Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Regina Marliau
Abstrak :
Latar belakang: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) merupakan terapi paliatif untuk pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik, namun memerlukan tatalaksana antikoagulan pascaoperasi agresif untuk mencegah komplikasi oklusi shunt dan perdarahan yang berujung pada kematian. Penelitian ini menilai efektivitas pemeriksaan koagulasi alternatif yaitu Activated Clotting Time (ACT) yang lebih mudah dan cepat dihasilkan dibandingkan dengan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) untuk regulasi antikoagulan yang lebih agresif untuk mencegah komplikasi pascaoperasi MBTS. Metode: Desain penelitian adalah retrospektif longitudinal. Semua pasien yang menjalani MBTS di periode Januari 2017 hingga Mei 2018 dibagi menjadi dua kelompok, yang menggunakan ACT setiap jam dan kelompok APTT yang diperiksa setiap empat jam. Kedua kelompok dievaluasi selama perawatan pascaoperasi adanya kejadian oklusi shunt, perdarahan, operasi ulangan, dan kematian Hasil: Total subjek adalah 174 pasien yang menjalani MBTS, sebanyak 59 pasien dilakukan regulasi heparin pascaoperasi dengan ACT dan 115 pasien dilakukan pemeriksaan APTT. Angka kejadian operasi ulangan lebih rendah signifikasn pada kelompok ACT dibandingkan APTT sebesar 6,77% (p= 0,023).Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok pada kejadian oklusi (p=0,341; OR 0,571 IK95% 0,178-1,834), perdarahan pascaoperasi (p= 0,547; OR 0,563 IK95% 0,149-2,128), dan kematian (p=0,953; OR 0,975 IK95% 0,369-2,554). Kelompok ACT menunjukkan kecenderungan protektif terhadap kejadian-kejadian morbiditas pascaoperasi MBTS. Simpulan: Regulasi dosis heparin menggunakan pemeriksaan ACT nenurunkan kejadian operasi ulangan dan menunjukkan hasil protektif terhadap morbiditas pascaoperasi MBTS lainnya sehingga dapat dipertimbangkan penggunaannya. ...... Background: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) is a palliative treatment for cyanotic congenital heart disease (CHD) which needs postoperative anticoagulant treatment to prevent shunt occlusion and postoperative bleeding. This study was to find out the effectivity of alternative coagulation test of Activated Clotting time (ACT) which is faster and easier to produce compared to Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) for a more aggressive anticoagulant regulation to prevent postoperative complcations. Methods: The study design is retrospective longitudinal study. All patients that underwent MBTS from January 2017 to Mei 2018 is deviden into 2 groups, first using ACT to regulate heparin and the second group using APTT. Both groups are studied for the incidence of shunt occlusion, bleeding, redo operation, and death. Results: Total subjects who underwent MBTS were 174 patients. Postoperative heparin is regulated using ACT in 59 patients and APTT in 115 patients. There are less shunt occlusion in ACT group (6,78%) compared to APTT (11,03%) but statistically insignificant (p = 0,341). Bleeding is less in ACT group (5,08%) compared to APTT (8,69%) but statistically insignificant (p= 0,547). Mortality is lower in ACT group (11,86%) compared to APTT (12,17%) but statistically insignificant (p = 0,953). Redo operation is significantly lower in ACT group (6,77%) compared to APTT (20%) with p = 0,023. Although statistically insignificant, ACT group showed clinically significant lower shunt occlusion, bleeding, and mortality. Conclusion: No significant difference between ACT and APTT in shunt occlusion, bleeding, and mortality, but redo operation is significantly lower in ACT group. ACT might be considered as alternative test for easier and faster method to regulate postoperative MBTS heparin dose.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Utomo Nusantara
Abstrak :
ABSTRAK
