Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sekar Ayu Primandani
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai hibah yang melanggar bagian mutlak ahli waris anak kandung menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Skripsi ini mengambil studi kasus putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No. 36/Pdt/2012/PT.TK. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai hibah dan hubungannya dengan ketentuan legitime portie dan apakah putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No. 36/Pdt/2012/PT.TK telah sesuai dengan ketentuan tersebut. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa walaupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur bahwa seorang Pemberi Hibah memiliki kekuasaan penuh atas seluruh harta kekayaannya, hak atas Legitime Portie yang dimiliki ahli waris dari Pemberi Hibah merupakan suatu hak yang dapat dijadikan dasar untuk membatasi hibah yang telah dilakukan Pemberi Hibah semasa hidupnya, dimana hak tersebut muncul ketika Pemberi Hibah wafat dan ahli warisnya tampil mewaris. Putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No. 36/Pdt/2012/PT.TK sudah sesuai dengan ketentuan mengenai hibah dan Legitime Portie dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana hibah yang dilakukan Pewaris semasa hidupnya kepada anak kandungnya dinyatakan sebagai sah karena memenuhi unsur-unsur hibah, selama tidak melanggar legitime portie ahli waris legitimaris lainnya.
This paper analyzes grants that goes against the absolute parts (legitime portie) of biological children according to the Indonesian Civil Code.This paper takes a case study of a Decision of the Tanjungkarang High Court No. 36/Pdt/2012/PT.TK. The set of problems that are analyzed is how the Civil Code regulates grants and its legal relation with the regulations of legitime portie, and whether if the Tanjungkarang High Court Decision No. 36/Pdt/2012/PT.TK. adhered to those regulations. The writer used a juridical normative method of research, by using mainly secondary data. This paper drew conclusion that even though the Indonesian Civil Code regulates that a Grantor has a full right of all their property, the right of the Grantor’s biological children of their legitime portie is a right that can be used as a legal basis to limit the grants given by a Grantor in their lifetime, as the right of legitime portie appears right at the moment a person (who can also be a Grantor) died. The Decision of the Tanjungkarang High Court adhered to the regulations in the Indonesian Civil Code, in which the grant that has been done by the dead to one of his biological child is legally binding, since it fulfilled all the regulations regarding grants, as long as the grant doesn’t violate the legitime portie of the other legitimary heirs.
Universitas Indonesia, 2014
S53560
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Rahmah Laily Widuri
Abstrak :
Pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap prinsip Pengangkatan Anak yang didasarkan pada hukum Islam masih sangat kurang, termasuk mengenai proses legitimasinya dan penyelesaian sengketa di Peradilan atas sengketa pembagian harta peninggalan orang tua angkat. Perlu diteliti bagaimana penerapannya pengangkatan anak oleh umat Islam di Indonesia, akibat hukum dari masingmasing penetapan dan putusan, serta bagaimana pertimbangan hukum masingmasing Hakim dalam menetapkan pengangkatan anak dan memutus sengketa pembagian harta peninggalan tersebut. Dari penelitian yang dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap beberapa penetapan dan putusan lembaga Peradilan diperoleh kesimpulan, bahwa pengangkatan anak yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam maupun hukum positif terkait dengan pengangkatan anak. Oleh karenanya menurut Penulis, sangat penting agar pemerintah bekerja sama dengan instansi terkait untuk membuat suatu peraturan khusus tentang pengangkatan anak bagi umat Islam di Indonesia agar kepastian hukum dapat tercapai. Bagi masyarakat pelaku pengangkatan anak juga agar betul-betul memahami prinsip-prinsip pengangkatan anak berdasarkan ketentuan hukum Islam dan peraturan-peraturan yang terkait, agar memenuhi ketentuan hukum Islam dan hukum positif Indonesia. ......The level of understanding of islamic people in Indonesia regarding the Islamic Adoption principles are still below expectation, which also include the understanding of specific requirements from the related departments and Religious (Islamic) Court on adoption legalization process. Not only that, they do not also aware of how to settle conflicts between the adopted child and his/her adoptee family related to the inheritance of the adoptive parents. Therefore, it is so important to reasearch on how the implementation of Islamic Law on Adoption in Indonesia and how the effect of such different legal basis used by the Judges ini settling the conflict and/or legalizing the adoption process. With regard to this matters, the research was conducted based on library research and studying several courts documents and adoption rules in Indonesia, which resulting the fact that the Islamic Adoption Law in Indonesia are not fully implemented. due to lack of understanding ang knowledge of Indonesian Islamic people. The government in this case should work together with the related departments to provide the of Islamic Adoption Laws that is urgently needed to achieve the certainty of adoption law in indonesia. At the same time it is important for those who wants to adopt any children preparing equiped themselves with sufficient knowledge in Islamic and Indonesian adoption law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31449
