Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Slamet Andriyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Deteksi antigen betanodavirus pada 26 ekor ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang diduga terinfeksi telah dilakukan dengan metode imunohistokimia. Tanda klinis pada benih yang terinfeksi sering menunjukkan perilaku berenang yang tidak normal, seperti posisi vertikal, berputar dan terjadi beberapa perubahan pigmentasi. Metode screening yang dilakukan oleh RT-PCR memberikan hasil positif dengan munculnya band pada hasil elektroforesis pada 230 bp. Secara histopatologi terdapat sel-sel yang mengalami nekrotik dengan vakuolasasi di organ otak dan mata. Deteksi imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal spesifik untuk betanodavirus menunjukkan reaksi positif dengan pembentukan warna coklat di jaringan organ otak dan mata. Pengujian imunohistokimia adalah salah satu metode yang cocok untuk deteksi dan diagnosis infeksi betanodavirus pada ikan.
ABSTRACT
Detection of betanodavirus antigen on the 26 heads of infected tiger grouper fish (Epinephelus fuscoguttatus) by immunohistochemistry was done. Clinical sign of the infected larva and juvenile stages often show abnormal swimming behaviour, including vertical positioning, spinning and some change in pigmentation. Methods of screening done by RT-PCR give result showed by electrophoresis band with all most sample give positif in 230 base pairs. Histopathologically, there were necrotic area with vacuolation in brain and retine organs. Immunohistochemistry detection using specific monoclonal antibody to betanodavirus showed positif reaction with brown colours formation in the internal organs like brain and retine. Immunohistochemistry assay is one of the suitable methods for detection and diagnose of betanodavirus infection in fish.
2017
T47641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dian Amirulloh
Abstrak :
ABSTRAK
Hepatitis C virus HCV menginfeksi lebih dari 170 juta penduduk dunia dan menyebabkan penyakit hati kronis yang berkembang menjadi sirosis dan kanker hati. Diagnosis yang akurat sangat diperlukan untuk memberikan penanganan tepat secara dini, termasuk mencegah penularan virus tersebut secara lebih luas. Pada penelitian ini plasmid pQE80L-HCV_ME telah berhasil dibuat untuk produksi antigen rekombinan HCV. Gen pengkode antigen tersebut dirancang berdasarkan multiepitop yang bersifat imunodominan, lestari, mewakili subtipe HCV di Indonesia dan global. Gen tersebut dibuat dengan teknik DNA sintetik kemudian diklona dari plasmid pUC57 ke pQE80L. Pengklonaan dilakukan menggunakan situs restriksi BamHI dan HindIII dalam sel E. coli Top10. Plasmid pQE80L-HCV_ME kemudian diverifikasi dengan PCR koloni, analisis restriksi, dan sekuensing.
ABSTRACT
Hepatitis C virus HCV have been infected more than 170 million people in the world and caused chronic liver disease that lead to liver cirrhosis and hepatocellular carcinoma. Accurate diagnosis is very important to give early proper treatment and to prevent HCV transmission broadly. In this research pQE80L HCV ME plasmid has been successfully created to produce HCV recombinant antigen. Gene that encodes antigen was designed based on multiepitop sequences from immunodominat region, conserve, and represent the most prevalence HCV subtypes in Indonesia and global. The gene was generated through synthetic DNA then be cloned from pUC57 plasmid to pQE80L. Cloning was performed by using BamHI dan HindIII in E. coli Top10 cell. pQE80L HCV ME plasmid then be verified by colonies PCR, restriction analysis, and sequencing.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Ariani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Berdasarkan Jakarta Cancer Registry tahun 2012, kanker kolorektal merupakan kanker terbanyak keempat pada wanita dan kedua pada pria di Indonesia. Penelitian menggunakan mRNA fekal sebagai penanda kanker kolorektal bersifat non invasif namun cukup representatif menggambarkan kelainan pada usus. Tujuan: Mengevaluasi peran pemeriksaan mRNA CEA feses pada pasien terduga keganasan kolorektal menggunakan nested RT-PCR. Metode: Uji diagnostik ini melibatkan 93 pasien terduga keganasan kolorektal yang ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik oleh klinisi. Ekstraksi mRNA CEA fekal menggunakan metode Kanaoka dan sintesis DNA menggunakan metode cyclic temperature reverse transcription 2 CTRT-2 . Pemeriksaan mRNA CEA menggunakan metode nested RT-PCR. Hasil: mRNA CEA fekal positif ditemukan pada 22 pasien 23,7 . Penelitian ini mendapatkan sensitivitas 51,61 , spesifisitas 90,32 , nilai prediksi positif 72,73 dan nilai prediksi negatif 78,87 . Meskipun sensitivitas yang diperoleh rendah tetapi spesifisitas mRNA CEA fekal yang tinggi dapat mengkonfirmasi diagnosis lesi neoplastik pada pasien terduga keganasan kolorektal. Kesimpulan: Pemeriksaan mRNA CEA fekal tidak dapat digunakan sebagai penanda tunggal dalam skrining keganasan kolorektal. Pemeriksaan mRNA CEA fekal perlu dikombinasikan bersama penanda diagnostik lainnya agar dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan. Kata kunci: carcinoembryonic antigen; penanda fekal; nested