Hemolisis merupakan masalah yang umum dijumpai dalam praktik laboratorium dengan prevalensi 3,3 dari total spesimen yang diterima di laboratorium. Hemolisis memiliki pengaruh yang berbeda pada pemeriksaan PT dan APTT pada subyek sehat dan pasien Sysmex CS2100i merupakan alat koagulometer yang menggunakan prinsip deteksi koagulasi dengan transmisi cahaya foto-optikal yang dilengkapi dengan detektor hemolisis ikterik dan lipemik HIL dan multiple wavelength detector. Aspek terpenting dalam praktik laboratorium terkait hemolisis adalah mengetahui batasan indeks hemolisis yang dapat menimbulkan bias bermakna di dalam suatu pemeriksaan dalam hal ini PT dan APTT. Jumlah subyek penelitian sebesar 70 orang yang dibagi dua yaitu, kelompok sehat sebesar 35 orang dan kelompok sakit dengan warfarin sebesar 35 orang. Pembuatan hemolisat dilakukan dengan metode trauma mekanik menggunakan syringe insulin dengan jarum 30G. Pada hasil PT dan APTT subyek sehat didapatkan uji repeated measures ANOVA bermakna, p=0,001 dan subyek sakit dengan warfarin didapatkan uji Friedman bermakna, p=0,001. Uji post-hoc Dunnett subyek sehat untuk hasil PT didapatkan nilai bermakna pada konsentrasi hemolisis 150, 200, 250, 330 dan 500 mg/dL, sedangkan hasil APTT didapatkan hasil bermakna pada konsentrasi hemolisis 250, 330, dan 500 mg/dL. Uji post-hoc Wilcoxon subyek sakit untuk hasil PT didapatkan nilai bermakna pada konsentrasi hemolisis 100, 150, 200, 250, 330 dan 500 mg/dL, sedangkan hasil APTT didapatkan nilai bermakna pada konsentrasi hemolisis 250, 330 dan 500 mg/dL.Bias hemolisis maksimal yang masih dapat diterima dengan kriteria Ricos dkk untuk PT dan APTT subyek sehat masing-masing adalah 100 mg/dL, sedangkan subyek sakit dengan warfarin adalah 50 mg/dL dan 200 mg/dL. Batasan dengan kriteria CLIA untuk PT dan APTT subyek sehat adalah 330 mg/dL dan 250 mg/dL, sedangkan subyek sakit dengan warfarin adalah 330 mg/dL baik untuk PT maupun APTT. Dari grafik scatter didapatkan tren pemanjangan hasil PT dan APTT subyek sehat, sedangkan pada subyek sakit dengan warfarin didapatkan tren pemanjangan hasil PT dan pemendekan hasil APTT. Penerapan batasan bias hemolisis maksimal memungkinkan praktisi laboratorium untuk tetap menerima spesimen dengan interferensi hemolisis pada pemeriksaan PT dan APTT, memastikan hasil yang dikeluarkan tetap akurat, tanpa menunda penatalaksanaan terhadap pasien dan mengurangi biaya dan ketidaknyamanan yang timbul akibat pengambilan kembali spesimen.
ABSTRACT
Hemolysis is a common problem in laboratory practice with a prevalence of 3.3 of the total specimens received in the laboratory. Haemolysis have a different influence on the examination of the PT and APTT in healthy and patients subjects. Sysmex CS2100i is a coagulometer with the photo optical method, equipped with hemolysis, icteric and lipemic detector HIL and multiple wavelength. The most important aspect in laboratory practice is to know the limits associated with haemolysis that can cause significant bias in PT and APTT assay. The total number of research subjects are 70 people, divided into 35 healthy subjects and 35 patient subject undergoing warfarin therapy. Hemolysate was conducted using a mechanical trauma using insulin syringe with 30G needle.. Repeated measures ANOVA test of PT and APTT on healthy subjects obtained a significant statistical result, p 0.001. The warfarin users also had a significant statistical result with Friedman test, p 0.001. Post hoc Dunnett test on PT values of healthy subjects, obtained a statisticaly significant results in hemolysis concentration of 150, 200, 250, 330 and 500 mg dL, while the APTT results obtained significant statistical results in haemolysis concentration of 250, 330, and 500 mg dL. Wilcoxon post hoc test of PT on patient subjects obtained significant result in the haemolysis concentration of 100, 150, 200, 250, 330 and 500 mg dL, while the APTT values obtained significant results in hemolysis concentration 250, 330 and 500 mg dL. The maximum bias that still could acceptable by Ricos et al criteria for PT and APTT on healthy subjects for both were 100 mg dL, whereas patient subjects undergoing warfarin therapy was 50 mg dL and 330 mg dL. Using CLIA criteria for PT and APTT on healthy subjects resulted maximum bias was 330 mg dL and 250 mg dL, whereas warfarin users was 330 mg dL for PT and APTT. There was a trend of increase in the readings of PT and APTT on healthy subjects, while on patient subjects undergoing warfarin there was a trend of increase in PT and decrease of APTT results. The application of acceptable hemolysis bias limit, enable laboratory practitioners to process hemolysis specimens in PT and APTT assays, ensuring the results is still accurate without delaying clinical decision and to reduce the cost and inconvenience arising from the specimen recollection.
