Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Euis Nina Herlina
Abstrak :
Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya dan perlu diwaspadai apalagi bila terjadiya pada trimester II dan III kehamilan, karena perdarahan cenderung untuk menjadi peristiwa yang fatal bagi ibu dan mengakibatkan angka persalinan prematur serta mortalitas perinatal. Menurut SKRT(1995) Insiden perdarahan antepartum di Indonesia sebesar 3,7 % sedangkan di RSU Kabupaten Tangerang kejadian perdarahan antepartum pada tahun 2001 , sebanyak 262 kasus (5,4%) dari 4778 persalinan, adapun penyebabnya 87,7 % karena Plasenta previa, dan 12,3% karena solusio plasenta, jadi sekitar 5,48 %. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan antepartum akibat kehamilan di RSU kabupaten Tangerang. Faktor yang diteliti meliputi umur ibu, paritas frekwensi kehamilan, usia kehamilan, riawayat abortus, riwayat seksio sesarea dan tingkat sosial ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data sekunder dan rekam medic bagian kebidanan dan kandungan RSU Kabupaten Tangerang pada tahun 2002, analisis dilakukan dengan sampel sebanyak 3928. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2002 dengan desain cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi ibu yang mengalami perdarahan antepartum sebanyak 259 orang (6,6%) dari 3928 persalinan. Adapun variabel yang berhubungan secara bermakna dengan terjadinya perdarahan antepartum adalah usia kehamilan (P=0,000 OR = 27,508), riwayat abortus (P=0,000 OR = 2,851) dan sosial ekonomi (P= 0,003 OR = 1,755). Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan kepada pihak RSU Kabupaten Tangerang untuk lebih meningkatkan PKM RS melalui dokter dan bidan sebagai pelaksana langsung untuk menyampaikan penyuluhan kepada ibu hamil agar melaksanakan Antenatal Care sedini mungkin dan secara teratur pada pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau, apabila ibu hamil yang diduga akan mengalami perdarahan anteparturn, pada usia kehamilan trimester II dan III dianjurkan untuk mengurangi aktivitas, istirahat cukup dan pengawasan kehamilan serta persalinannya di rumah sakit, Untuk ibu yang mempunyai riwayat abortus agar di upaya untuk menjarangkan kehamilan dengan mengikuti program KB. Hal ini disampaikan dengan cara pemberian pamplet, pemutaran video, penyuluhan kesehatan dan konseling. Untuk peneliti lain disarapkan dapat melakukan penelitian lanjutan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan antepartum yang belum terungkap pada penelitian ini dengan desain yang berbeda. ......Bleeding during pregnancy should always be considered as dangerous and to be paid full attention, especially if it is occurred in the second and third trimester of pregnancy since it tends to be fatal for mother and causes prematurity and prenatal mortality. According to SSKRT (1995), the incidence of antepartum bleeding in Indonesia was 33% while in Tangerang District General Hospital in 2001, there was 262 cases (5.4%) out of 4778 deliveries where 87.7% was caused by placenta previa and 12.3% was caused by solutio placenta. This study aimed to understand factors related to antepartum bleeding caused by pregnancy in Tangerang District General Hospital. Factors under study including mother's age, parity, age of pregnancy, abortion history, sectio caesaria history, and social economic status. This study analyzed secondary data from medical record in maternity and obstetric-gynecological department in Tangerang District General Hospital in 2002. Analysis was conducted among 3928 subjects whose record could be accessed. This study was conducted in July 2002 using cross sectional design. The study showed that the proportion of mother experienced antepartum bleeding was 259 mothers out of 3928 deliveries (6.6%). Variables significantly related to antepartum bleeding were age of pregnancy (p=0.000 OR = 27,508), abortion history (p=0.000 OR= 2,851), and social economic status (p=0.043 OR = 1,755). Based on the study results, it is suggested to Tangerang District General Hospital to improve the PKM through physician and midwife as direct implementers of education and extension to pregnant mothers as to have ANC as early as possible in a regular way to nearest health care facility. Mother suspected to experience antepartum bleeding in the second or third trimester should reduce her activities, take adequate rest, regularly monitor her pregnancy and should have delivery in hospital. Mother with history of abortion should reduce her parity by participate in family planning program. All of these information should be conveyed through pamphlet distribution, video show, as well as health education and counseling. It is also suggested to conduct other research on factors related to antepartum bleeding using different design.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12961
