.000) respectively. ROC analysis showed the best diagnostic power for the combination of CD44+CD90+ and AFP (AUC=0.981; p=0.000). Conclusion: there are higher expressions of CD44+CD90+ and serum AFP levels in patients with HCC compared to the other two groups (those with chronic hepatitis and liver cirrhosis). The combination of both parameters has the best diagnostic power of HCC.
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arnetta Naomi L L
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Alfa fetoprotein AFP merupakan penanda tumor yang mengalami peningkatan pada karsinoma hepatoselular KHS namun dapat juga normal pada 40 kasus. Peningkatan AFP dikatakan menghasilkan diferensiasi tumor yang buruk. Kasus KHS yang datang ke RSCM cenderung lanjut dengan karakteristik tersendiri. Penelitian ini bertujuan menilai korelasi AFP terhadap derajat diferensiasi KHS di RSCM.Metode: Data 32 kasus KHS di RSCM yang dilakukan hepatektomi dikumpulkan secara retrospektif dari 2010-2016. Data dasar karakteristik pasien dinilai berdasarkan nilai AFP dan derajat diferensiasi. Lalu dilakukan analisis untuk melihat korelasi nilai AFP dengan derajat diferensiasi KHS.Hasil: Nilai rata-rata AFP adalah 20183 ng/mL, usia 51,75 tahun, 81 kasus terjadi pada laki-laki, 59,4 berdiferensiasi buruk, 50 berukuran >5-10 cm, 50 kasus sirosis, dan 68,8 terdapat invasi pembuluh darah. Diferensiasi buruk 42 pada laki-laki, 47,4 pada HbsAg positif, 50 pada Anti HCV positif, 31,2 sirosis, dan 40,9 mengalami invasi pembuluh darah. Nilai AFP 20 ng/mL 42,1 berdiferensiasi buruk. Pada analisis orelasi didapatkan r=0,203 dengan p>0,05.Kesimpulan: AFP tidak dapat memprediksi derajat diferensiasi karsinoma hepatoseluler pada karakteristik kasus KHS di tempat kami.
ABSTRACT<>br> Background AFP is a tumor marker which is increased in HCC, but might be found normal in 40 cases. Increased AFP implies a worsen tumor differentiation. Correlation between AFP with HCC managed in RSCM Ciptomangunkusumo hospital remains unclear. This study aimed to find the correlation between histological differentiation grade of HCC and AFP serum level.Method A total of 32 of HCC cases following hepatectomy in RSCM during 2010 2016 were enrolled in a retrospective study. Subject characteristics, AFP levels and histological differentiation grade were the variables in this study, and subjected to statistical analysis. Significancy found if p 5 10cm in diameter, 50 subjects were cirrhotic, and 68.8 subjects with microvascular invasion. AFP level found in range of 0.5 400000 ng mL 20183 SD75580.08 . Among all the subjects 12.5 were well differentiated, 28.1 were moderate differentiated, and 59.4 were poorly differentiated. AFP level 20ng mL was 42.1 . Correlation analysis revealed an r 0.203 with p 0.05.Conclusion There is no correlation between AFP serum level and histological differentiation grade of HCC in our study
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Paramitha Adriyati
Abstrak :
Latar belakang: Karsinoma sel hati (KSH) merupakan salah satu kanker dan penyebab kematian akibat kanker tersering. Magnetic resonance imaging (MRI) abdomen multifase adalah modalitas pilihan untuk diagnosis KSH, karena dapat menggambarkan perubahan patofisiologi selama hepatokarsinogenesis melalui sekuens dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) dengan chemical shift imaging, T2- weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), peta apparent diffusion coefficient (ADC), serta fase hepatobilier. Alpha fetoprotein (AFP) sebagai penanda serologis KSH terkait surveilans, diagnostik, dan prognostik, juga berperan dalam hepatokarsinogenesis dengan menunjukkan perbedaan agresivitas tumor. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara temuan morfologi dan karakteristik KSH pada MRI dengan kadar serum AFP. Metode: Studi retrospektif ini dilakukan pada pasien KSH yang menjalani MRI abdomen multifase kontras spesifik hepatobilier dan kadar serum AFP di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, serta belum menjalani prosedur pengobatan apapun. Dilakukan analisis menggunakan uji Chi Square atau uji Mutlak Fisher antara temuan morfologis dan karakteristik KSH pada MRI, serta menggunakan uji Mann-Whitney antara nilai rerata apparent diffusion coefficient (ADC) dengan kadar serum AFP. Hasil: Diperoleh 82 subyek dengan usia rerata subyek 58 tahun, diameter tumor >5cm (58,5%) dan tumor multipel (59,8%) paling banyak ditemukan, serta memiliki perbedaan proporsi yang bermakna dengan kadar serum AFP (nilai p = 0,030 dan p = 0,000). Vaskularisasi tumor, kapsul tumor, lemak intratumoral, tumor hiperintens T2, restriksi difusi, dan tumor hipointens fase hepatobilier lebih banyak ditemukan pada kadar serum AFP ≥ 100ng/mL, namun tidak ditemukan perbedaan proporsi bermakna. Terdapat perbedaan bermakna nilai rerata ADC antara 39 subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL dan 43 subyek dengan AFP ³ 100ng/mL. Median nilai rerata ADC 1,19 (0,71 – 