2017
T55610
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanus Johanes Charles Tangel
Abstrak :
Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik pada anak memerlukan perhatian khusus, terutama dalam pemasangan catheter double lumen (CDL) untuk hemodialisis. Studi tentang faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis bertujuan mengevaluasi hubungan antara parameter laboratorium, seperti kadar platelet dan albumin serum, dengan disfungsi kateter. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik.

Metode: Studi ini memiliki desain studi potong lintang yang dilakukan dengan menggunakan sampel data rekam medik dari pasien-pasien anak yang sudah menggunakan catheter double lumen (CDL) tunnel mulai bulan September hingga Oktober 2023.

Hasil: Sebanyak 59 pasien memenuhi kriteria pada penelitian ini yang sebagian besar memiliki jenis kelamin perempuan (50,8%) dan berusia >10 tahun (69,5%). Kadar platelet yang tinggi berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Kadar APTT tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,810). Kadar albumin serum yang rendah atau hipoalbuminemia berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.

Kesimpulan: Kadar albumin dan platelet berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum. ......Background: Chronic kidney disease in children requires special attention, particularly in the placement of double-lumen catheters (DLC) for hemodialysis. A study on the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease undergoing hemodialysis aimed to evaluate the relationship between laboratory parameters, such as platelet levels and serum albumin, and catheter dysfunction. This research is expected to enhance understanding of the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease.

Methods: This study employed a cross-sectional study design using medical record data samples from pediatric patients who had undergone double-lumen catheter (DLC) tunnel placement from September to October 2023.

Results: A total of 59 patients met the criteria for this study, the majority of whom were female (50.8%) and aged over 10 years (69.5%). High platelet levels were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). APTT levels did not have a significant association with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.810). Low serum albumin levels or hypoalbuminemia were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level.

Conclusion: Albumin levels and platelet are significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hajriya Brahmi
Abstrak :
Latar Belakang: Penggunaan heparin inhalasi pada beberapa penelitian COVID-19 memberikan hasil dalam perbaikan klinis pasien, baik dalam menurunkan lama rawat, perbaikan oksigenasi paru, dan mortalitas. Dosis harian total heparin inhalasi yang bervariasi terutama bila diberikan bersamaan dengan antikoagulan sistemik, memiliki resiko komplikasi perdarahan yang memerlukan kajian terhadap keefektifan dan keamanannya. Tujuan: Meneliti keefektifan dan keamanan inhalasi heparin dosis 150,000 IU/hari dengan dosis 100.000 IU/hari dinilai dari AaDO2, aPTT dan d-Dimer dalam 7 hari pengamatan pada pasien ICU COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan studi kohort retrospektif menggunakan data sekunder rekam medis pasien ICU COVID-19 bulan September 2020 – September 2021. Terdapat 300 sampel menggunakan consecutive sampling. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok heparin dosis 150.000 IU/hari dan 100.000 IU/hari. Pencatatan dilakukan dalam 7 hari pengamatan. Uji Statistik menggunakan uji Mann Whitney untuk menilai tingkat keparahan, Uji Wilcoxon rank test untuk melihat perbedaan variabel dependen hari pertama dengan hari ketujuh pada masing-masing dosis. Hasil: Heparin inhalasi baik dosis 150.000 IU/hari dan 100.000 IU /hari bermakna menurunkan AaDO2 pada 7 hari pengamatan (p 0.001). Nilai aPTT tidak memanjang pada kedua kelompok, dan kedua dosis heparin sama- sama menurunkan nilai d-Dimer pada 7 hari pengamatan (p 0.001). Simpulan: Heparin Inhalasi dosis 150.000 IU/hari sama efektif dinilai dari AaDO2, dan sama amannya terhadap aPTT dan d-Dimer dibandingkan heparin inhalasi dosis 100.000 IU/hari. ......Rationale: The use of inhaled heparin in several COVID-19 studies has resulted in clinical improvements in patients, both in reducing length of treatment, improving pulmonary oxygenation, and reducing mortality. The varying total daily dose of inhaled heparin, especially when given together with systemic anticoagulants, poses a risk of bleeding complications that require review of its effectiveness and safety. Objective: To analyze effectiveness and safety of heparin inhalation dosage 150,000 IU/day compare to 100,000 IU/day assessed from AaDO2, aPTT and d-Dimer from 7 days observation in ICU COVID-19 patients with