Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama , 2018
616.978 MAR a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Loa Helena Suryadi
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Leber's Hereditary Optic Neuropathy (LHON) merupakan penyakit yang diturunkan secara maternal, dengan gejala klinik yang khas berupa kebutaan pada kedua mata akibat atrofi saraf optik. Mutasi utama pada LHON adalah DNA mitokondria nt 11778G>A, yang mengakibatkan gen yang menyandi peptidaND4 pada kodon 340, asam amino arginin berubah menjadi histidin. Patologi molekuler LHON ternyata sangat kompleks, dan akhir-akhir ini dikemukakan proses autoimun sebagai dasar patologi LHON dengan mutasi DNA mitokondria nt 11778G>A, berdasarkan pengamatan bahwa pada wanita penderita LHON sering kali dijumpai adanya gejala multiple sclerosis. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan keterlibatan proses autoimun dalam patologi molekuler penyakit LHON dengan pembawa mutasi DNA mitokondria 11778G>A. Penelitian dilakukan pada 34 anggota keluarga LHON keturunan Cina yang berasal dari Jambi. Sampel akar rambut digunakan untuk mencari tipe mutasi DNA mitokondria 11778G>A dengan metoda PCR-RFLP. Penelitian dilanjutkan dengan mendeteksi adanya autoantibodi antimitokondria pada 18 sampel serum terpilih dari ke 34 anggota keluarga diatas. Metoda yang digunakan untuk pemeriksaan imunologis ini adalah teknik imunofluoresensi dengari menggunakan galur sel HEp2 dan jaringan ginjal tikus sebagai substrat. Sedangkan untuk karakterisasi awal autoantigen digunakan metoda western immunoblotting dengan menggunakan protein mitokondria yang berasal dari plasenta manusia sebagai sumber antigen. Hasil dan Kesimpulan : Dari 34 anggota keluarga yang diperiksa DNA akar rambutnya dengan metoda PCR-RFLP, didapatkan 28 orang membawa mutasi DNA mitokondria nt 11778G>A. Derajat heteroplasmisitas bervariasi antara 90-100% untuk DNA mitokondria yang termutasi. Aktivitas autoantibodi antimitokondria dengan metoda imunofluoresensi didapatkan intensitas yang relatif rendah pada semua penderita yang membawa mutasi. Sedangkan karakterisasi awal autoantigen dengan metoda western immunoblotting didapatkan reaktivitas serum LHON (III-7) terhadap polipeptida mitokondria sebesar 40 kDa dan 37 kDa. Walaupun jelas adanya aktivitas autoantibodi antimitokondria pada serum individu dengan mutasi 11778G>A, peranan autoantibodi dalam proses mekanisme penyakit masih perlu diteliti lebih lanjut, karena rendahnya titer antibodi tersebut. Kemungkinan keterlibatan imunitas seluler pada penyakit ini juga perlu dipikirkan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subowo
Abstrak :
Kalau dalam buku Imunologi dibahas dasar-dasar imunologi, maka dalam Imunologi Klinik dikupas berbagai penyakit yang berkaitan erat dengan sistem imun, seperti: alergi, penyakit otoimun, imunitas dan infeksi penyakit defisiensi imun, dan sebagainya.
