Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purnomo Setyawendha
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S47824
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donna Meyer
"Dengan semakin banyak beredarnya campuran asam asetil salisilat dan asam askorbat dalam sediaan tablet efervesen, maka perlu dikembangkan suatu metode yang sensitif dan mudah didalam menganalisis kadar sediaan tersebut. Metode yang digunakan adalah Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT) dengan menggunakan kolom C-18 ODS (3,9 mm x 300 mm); detektor UV-Vis (panjang gelombang 280 nm); fase gerak asetonitrildapar fosfat pH 3,5 (30:70, v/v) dengan laju alir 1,2 mL/menit.Parameterparameter analitik menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk menetapkan kadar asam asetil salisilat dan asam askorbat secara bersamaan. Pada penetapan kadar sampel diperoleh hasil kadar asam asetil salisilat 94,59 ± 1,33% dan kadar asam askorbat 104,58 ± 1,01%."
Universitas Indonesia, 2007
S32625
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Handayani
"ABSTRAK
Perbaikan gizi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena erat hubungannya dengan peningkatan derajat kesehatan, pertumbuhan jasmani, dan kecerdasan. Protein hewani diketahui memiliki kelebihan dibandingkan protein nabati, karena mengandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap den seimbang, lebih mudah dicerna dan diabsorpsi, sehingga nilai biologisnya lebih tinggi. Widya Karya Pangan dan Gizi III tahun 1983 (1), yang membahas keadaan gizi di Indonesia, mengusulkan angka kecukupan protein hewani sebesar 10 g/kapita/hari. Namun, pada pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) 1985 (2) didapatkan konsumsi protein hewani masyarakat sebesar 8,22 g/kapita/hari atau 11,80 % konsumsi protein total. Jumlah ini masih jauh di bawah kebutuhan yang dianjurkan, yakni 20 % konsumsi protein total. Pada Widya Karya Pangan dan Gizi 1988 (3) target konsumsi protein hewani sebesar 15 g/kapita/hari atau merupakan 30 % seluruh kebutuhan protein yaitu sebesar 50 g/kapita/hari.
Data BPS 1985 menunjukkan bahwa 59,65 % protein hewani yang dikonsumsi berasal dari ikan, 34,94 % nya berasal dari ikan asin {21 % dari protein hewani berasal dari ikan asin).
Ikan diketahui mengandung protein yang mempunyai kualitas setara protein daging hewan lain, mengandung asam lemak tak jenuh lebih tinggi daripada daging, berserat halus, dan mudah dicerna. Oleh karena itu untuk meningkatkan konsumsi protein hewani, ikan asin merupakan salah satu pilihan. Ikan asin selain digemari masyarakat, secara ekonomis relatif terjangkau, dan produksinya memadai.
Di Indonesia pembuatan ikan asin dilakukan secara tradisional, yang pada umumnya dibuat dari ikan segar dengan menambahkan garam dapur (NaCl) sebanyak 25-30 % berat ikan, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Di dalam proses pengolahan kadangkala ditambahkan garam sendawa sebagai pengawet (4). Garam sendawa mengandung kalium nitrat dan natrium nitrit, yang merupakan prekursor nitrosamin yang dikenal bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk sebagai hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin pada daging ikan dan hewan lain {5-9). Reaksi nitrosasi dapat terjadi baik in vitro maupun in vivo (5-10). Hadiwiyoto dan kawan-kawan membuktikan bahwa penggunaan garam sendawa yang berlebih pada 'cured meat' menimbulkan senyawa nitrosamin dan reside nitrit (4). Christiansen dan kawan-kawan, dikutip dari Hadiwiyoto, membuktikan genggunaan 2000 'part per million' (ppm) garam nitrat pada sosis mengakibatkan terbentuknya senyawa nitrosamin (4). Penelitian Yu dan kawan-kawan (6,7) serta Tannenbaum dan kawan-kawan (11) menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish' yang juga dibuat secara tradisional dengan penggaraman dan pengeringan di bawah sinar matahari.