Background Based on the 2012 Jakarta Cancer Registry, colorectal cancer is the fourth of most common cancer in women and the second in men. Fecal carcinoembryonic antigen mRNA assay is a non invasive method, yet representatively describes abnormalities of the intestine. Objective To evaluate the role of fecal mRNA CEA assay in suspected colorectal cancer patients using nested RT PCR. Methods The diagnostic study included 93 suspected colorectal cancer patients which were determined by anamnesis and physical examination from the clinician. The fecal mRNA were extracted by Kanaoka method and cDNA were synthesized with cyclic temperature reverse transcription 2 CTRT 2 method. The fecal mRNA CEA assay used nested RT PCR method. Results Positive fecal mRNA CEA was detected in 22 patients 23.7 . Sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value were 51.61 , 90.32 , 72.73 , and 78.87 respectively. This study had low sensitivity but with high specificity. Therefore, fecal mRNA CEA could be used as a confirmatory assay. Conclusions It was not recommended to use fecal mRNA CEA as a single marker in colorectal cancer screening. A fecal mRNA CEA assay should be combined with other diagnostic markers in order to improve the sensitivity and specificity of the assay. Keywords carcinoembryonic antigen fecal marker nested
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari Angka, translator
Abstrak :
Cases of coronavirus disease 2019 (COVID-19) in Indonesia are still increasing and even higher in the last few weeks. Contact tracing and surveillance are important to locate cases in the community, including asymptomatic individuals. Diagnosis of COVID-19 depends on the detection of viral RNA, viral antigen, or indirectly, viral antibodies. Molecular diagnosis, using real time, reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), is the common standard method; however, it is not widely available in Indonesia and requires a high standard laboratory. Rapid, point-of-care antibody testing has been widely used as an alternative; however, interpretation of the results is not simple and now it is no longer used by the Indonesian government as a screening test for people travelling between locations. Thus, the rapid antigen detection test (Ag-RDT) is used by the Indonesian government as a screening test for travellers. As a result, many people buy the kit online and perform self-Ag-RDT at home. This raises the question of how safe and accurate it is to perform self-Ag-RDT at home. Before a test is applied, it is suggested to research its sensitivity and specificity, as compared to gold standard, and its limitations. In this article, laboratory diagnosis of severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) is discussed, with an emphasis on Ag-RDT and the recommendation to use it properly in daily practice.
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2021
610 UI-IJIM 53:1 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
Abstrak :
Pendahuluan: Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas) pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien. Cara kerja : Hasil pemeriksaan terhadap 1.108 sampel darah pasien yang dirujuk ke laboratorium rujukan unit transfusi darah daerah (UTDD) PMI DKI dari bulan Januari-Desember 2003 dikumpulkan, kemudian dikaji penyebab terjadinya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Hasil dan diskusi: Dari 1.108 kasus yang dirujuk, 677 (61.10%) kasus menunjukkan adanya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Sisanya 431 (38.90 %) menunjukan adanya kompatibilitas (kecocokan) pada uji silang serasi. Dari 677 kasus inkompatibel, 629 (92.90%) kasus disebabkan karena pemeriksaan antiglobulin langsung (DAT-Direct Antiglobulin Test) yang positif. Sisanya yaitu 48 (7.10%) kasus disebabkan karena adanya antibodi pada darah pasien yang secara klinik berpengaruh terhadap transfusi darah dari donor ke pasien. Kasus inkompatibel yang menunjukan hasil positif pada uji antiglobulin langsung (DAT=Direct Antiglobulin Test )sebanyak 629 kasus (92.90%), dengan perincian hasil positip DAT terhadap IgG pada ditemukan sebanyak 493 kasus (78.38%), hasil positip DAT terhadap komplemen C3d sebanyak 46 kasus (7.31%), dan hasil positip DAT terhadap kombinasi IgG dan C3d sebanyak 90 kasus (14.31%).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ari Pujianto