invasive and non-invasive ventilator patterns. Methods: An observational cohort retrospective study used secondary data from medical records ICU COVID-19 patients with invasive and noninvasive ventilator patterns from September 2020 – September 2021. There were 300 samples using consecutive sampling. Patients divided into 2 groups, one received dosage 150,000 IU / day heparin inhalation, the other received heparin inhalation dosage 100,000 IU / day. Recording of the research from medical records is carried out at 7 days of ICU treatment. Statistical tests were carried out using Mann Whitney to assess severity, Wilcoxon rank test to see the difference in dependent variables day 1 and day 7 to dose. Measurements and Main Results: Heparin inhalation at dose of 150,000 IU/day and 100,000 IU/day both significantly decreased AaDO2 at 7 days of observation (p 0.001). The aPTT on both groups at 7 days of observation are within normal limits. Both doses of heparin inhalation decreased d-dimer at 7 days of observation (p 0.001). Conclusion: Inhaled heparin doses of 150,000 IU/day as effective and as safe as inhaled heparin doses of 100,000 IU/day.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Erida
Abstrak :
ABSTRAK
Pemeriksaan koagulasi rutin PT dan APTT sangat dipengaruhi oleh variabel pra analitik yaitu perbandingan darah dengan antikoagulan sitrat 0,109 M adalah 9:1. Kurangnya volume darah dalam tabung menyebabkan rasio berubah sehingga terjadi pengenceran sampel disebut underfilling. Underfilling pada tabung sitrat 0.109 M menyebabkan nilai PT dan APTT memanjang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan underfilling menyebabkan pemanjangan PT dan APTT, melihat adakah perbedaan rerata PT dan APTT antar berbagai volume dalam tabung, sekaligus menentukan volume minimal spesimen dalam tabung sitrat yang direkomendasikan untuk pemeriksaan PT dan APTT. Desain penelitian potong lintang dengan 38 subjek sehat dan 38 pasien dengan warfarin. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa underfilling menyebabkan pemanjangan PT dan APTT. Terdapat perbedaan rerata PT dan APTT pada berbagai volume spesimen, dan volume minimal spesimen dalam tabung sitrat yang direkomendasikan untuk pemeriksaan PT dan APTT adalah 90 untuk subjek sehat dan 100 untuk pasien dengan warfarin.Kata kunci: pra analitik; pemeriksaan koagulasi; underfilling; pemanjangan PT dan APTT; volume minimal spesimen
ABSTRACT
The routine coagulation measurement PT and APTT are highly influenced by pre analytical variables, one of which is the ratio of 9 1 between blood and citrate 0.109 M as anticoagulant. Lesser than minimum amount of blood volume in sample tube causes sample dilution known as underfilling. Underfilling of citrate 0.109 M tube results in prolonged PT and APTT. This study aims to prove that underfilling leads to prolonged PT and APTT by comparing mean PT and APTT value between sample tubes with different volume of blood. Furthermore, the recommended minimal volume of specimen in citrated tube would be sought. The study design was cross sectional with 38 healthy subjects and 38 patients on warfarin. This study indeed found that underfilling causes prolonged PT and APTT. There were significant mean difference of each PT and APTT for various specimen volumes. The recommended minimum specimen volume in citrate tube for PT and APTT measurement was 90 for healthy subject and 100 for patients on warfarin.Keywords pra analytic, coagulation measurement, underfilling, prolonged PT APTT, minimum specimen volume.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sin Hariyanto Budiarta
Abstrak :
Latar Belakang: Penderita sirosis hati sering mengalami gangguan sistem hemostasis yang kompleks dan komplikasi perdarahan akut varises gastroesofageal. Peran gangguan sistem hemostasis dalam perdarahan akut varises gastroesofageal penderita sirosis hati masih belum jelas.Tujuan: Mengetahui perbedaan jumlah trombosit, nilai PT, nilai APTT dan kadar protein C penderita sirosis hati yang mengalami dan yang tidak mengalami perdarahan akut varises gastroesofageal. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada penderita sirosis hati. Subjek penelitian diperoleh dari penderita yang berobat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Seluruh penderita dilakukan pemeriksaan jumlah trombosit, nilai PT, nilai APTT dan kadar protein C. Penderita dengan gejala perdarahan akut saluran cerna bagian atas dilakukan pemeriksaan Esofago-Gastro-Duodenoskopi EGD. Diagnosis perdarahan akut varises gastroesofageal ditentukan dari hasil pemeriksaan EGD. Untuk mengetahui perbedaan jumlah trombosit, nilai PT, nilai APTT dan kadar protein C penderita sirosis hati yang mengalami dan yang tidak mengalami perdarahan akut varises gastroesofageal dipakai uji T indepedent dan uji Mann-Whitney. Hasil: Terdapat total 