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Esya Triandini Putri
Abstrak :
Skripsi ini membahas metafora penggambaran tokoh ibu tiri, anak tiri, dan anak kandung yang terdapat dalam Märchen Aschenputtel, Brüderchen und Schwesterchen, Frau Holle, dan Sneewittchen yang memperkuat stereotipe dari ketiga tokoh tersebut. Stereotipe yang melekat pada mereka adalah tentang anak tiri yang malang dan ibu tiri, serta anak tiri yang jahat. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan jenis-jenis metafora yang menggambarkan ketiga tokoh tersebut berdasarkan klasifikasi metafora menurut Gerhard Kurz, serta membuktikan benar atau tidaknya stereotipe terhadap ketiga tokoh tersebut. Dalam penelitian ini, metafora leksikal dan kreatif adalah metafora yang paling banyak ditemukan dalam merepresentasikan ketiga tokoh tersebut, yaitu berjumlah empat, sedangkan metafora konvensional adalah yang paling sedikit ditemukan, yaitu dua metafora. Dari empat dongeng tersebut, stereotip yang melekat pada ketiga tokoh tersebut juga dapat diperkuat dan dibuktikan melalui metafora bahwa stereotip tersebut adalah benar. ...... This thesis discusses about the metaphor that represent figures of stepmother, stepchildren and own children in Märchen Aschenputtel, Brüderchen und Schwesterchen, Frau Holle, and Sneewittchen which supporting the stereotype of those three characters. This research aims to explain the kinds of metaphors that describe those three characters that are classified based on the type of metaphor by Gerhard Kurz and prove whether the stereotype of those three characters are true or not. Lexical and creative metaphor are the most commonly found in this research to represents those three character, whereas conventional metaphor is the least. At those four tales, stereotypes of stepmother, stepchildren, and own children can also be proved by metaphor that the stereotypes are true.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S55841
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bela Afriani
Abstrak :
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah dilakukan dengan pembuatan akta hibah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk barang-barang tidak bergerak. Pemberian hibah dapat dilakukan dengan tidak melanggar batas maksimal hibah yaitu 1/3 harta penghibah sebagaimana ketentuan Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam. Pemberian hibah yang dilakukan atas seluruh barang dan atau benda milik penghibah tidak diperbolehkan tanpa adanya persetujuan dari anak kandung pemberi hibah. Jika seorang PPAT membuat akta dengan melanggar ketentuan tersebut, maka akan mengakibatkan akta yang dibuat oleh PPAT menjadi batal demi hukum dan PPAT wajib memberikan pertanggungjawaban kepada pihak yang dirugikan berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Penelitian ini membahas mengenai tanggung jawab PPAT atas pembuatan akta hibah tanpa persetujuan anak kandung pemberi hibah dan perlindungan hukum kepada penerima hibah atas pembatalan akta hibah. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif, tipologi penelitian deksriptif analitis, dengan jenis data sekunder, serta alat pengumpulan data menggunakan studi dokumen dan metode analisa data kualitatif. Hasil penelitian berkaitan dengan adanya pembatalan akta hibah atas gugatan anak kandung penghibah yaitu maka seorang PPAT dapat dikenakan tanggung jawab secara perdata dan atau secara administrasi. Tanggung jawab secara perdata berupa penggantian biaya atau ganti rugi sedangkan tanggung jawab secara administrasi dapat berupa pemberhentian sementara. Penerima hibah bisa mendapatkan perlindungan hukum dengan tetap meminta bagian sahnya yaitu 1/3 bagian dari objek hibah. ......A grant is the giving of an object voluntarily and without compensation from someone to someone else who is still alive to have. The grant is carried out by making a grant deed in front of the Land Deed Making Officer (PPAT) for immovable property. The granting of grants can be done without breaking the maximum limit of grants, which are 1/3 of the donor's assets as stipulated in Article 210 of the Compilation of Islamic Law. Granting of grants made on all items and or objects belonging to donors is not permitted without the approval of the biological child giving the gift. If a PPAT makes a deed in violation of these provisions, it will result in a deed made by PPAT to be null and void by law and PPAT is obliged to provide liability to the injured party in relation to the deed he made. This study discusses the responsibility of PPAT for the making of a deed of grants without the consent of the grantor's biological children and legal protection to grantees for cancellation of the deed. To answer this problem normative juridical research methods are used, analytical descriptive research typologies, with secondary data types, and data collection tools using document studies and qualitative data analysis methods. The results of the study relate to the cancellation of the deed of grant on the claim of the biological child namely a PPAT may be liable on a civil or administrative basis. Civil liability in the form of reimbursement or compensation while administrative responsibility can be in the form of a temporary dismissal. Grant recipients can get legal protection by still asking for the legal portion, which is 1/3 of the object object.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library