Abstrak :
Antibodi antisperma adalah salah satu penyebab infertilitas pada manusia. Antibodi ini berikatan dengan protein pada permukaan sperma dan dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sperma yang menghambat proses fertilisasi secara langsung maupun tak langsung. Identifikasi antigen sperma diharapkan akan menjelaskan mekanisme terjadinya infertilitas autoimun. Selain itu, apabila antigen tersebut berhubungan langsung dengan proses fertilisasi, studi ini dapat pula memperjelas mekanisme fertilisasi pada tingkat molekul. Tesis ini melaporkan basil penelitian awal dari sebuah penelitian besar yang mempelajari tentang mekanisme infertilitas imunologis. Penelitian awal ini mencakup identifikasi antigen sperrna dengan menggunakan sera pasien infertil dan isolasi klon cDNA yang menyandi salah satu antigen tersebut. Identifikasi antigen dilakukan dengan Western immunoblotting menggunakan 13 sera yang berasal dari individu fertil sebagai kontrol (kode EIC) dan 37 sera dari pasien infertil (kode EIS). Serum pasien yang memberikan reaksi kuat dan konsisten kemudian digunakan untuk mengisolasi klon cDNA dari pustaka cDNA testis manusia. Hasil Western immunoblotting menunjukkan bahwa EIS mengenali satu atau beberapa protein sperma dengan berat molekul yang bervariasi mulai dari 34 hingga 105 kDa. Sebagian besar EIC (11 dari 13) juga berikatan dengan beberapa protein sperma namun intensitasnya lebih lemah dibanding EIS. Serum dengan kode EIS07 memperlihatkan reaksi yang kuat dan spesifik dengan protein berukuran 66 kDa clan 88 kDa. Serum ini kemudian digunakan sebagai pelacak pada skrining pustaka cDNA testis manusia. Dari skrining tersebut berhasil diisolasi sebuah klon positif dari kurang lebih 225.000 klon. Klon ini membawa potongan cDNA berukuran kurang lebih 2.3 kpb yang selanjutnya disebut cDNA AIR (Autoimmune Infertility Related). cDNA AIR selanjutnya disubklon ice dalam vektor plasmid pGEX-4T2. Plasmid rekombinan ini kemudian dipotong dengan berbagai enzim restriksi untuk membuat peta restriksi pada fragmen eDNA AIR tersebut. Hasil pemetaan menunjukkan adanya situs restriksi untuk enzim Pstl, ApaI, HindIII, KpnI, SacI, dan Xbal.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danielle Tahitoe
Abstrak :
ABSTRAK
Infeksi virus hepatitis ditemukan di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Dari semua infeksi virus hepatitis yang paling penting adalah Hepatitis B (WHO,1982).

Diperkirakan di dunia terdapat sekitar 300 juta karier virus hepatitis B (VHS) kronis (WH0,1988). Prevalensi karier terendah terdapat di Amerika Utara dan Eropa Barat (0,1-0,5 %) sedangkan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara dan Afrika Sub Sahara (8-20%).

Di dunia sebagian besar karier VHB nya terdapat di Asia menyusul Afrika (WHO,1988). VHB mengakibatkan manifestasi klinis berupa hepatitis B akut dan berbagai komplikasinya. VHB sangat penting dalam epidemiologi penyakit, bila dikaitkan dengan karier VHB kronis yang dapat merupakan sumber penularan bagi lingkungannya (WH0,1988).

Karier VHB dapat ditentukan bila dalam darahnya mengandung hepatitis B surface antigen (HBsAg). Adanya HBsAg dapat diukur dengan cara radio immuno assay (RIA) atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Selain HBsAg dalam darah pengidap juga dapat (hepatitis B "e"antigen ) dan anti HBe.

Prevalensi HBsAg di Indonesia berkisar 5 - 10% dan di beberapa daerah mencapai 15% - 19%. Keadaan ini membuat Indonesia tergolong daerah dengan endemisitas hepatitis B sedang sampai tinggi. Tingginya prevalensi HBsAg dan petanda VHB lainnya pada penyakit hati kronis, terutama karsinoma hepatoseluler menimbulkan dugaan bahwa penyakit hati kronis di Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan infeksi VHB (Sulaiman,1987).

Sebelum penemuan HBsAg oleh Blumberg pada tahun 1964, diperkirakan bahwa penularan virus hepatitis terjadi secara parenteral, yaitu melalui penyuntikan darah dari pengidap. Lebih lanjut diperjelas bahwa cara penularan klasik VHB dengan jalan parenteral justru hanyalah merupakan bagian kecil saja dari cara penyebaran VHB (Prince, 1970 ; Blumberg, 1970).