2,20) pada subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL, median 0,97 (0,72 – 1,77) pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL, dan nilai p = 0,003. Simpulan: Proporsi tumor berdiameter > 5cm dan tumor multipel pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih tinggi dibandingkan pada subyek dengan AFP < 100ng/mL. Nilai rerata ADC pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih rendah dibandingkan AFP < 100ng/mL. Sehingga nilai rerata ADC dapat membantu memprediksi kadar serum AFP pada pasien KSH. ......Background: Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the most common cancers and cancer-related death. Multiphase contrast-enhanced abdominal magnetic resonance imaging (MRI) is the modality of choice for the diagnosis of KSH, as it can depict pathophysiologic changes during hepatocarcinogenesis through sequences: dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) with chemical shift imaging, T2-weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), apparent diffusion coefficient (ADC) maps, and hepatobiliary phase. Alpha fetoprotein (AFP) as a serological marker of HCC related to surveillance, diagnostics, and prognostics, also plays a role in hepatocarcinogenesis by showing differences in tumor aggressiveness. This study aims to analyze the relationship between morphological findings and characteristics of HCC on MRI with serum AFP levels. Methods: This retrospective study was conducted on HCC patients who underwent hepatobiliary-specific contrast-enhanced multiphase abdominal MRI and serum AFP levels at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, had not undergone any treatment procedures. Chi Square or Fisher's exact test between morphological findings and characteristics of HCC on MRI, and Mann-Whitney test between mean apparent diffusion coefficient (ADC) values and serum AFP levels were analyzed. Results: There were 82 subjects with a mean age of 58 years, tumor size >5cm (58.5%) and multiple tumors (59.8%) were more common, had a significant difference in proportion with AFP serum levels (p value = 0.030 and p = 0.000). Tumor vascularization, tumor capsule, intratumoral fat, T2 hyperintense tumor, diffusion restriction, and hepatobiliary phase hypointense tumor were more common in serum AFP level ≥ 100ng/mL, but there was no significant difference in proportion. There was a significant difference in mean ADC between 39 subjects with serum AFP level < 100ng/mL and 43 subjects with AFP 100ng/mL. The median ADC score was 1.19 (0.71 – 2.20) in subjects with serum AFP level < 100ng/mL, median 0.97 (0.72 – 1.77) in subjects with AFP ≥ 100ng/mL, and p value is 0.003. Conclusion: The proportion of tumors > 5cm in diameter and multiple tumors in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly higher than that in subjects with AFP < 100ng/mL. The mean value of ADC in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly lower than AFP < 100ng/mL. So that the mean value of ADC can help predict serum AFP levels in patients with HCC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Antonia Retno Tyas Utami
Abstrak :
Indonesia mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) polio pada tahun 2005. Di tiga kabupaten Lebak, Serang dan Sukabumi merupakan 58,9% kasus KLB nasional. Tujuan penelitian ialah diketahuinya besar risiko spesimen yang tidak memenuhi ketepatan waktu ambiI terhadap risiko basil pemeriksaan negatif virus polio di laboratorium nasional polio di Bandung dan Jakarta. Pada studi potong lintang (cress-.seclionalO terhadap semua sampel spesimen yang pertama yang diambiI dari kasus acute fkrcid paralysis (AFP) selama tahun 2005 dari tiga kabupaten. Data berasal dari laboratorium nasional polio tentang identitas kasus AFP, tanggal lumpuh, tanggal' ambil spesimen, tanggal kirim, tanggal diterima, kondisi diterima, tanggal proses, tanggal dan basil uji. Di samping itu dilakukan konf rmasi lapangan untuk data tempat pengambilan spesimen, fasilitas, dan tenaga surveilans. Analisis faktor-faktor risiko terhadap risiko relatif (RR) basil pemeriksaan negatif virus polio menggunakan regresi Cox. Prevalensi basil negatif dari sampel adalah 31,46%, Hasil negatif pada masa awal KLB Februari-April (60%) dan akhir KLB Juli-Desember 2005 (66,2%), dan yang terendah pada bulan Mei-Juni (15,5%). Faktor-faktor yang berkaitan secara signifikan terhadap risiko basil pemeriksaan negatif virus polio pada spesimen meliputi faktor tidak tepat waktu ambit spesimen, kabupaten asal spesimen, dan periode bulan pengambilan. Keterlambatan pengambilan spesimen mempertinggi risiko basil pemeriksaan negatif virus polio sebesar 70% dibandingkan dengan spesimen yang diambil tepat waktu [risiko relatif suaian (RN = 1,70; 95% interval kepercayaan (CI): 1,01 - 2,88). Selama masa awal dan akhir KLB, perhatian khusus harms diberikan terhadap ketepatan waktu pengambilan spesimen dan kabupaten asal spesimen untuk memperkecil risiko basil pemeriksaan negatif virus polio.
