Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rhyno Febriyanto
Abstrak :
Latar belakang: Remaja merupakan kelompok risiko tinggi defisiensi besi. Adanya obesitas pada remaja meningkatkan risiko defisiensi besi disebabkan perbedaan pola asupan dan inflamasi kronis derajat rendah. Tujuan: Mengetahui status besi remaja usia 15 -17 tahun dengan obesitas. Desain penelitian: Penelitian potong lintang pada remaja usia 15 ? 17 tahun di dua SMU Jakarta Pusat pada bulan September ? November 2015. Subjek dibagi 2 kelompok berdasar indeks massa tubuh (IMT). Subjek obes bila IMT≥P95 dan non-obes bila IMT ≥P5 - Background. Adolescent period is high risk group of iron deficiency. Obesity can increase the risk of iron deficiency. It was caused by low iron intake and low grade chronic inflammation. Objective. To assess whether obese adolescents, who often have poor dietary habits, are at increased risk of iron deficiency. Methods: Cross-sectional study on adolescence 15 to 17 years old in Senior High School in Central Jakarta between September to November 2015. Subject was divided into 2 groups based on body mas index (BMI). Obese group if BMI ≥P95 and non-obese group if BMI ≥P5 -
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gayuh Siska Laksananno
Abstrak :
Anemia defisiensi besi merupakan masalah gizi yang banyak diderita oleh remaja putri karena usia remaja berada pada masa petumbuhan dan juga dampak dari menstruasi yang didapat setiap bulannya. Beberapa penelitian menunjukkan tingginya anemia pada remaja putri. Penyebab anemia defisiensi besi adalah kurangnya pemasukan zat besi, meningkatnya kebutuhan akan zat besi, kehilangan darah kronis, penyakit malaria, cacing tambang dan infeksi-infeksi lain serta pengetahuan yang kurang tentang anemia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya anemia defisiensi besi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswi SMLJ Muhammadiyah Kota Tegal. Jumlah sampel 113 orang. Data diambil menggunakan kuesioner, sedangkan untuk pemeriksaan kadar Hb dan Ferritin serum, responden diambil sampel darahnya kemudian dilakukan pemeriksaan di laboratorium klinik. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dengan independen t-lest dan chi square serta analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil penelitian ini menunjukkan pada 95% Cl terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan (p value 0.003), kebiasaan diet (p value 0.000), asupan zat besi (p value 0-014), kebiasaan konsumsi vitamin C (p value 0.003), kebiasaan minum teh (p value 0.01), siklus (p value 0.02) dan lama menstruasi (p value 0.000) dengan anemia defisiensi besi. Sedangkan faktor yang tidak berhubungan dengan anemia defisiensi besi adalah umur (p value 0.566), tingkat pendapatan orang tua (p value 0.054) dan jumlah anggota keluarga (p value 0.672). Dari analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling berkontribusi adalah kebiasaan konsumsi vitamin C (OR = 4,321). Rekomendasi dari penelitian ini adalah remaja putri untuk meningkatkan konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, meningkatkan konsumsi vitamin C dan mengurangi minum teh. ......Iron deficiency anemia is nutrient problem on many female adolescence because in growth process and the effect of their menstruation. The studies shown increasing amount of anemia on female adolescence. The cause of iron deficiency anemia are less of intake iron, increasing iron needed, chronic bleeding, malariae and other infection, also less of knowledge about anemia. The objective of this sludy is to identify contribute factor to event of iron deficiency anemia. This research use descriptive metode with cross sectional approach. The population are students Muhammadiyah Senior High School at Kota Tegal. They were 113 respondents. The data taken with questionaire, therefore assesment of Hb level and serum ferritin level were use blood sample in laboratory. The data analyze that use was univariat, bivariat with independent t-test and chi-square, also multivariat with logistic regretion. The result show at 95 Cl, there is the correlation between knowledge (p value 0,003), dietary history (p value 0,000), iron intake (p value 0,014), consumption of vitamin C (p value 0,003), tea drink history (p value 0,01), menstruation cycle (p value 0,02) and duration of menstruation (p value 0,000) with iron deficiency anemia.Therefore factors not correlated with iron deficiency anemia are age (p value 0,566), level of parents income (p value 0,054) and family member (p value 0,672). Multivariat analyze shown consumption of vitamin C is dominant factor to contribute iron deficiency anemia (OR = 4,321). Recomendation of this studyis increasing consumption of iron and vitamin C and decreasing drink of tea to prevent iron deficiency anemia.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T26572