Beberapa penelitian menghubungkan konsumsi ikan asin dengan keganasan nasofaring (KNF). Penelitian Poirier dan kawan-kawan di 3 daerah dengan resiko tinggi KNF (Tunisia, Cina Selatan, den Greenland), menemukan adanya nitrosamin pada sampel makanan yang diawetkan, termasuk 'Cantonese-style salted fish'. Penelitian Yu den kawan-kawan menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish', dan adanya hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dengan timbulnya KNF di Hong Kong dan Guang-xi, Cina. Penelitian terhadap etnik Cina yang bermukim di California dan Malaysia juga menemukan hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dan timbulnya KNF. Pada penelitian eksperimental dengan tikus percobaan oleh Yu dan kawan-kawan yang diberi 'Cantonese-style salted fish' menimbulkan karsinoma daerah nasal atau paranasal {12). Penelitian lain {13) menyatakan adanya kaitan antara virus Epstein-Barr (VEB) dan konsumsi ikan asin merupakan penyebab utama timbulnya KNF."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Klarisa Rizkyana
"Butylated Hydroxyanisol (BHA) dan Asam Askorbat merupakan antioksidan yang biasa digunakan sebagai BTP (Bahan Tambahan Pangan). Antioksidan ini dapat berubah menjadi pro-oksidan yang dapat menghasilkan radikal bebas seperti radikal hidroksil (HO●). Radikal hidroksil (HO●) dapat menyerang basa-basa DNA dan membentuk DNA adduct 8-OHdG. Pada penelitian ini, DNA 2?-deoksiguanosin 5?-monofosfat (dGMP) direaksikan dengan BHA dan Asam Askorbat melalui reaksi Fenton (Fe(II) dan H2O2) dengan variasi pH (7,4 dan 8,4) dan suhu (37oC dan 60 oC) menggunakan HPLC-UV pada panjang gelombang 254 nm. Konsentrasi adduct keseluruhan yang terdeteksi hanya mencapai nilai batas deteksi namun tidak dapat terkuantifikasi. Pembentukan DNA Adduct 8-OHdG dari senyawa BHA terdeteksi pada reaksi dGMP, BHA dan Fe(II) pada pH 7,4 dan 8,4 baik suhu 37 oC maupun 60oC. Selain itu, terdeteksi pada reaksi dGMP, BHA, Fe(II), dan penambahan H2O2 pada pH 7,4 dan 8,4, suhu 60 oC. Di sisi lain, pembentukan DNA Adduct 8-OHdG dari senyawa Asam Askorbat hanya terdeteksi pada reaksi dGMP, Asam Askorbat, Fe(II), dan penambahan H2O2 pada pH 8,4, baik suhu 37 oC maupun 60 oC. Pembentukan DNA adduct 8-OHdG pada pH 8,4 lebih tinggi dibandingkan pH 7,4 dan pembentukan DNA adduct 8-OHdG pada suhu 37°C juga lebih tinggi dibandingkan suhu 60°C.

Butylated Hydroxyanisol (BHA) and Ascorbic Acid are antioxidants that are commonly used as food additives. These antioxidants can be turned into pro-oxidants which can generate free radicals, such as hydroxyl radical (HO●). Hydroxyl radical (HO●) can attack the bases of DNA and forming DNA adduct 8-OHdG. This research was conducted by reacting DNA 2'-deoxyguanosine 5'-monophosphate (dGMP) with BHA and ascorbic acid through Fenton reaction (Fe(II) and H2O2) with variation of pH (7,4 and 8,4) and temperature (37°C and 60°C) using HPLC-UV at wavelength of 254 nm. Overall, the concentration of adduct was detected only attaining the limit of detection value, but it cannot be quantified. The formation of DNA adduct 8-OHdG of BHA compound was detected in the reaction of dGMP, BHA and Fe (II) at pH 7,4 and 8,4 either 37°C or 60°C. Additionally, it was also detected in the reaction of dGMP, BHA, Fe(II) and H2O2 at pH 7,4 and 8,4, at the temperature of 60°C. On the other side, the formation of DNA adduct 8-OHdG of ascorbic acid compound was only detected in the reaction of dGMP, ascorbic acid, Fe (II) and H2O2 at pH 8.4 either 37°C or 60°C. DNA adduct 8-OHdG formation at pH 8.4 is higher than pH 7.4. DNA adduct 8-OHdG formation at the temperature of 37°C is also higher than 60°C."