Jakarta: Sagung Seto, 2013
610.73 SUB i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Prashanti Karnen
Abstrak :
Latar Belakang. Pasien autoimun rentan terhadap infeksi COVID-19 dan luaran yang lebih berat, sehingga penting untuk mendapat vaksinasi. Namun, terdapat kekhawatiran efek samping, kekambuhan penyakit, serta efektivitas dan imunogenitas vaksin. Tujuan. Mengetahui cakupan vaksinasi COVID-19 di Poli Alergi Imunologi RSCM dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode. Studi potong lintang ini melibatkan 260 pasien autoimun dari Poli Alergi Imunologi RSCM periode Juli-Agustus 2023. Pengambilan data menggunakan kuesioner. Analisis bivariat dengan Uji Chi-Square atau Fischer dan analisis multivariat dengan regresi Poisson. Hasil. Cakupan vaksinasi COVID-19 pasien autoimun untuk dosis pertama 60%, dosis kedua 57.3%, dan dosis ketiga 40%. Melalui analisis bivariat, didapatkan faktor yang berhubungan dengan cakupan berupa pekerjaan tenaga kesehatan (PR 1,68; p < 0,001), rekomendasi dokter yang merawat (PR 6,47; p<0,001), dan skala persepsi pasien terhadap keparahan penyakit (p<0,001). Analisis multivariat menunjukkan hubungan antara rekomendasi dokter yang merawat (PR 4,67; p<0,001), pekerjaan tenaga kesehatan (PR 1,56; p=0,01), diagnosis SLE (PR 0,81; p=0,003) dan skala persepsi pasien terhadap keparahan penyakit (PR 0,88; p<0,001). Simpulan. Cakupan vaksinasi COVID-19 dosis pertama pada pasien autoimun di Poli Alergi-Imunologi RSCM adalah 60%. Studi ini menemukan hubungan cakupan vaksinasi dengan rekomendasi dokter yang merawat, pekerjaan sebagai tenaga kesehatan, diagnosis SLE, dan persepsi pasien terhadap keparahan penyakit. ......Background. Autoimmune patients are susceptible to COVID-19 infection and severe outcomes, so it is important to receive vaccination. However, there are concerns about side effects, disease recurrence, and vaccine effectiveness and immunogenicity. Objective. To explore uptake of COVID-19 vaccination at RSCM Allergy Immunology Clinic and related factors. Method. This cross-sectional study involved 260 autoimmune patients from the RSCM Allergy Immunology Clinic for July-August 2023. Data was collected with questionnaire. Bivariate analysis with Chi-Square or Fischer Test and multivariate analysis with Poisson regression. Results. COVID-19 vaccination coverage for autoimmune patients for the first dose is 60%, the second dose is 57.3%, and third dose is 40%. Through bivariate analysis, associated factors were health worker employment (PR 1.68; p < 0.001), recommendation of treating doctor (PR 6.47; p < 0.001), and patients’ perception of their illness (p< 0.001). Multivariate analysis showed association between recommendation of treating doctor (PR 4.67;p<0.001), health worker's occupation (PR 1.56;p=0.01), SLE diagnosis (PR 0.81;p=0.003) and the scale patient perception of disease severity (PR 0.88;p<0.001). Conclusion. Coverage first dose COVID-19 vaccination in autoimmune patients at RSCM Allergy-Immunology Clinic is 60%. This study found association between recommendation of treating doctor, healthcare workers, SLE diagnosis, and patients’ perception of their illness.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jemima Fajarin Putri
Abstrak :
Sjogrens syndrome merupakan gangguan autoimun yang menyerang kelenjar eksokrin seperti kelenjar saliva dan kelenjar konjungtiva dengan gejala umum berupa penurunan produksi saliva dan produksi cairan konjungtiva yang menyebabkan sensasi kering pada rongga mulut dan mata yang dapat berkembang menjadi karies gigi, infeksi rongga mulut, sensai terbakar pada mata hingga kerusakan kornea. Gejala yang ditimbulkan Sjogrens syndrome sering kali menyerupai manifestasi gangguan kesehatan lain, seperti infeksi. Sejauh ini terdapat beberapa agen infeksius yang memiliki manifestasi menyerupai gejala umum pada Sjogrens syndrome, antara lain infeksi yang disebabkan virus Hepatitis C, virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, human T lymphotropic virus1 HTLV-1, dan kemungkinan infeksi bakteri Heliobacter pylori yang memiliki kemampuan untuk terdisposisi pada jaringan epitel gastrik pasca infeksi pertama dan menyebabkan inflamasi persisten serta kemampuan untuk mempengaruhi produksi anti SSA/SSB. Beberapa penelitian menyatakan bahwa infeksi persisten mampu memicu gangguan autoimun yang disebabkan oleh aktivasi sel T dan sel B secara terus menerus sebagai upaya eradikasi sel terinfeksi yang memicu reaksi autoimun dan peningkatan kadar sel imun autoreaktif berupa kerusakan sel sehat di sekitarnya. Pada hasil kajian kepustakaan ini menemukan bahwa infeksi persisten bukan faktor satu satunya yang memicu kejadian Sjogrens syndrome namun terdapat faktor lain yang memicu infeksi dapat berkembang menjadi Sjogrens syndrome.