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Victor
Abstrak :
Defisiensi besi yang terdapat bersamaan dengan defisiensi mikronutrien lain seperti ribbflavin, lazim terjadi di negara berkembang. Remaja wanita termasuk salah satu golongan yang rentan terhadap defisiensi zat-zat gizi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa defisiensi riboflavin dapat mengganggu utilisasi dan absorpsi besi sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi atau memperberat keadaan anemia ini. Di Indonesia, kemungkinan terjadinya defisiensi riboflavin cukup besar karena konsumsi pangan hewani yang juga merupakan somber riboflavin yang baik, masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi defisiensi riboflavin, faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya defisiensi ini antara lain tingkat ekonomi dan pola makan serta hubungan antara defisiensi riboflavin dengan anemia defisiensi besi. Untuk itu telah dilakukan pemeriksaan darah pada 107 remaja wanita untuk mengetahui koefisien aktivasi enzim glutation reduktase (EGRAC) yang dipakai sebagai parameter status riboflavin. Sedangkan untuk mengetahui adanya anemia defisiensi besi, dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dan feritin serum. Untuk mengetahui hubungan antara defisiensi ribofalvin dengan faktor-faktor yang berkaitan tersebut dilakukan wawancara dan analisis diet. Dari 107 remaja wanita yang diteliti, ditemukan prevalensi defisiensi riboflavin dan anemia defisiensi besi masing-masing sebesar 25,2% dan 24,3%. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna (p > 0,01) antara masukan protein dan riboflavin dengan status riboflavin. Ditemukan hubungan bermakna (p < 0,01) antara tingkat ekonomi dengan status riboflavin, demikian pula antara kualitas bahan makanan sumber riboflavin dengan status riboflavin dan anemia defisiensi besi. Ditemukan hubungan yang bermakna (p < 0,01) antara status riboflavin dengan anemia defisiensi besi dan didapat korelasi linear negatif yang bermakna (p < 0,01) antara EGRAC dengan feritin serum dengan koefisien korelasi (r) -0,595.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Salim
Abstrak :
[ABSTRAK
Anemia defisiensi besi dan thalassemia β trait merupakan penyebab tersering anemia mikrositik hipokrom di Indonesia. Kedua penyakit tersebut sulit dibedakan hanya dengan pemeriksaan hematologi, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan tambahan seperti feritin dan analisis hemoglobin. Namun tidak semua laboratorium dapat melakukan pemeriksaan ini. Banyak penelitian yang membedakan kedua penyakit tersebut dengan indeks eritrosit. Namun indeks eritrosit memiliki nilai diagnostik yang berbeda di setiap negara dan belum ada data di Indonesia. Penelitian ini melakukan uji diagnostik Indeks Mentzer, RDW, Green- King, Sirdah, dan mencari nilai cut-off baru yang memberikan nilai diagnostik lebih baik. Penelitian terdiri dari 98 subyek definitif anemia defisiensi besi dan 80 subyek thalassemia β trait. Nilai diagnostik Indeks Mentzer untuk anemia defisiensi besi adalah sensitivitas 83.6%, spesifisitas 66.2%, NPP 75.2%, NPN 76.8%, RKP 2.4, RKN 0.2. Nilai diagnostik Indeks Mentzer untuk thalassemia β trait adalah sensitivitas 66.2%, spesifisitas 83.6%, NPP 76.8%, NPN 75.2%, RKP 4.0, RKN 0.4. Nilai diagnostik Indeks RDW untuk anemia defisiensi besi adalah sensitivitas 91.8%, spesifisitas 75%, NPP 81.8%, NPN 88.2%, RKP 3.6, RKN 0.1. Nilai diagnostik Indeks RDW untuk thalassemia β trait adalah sensitivitas 75%, spesifisitas 91.8%, NPP 88.2%, NPN 81.8%, RKP 9.1, RKN 0.2. Nilai diagnostik Indeks Green-King untuk anemia defisiensi besi adalah sensitivitas 96.9%, spesifisitas 67.5%, NPP 78.5%, NPN 94.7%, RKP 2.9, RKN 0.04. Nilai diagnostik Indeks Green-King untuk thalassemia β trait adalah sensitivitas 67.5%, spesifisitas 96.9%, NPP 94.7%, NPN 78.5%, RKP 22.0, RKN 0.3. Nilai diagnostik Indeks Sirdah untuk anemia defisiensi besi adalah sensitivitas 92.8%, spesifisitas 58.7%, NPP 73.3%, NPN 87.0%, RKP 2.2, RKN 0.1.Nilai diagnostik Indeks Sirdah untuk thalassemia β trait adalah sensitivitas 58.7%, spesifisitas 92.8%, NPP 87.0%, NPN 73.3%, RKP 8.2, RKN 0.4. Nilai cut-off baru Indeks Mentzer adalah 13.44, RDWI 233.4, Green-King 75.06, dan Sirdah 32.52. Keempat indeks eritrosit dapat diaplikasikan untuk orang Indonesia dengan Indeks Green-King sebagai indeks yang terbaik.