Pada awal penelitian penderita Hepatitis B di negara tropis, diketahui bahwa sebagian besar penderita hepatitis B tidak mempunyai riwayat mendapat suntikan, transfusi darah atau cara penularan lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi oleh virus.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Wiradharma
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Vasektomi adalah salah satu cara sterilisasi yang mempunyai kemungkinan timbulnya efek samping imunologis. Oleh karena itu, antibodi terhadap sperma yang timbul sebagai respons imun acak terhadap produk penghancuran sperma perlu diteliti arti klinisnya. Serum vasektomi yang pada umuninya mengandung antibodi antisperma dapat digunakan sebagai pelacak untuk mencari antigen yang memegang peranan utama teijadinya infertilitas imunologis. Di samping itu dapat dilihat pula ada tidaknya hubungan antara uji Mixed Antiglobulin Reaction (MAR) yang menilai antigen perinukaan sperma dengan metode Western blot yang melihat reaktivitas terhadap seluruh antigen sperma. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya antigen utama sperma dan berat molekul relatifnya yang bereaksi dengan antibodi dalam serum pria yang divasektomi. Di samping itu juga untuk memperkirakan adanya hubungan antara lama vasektoini dan usia pada waktu vasektomi dilakukan dengan keadaan antibodi antisperma tersebut. Dalam penelitian ini telah dilakukan penentuan antigen yang bereaksi dengan antibodi antisperma menggunakan metode Western biol. Sumber antigen diperoleh dari donor sperma sehat yang analisis spermanya normal dan sumber antibodi diambil dan serum pria sehat yang telah divasektomi minimal satu tahun. Hasil dan Kesimpulan: Dari 44 serum vasektomi yang direaksikan dengan antigen sperma, tidak dijumpai suatu antigen utama. Nampaknya tidak ada hubungan antara antibodi antisperma yang diuji dengan MAR dan yang direaksikan secara Western blot. Lainnya vasektomi dan usia pada waktu tindakan dilakukan tidak berhubungan dengan terdeteksinya antibodi antisperma dalam serum vasektomi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar belakang : Dalam pembuktian kasus persetubuhan, anamnesis dan pemeriksaan fisik memiliki nilai bukti yang rendah. Dokter Forensik hanya dapat membuktikan persetubuhan dengan ditemukannya cairan mani atau sel sperma pada pemeriksaan penunjang. Baru-baru ini dikembangkan rapid test SD Bioline Semen Inspection yang sensitif dan spesifik untuk menemukan prostate-spesific antigen (PSA) yang merupakan salah satu dari kandungan cairan mani. Diharapkan metode ini dapat menjadi alternatif dalam pembuktian kasus persetubuhan. Tujuan : Untuk mengetahui nilai diagnostik alat SD Bioline Semen Inspection dalam mendeteksi adanya PSA pada usapan vagina, dan gambaran perbandingan nilai diagnostiknya pada subyek yang bersetubuh antara 1-3 hari dan 4-7 hari sebelum dilakukan pemeriksaan. Metode :uji diagnostik dengam metode potong lintang, membandingkan antara rapid test SD Bioline Semen Inspection dengan Automatic Immuno Assay (AIA). Hasil : Nilai diagnostik alat SD Bioline Semen Inspection pada penelitian ini menunjukkan sensitivitas 44,44%, spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 86,11%, prevalensi 22,5% dan akurasi 87,5%. Pada subyek yang bersetubuh antara 1-3 hari sebelum pemeriksaan menunjukkan nilai diagnostik sensitivitas 50%, spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 89,29%, prevalensi 9,35% dan akurasi 90,32%. Pada subyek yang bersetubuh antara 4-7 hari sebelum pemeriksaan menunjukkan nilai diagnostik sensitivitas 33,33%, spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 75%, prevalensi 33,33% dan akurasi 77,78%. Kesimpulan : SD Bioline Semen Inspection dapat digunakan dalam pelayanan kedokteran Forensik untuk membuktikan adanya PSA, namun perlu dilakukan uji konfirmasi dengan modalitas lain jika didapatkan hasil negatif.