In 2005 Indonesia had a polio outbreak of positive wild polioviruses (WPV). The three districts namely Lebak, Serang and Sukabumi contributed 59.% of total national cases. The aim of this study was to identify the risk of late collection of stool specimen for negative detection of poliovirus. A cross sectional study conducted on all acute flaccid paralysis (AFP) surveillance's stool speciment from the three districts tested for polio virus in Bandung and Jakarta national polio laboratory in 2005. Data derived from laboratory registry books for case identity, date of paralysis onset; spesiment collection: sent; recieved; testing process; and result of test. In addition, field visits were conducted to the three districts for confirmation on data collecting methods, and human resources. Analysis was using Cox regression method for relative risk (RR). The prevalence of negative results was 31,46%. Negative results during early stage of outbreak in February -April was 60% and late stage July- December was 66.2%, while in May -June was Ioweer (15.5%). Factors that significantly associated with the risk of poliovirus negative results were late of speciment collection, district origin of speciment and period of month speciment collection. Late than on time collection for first stool speciment had 70% increased risk to be negative results (adjusted relative risk =-1.70; 95% confidence intervals = 1.01 - 2.88). During early and late stage of polio outbreak, special attention should be taken for timing of speciment collection and district origin of speciment to minimize risk of negative detection of poliovirus.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caesar Nurfiansyah
Abstrak :
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik dengan menggunakan metode potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Penelitian dilakukan di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSCM Jakarta pada 31 Januari 2015 hingga 31 Januari 2020. Sebanyak 183 pasien wanita dengan kecurigaan neoplasma ovarium padat diikutsertakan dalam penelitian. Pasien dengan penyakit sistemik lainnya atau mengalami kehamilan dieksklusi dari penetlitian. Dilakukan uji kesesuaian dengan menggunakan uji Kappa. Didapatkan sensitivitas dan spesifisitas dari masing-masing penanda tumor

Hasil : AFP memiliki sensitivitas 1,92% dan spesifisitas 77,1% sebagai penanda disgerminoma. LDH memiliki sensitivitas 55,67% dan spesifisitas 65,65% sebagai penanda disgerminoma.. AFP memiliki sensitivitas 30,43% dan spesifisitas 85% sebagai penanda teratoma. LDH memiliki sensitivitas 30,43% dan spesifisitas 58,13% sebagai penanda teratoma . AFP memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 88,89% sebagai penanda Yolk sac tumor. LDH memiliki sensitivitas 41,67% dan spesifisitas 59,65% sebagai penanda Yolk sac tumor. Kombinasi AFP dan LDH memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 50,29% sebagai penanda Yolk sac tumor. Kombinasi tumor marker AFP dan LDH memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi namun tidak memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan menggunakan AFP atau LDH saja.

Kesimpulan : AFP dan LDH merupakan penanda tumor yang dapat digunakan untuk deteksi dini maupun skrining pada kasus neoplasma padat ovarium. ......Background: Ovarian neoplasms are the most common malignancy experienced by women in Indonesia. Solid ovarian neoplasm is a form of ovarian neopalsma that has a low survival rate due to late diagnosis. Early detection using tumor markers is one of the focuses of researches on ovarian neoplasms, one of which includes AFP and LDH.

Objective : To determine the sensitivity and specificity of AFP, LDH, and the combination of the two tumor markers.