ABSTRACT
Iron deficiency anemia and β trait thalassemia are the most common causes of microcytic hypochromic anemia in Indonesia. Differentiation between them is difficult when solely based on a hematology examination, so additional laboratory tests are required such as ferritin and hemoglobin analysis. However, not all laboratories can perform these tests. Many erythrocytes indices have been proposed to determine whether a blood sample is more suggestive for iron deficiency anemia or β trait thalassemia. Unfortunately these indices have different diagnostic value in many countries and there is no data about diagnostic value in Indonesia. This study performs diagnostic test Mentzer, RDW, Green-King, and Sirdah Index and develops a new cut-off point that could make a better diagnostic value. This study consists of 98 subjects of iron deficiency anemia and 80 subjects of β trait thalassemia. Diagnostic values of Mentzer Index for iron deficiency anemia were sensitivity 83.6%, specificity 66.2%, PPV 75.2%, NPV 76.8%, LR+ 2.4, LR- 0.2. Diagnostic values of Mentzer Index for β trait thalassemia were sensitivity 66.2%, specificity 83.6%, PPV 76.8%, NPV 75.2%, LR+ 4.0, LR- 0.4. Diagnostic values of RDW Index for iron deficiency anemia were sensitivity 91.8%, specificity 75%, PPV 81.8%, NPV 88.2%, LR+ 3.6, LR- 0.1. Diagnostic values of RDW Index for β trait thalassemia were sensitivity 75%, specificity 91.8%, PPV 88.2%, NPV 81.8%, LR+ 9.1, LR- 0.2. Diagnostic values of Green- King Index for iron deficiency anemia were sensitivity 96.9%, specificity 67.5%, PPV 78.5%, NPV 94.7%, LR+ 2.9, LR- 0.04. Diagnostic values of Green-King Index for β trait thalassemia were sensitivity 67.5%, specificity 96.9%, PPV 94.7%, NPV 78.5%, LR+ 22.0, LR- 0.3. Diagnostic values of Sirdah Index for iron deficiency anemia were sensitivity 92.8%, specificity 58.7%, PPV 73.3%, NPV 87.0%, LR+ 2.2, LR- 0.1. Diagnostic values Sirdah Index for β trait thalassemia were sensitivity 58.7%, specificity 92.8%, PPV 87.0%, NPV 73.3%, LR+ 8.2, LR- 0.4. The new cut-off point of Mentzer, RDW, Green-King, and Sirdah Index was 13.44, 233.4, 75.06, and 32.52 respectively. All indices can be applied for Indonesian people, among which Green-King Index had the best diagnostic value, Iron deficiency anemia and β trait thalassemia are the most common causes of microcytic hypochromic anemia in Indonesia. Differentiation between them is difficult when solely based on a hematology examination, so additional laboratory tests are required such as ferritin and hemoglobin analysis. However, not all laboratories can perform these tests. Many erythrocytes indices have been proposed to determine whether a blood sample is more suggestive for iron deficiency anemia or β trait thalassemia. Unfortunately these indices have different diagnostic value in many countries and there is no data about diagnostic value in Indonesia. This study performs diagnostic test Mentzer, RDW, Green-King, and Sirdah Index and develops a new cut-off point that could make a better diagnostic value. This study consists of 98 subjects of iron deficiency anemia and 80 subjects of β trait thalassemia. Diagnostic values of Mentzer Index for iron deficiency anemia were sensitivity 83.6%, specificity 66.2%, PPV 75.2%, NPV 76.8%, LR+ 2.4, LR- 0.2. Diagnostic values