2016
S64246
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryadi
"Tujuan: Melakukan telaah sistematis untuk membandingkan terapi hidrokortison dan hidrokortison, asam askorbat, dan tiamin (HAT) sebagai ajuvan pada tingkat mortalitas pasien syok septik. Metode: Pencarian komprehensif dilakukan menggunakan empat pangkalan data (PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane) menggunakan kata kunci spesifik hingga tanggal 18 Mei 2022. Semua studi yang dipublikasikan mengenai penggunaan terapi HAT pada pasien syok septik dikumpulkan dan ditelaah. Hasil: Dua studi uji acak terkendali, satu studi kontrol kasus, dan satu studi kohort yang melibatkan 635 pasien. Terapi HAT ditemukan tidak signifikan dalam menurunkan angka kematian di ICU (RR 0.89 95% CI [0.60 sampai 1.32], p=0.56), angka kematian di rumah sakit (RR 1.2 95% CI [0 ,90 sampai 1.59], p= 0,21), dan mortalitas 28 hari (RR 0,95, 95% CI [0,56 hingga 1,58], p=0,83) Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam mortalitas pada kelompok yang menggunakan HAT bila dibandingkan dengan terapi hidrokortison. Registrasi: ID pendaftaran PROSPERO untuk penelitian ini adalah CRD42022296055 (https://www.crd.york.ac.uk/prospero/display_record.php?RecordID=296055).
......Objective: We systematically reviewed the comparison between hydrocortisone and hydrocortisone-ascorbic acid-thiamine combined therapy (HAT) as adjuvant in the mortality rate of septic shock patients. Method: Four databases (PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane) are comprehensively searched using specific keywords up to 18th May 2022. All published studies on the use of HAT on septic shock patients were collected and reviewed Results: Two randomized controlled trials, one case control study and one cohort study enrolling 635 patients were included. HAT therapy was found to be not significant in reducing the ICU mortality rate (RR 0,89 95% CI [0,60 to 1,32], p=0,56), hospital mortality rate (RR 1.2 95% CI [0,90 to 1,59], p=0,21), and 28 days mortality (RR 0,95, 95% CI [0,56 to 1,58], p=0,83). Conclusion: No significant difference in mortality was found in the HAT group when compared with hydrocortisone therapy. Trial registration: PROSPERO registration ID for this study is CRD42022296055 (https://www.crd.york.ac.uk/prospero/display_record.php?RecordID=296055)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faiz Adela
"ABSTRAK
Nanopartikel logam memiliki sifat optik unik yang disebut Localized Surface Plasmon Resonance (LSPR) yaitu peristiwa resonansi antara cahaya datang dengan elektron di permukaan logam yang mengakibatkan serapan dan hamburan cahaya di permukaan nanopartikel menjadi sangat kuat. Sifat ini berpotensi kuat untuk diaplikasikan dalam berbagai keperluan seperti devais optoelektronika dan biomedis. Untuk beberapa keperluan, diperlukan nanopartikel emas yang tumbuh langsung di permukaan substrat secara merata dengan ukuran yang homogen dan biaya yang rendah. Untuk keperluan tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan sintesis nanopartikel emas di atas permukaan substrat ITO dengan metode seed mediated growth. Dalam penelitian ini dikaji pengaruh konsentrasi bahan precursor yaitu trisodium sitrat, asam askorbat dan CTAB serta waktu penumbuhan terhadap morfologi dan sifat plasmonik nanopartikel emas.. Morfologi nanopartikel emas dikarakterisasi menggunakan FESEM, struktur kristal dikarakterisasi menggunakan XRD dan sifat plasmonik dikarakterisasi dengan mengukur nilai serapan optiknya menggunakan spektrometer UV-Vis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nanopartikel emas yang tumbuh sebagian besar berstruktur Face Centered Cubic (FCC) dengan orientasi (111). Peningkatan konsentrasi trisodium sitrat dalam larutan pembenihan dari 10, 25 hingga 50 mM memicu terjadinya aglomerasi nanopartikel emas, sehingga konsentrasi trisodium sitrat yang optimum adalah 10 mM. Peningkatan konsentrasi asam askorbat dari 0.05 hingga 0.1 M meningkatkan diameter nanopartikel dari 36 nm menjadi 42 nm dan penggunaan konsentrasi 0.4 M menghasilkan aglomerasi nanopartikel. Penggunaan CTAB sebagai surfaktan yang paling optimum adalah 0.1 M karena menghasilkan nanopartikel berdiameter 44 nm dengan tingkat keseragaman yang paling tinggi. Peningkatan waktu pertumbuhan dari 2, 8 hingga 16 jam telah meningkatkan jumlah nanopartikel yang terbentuk dari 671, 710 menjadi 868 nm yang menyebabkan intensitas serapan optik meningkat tajam dari 0.1 menjadi 0.28.