Method : This research is a diagnostic test using cross sectional method. Sampling is done consecutively. The study was conducted at the Obstetrics and Gynecology Clinic of RSCM Jakarta from 31 January 2015 to 31 January 2020. A total of 182 female patients with suspicion of solid ovarian neoplasms were included in the study. Patients with other systemic diseases or pregnant were excluded from research. Conformity test was performed using the Kappa test. Sensitivity and specificity of each tumor marker was obtained

Result : AFP has a sensitivity of 1.92% and specificity of 77.1% as a marker of dysgerminoma. LDH has a sensitivity of 55.67% and a specificity of 65.65% as a marker of dysgerminoma. AFP has a sensitivity of 30.43% and a specificity of 85% as a marker of teratoma. LDH has a sensitivity of 30.43% and specificity 58.13% as a marker of teratomas. AFP has 100% sensitivity and 88.89% specificity as a marker of Yolk sac tumor. LDH has a sensitivity of 41.67% and specificity 59.65% as a marker of Yolk sac tumor. The combination of AFP and LDH has a sensitivity of 100% and a specificity of 50.29% as a marker of Yolk sac tumor. The combination of AFP and LDH marker tumors has a higher sensitivity value but does not have better accuracy than examinations using AFP or LDH alone
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignasia Andhini Retnowulan
Abstrak :
Latar belakang: Karsinoma sel hati (KSH) merupakan jenis keganasan primer hati tersering dengan gambaran histologik menunjukkan diferensiasi sel hepatoselular. Selain insiden yang tinggi, beban yang berat dari keganasan ini adalah prognosis yang sangat buruk dengan angka rekurensi yang tinggi. Terdapat banyak faktor resiko secara klinikopatologik yang telah diketahui mempengaruhi prognosis KSH, seperti kadar alfa fetoprotein, derajat diferensiasi, dan invasi mikrovaskular. Secara molekular, mutasi p53 dan β-catenin merupakan dua mutasi tersering dalam KSH. β-catenin merupakan protein multifungsi yang dikode oleh gen CTNNB1 yang dapat ditemukan pada 3 kompartemen sel, yaitu di membran sel, sitoplasma dan inti. Jalur Wnt/β-catenin meregulasi proses seluler yang terkait inisiasi, pertumbuhan, survival, migrasi, diferensiasi, dan apoptosis. Meski sudah banyak diketahui beberapa jalur patofisiologi molekular hepatokarsinogenesis, hubungan dengan aplikasi klinik membutuhkan pemahaman lebih mengenai hubungan sifat molekuler dan sifat fenotip tumor, terutama dalam penentuan faktor prognosis dan pengembangan terapi target. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi β-catenin pada KSH dan hubungannya dengan berbagai faktor prognosis yaitu AFP, derajat diferensiasi dan invasi mikrovaskular. Bahan dan cara: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 35 kasus KSH yang sudah ditegakkan diagnosisnya berdasarkan pemeriksaan histopatologik dan/atau imunohistokimia di RSCM dari Januari 2013 sampai September 2019. Dilakukan pulasan β-catenin dan analisis statistik dengan uji komparatif terhadap berbagai karakteristik klinikopatologik dan faktor resiko berupa AFP, derajat diferensiasi dan invasi mikrovaskular. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna ekspresi β-catenin terhadap AFP (p=0,037) dan derajat diferensiasi (p=0,043) pada KSH. Ekspresi β-catenin pada inti dengan/tanpa sitoplasma lebih sering ditemukan pada kasus KSH dengan kadar AFP rendah dan derajat diferensiasi baik-sedang. Tidak ditemukan perbedaan bermakna ekspresi β-catenin terhadap invasi mikrovaskular pada KSH (p=1,000). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna ekspresi β-catenin terhadap AFP dan derajat diferensiasi pada KSH.
Background: Hepatocellular carcinoma (HCC) is the most common primary liver cancer, displaying histologically hepatocellular differentiation. In addition to its high incidence, the disease burden of HCC is due to its poor prognosis with high recurrence rate. Some of the previously known clinicopathologic prognostic factors of HCC include alpha-fetoprotein (AFP) level, tumor grade and microvascular invasion. At molecular level, p53 and β-catenin are the two most common driver mutations in HCC that are mutually exclusive. β-catenin is a multifunction protein that is encoded by CTNNB1 gen. It is found in 3 compartments of cells, which are membrane cell, cytoplasm and nucleus. Wnt/ β-catenin pathway regulates cellular process which is related to initiation, growth, survival, migration, differentiation and apoptosis. Although molecular pathogenesis pathways of hepatocarcinogenesis are known, clinical application warrants more understanding in terms of molecular characteristic and tumor phenotype, especially in determining prognosis and target therapy development. This current study aims to analyze the expression of β-catenin and its association with prognostic factors, such as AFP, tumor grade and microvascular invasion. Material and method: A cross-sectional study was conducted comprising 35 samples of surgically resected HCCs between January 2013 to September 2019 in Cipto Mangunkusumo General Hospital. The cases were diagnosed based on histopathological and immunohistochemical findings and was then performed β-catenin staining. β-catenin expression was analyzed with statistical tests to determine expression difference between AFP level, tumor grade and microvascular invasion. Result: There were statistically significant difference of β-catenin expression in AFP level and tumor grade (p=0.037 and 0.043, respectively). Nuclear with/without cytoplasmic expression of β-catenin was more frequently found in HCC with low AFP level and well-to-moderately differentiated tumors. No significant difference was observed in β-catenin expression between HCC with and without microvascular invasion (p=1.000). Conclusion: β-catenin expression was significantly different in AFP level and tumor grade.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>