Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raima Syahidah Noors
"Pada penelitian terdahulu telah diusulkan dua buah ligan polipeptida siklik disulfida-CDEEC dan CDGSC-sebagai inhibitor potensial untuk enzim RNA-dependent RNA-polymerase virus dengue melalui molecular docking. Simulasi molecular docking dilakukan dengan keadaan tanpa pelarut dimana enzim dibuat rigid dan ligan dibiarkan bebas berotasi untuk mencari konformasi terbaik. Pada kenyataan dalam sistem seluler terdapat pelarut yang membuat enzim memiliki pergerakan dinamis. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan simulasi dinamika molekul untuk memperkirakan sistem kompleks enzim-ligan yang lebih nyata. Simulasi dinamika molekul dijalankan pada selama 5ns pada suhu 300 dan 312 K. Pada akhir simulasi 300 K CDEEC membentuk ikatan dengan dua residu penting pada RdRp yaitu Arg-729 dan Arg-737 sedangkan CDGSC tidak berikatan dengan residu penting manapun. CDEEC juga memberikan hasil yang lebih baik dibanding CDGSC pada simulasi 312 K. CDEEC membentuk ikatan dengan dua residu penting yaitu Arg-737 dan Ser-710 sementara CDGSC tidak berikatan dengan satupun residu penting. Berdasarkan hasil tersebut CDEEC merupakan inhibitor yang lebih baik dan layak untuk dikembangkan sebagai obat anti dengue.

Previous researches have proposed two ligands of disulfide cyclic polypeptide which are CDEEC and CDGSC as potential inhibitor of RNA-dependent RNA-polymerase dengue virus by molecular docking. Molecular docking simulation is done without a solvent in which enzyme is made rigid and ligand was left free to rotate to find teh best conformation. In fact in a cellular system there is a solvent that makes the enzyme has a dynamic movement. Therefore in this paper molecular dynamics simulation is done to estimate more reliable condition of enzyme-ligand complex. In this work molecular dynamics simulation is done during 5 ns with two different temperature, 300 and 312 K. At the end of MD simulation at 300 K, CDEEC binds to two RdRp important residues, Arg-729 and Arg-737 while CDGSC doesn’t bind to any important residues. Simulation at 312 K also revealed nearly the same result, CDEEC binds to two RdRP important residues, Arg-737 and Ser-710, whereas CDGSC doesn’t bind to any important residues. Based on the result of these two simulation, CDEEC is proposed as a better inhibitor of RdRp dengue virus and feasible to be developed as anti-dengue drug."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S30694
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Riana Julida
"Penyakit Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di Asia Tenggara karena penyebab utama perawatan di rumah sakit dan kematian anak. Di Indonesia, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena angka insidens DBD cenderung meningkat. Dan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah endemis DBD, angka insidens tahun 2002 berada di alas target nasional yaitu 20,57 per 100.000 penduduk sementara target nasional sampai tahun 2010 angka insidens DBD 5 per 100.000 penduduk untuk daerah endemis DBD.
Program pemberantasan vektor intensif yang meliputi fogging massal sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala dan abatisasi selektif masih dilaksanakan sampai tahun 2002 di Kabupaten Muara Enim. Sementara Depkes RI sejak tahun 1998 telah menganjurkan untuk menangguhkan fogging massal sebelum musim penularan serta mengalihkan kegiatan fogging massal sebelum musim penularan menjadi bulan bakti gerakan 3M (menguras, menutup dan mengubur) sebelum musim penularan. Dan tahun 2002 ditegaskan bahwa fogging massal sebelum musim penularan tidak lagi menjadi kebijaksanaan nasional dalam program pemberantasan penyakit DBD.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi korelasi tentang pengaruh pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif (fogging massal sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala dan abatisasi selektit) dan ketersediaan sumber daya (pendidikan petugas, lama kerja petugas, yang pernah diikuti petugas, pelatihan peralatan, bahan insektisida dan dana) terhadap angka insidens DBD selama 3 tahun (1999-2001). Unit analisis adalah kelurahan endemis DBD yang berjumlah 14 kelurahan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara simple regression linier analysis dan multiple regression linier analysis dengan software Stata 6.0 dengan melihat nilai p (p-value).
Dari analisis diperoleh hasil bahwa ada pengaruh pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif terhadap angka insidens DBD, dimana pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif yang tidak sesuai petunjuk meningkatkan angka insidens DBD sebesar 10,25 per 100.000 penduduk (p=0,036) untuk tahun 1999 dan untuk tahun 2001 meningkatkan angka insidens DBD sebesar 4,89 per 100.000 penduduk (p=0,047).