63 penderita sirosis hati yang ikut serta dalam penelitian, 21 penderita mengalami perdarahan akut varises gastroesofageal dan 42 penderita tidak mengalami perdarahan akut varises gastroesofageal. Perbedaan jumlah trombosit penderita sirosis hati yang mengalami perdarahan dan yang tidak mengalami perdarahan akut varises gastroesofageal mempunyai nilai p>0,05. Jumlah trombosit. ......Background Patients with liver cirrhosis have complex hemostatic system disturbances and acute gastroesophageal varices bleeding frequently. The role of hemostatic system disturbances in acute gastroesophageal varices bleeding has not been yet clear in liver cirrhosis.Objective To know the difference of thrombocyte count, PT, APTT and protein C level in liver cirrhosis patients with and without acute gastroesophageal varices bleeding. Methods: This was a cross sectional study. Patients with liver cirrhosis were enrolled from Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. All patients underwent examination for thrombocyte count, PT, APTT and protein C level. Patients with acute upper gastrointestinal bleeding underwent examination for esophago gastro duodenoscopy EGD. Diagnosis of acute gastroesophageal varices bleeding based on the result of EGD examination. To know the difference of thrombocyte count, PT, APTT and protein C level in liver cirrhosis patients with and without acute gastroesophageal varices bleeding, T independent test and Mann Whitney test were used for statistical analysis. Results There are 63 patients with liver cirrhosis in this study, 21 patients with acute gastroesophageal varices bleeding and 42 patients without acute gastroesophageal varices bleeding. The difference of thrombocyte count in liver cirrhosis patients with and without acute gastroesophageal bleeding has p value 0,05. Thrombocyte count.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58828
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Zamilatul Azkiyah
Abstrak :
ABSTRAK
Intrakranial hemoragik merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan secara intensif. Intrakranial hemoragik dapat bersifat spontan dan dapat disebabkan oleh malformasi pembuluh darah, trauma atau karena penggunaan obat antikoagulan. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektivitas penggunaan asam traneksamat dan vitamin K terhadap nilai PT dan APTT pada pasien intrakranial hemoragik. Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif, data diambil dari rekam medis pasien di instalasi rekam medis RSUP Fatmawati Jakarta pada Januari 2013 - Desember 2015. Kelompok pertama adalah pasien yang menerima asam traneksamat tunggal dan kelompok kedua adalah pasien yang menerima asam traneksamat dan vitamin K. Sejumlah 125 rekam medis dimasukkan kedalam kriteria inklusi. Analisis statistik menggunakan uji chisquare dan regresi logistik. Pasien yang menggunakan asam traneksamat 2,5 kali berpeluang memendekkan nilai APTT dan 1,2 kali berpeluang memendekkan nilai PT. Pasien yang menggunakan asam traneksamat dan vitamin K 2,7 kali berpeluang memendekkan nilai APTT dan 1,6 kali berpeluang memendekkan nilai PT. Penggunaan asam traneksamat berpeluang menyebabkan terjadinya pemendekan nilai APTT 6 kali setelah dikontrol oleh variabel rentang waktu pengukuran. Penggunaan asam traneksamat dan vitamin k berpeluang menyebabkan terjadinya pemendekan nilai APTT 7,5 kali setelah dikontrol oleh penyakit penyerta.
ABSTRACT
Intracranial hemorrhage is a life threatening condition, the outcome of which can be improved by intensive care. Intracranial hemorrhage may be spontaneous, precipitated by an underlying vascular malformation, induced by trauma, or related to therapeutic anticoagulation. The purpose of this study was to determine the PT and APTT scores in patient with intracranial hemorrhage that received tranexamic acid and vitamin K. This study used observational with cohort retrospective design. The research was conducted in the Installation Medical Records, data takes from patient rsquo s medical records admitted to RSUP Fatmawati Jakarta in January 2013 until Desember 2015.First group is patient who received tranexamic acid alone and the second group is patient who received tranexamic acid and vitamin K. A total of 125 medical records were included in the inclusion criteria. The statistical analysis of the chi square test showed that patient used tranexamic acid shorten the APTT scores 2,5 times and shorten the PT scores 1,2 times. Patients used tranexamic acid and vitamin K shorten the APTT scores 2,7 and 1,6 times. The use of tranexamic acid shorten the APTT scores 6 times after being controlled by the measurement times. The use of tranexamic acid and vitamin k cause shorten APTT scores 7.5 times after being controlled by the comorbidities.
2017
T49695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library