of Mentzer Index for β trait thalassemia were sensitivity 66.2%, specificity 83.6%, PPV 76.8%, NPV 75.2%, LR+ 4.0, LR- 0.4. Diagnostic values of RDW Index for iron deficiency anemia were sensitivity 91.8%, specificity 75%, PPV 81.8%, NPV 88.2%, LR+ 3.6, LR- 0.1. Diagnostic values of RDW Index for β trait thalassemia were sensitivity 75%, specificity 91.8%, PPV 88.2%, NPV 81.8%, LR+ 9.1, LR- 0.2. Diagnostic values of Green- King Index for iron deficiency anemia were sensitivity 96.9%, specificity 67.5%, PPV 78.5%, NPV 94.7%, LR+ 2.9, LR- 0.04. Diagnostic values of Green-King Index for β trait thalassemia were sensitivity 67.5%, specificity 96.9%, PPV 94.7%, NPV 78.5%, LR+ 22.0, LR- 0.3. Diagnostic values of Sirdah Index for iron deficiency anemia were sensitivity 92.8%, specificity 58.7%, PPV 73.3%, NPV 87.0%, LR+ 2.2, LR- 0.1. Diagnostic values Sirdah Index for β trait thalassemia were sensitivity 58.7%, specificity 92.8%, PPV 87.0%, NPV 73.3%, LR+ 8.2, LR- 0.4. The new cut-off point of Mentzer, RDW, Green-King, and Sirdah Index was 13.44, 233.4, 75.06, and 32.52 respectively. All indices can be applied for Indonesian people, among which Green-King Index had the best diagnostic value]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari Widuri
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Anemia defisiensi besi ADB pada usia 9-12 bulan dapat berdampak pada kualitas hidup anak di masa depan. Asupan zat besi, pemacu dan penghambat absorpsi besi memengaruhi kadar besi tubuh. Penelitian mengenai status zat besi dan hubungannya dengan zat pemacu dan penghambat absoprsi dalam asupan diet pada bayi usia 9 ndash;12 bulan yang disertakan dengan analisis asupan diet belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan: Mengetahui prevalens gangguan status besi dan mengetahui hubungan status gizi dan kecukupan asupan besi harian terhadap kejadian defisiensi besi pada bayi usia 9-12 bulan. Metode: Studi potong lintang pada Juli 2017-Januari 2018 di Posyandu kecamatan Tanah Abang dan Jatinegara. Asupan zat besi, pemacu absorpsi besi dan penghambat absorpsi besi dinilai dengan metode food record dan diolah dengan program NutriSurvey . Subyek menjalani pengukuran antropometri dan pengambilan sampel darah darah perifer lengkap, LED, dan feritin serum . Data diolah dengan uji Pearson Chi Square dan kejadian gangguan status besi ditampilkan dalam prevalens. Hasil: Terdapat 82 subyek usia 9-12 bulan berpartisipasi dalam penelitian. Prevalens defisiensi besi sebesar 12,2 , dan ADB sebesar 26,8 . Tidak terbukti ada hubungan antara kecukupan asupan besi harian dengan gangguan status besi [p=0,064; PR=2,1 0,193-1,178 ] dan status gizi kurang dengan gangguan status besi [p=0,444; PR=0,729 0,307-1,731 ]. Terdapat perbedaan bermakna antara asupan harian besi total p=0,002 , besi heme 0,017 , kalsium p=0,006 , dan seng p=0,042 antara kelompok defisiensi besi dan non-defisiensi besi.Simpulan: Prevalens defisiensi besi dan ADB pada bayi usia 9-12 bulan berturut-turut adalah 12,2 dan 26,8 . Tidak terbukti ada hubungan antara status gizi dan kecukupan asupan besi harian dengan gangguan status besi, namun terdapat perbedaan bermakna antara asupan harian besi total, besi heme, kalsium, dan seng antara kelompok defisiensi dan non-defisiensi besi pada populasi bayi usia 9-12 bulan.