ABSTRACT
Localized Surface Plasmon Resonance (LSPR) is a unique properties from metal nanoparticles which caused by resonance between incident light and electron on metal surface and inflict absorption and scattered light become extremely strong on metal nanoparticles’ surface. This properties could be applied to optoelectronic device and biomedic. For some reason, gold nanoparticles needed to grown directly on the substrate surface evenly with a homogenous size and low cost. For that reason, gold nanoparticles synthesized on ITO substrate with seed-mediated growth method. This research intend to study the effect of trisodium citrate, ascorbic acid, CTAB and growth time for plasmonic, morphology dan crystal structure characteristic and looking for an effective amount of precursor for the gold nanoparticles grown on the substrate ITO. The plasmonic characterization measured by UV-Vis spectrophotometer to quantify absorbance value of gold nanoparticles. The morphology characterization measured by FESEM to quantify diameter and distribution of gold nanoparticles. The crystal structure characterization measured by XRD. The results show that gold nanoparticles are grown mostly structured Face Centered Cubic (FCC) with orientation (111). Increasing concentrations of trisodium citrate in the sedding solution from 10, 25 to 50 mM triggering agglomeration on nanoparticles, so the optimum concentration of trisodium citrate is 10 mM. Increasing concentrations of ascorbic acid from 0.05 to 0.1 M increase the diameter of nanoparticles from 36 nm to 42 nm and the use concentration 0.4 M produce agglomeration of nanoparticles. The use of CTAB as the most optimum consentration is 0.1 M, produce nanoparticles with diameter 44 nm with the highest level of uniformity. Increasing growth time from 2 to 16 hours increasing amount of nanoparticles with increased absorpsion intensity.
"
2015
S59546
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Auliya’u Darojatin
"Studi elektrokimia berupa voltametri siklik dan kronoamperometri pada asam askorbat telah berhasil dilakukan pada screen printed carbon electrode (SPCE) dan SPCE termodifikasi multi-walled carbon nanotubes (SPCE-MWCNT) yang masing-masing memiliki luas permukaan aktif sebesar 0,138 cm2 dan 0,126 cm2. Pengaruh laju pemindaian dan konsentrasi asam askorbat yang dilarutkan dengan phosphate buffered saline (PBS) 0,1 M pH 7,4 terhadap arus dipelajari dengan menggunakan voltametri siklik dimana hubungan keduanya berlangsung linear, sama seperti pengaruh arus terhadap waktu yang dipelajari dengan menggunakan kronoamperometri. Elektroda SPCE dan SPCE-MWCNT teroksidasi masing-masing pada 0,2237 V dan 0,2756 V saat diberikan asam askorbat 10 mM dengan siklus potensial rentang -1 V hingga 1 V. Reaksi yang terjadi pada permukaan kedua elektroda tersebut merupakan reaksi yang dikontrol difusi dikarenakan hubungan antara log puncak arus anodik dan log laju pemindaian menunjukkan hasil yang linier dengan nilai kemiringan mendekati 0,5, yaitu sebesar 0,220 dan 0,222 untuk masing-masing SPCE dan SPCE-MWCNT. Batas deteksi dan batas kuantifikasi pada SPCE ditemukan masing-masing sebesar 1,2588 mM dan 3,8145 mM untuk pengujian menggunakan voltametri siklik, serta 2,8393 mM dan 8,6040 mM untuk pengujian menggunakan kronoamperometri. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantifikasi pada SPCE-MWCNT ditemukan masing-masing sebesar 0,5197 mM dan 1,5748 mM untuk pengujian menggunakan voltametri siklik, serta 1,1486 mM dan 3,4805 mM untuk pengujian menggunakan kronoamperometri. Pada pengujian kronoamperometri menggunakan SPCE dan SPCE-MWCNT, dihasilkan juga persamaan linear masing-masing sebesar y=0,008x+0,07774 dan y=0,0091x+0,04781. Hal ini menunjukkan bahwa SPCE dan SPCE-MWCNT memiliki aktivitas katalitik yang baik terhadap oksidasi asam askorbat.