Petugas yang sudah dilatih akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 18,32 per 100.000 penduduk (p=0,048) untuk tahun 1999. Tabun 2000, ketersediaan bahan insektisida malathion yang tidak mencukupi kebutuhan akan meningkatkan angka insidens DBD sebesar 1,34 per 100.000 penduduk (p=0,024). Sedangkan petugas yang sudah lama bekerja akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 2,74 per 100.000 penduduk (p=0,022) di tahun 2000. Ketersediaan Jana yang tidak mencukupi kebutuhan tahun 2001 akan meningkatkan angka insidens DBD sebesar 23,51 per 100.000 penduduk (p=0,025).
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa sebaiknya kegiatan fogging massal sebelum musim penularan tidak dilaksanakan lagi kecuali bila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), karena membutuhkan biaya yang besar untuk operasional dan tidak efektif lagi untuk menurunkan angka insidens DBD. Terbukti bahwa angka insidens DBD terus meningkat setiap 3 tahun, sehingga sejak tahun 2002 dianjurkan untuk diganti menjadi kegiatan bulan bakti gerakan 3M selama sebulan penuh pada saat sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala 4 kali setahun dan abatisasi selektif sebanyak 4 kali setahun.

Effect of intensive vector eradication program implementation against incidence rate of Dengue Haemorrhagic Fever in Muara EnimDengue Hemorrhagic Fever (DHF) still constitutes an important public health problem in South East Asia due to the principle cause of treatment in hospital and infant mortality. In Indonesia, DHF is also a public health problem because DHF incidence rate has the tendency to go up. Muara Enim District as a DHF endemic region, the annual incidence rate for 2002 stands above the national target at 20.57 per 100,000 inhabitants, while the national target up to 2010 for DI-IF incidence rate is 5 per 100,000 inhabitants for DHF endemic region.
The intensive eradication program covering mass fogging prior to contamination season, periodic larva inspection and selective abatitation is still being implemented 'up to year 2002 in Muara Enim District. Meanwhile, Ministry of Public Health since 1998 has already suggested to postpone mass fogging prior to contamination season and to transfer mass fogging activities prior to contamination season to become "activites of 3M monthly action" (to clean by draining, to cover and to bury) before contamination season. Furthermore, in 2002 it was confirmed that the mass fogging prior to contamination season is no longer a national policy in DHF eradication program.
The study employs a correlation study plan concerning intensive vector eradication program implementation (mass fogging prior to contamination season, periodic larva inspection and selective abatitation) as well as the availability of resources (education of officers, work duration of officers, type of training followed by officers, insecticide material and funds) vis-a-vis DHF incidence rate during a period of '3 years (1999-2001). The analyzed unit is a DID endemic village consisting of 14 counties. The collected data are analyzed by simple regression linear analysis and multiple regression linear analysis using Stata 6.0 software by considering the p-value.
Results obtained from the analysis revealed that there is an impact of intensive vector eradication program implementation vis-a-vis DHF incidence rate, where the intensive vector eradication program implementation is no longer compatible with the guidelines to enhance DHF incidence rate of 10.25 per 100,000 inhabitants (p--0.036) for year 1999 and for year 2001 to raise the DEF incidence rate to 4.89 per 100,000 inhabitants (p= 0.047).
Officers that have undergone training will lower DI-IF incidence rate by 18.32 per 100,000 inhabitants (p=0.048) for year 1999. In year 2000, where the supplies of malathion insecticides are not sufficient to meet the needs will raise DHF incidence rate by 23.51 per I00,000 inhabitants (p=0.025).