ABSTRACT
Background Iron deficiency anemia IDA in 9 12 month old babies could affect their quality of life. Intake of iron containing food, enhancer and inhibitor of iron absorption affects iron body level. Study about iron profile and its correlation with enhancers and inhibitors of iron absorption in baby rsquo s daily dietary intake whose analyzed by food record method is still infrequent in Indonesia. Aim To measure the prevalence of iron deficiency and IDA and to know the correlation of nutritional status and adequacy of daily iron intake with iron deficiency status in 9 12 month old babies. Methods A cross sectional study was conducted on July 2017 January 2018 in Posyandu in Tanah Abang and Jatinegara district. Dietary iron intake, enhancer and inhibitor were obtained using a 3 day food record method and analyzed with NutriSurvey program. Subjects underwent anthropometry measurement. Complete blood count, ESR, and ferritin serum were also examined. Results A total of 82 babies aged 9 12 months were studied. Prevalence of iron deficiency and IDA were 12,2 and 26,8 . There were no evidence of relationship between adequacy of daily iron intake p 0,064 and undernourished condition p 0,444 with iron deficiency status. There were statistically significant differences in total iron p 0,002 , heme iron p 0,017 , calcium p 0,006 , and zinc p 0,042 daily intakes between iron deficiency group and non iron deficiency group.Conclusion The prevalence of iron deficiency and IDA were 12,2 and 26,8 . There were no evidence of relationship between adequacy of daily iron intake nor undernourished condition with iron deficiency status. There were statistically significant differences in total iron, heme iron, calcium, and zinc daily intakes between iron deficiency group and non iron deficiency group in 9 12 month old babies.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gayuh Siska Laksananno
Abstrak :
ABSTRAK
Anemia defisiensi besi merupakan masalah gizi yang banyak diderita oleh remaja putri karena usia remaja berada pada masa petumbuhan dan juga dampak dari menstruasi yang didapat setiap bulannya. Beberapa penelitian menunjukkan tingginya anemia pada remaja putri. Penyebab anemia defisiensi besi adalah kurangnya pemasukan zat besi, meningkatnya kebutuhan akan zat besi, kehilangan darah kronis, penyakit malaria, cacing tambang dan infeksi-infeksi lain serta pengetahuan yang kurang tentang anemia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya anemia defisiensi besi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswi SMU Muhammadiyah Kota Tegal. Jumlah sampel 113 orang. Data diambil menggunakan kuesioner, sedangkan untuk pemeriksaan kadar Hb dan Ferritin serum, responden diambil sampel darahnya kemudian dilakukan pemeriksaan di laboratorium klinik. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dengan independen t-test dan chi square serta analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil penelitian ini menunjukkan pada 95% CI terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan (p value 0.003), kebiasaan diet (p value 0.000), asupan zat besi (p value 0.014), kebiasaan konsumsi vitamin C (p value 0.003), kebiasaan minum teh (p value 0.01), siklus (p value 0.02) dan lama menstruasi (p value 0.000) dengan anemia defisiensi besi. Sedangkan faktor yang tidak berhubungan dengan anemia defisiensi besi adalah umur (p value 0.566), tingkat pendapatan orang tua (p value 0.054) dan jumlah anggota keluarga (p value 0.672). Dari analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling berkontribusi adalah kebiasaan konsumsi vitamin C (OR = 4,321). Rekomendasi dari penelitian ini adalah remaja putri untuk meningkatkan konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, meningkatkan konsumsi vitamin C dan mengurangi minum teh.
ABSTRACT
Iron deficiency anemia is nutrient problem on many female adolescence because in growth process and the effect of their menstruation. The studies shown increasing amount of anemia on female adolescence. The cause of iron deficiency anemia are less of intake iron, increasing iron needed, chronic bleeding, malariae and other infection, also less of knowledge about anemia. The objective of this study is to identify contribute factor to event of iron deficiency anemia. This research use descriptive metode with cross sectional approach. The population are students Muhammadiyah Senior High School at Kota Tegal. They were 113 respondents. The data taken with questionaire, therefore assesment of Hb level and serum ferritin level were use blood sample in laboratory. The data analyze that use was univariat, bivariat with independent t-test and chi-square, also multivariat with logistic regretion. The result show at 95 CI, there is the correlation between knowledge (p value 0,003), dietary history (p value 0,000), iron intake (p value 0,014), consumption of vitamin C (p value 0,003), tea drink history (p value 0,01), menstruation cycle (p value 0,02) and duration of menstruation (p value 0,000) with iron deficiency anemia. Therefore factors not correlated with iron deficiency anemia are age (p value 0,566), level of parents income (p value 0,054) and family member (p value 0,672). Multivariat analyze shown consumption of vitamin C is dominant factor to contribute iron deficiency anemia (OR = 4,321). Recomendation of this study is increasing consumption of iron and vitamin C and decreasing drink of tea to prevent iron deficiency anemia.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nopiana
