Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andri Anggraeni Wibawaningsasi
"Penggunaan sudut ANB dan Wits di klinik sebagai metode pengukuran diplasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior adakalanya memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya pengaruh antara lain variasi posisi Nasion dan kemiringan garis oklusi. Dengan dasar pemikiran bahwa pemakaian lebih dari dua parameter akan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih jelas, maka sudut SGn AB yang diperkenalkan oleh Sarhan, dipakai sebagai alat bantu mendiagnosa hubungan mandibula dan maksila ke kranium dalam jurusan anteroposterior.
Penelitian yang merupakan suatu studi awal ini dilakukan pada pasien dewasa yang datang ke klinik ortodontik FKGUI dari bulan Januari 1990 sampai dengan bulan Desember 1993. Tujuannya membuktikan bahwa parameter SGn AB bersama-sama metode sudut ANB dan Wits dapat dipergunakan untuk identifikasi adanya displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior secara lebih baik.
Subjek yang diteliti berupa 70 sefalogram yang terdiri dari 45 wanita dan 25 pria berusia 19-25 tahun, bangsa Indonesia, belum pernah mendapat perawatan ortodontik. Dari setiap subjek diukur sudut SNA, sudut SNB, sudut ANB, sudut SGn AB dan Wits.
Untuk mendapatkan klsifikasi maloklusi, sudut ANB diukur memakai ukuran Steiner yaitu 2° dengan SD ± 2°. Sudut SGn AB diukur menurut norma ukuran Sarhan dan Wits diukur sesuai ukuran Jacobson yaitu 0 mm dengan SD ± 1 mm. Dilakukan pengelompokan klasifikasi maloklusi antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.Kemudian dilihat tingkat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan sudut ANB, serta antara sudut SGn AB dan Wits.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits sebesar 24.2 %, dengan kelompok klasifikasi maloklusi yang berbeda sebesar 17 sampel. Pengukuran memakai sudut SGn AB menghasilkan koreksi sudut ANB sebesar 11 sampel, Wits sebesar 6 sampel. Ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB sebesar 14 %, dan ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan Wits sebesar 10 %.Terlihat bahwa ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits adalah lebih besar dari pada ketidakselarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.
Secara umum dapat disimpulkan posisi nilai sudut SGn AB yang terletak ditengah-tengah sudut ANB dan Wits, menunjukkan bahwa sudut SGn AB dapat digunakan untuk mengoreksi sudut ANB dan Wits secara seimbang. Dengan dernikian sudut SGn AB dapat digunakan sebagai alat bantu yang menunjang keakuratan pengukuran displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior, disamping metode sudut ANB dan Wits."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1994
T10027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Fikri Ali Akbar
"Latar Belakang Prolaps organ panggul (POP) merupakan perubahan posisi organ-organ penyusun panggul dari posisi normal. Ballooning atau distensi otot levator ani dinilai menjadi penyebab POP. Penentuan balloning sejauh ini masih menggunakan USG 3D/4D yang tidak banyak ada di Indonesia. Diperlukan penelitian perbandingan ballooning dan non-ballooning dengan USG 2D untuk menentukan ballooning dengan panjang antero-posterior (AP) hiatus levator ani. Metode Digunakan metode deskriptif analitik menggunakan perbandingan rerata dengan desain penelitian potong lintang retrospektif dan pemilihan sampel penelitian secara konsekutif. Didapatkan sebanyak 72 subjek dengan 37 orang berada pada kelompok ballooning. Hasil Usia kelompok ballooning dan non-ballooning berada pada usia dewasa tua (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 tahun, p=0.096), obesitas (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), aktivitas berat (51.3% vs 65.7%, p=0.217), pekerjaan ibu rumah tangga (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparitas (72.9% vs 60.0%, p=0.210), menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892), bayi lahir terberat ≥ 3500 gram (56.7% vs 45.7%, p=0.349), dan persalinan normal (83.7% vs 88.5%, p=0.420). Rerata anteroposterior ballooning lebih besar dibandingkan non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) dengan seluruh subjek ballooning memiliki panjang AP di atas 6 cm (<0.001). Kesimpulan Obesitas dan berat badan berhubungan dengan adanya ballooning pada pasien POP. Perbandingan AP hiatus levator ani menunjukkan perbedaan sehingga skrining ballooning berdasarkan panjang AP hiatus dapat dilakukan untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction Pelvic organ prolapse (POP) is a change in the position of the organs that make up the pelvis from their normal position. Ballooning or distension of the levator ani muscle is considered to cause POP. This determination of ballooning still uses 3D/4D ultrasound, which is not widely available in Indonesia. Comparative research between ballooning and non-ballooning with 2D ultrasound is needed to determine the ballooning through anteroposterior (AP) length of the levator ani hiatus. Method The analytical descriptive method was used using mean comparisons with a retrospective cross-sectional research design and consecutive