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
Makalah ini menyajikan risiko depresi antepartum (DAP) di antara wanita hamil, khususnya faktor stress sebelum hamil, stress selama hamil, kesesuaian perkawinan, dukungan sosial, status mental suami dan pengeluaran per-bulan. Subjek terdiri dari 580 wanita hamil triwulan ketiga yang melakukan pemeriksaan antenatal di Bagian Kebidanan Rumah Sakit Persahabatan (RSP) Jakarta. Sampel diambil sejak 1 Nopember 1999 – 15 Agustus 2002. Depresi antepartum ditapis dengan Edinburgh postnatal depression scale (EPDS), titik potong (cut-off score) ³ 13, penilaiannya dilakukan oleh psikiater. Informasi yang diperoleh melalui wawancara adalah data demografi dan karakteristik individu, hasil lembar pertanyaan terstruktur untuk data stres sebelum dan selama hamil, sedangkan kuesioner KDS, KHSI dan SCL-90 berturut-turut untuk mengukur dukungan sosial, kesesuaian hubungan perkawinan dan status mental suami (SCL-90). Prevalensi DAP di antara wanita hamil sebesar 18%. Depresi antepartum tidak terbukti berkaitan dengan faktor umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per-bulan, jumlah kehamilan, jumlah anak, jumlah persalinan, kesehatan fisik ibu, dan riwayat sindroma premenstruasi. Wanita hamil yang mengalami stres sebelum hamil berisiko dua kali lipat mengalami DAP [odds ratio (OR) suaian = 2,04; 95% interval kepercayaan (IK): 1,12 – 3,74] dibandingkan dengan yang tidak mengalami stres sebelum hamil. Demikian pula wanita hamil yang mengalami stres saat hamil dibandingkan yang tidak mengalami stres saat hamil berisiko 2,2 kali lipat mengalami DAP (OR suaian = 2,13, 95% IK: 1,27-3,74). Dapat disimpulkan stres sebelum dan selama hamil meningkatkan risiko depresi antepartum. Oleh karena itu faktor risiko tersebut harus mendapat perhatian bagi yang menangani ibu hamil. (Med J Indones 2003; 12: 81-6)
This paper presents the risk of antepartum depression (APD) among pregnant women. In particular stress before pregnancy, stress during pregnancy, marital relationship, social support, husband’s mental status and monthly expenditure. The subjects consisted of 580 pregnant women in the third trimester, who attended antenatal care at the Department of Obstetrics of the Persahabatan Hospital Jakarta from November 1, 1999 to August 15, 2001. Antepartum depression was screened by a psychiatrist using the Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS). Information on demographic and personal characteristics were collected from fill-in form. Through this form, the respondent gave information on stress before and during pregnancy, and from questionnaires Kuestioner Dukungan Sosial (KDS), Kesesuaian Hubungan Suami Istri (KHSI) and the Symptom Check List-90 (SCL-90) information about social support, marital relationship, and husband’s mental status were collected respectively. The prevalence of APD was 18%. Antepartum depression and non-antepartum depression were similar in terms of age groups, level of education, occupations, monthly expenditures, number of pregnancies, number of children, number of deliveries, physical health condition, and history of premenstrual syndromes. Pregnant women with stress before pregnancy had a two-fold risk of APD [adjusted odds ratio (OR) = 2.04; 95% confidence intervals (CI): 1.12 – 3.74] compared to pregnant women without stress before pregnancy. In addition, when compared to pregnant women without stress during pregnancy, those with stress during pregnancy had 2.2-fold risk of developing APD (adjusted OR=2.13, 95% CI: 1,27-3,74). In conclusion, stress before and during pregnancy increased the risk antepartum depression. Therefore, attention should be paid to pregnant women with these risk factors. (Med J Indones 2003; 12: 81-6)