Abstrak :
Kandungan zat besi yang tinggi dari daun kelor (Moringa oleifera Lamk.) diduga berkhasiat mengatasi anemia defisiensi besi melalui peningkatan jumlah sel darah merah sehingga dapat meningkatkan viskositas darah dan resistensi perifer pembuluh darah yang mempengaruhi tekanan darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun kelor terhadap tekanan darah tikus putih betina anemia. Tiga puluh enam ekor tikus betina galur Sprague-Dawley dibagi dalam enam kelompok yaitu kontrol normal, induksi, Fero Fumarat, dan tiga kelompok dosis ekstrak daun kelor. Induksi anemia dengan larutan anilin 10% (0,005 mL/g bb) diberikan pada setiap kelompok perlakuan, kecuali kelompok kontrol normal. Pada hari ke-3 dan 4 tidak diberikan perlakuan, selanjutnya pada hari ke-5 diberikan sediaan uji berupa larutan CMC 0,5% (kontrol normal dan induksi), Fero Fumarat, dan ekstrak daun kelor dengan dosis 198; 396; dan 792 mg/200g bb hingga hari ke-10. Pengukuran tekanan sistol, diastol, dan darah rata-rata dilakukan pada hari ke-5 dan 11 menggunakan alat pengukur tekanan darah non-invasif CODA®. Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak daun kelor dengan dosis 198 mg/200g bb dapat meningkatkan tekanan sistol, diastol, dan darah rata-rata secara bermakna (p < 0,05) pada hari ke-11 pengujian, namun pada dosis lainnya tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p ≥ 0,05) antar kelompok. ......High iron content of Moringa leaves (Moringa oleifera Lamk.) could be expected to be useful in dealing with iron deficiency anemia by increasing the number of red blood cells that can increase blood viscosity and peripheral vascular resistance that affect blood pressure.This study aimed to determine the effect of 70% ethanol extract of Moringa leaves on blood pressure anemia white female rats. Thirty-six female rats of Sprague-Dawley strain were divided into six groups: normal control, induction, Fero fumarate, and three dose groups of Moringa leaf extract. Induction of anemia by 10% solution of aniline (0.005 mL / g b.w.) is given in each treatment group, except for the normal control group. On days 3rd and 4th are not given treatment, then on day-5th given the solution CMC 0.5% (normal controls and induction), Fero fumarate, and moringa leaf extract at dose 198; 396, and 792 mg / 200g b.w. until day 10th. Measurement of systolic, diastolic, and mean blood pressure performed on day 5th and 11th using CODA® non-invasive blood pressure. Result from analysis of blood pressure data showed that 70% ethanol extract of Moringa leaves dose 198 mg/200g bw can increase systolic, diastolic, and mean arterial blood pressure were significantly (p <0.05) on day 11 of testing, but the other dose showed no significant difference (p ≥ 0.05) between groups.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46499
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Putri Azizah
Abstrak :
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia nutrisional yang menjadi penyebab anemia tersering. Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap pertumbuhan, perkembangan kognitif, gangguan perilaku, serta gangguan sistem imun pada anak. Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah perkotaan  dengan prevalens anemia pada remaja putri cukup tinggi yaitu 35,32%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan, mengetahui profil anak dengan ADB, dan mengetahui rerata Hb dan Ret-He pada populasi tersebut. Penelitian potong lintang ini menggunakan metode pengambilan sampel cluster random sampling. ADB ditegakkan apabila kadar Hb <11 g/dl disertai Ret-He ≤27,65 pg, dan defisiensi besi apabila Ret-He ≤27,65 pg tanpa anemia. Hasil penelitian, jumlah subjek adalah 91 anak, terdiri dari 44 lelaki (48%) dan 47 perempuan (52%), median usia 45 bulan (24-59). Prevalens ADB adalah 13,2% (12 dari 91) didominasi usia 48-59 bulan, jenis kelamin perempuan, status gizi baik, penghasilan orangtua cukup, pendidikan orangtua sedang, lahir cukup bulan, mendapat ASI eksklusif, tidak mendapat suplementasi zat besi, mendapat obat cacing dalam 6 bulan terakhir, dan sedang dalam kondisi infeksi akut. Rerata Hb anak usia 