research sample selection. There were 72 subjects with 37 people in the ballooning group. Results The ages of the ballooning and non-ballooning groups were older adults (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 years, p=0.096), obesity (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), heavy activity (51.3% vs 65.7%, p=0.217), housewife work (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparity (72.9% vs 60.0%, p=0.210), after menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892) , the heaviest baby born ≥ 3500 grams (56.7% vs 45.7%, p=0.349), and normal delivery (83.7% vs 88.5%, p=0.420). The mean anteroposterior ballooning was greater than non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) with all ballooning subjects having an AP length above 6 cm (<0.001). Conclusion Obesity and body weight are associated with ballooning in POP patients. Comparison of the AP hiatus of the levator ani shows differences so that ballooning screening based on the length of the AP hiatus can be performed to differentiate the two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthonyus Natanael
"Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai turunnya visera pelvis (uterus, kandung kemih, uretra, dan rektum) dari posisi normal. Otot levator ani merupakan penopang panggul yang berperan penting dalam patogenesis POP. Studi sebelumnya menunjukkan terdapat perbedaan luas area hiatus dan panjang anteroposterior hiatus levator ani pada setiap derajat keparahan POP. Diagnosis POP dapat ditegakkan dengan POP-Q, namun pelaksanannya masih terbatas sehingga dibutuhkan alat pemeriksaan lain untuk skrining pasien.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling. Peneliti mengidentifikasi subjek POP dengan dan tanpa keluhan benjolan. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan POP-Q, panjang genital hiatus (Gh) dan perineal body (Pb), dan pemeriksaan USG translabial 3D/4D. Data dianalisis menggunakan SPSS Statistics 20 dengan uji T tidak berpasangan untuk membandingkan rerata parameter luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani. Selanjutnya dilakukan analisa ROC untuk mendapatkan nilai titik potong dengan estimasi sensitifitas dan spesifisitas terbaik untuk membedakan prolaps bergejala dan tidak bergejala benjolan. Hasil: Sebanyak 109 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus (28,9+5,59 vs 19,6+4,63, p < 0,05 saat valsalva, 15,2+4,08 vs 12,5+3,15, p <0,005 saat kontraksi) dan panjang anteroposterior levator ani (8,6+1,06 vs 6,8+1.13, p<0,05) antara kelompok dengan keluhan benjolan dan kelompok tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani untuk membedakan subjek dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan adalah 25,1 cm2 [sensitifitas 84,6%, spesifisitas 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] dan 7,75 cm [sensitifitas 87,2%, spesifisitas 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus dan panjang anteroposterior levator ani antara kelompok dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas hiatus 25,1 cm dan panjang anteroposterior 7,75 cm memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction: Pelvic organ prolapse (POP) is defined as descent of the pelvic viscera (uterus, bladder, urethra, and rectum) from its normal position. Levator ani muscle is the largest component of pelvic floor that plays an important part in POP pathogenesis. Previous study showed that there was difference in levator hiatus area and anteroposterior length on every grade of POP. The diagnosis of POP can be established from POP-Q tool, however its use is still very limited within its subspecialist practice causing the need of a new screening tool.
Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sampling method. We classified POP subject with bulge symptom and without bulge symptom. Subjects that were willing to participate in this study under underwent POP-Q examination and 3D/4D transperineal ultrasonography. Data were analyzed using SPSS Statistics 20 with student’s t-test to compare levator hiatus area and anteroposterior length mean between 2 group.
Results: A total of 109 subjects were included in this study. There was a significance difference in levator hiatus area (28.9+5.59 cm2 vs 19.6+4.63 cm2, p < 0/05 during valsalva maneuver, 15.2+4.08 cm2 vs 12.5+3.15 cm2, p <0.05 during contraction) and anteroposterior length (8.6+1.06 c, vs 6.8+1.13 cm, p<0,05) between group with bulge symptom and without bulge symptom. Levator hiatus area and anteroposterior length cutoff to differentiate between subject with and without bulge symtoms was respectively 25,1 cm2 [sensitivity 84,6%, specificity 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] and 7,75 cm [sensitivity 87,2%, specificity 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Conclusion: There was a significant difference in levator hiatus area and anteroposterior length between group with and without bulge symptom. Levator hiatus area cut off at 25,1 cm2 anteroposterior length cut off at 7.75 cm showed good sensitivity and specificity to differentiate between 2 group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library