......Electrochemical study through cyclic voltammetry and chronoamperometry on ascorbic acid was successfully accomplished on screen printed carbon electrode (SPCE) and SPCE modified with multi-walled carbon nanotubes (SPCE-MWCNT) with an active surface area of 0.138 cm2 dan 0.126 cm2, respectively. The effect of scan rate and concentration of dissolved ascorbic acid in phosphate buffered saline (PBS) 0.1 M pH 7.4 on the current were studied using cyclic voltammetry, where the relationship between them was linear. Similarly, the effect of current on time when studied using chronoamperometry also resulted in a linear relationship. The SPCE and SPCE-MWCNT electrodes were oxidized at 0.2237 V and 0.2756 V, respectively, when given 10 mM ascorbic acid with the range of cyclic potential -1 V to 1 V. The reaction which occurs on both the electrode surfaces are diffusion-controlled reaction, since the relationship between the log of peak anodic current and the log of the scan rate shows linear results with both slope values approximated to 0.5, which are 0.220 and 0.222 to be exact for SPCE and SPCE-MWCNT, respectively. The limit of detection (LOD) and the limit of quantification (LOQ) in SPCE were found to be 1.2588 mM dan 3.8145 mM, respectively, when tested using cyclic voltammetry, as well as 2.8393 mM and 8.6040 mM when tested using chronoamperometry. Meanwhile, LOD and LOQ in the SPCE-MWCNT were found to be 0.5197 mM and 1.5748 mM, respectively, when tested using cyclic voltammetry, as well as 1.1486 mM and 3.4805 mM when tested using chronoamperometry. In the chronoamperometric test using SPCE and SPCE-MWCNT, the resulting linear equations were y=0.008x+0.07774 and y=0.0091x+0.04781, respectively. These phenomena indicated that both SPCE and SPCE-MWCNT had a significant catalytic activity towards ascorbic acid oxidation."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steffany
"Polimerisasi stirena melalui sistem bulk dengan menggunakan dua jenis inisiator redoks yaitu H2O2/Asam askorbat dan H2O2/Fe2+ telah berhasil dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh variasi konsentrasi dan komposisi masing-masing inisiator serta variasi temperatur terhadap persen konversi dan berat molekul rata-rata polimer. Dengan konsentrasi dan komposisi inisiator yang sama, inisiator redoks H2O2/Asam askorbat menghasilkan persen konversi yang lebih besar daripada inisiator H2O2/Fe2+. Terhadap polistirena dari masing-masing inisiator redoks yang dihasilkan dilakukan karakterisasi berat molekul rata-rata, dan didapat hasil: 196.170,44 gram mol-1 untuk konsentrasi inisiator H2O2/Asam askorbat 3% dengan komposisi 6:1 dan suhu 900C dalam waktu 5 jam; dan 354.413,28 gram mol-1 untuk konsentrasi inisiator H2O2/Fe2+ 2% dengan komposisi 3:1 dan suhu 950C dalam waktu 5 jam. Polistirena dengan inisiator H2O2/Asam askorbat menghasilkan persen konversi yang lebih besar dan berat molekul rata-rata yang lebih kecil daripada polistirena dengan inisiator H2O2/Fe2+.
......Polystyrene was prepared by bulk polymerization method with two types of redox initiator, namely H2O2/Ascorbic acid and H2O2/Fe2+. This research has studied the effect of variation concentration and composition from each redox initiator and also temperature reaction to percent conversion and average molecular weight. With the same concentration and composition of initiator, percent conversion of initiator H2O2/Ascorbic acid was larger than initiator H2O2/Fe2+. Average molecular weight characterization has been measured after polystyrene was produced from each redox initiator, and the yield: 196.170,44 gram mole-1 for redox initiator H2O2/Ascorbic acid with 3% concentration, composition 6:1, temperature at 900C in 5 hours; and 354.413,28 gram mole-1 for redox initiator H2O2/Fe2+ with 2% concentration, composition 3:1, temperature at 950C in 5 hours. Polystyrene from H2O2/Ascorbic acid initiator has larger percent conversion and lower average molecular weight than initiator H2O2/Fe2+."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S30695
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Sadeli
"ABSTRAK
In order to maintain issued of environmental safe and clean, Indonesian government has been tried very hard to reduce toxicity, especially in water cooling systems by prohibiting chromate to be used.
A part from inhibitor chromate, the industries still use some inhibitors such as zinc phosphate, polyphosphonat etc, but the dangers of these inhibitors still unsolved. To anticipated of this condition, in this time has been made an advances of development of unpoisonous inhibitor called Ascorbic Acid (vitamin C).
The investigation started with behaviour of Ascorbic Acid in near neutral aqueous solution regarding corrosion of stainless steel. The experiment result indicated that inhibition of Ascorbic Acid gave effectiveness of 75 - 83 %. with intervals of 60 - 100 ppm. This effectiveness values can be said that Ascorbic Acid very promising to be used for inhibitor corrosion. Furthermore research must take place to get more information about inhibition of Ascorbic Acid, so that Ascorbic Acid can be used commercially in industries."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>