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003: 81-86, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-81
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Sunyoto
Abstrak :
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dengan perdarahan antepartum di RSU dilakukan penelitian dengan rancangan case-control yang menggunakan data rekam medis di RSU se wilayah III Cirebon tahun 1992-1996 yang dipergunakan format MCM sebagai alat pengumpul data. Populasi adalah ibu hamil yang datang ke RSU dengan komplikasi perdarahan antepartum, diambil seluruh kasus kematian ibu PAP sebagai sampel yaitu 53 ibu PAP dan 263 ibu PAP yang tidak meninggal dan terpilih sebagai control. Digunakan analisa univariat, bivariat dan regresi logistik untuk memperkirakan OR dan 95% confidence interval serta interaksi digunakan untuk memerikasa efek modifikasi. Temyata yang berpotensi sebagai konfonding adalah persalinan dan kesiapan darah, umur kehamilan dan kegawatan serta frekuensi hamil dan kegawatan adalah persalinan dan kesiapan darah, umur kehamilan dan kegawatan serta frekuensi hamil dan kegawatan. Melalui penelitian ini didapat faktor penentu terhadap kematian ibu PAP adalah tindakan pengakhiran persalinan, pendidikan ibu, kondisi kegawatan saat tiba di RSU, status rujukan, umur kehamilan, frekuensi kehamilan dan kesiapan darah. Ternyata variabel persalinan menjadi faktor penentu utama terhadap kematian ibu dengan perdarahan antepartum di rumah sakit Umum, tepatnya ibu PAP yang datang ke RSU tidak diakhiri persalinan rnempunyai risiko kematian lebih besar dari pada yang diakhiri persalinan di RSU. Maka dapat disimpulkan bahwa untuk mencegah kematian ibu PAP di RSU antara lain setiap ada kasus PAP diatas 35 minggu baru dapat di pulangkan setelah tindakan pengakhiran kehamilan; dan sarana tenaga, material khususnya untuk pembedahan dan pembiayaan serta prosedur tetap di RSU senantiasa menjadi perhatian pimpinan RSU dan Pemerintah Daerah untuk pemenuhannya. Untuk pelayanan kesehatan ekstemal RSU diharuskan segera merujuk ibu PAP tanpa melakukan manipulasi apapun serta memberikan pertolongan pertama untuk perdarahannya baik infus maupun transfusi. Selain itu agar senantiasa diupayakan pembatasan kehamilan yang dapat mempengaruhi kematian ibu khususnya ibu dengan PAP. Karena pendidikan ibu mempengaruhi kematian Ibu PAP maka pemberdayaan wanita menjadi panting agar wanita dapat mengambil keputusan sendiri, dapat mempersiapkan kelahiran dengan baik sehingga 2 keterlambatan dapat dihindari; dengan melibatkan keluarga masyarakat dan aparat.
It is found out through the research that the decisive factor responsible for the death of pregnant women with antepartum hemorrhage are the effort of breaking up the pregnancy with child birth, the educational back ground of the women, the condition of criticalness when they enter the hospital, the status of reference, the age of pregnancy, the frequent of pregnancy, and the readiness of blood. It is found out too that the child birth variable is the main decisive factor on the death of pregnant women with antepartum hemorrhage; the death risk is higher on the pregnant women with antepartum hemorrhage without child birth efforts in comparison to the others with child birth efforts. It can be concluded that, to prevent the pregnant women with antepartum hemorrhage from death, there should be the effort of breaking u[ the pregnancy with child birth, the availability dualified human resources and equipments for surgical operation, financing, and the regular procedure applied at the hospitals should always be paid attention by the head of the hospitals and the local goverment. For the external health service, the hospitals should immediately refer to the pregnant women with antepartum hemorrhage without making any manipulation and give them the first aid for their bleeding. In addition, there should be efforts to restrict pregnancies which may cause death to the pregnant women with antepartum hemorrhage. Since the educational back ground influences the death of the pregnant women with antepartum hemorrhage, the women's education should be increased in order that they can make their own decisions in the anticipation of their child birth involving the families, sorroundings, and goverment agencies.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library