ABSTRACT
Background : History and physical examination alone could not prove a sexual intercourse. Thus, forensic doctors also need to find evidence of seminal fluid or sperm in determining sexual intercourse. Recently, there is an advancement in diagnostic tool in examining prostate specific antigen (PSA) in seminal fluid, which is a SD Bioline Semen Inspection. As a rapid test, this diagnostic tool is expected to be used in daily practice as an alternative method in determining sexual intercourse. Objective : To determine diagnostic value of SD Bioline Semen Inspection in detecting Prostate Specific Antigen ( PSA) from vaginal swabs; To have an overview of diagnostic value of SD Bioline Semen Inspection in detecting Prostate Specific Antigen ( PSA) between 1-3 days and 4-7 days of intercourse prior to the examination. Methods: This study is a cross-sectional research to compare SD Bioline Semen Inspection tool to Automatic Immuno Assay (AIA) Results: This study showed SD Bioline Semen Inspection tool has 44.44% sensitivity, 100% specificity, 100% positive predictive value, 86,11% negative predictive value, prevalence is 22.5% and 87.5% accuracy. On the subject who have history of intercourse between 1-3 days prior to the examination, it showed 50% sensitivity, 100% specificity, 100 % positive predictive value, 89,29% negative predictive value, prevalence is 9.35% and 90.32% accuracy. On the subject who have history of intercourse between 4-7 days prior to the examination, it showed 33.33% sensitivity, 100% specificity, 100% positive predictive value, 75% negative predictive value , prevalence is 33.33%, and 77.78% accuracy. Conclusion: The SD Bioline semen Inspection can be used in forensic medical services to prove the existence of PSA, but if the results are negative it still needs confirmation from other diagnostic modalities.;Background : History and physical examination alone could not prove a sexual intercourse. Thus, forensic doctors also need to find evidence of seminal fluid or sperm in determining sexual intercourse. Recently, there is an advancement in diagnostic tool in examining prostate specific antigen (PSA) in seminal fluid, which is a SD Bioline Semen Inspection. As a rapid test, this diagnostic tool is expected to be used in daily practice as an alternative method in determining sexual intercourse. Objective : To determine diagnostic value of SD Bioline Semen Inspection in detecting Prostate Specific Antigen ( PSA) from vaginal swabs; To have an overview of diagnostic value of SD Bioline Semen Inspection in detecting Prostate Specific Antigen ( PSA) between 1-3 days and 4-7 days of intercourse prior to the examination. Methods: This study is a cross-sectional research to compare SD Bioline Semen Inspection tool to Automatic Immuno Assay (AIA) Results: This study showed SD Bioline Semen Inspection tool has 44.44% sensitivity, 100% specificity, 100% positive predictive value, 86,11% negative predictive value, prevalence is 22.5% and 87.5% accuracy. On the subject who have history of intercourse between 1-3 days prior to the examination, it showed 50% sensitivity, 100% specificity, 100 % positive predictive value, 89,29% negative predictive value, prevalence is 9.35% and 90.32% accuracy. On the subject who have history of intercourse between 4-7 days prior to the examination, it showed 33.33% sensitivity, 100% specificity, 100% positive predictive value, 75% negative predictive value , prevalence is 33.33%, and 77.78% accuracy. Conclusion: The SD Bioline semen Inspection can be used in forensic medical services to prove the existence of PSA, but if the results are negative it still needs confirmation from other diagnostic modalities., Background : History and physical examination alone could not prove a sexual intercourse. Thus, forensic doctors also need to find evidence of seminal fluid or sperm in determining sexual intercourse. Recently, there is an advancement in diagnostic tool in examining prostate specific antigen (PSA) in seminal fluid, which is a SD Bioline Semen Inspection. As a rapid test, this diagnostic tool is expected to be used in daily practice as an alternative method in determining sexual intercourse. Objective : To determine diagnostic value of SD Bioline Semen Inspection in detecting Prostate Specific Antigen ( PSA) from vaginal swabs; To have an overview of diagnostic value of SD Bioline Semen Inspection in detecting Prostate Specific Antigen ( PSA) between 1-3 days and 4-7 days of intercourse prior to the examination. Methods: This study is a cross-sectional research to compare SD Bioline Semen Inspection tool to Automatic Immuno Assay (AIA) Results: This study showed SD Bioline Semen Inspection tool has 44.44% sensitivity, 100% specificity, 100% positive predictive value, 86,11% negative predictive value, prevalence is 22.5% and 87.5% accuracy. On the subject who have history of intercourse between 1-3 days prior to the examination, it showed 50% sensitivity, 100% specificity, 100 % positive predictive value, 89,29% negative predictive value, prevalence is 9.35% and 90.32% accuracy. On the subject who have history of intercourse between 4-7 days prior to the examination, it showed 33.33% sensitivity, 100% specificity, 100% positive predictive value, 75% negative predictive value , prevalence is 33.33%, and 77.78% accuracy. Conclusion: The SD Bioline semen Inspection can be used in forensic medical services to prove the existence of PSA, but if the results are negative it still needs confirmation from other diagnostic modalities.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>