24-59 bulan adalah 11,84 ± 1,03 g/dl, median Ret-He untuk anak usia 24-59 bulan adalah 28,9 (18,2-32,8) pg. Rerata Hb pada anak yang mengalami ADB adalah 10,13 ± 0,38 g/dl, median Ret-He pada anak yang mengalami ADB adalah 23,30 (18,2-27,6) pg. Sebagai kesimpulan, prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan masih cukup tinggi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko terjadinya ADB pada anak. ......Iron deficiency anemia (IDA) is  nutritional anemia and the most prevalent cause of anemia. It has longterm impact on growth, cognitive development, behavioral disorders, and immune disorders in children. Tangerang Selatan is an urban area with high prevalence of anemia in female adolescence, about 35.32%. The aims of this study is to know the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschools in urban areas, to know the profile of children with IDA, and to know the mean Hb and Ret-He in this population. This is a cross-sectional study with cluster random sampling methods. IDA is defined if Hb value <11 g/dl with Ret-He ≤27.65 pg, iron deficiency if Ret-He ≤27.65 pg without anemia. Results of this study, the total subjects was 91 children, consist of 44 male (48%) and 47 female (52%), the median age was 45 months (24-59). The prevalence of IDA was 13.2% (12 of 91), dominated by age 48-59 months, female gender, normal nutritional status, good parental income, moderate parental education, full term birth, exclusively breastfeeding, not receiving iron supplements, received deworming within last 6 months, and in state of acute infection. The mean Hb for children aged 24-59 months was 11.84 ± 1,03 g/dl, the median Ret-He was 28.9 (18,2-32,8) pg. The mean Hb in children with IDA was 10.13 ± 0,38 g/dl, the median Ret-He was 23.30 (18,2-27,6) pg. Conclusions, the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschool in urban area is quite high. Further research is needed to determine the etiology and risk factors of IDA in children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Nurahmani Putri
Abstrak :
Latar Belakang: Obesitas merupakan salah satu kondisi yang sering ditemukan pada penduduk dewasa di Indonesia, di mana 29,3% di antaranya adalah perempuan. Individu obesitas dapat mengalami penurunan massa otot yang disebabkan oleh inaktivitas dan penumpukan lemak yang menghambat proses sintesis otot. Jika tidak ditangani, obesitas dapat menyebabkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah sarkopenia obesitas. Sarkopenia obesitas adalah kondisi yang ditandai dengan obesitas dan penurunan fungsi dan massa otot, terdiagnosis dengan  IMT >25 kg/m2, skeletal muscle index (SMI) yang menurun, dan kekuatan genggam tangan atau status performa yang rendah. Sarkopenia lebih sering terdeteksi pada lansia, namun penurunan massa otot sudah dapat terjadi sejak usia dewasa. Penelitian ini melihat apabila perempuan dewasa dengan obesitas sudah memiliki tanda-tanda sarkopenia obesitas seperti penurunan massa otot, SMI, dan hubungannya terhadap kekuatan genggam tangan. Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 64 karyawati obesitas RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Massa otot diukur menggunakan body impedance analysis dan skeletal muscle index dihitung menggunakan massa otot dibagi dengan tinggi badan (m2). Kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan dinamometer tangan. Analisis hubungan massa otot dan skeletal muscle index dengan kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil: Dari 64 subjek perempuan dewasa obesitas, 85,7% di antaranya memiliki massa otot yang rendah, dengan korelasi yang positif terhadap kekuatan genggam tangan kiri (p < 0,05, r = 0,354) dan tangan kanan (p < 0,05, r = 0,401). Namun hasil juga menunjukkan bahwa SMI subjek tidak memiliki korelasi dengan kekuatan genggam tangan mereka (p > 0,05), yang dapat disebabkan karena tinggi badan subjek yang lebih pendek dibandingkan standar tinggi sesuai usia. Kesimpulan: Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa perempuan obesitas memiliki kadar massa otot yang rendah, yang jika menetap dapat menyebabkan penurunan kekuatan genggam tangan, sehingga meningkatkan kerentanan mereka untuk mengidap sarkopenia obesitas. ......Background: Obesity is a condition prevalent in Indonesian adults, in which 29,3% of them are women. Obesity may come with decreased muscle mass due to inactivity and inhibition of protein synthesis by fat. In women, decreased muscle mass may also be caused by reduced estradiol. Obesity may lead to complications such as diabetes mellitus type 2, heart disease, stroke, osteoarthritis, and sarcopenic obesity. Sarcopenic obesity is a condition characterized by obesity and a decrease muscle mass and function, seen through body mass index of > 25 kg/m2, reduced skeletal muscle index (SMI), and reduced