The conclusion that can be drawn from the study results is that it would be better if mass fogging activities prior to contamination season be discontinued except in outbreak or a case of emergency, cause it requires large expenses to operate while it is no longer effective to lower DHF incidence rate. Evidence show that DHF incidence rate continou to increase every 3 years, thus for year 2002 it is recommended to replace this to become activities of 3M monthly actions during one full month at a time before eradication season, periodic larva inspection 4 times a year and selective abatitation 4 times a year.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosemary Ceria
"Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang sampai saat ini belum ada antivirus untuk penyakit ini. Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) merupakan famili Fabaceae, tidak toksik untuk hewan coba, memiliki khasiat sebagai antibiotik berpotensi untuk menjadi kandidat antivirus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak daun angsana mengeliminasi DENV-2 pada mencit dan toksisitasnya. Uji toksisitas dosis tunggal ekstrak etanol daun angsana (5 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, 500 mg/kgBB) diberikan secara i.v pada 24 ekor mencit. Pengamatan dilakukan setiap hari 7-14 hari. Uji potensi ekstrak (dosis 125 mg/kgBB, 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB p.o) terhadap DENV-2 menggunakan 48 ekor mencit yang diinfeksi (i.p) dengan sel K562 terinfeksi DENV-2. Mencit dibagi 2 kelompok, pertama diberikan ekstrak daun angsana (p.o) 2 jam sebelum dan kedua, diberikan ekstrak daun angsana (p.o) 2 jam sesudah infeksi sel K562 terinfeksi DENV-2. Serum diambil 6 jam dan 24 jam setelah infeksi viremia dinilai dengan focus assay. Pengamatan toksisitas dilakukan pada mencit yang diberi ekstrak dosis 500 mg/kgBB p.o 24 jam setelah infeksi diperiksa hati dan ginjal secara makroskopis, mikroskopis dan pengukuran SGPT, SGOT, ureum, kreatinin serum mencit. Hasil pengamatan tidak terlihat gejala toksik yang signifikan pada seluruh kelompok mencit dengan ekstrak yang diberikan secara i.v. Ekstrak etanol daun angsana mempengaruhi pertambahan berat badan mencit, namun pada dosis 500 mg/kgBB yang diberikan i.v, terjadi penurunan berat badan, karena nekrosis di lokasi penyuntikan (ekstrak terlalu pekat), sehingga dosis tidak dilanjutkan lebih tinggi.
Hasil uji potensi ekstrak p.o terlihat ada penurunan titer virus pada dosis 250 dan 500 mg/kgBB pada kelompok yang diberikan ekstrak 2 jam sesudah infeksi sel K562 terinfeksi DENV-2. Secara mikroskopis dan pengukuran kreatinin 24 jam setelah pemberian ekstrak 500 mg/kgBB p.o, ginjal mengalami kerusakan. Sebagai kesimpulan, ekstrak daun angsana secara i.v tidak menimbulkan gejala toksik sampai dosis 500 mg/kgBB. Ekstrak daun angsana juga berpotensi menjadi kandidat anti dengue (250 mg/kgBB dan 500 mg/kgBB p.o), namun secara mikroskopis dan pengukuran kreatinin serum mencit, kelainan ginjal terlihat pada dosis 500 mg/kgBB p.o (24 jam setelah pemberian ekstrak). Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis yang efektif dan subfraksi untuk mendapatkan senyawa yang lebih aman.

Dengue is a disease caused by dengue virus. Until now, there has been no antiviral drug for dengue fever. Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) is a family Fabaceae, not toxic to experimental animals, has efficacy as an antibiotics potentially become an antiviral candidate. The aim is to determine the potential of ethanol extract angsana leaves in eliminating DENV-2 in mice and its toxicity. Single dose toxicity of angsana leaves ethanol extract (5mg/kgBW, 50mg/kgBW, 500mg/kgBW) was administered i.v to 24 mice. Observations were made everyday up to 7-14 days later euthanized and necropsy at the end of the observation. A potential extract (dose of 125mg/kgBW, 250mg/kgBW, 500mg/kgBW) against DENV-2, 48 mice were infected (i.p) with K562 cells infected with DENV-2. Mice were divided into 2 groups, the first was given ethanol extract per oral 2 hours before and The second group was given 2 hours (P.O) after infection. Sera taken 6 hours and 24 hours after infection. Viremia was assessed with focus assay using Huh7it-1 cells. Observations of toxicity was also performed in mice given the extract dose of 500mg/kgBW 24 hours after infection. Liver and kidneys were checked macroscopic, microscopically, and serum SGPT, SGOT, urea, creatinine were measured.
The result showed that significant toxic symptoms were not seen in all groups of mice with extract up to 500mg/kgBW) by i.v. The ethanol extract angsana leaves were seen weight gain in mice, but at 500 mg/kg iv, weight loss, due to necrosis at the injection site (extract too thick), so that the dose does not proceed higher. Extract potency test results seen the reduction in viral titer in a dose of 250 and 500 mg/kgBW P.O in the group of mice given 2 hours after infection of K562 cells infected with DENV-2. Microscopic and creatinine observation 24 hours after administration of 500 mg/kg extract P.O, suggested kidney damage. In conclusion, ethanol extract of angsana leaves does not cause toxic symptoms up to 500mg/kgBW). Ethanol extract of angsana leaves also has the potential to be candidates for anti-dengue (250mg/kgBW and 500mg/kgBW P.O), but suggested kidney damage in microscopic and urea, creatinine serum level at dose of 500 mg/kgBW (24 hours after P.O administration of the extract). Further research is needed to determine the effective dose and subfraction to get safe compound."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library