handgrip strength or physical performance. Sarcopenia is more prevalent in the elderly, but previous studies have proven that decreases in muscle mass begins earlier. This study was done to see if adult obese female workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital have already experienced a decrease in muscle mass, SMI, and their correlation with handgrip strength. Method: This cross-sectional study was done on  64 obese female adult workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Their muscle mass was measured using body impedance analysis and their skeletal muscle index was calculated by their muscle mass divided by their height (m2). Their handgrip strength was measured using a hand dynamometer. Analysis of the correlation of muscle mass and skeletal muscle with their handgrip strength was done using Pearson correlation. Result: Of 64 obese female subjects, 85,7% of them have decreased muscle mass. Their muscle mass has positive correlation with both their left handgrip strength (p < 0,05, r = 0,354) and right handgrip strength (p < 0,05, r = 0,401). However, this study shows that SMI of subjects are not correlated with their handgrip strengths (p > 0,05). This can be caused by the subjects’ height being lower than the national age-standardized height. Conclusion: Therefore, the results of this study supports the hypothesis that obesity is associated with lower muscle mass which could subsequently reduce handgrip strength, which increases their risk of having sarcopenic obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anandya Anton Atmojo Hadi
Abstrak :
Latar belakang: Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan salah satu masalah utama kesehatan dunia, terutama di negara berkembang, dan defisiensi besi (DB) adalah salah satu penyebab tersering anemia pada bayi dan anak. Bayi berat lahir rendah (BBLR) berisiko tinggi mengalami ADB dan dampak kesehatan seperti gangguan pertumbuhan, kekebalan tubuh, kognitif, psikomotor, dan tingkah laku. Tujuan: Mengetahui status besi dan menganalisis berdasarkan asupan nutrisi pada bayi usia kronologis 4 bulan dengan riwayat berat lahir kurang dari 2.500 gram. Metode: Penelitian ini dengan desain potong lintang yang dilakukan pada bayi usia kronologis 4 bulan dengan riwayat berat lahir rendah yang kontrol di poli tumbuh kembang dan pediatri sosial Kiara RSCM, pada bulan April 2020 hingga Juni 2021. Hasil: Sebanyak 67 subyek yang diikutsertakan dalam penelitian, rerata berat lahir 1.723 g, rerata usia gestasi 33,6 minggu, bayi yang medapatkan ASI eksklusif sebanyak 23,9%, ASI predominan 16,4% dan susu formula predominan sebanyak 59,7%. Kadar feritin pada subyek yang mendapatkan ASI eksklusif dan predominan lebih rendah dibandingkan yang mendapatkan susu formula predominan yaitu 46 (2,82-221) µg/L dibandingkan 58,8 (8-488) µg/L dengan nilai p = 0,199. Rasio prevalens bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dan predominan mengalami DB dan ADB dibandingkan susu formula adalah 2,286 (IK 95% 1,13-4,621) p = 0,035.              Kesimpulan: Pada penelitian ini prevalens anemia 50,7%, DB 14,9%, dan ADB 13,4%. Subyek yang mendapatkan asupan ASI eksklusif dan predominan memiliki kadar feritin yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan susu formula predominan. ......Background: Iron deficiency anemia (IDA) is one of the main health problems in the world, especially in developing countries, and iron deficiency (ID) is one of the most common causes of anemia in infants and children. Low birth weight (LBW) infants are at high risk of developing IDA and health impacts such as impaired growth, immunity, cognitive, psychomotor, and behavioral. Methods: This study was a cross-sectional design conducted on infants of chronological age 4 months with a history of low birth weight who was controlled in the growth and development clinic, Kiara Cipto Mangunkusumo Hospital from April 2020 to June 2021. Result:  A total of 67 subjects were included in the study, the average birth weight was 1.723 g, the mean gestational age was 33.6 weeks, infants who received exclusive breastfeeding were 23.9%, predominantly breastfed 16.4% and predominantly formula milk was 59.7%. Feritin levels in subjects who received exclusive and predominantly breast  milk were lower than those who received predominant formula milk, was 46 (2.82-221) compared to 58.8 (8-488) with p value = 0.199. The prevalence ratio of infants who were exclusively breastfed and predominantly had ID and IDA compared to formula milk was 2.28 (95% CI 1.13-4.621) p = 0.035. >Conclusion: Prevalence of anemia in this study was 50.7%, ID 14.9%, and IDA 13.4%. Subjects who received exclusive and predominant breast milk tend to have lower ferritin levels compared to predominant formula milk.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>