Sjogrens syndrome is an exocrine glands autoimmune disease, causing decreasing liquids production on salivary gland and conjunctiva with the common symtomps including dry eyes and dry mouth and later causing burn sensations on eyes, cornea destruction, dental caries and oral cavity infections. The symptoms often resemble general health problem, such as infection manifestation. This far, there are several infectious agents in which possibly caused similar diseases manifestation as Sjogrens syndrome, including infections of Hepatitis C virus, Epstein Barr virus, cytomegalovirus, human T lymphotropic virus-1 HTLV-1, which have the ability to caused persistent infection on salivary glands after the first infection and possibly Heliobacter pylori infection based on the increasing anti Ro/SSA and anti-La/SSB on infected individuals. Some research states, persistent infection could trigger autoimmune disorders caused by continous T cells and B cells activation in an attempt to eradicate infected cells that is, but also triggered autoimmune response and increasing autoreactive cells consentration causing damage to healthy cells around the infected cells. However, the results in this literature study found persistent infection is not the only triggering factor of Sjogrens syndrome but there are other unknown factors that trigger infection can develop into Sjogrens syndrome.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niniarti Z. Djamal
Abstrak :
Pendahuluan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah suatu penyakit mulut yang paling sering ditemukan kini amat mengganggu penderitanya karena hilang tirnbul (rekurest) sehingga dapat mengganggu fungsi pengunyahan (1;2). SAR biasanva mengenai jaringan lunak yang tidak berkeratin, bentuknya bulat, dikelilingi "halo" berbatas jelas dan terasa sakit (2,3,4). Etiologi SAR sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun ada beberapa faktor predisposisi yang diduga turut berperan pada putogenesisnya, antara lain faktor genetik, hormonal, imunologis, psikologis, infeksi mikroorganisme, derisiensi vitamin ataupun allergi (2,3,4,5), Karen belum diketahui penyebab utamanya maka bagaimana mekanisme sampai terjadinya SAR (patogenesis) secara pasti belum terungkap. Oleh karena itu penanganan SAR yang telah diupayakan selama ini belum mencapai hasil yang optimal. Seiring dengan kemajuan di bidang imunologi maka beberapa penelitian akhir-akhir ini menemukan adanya ketidakseimbangan imunologis pada penderita SAR yaitu dengan ditemukannya perubahan proporsi subpopulasi limfosit di daerah tepi oleh Leiner (6,7,8) dan ternyata perubahan tersebut semakin nyata pada SAR tipe mayor (9).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yudith Rachmadiah
Abstrak :
Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronik yang banyak terjadi pada kelompok usia produktif. Walau masih relatif jarang ditemukan, namun insidensi dan prevalensi Myasthenia Gravis dilaporkan terus meningkat. Kelemahan otot kronik yang dialami berdampak pada penurunan fungsi secara individu maupun sosial. Dampak negatif derajat kelemahan otot terhadap skor kualitas hidup telah terbukti dari penelitian secara global maupun di Indonesia, namun determinan lain yang menentukan kualitas hidup terkait kesehatan (HRQoL) individu dengan Myasthenia Gravis masih belum tereksplorasi. Menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross-sectional, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel apa saja yang menjadi determinan HRQoL individu dengan Myasthenia Gravis di Indonesia. Seratus dua puluh delapan responden yang merupakan anggota Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia direkrut di dalam penelitian. Pengambilan data dilakukan secara daring melalui Google Form. Alat ukur yang digunakan adalah self-administered questionnaire MG-QoL 15, General Self Efficacy Scale, HADS, dan kuesioner variabel independen yang sudah melalui uji validitas dan reliabilitas. Sesudah dilakukan analisis deskriptif, analisis hubungan dengan Independent T-Test, Uji Anova, Uji Korelasi, serta analisis regresi linier multivariat, didapatkan hasil yaitu rata-rata skor kualitas hidup individu dengan MG adalah 28,3±12,89; determinan HRQoL pada individu dengan MG adalah Pendidikan, Efikasi Diri, Dukungan Sosial dan Masalah Kesehatan Mental sesudah dikontrol dengan Usia, Pernikahan, Status Bekerja Jenis Kelamin, Latihan Fisik dan Kunjungan ke Profesional Medis; determinan yang paling berpengaruh terhadap HRQoL individu dengan MG adalah Masalah Kesehatan Mental dengan nilai p = 0,001 dan koefisien Beta = 0,302. ......Myasthenia Gravis (MG) is a chronic autoimmune disease that mostly occurs in the productive age group. Although it is still relatively rare, the incidence and prevalence of Myasthenia Gravis are reported to be increasing. The chronic muscle weakness experienced has an impact on individual and social decline in function. The negative impact of the degree of muscle weakness on quality of life scores has been proven from research both globally and in Indonesia, but other determinants that determine the health-related quality of life (HRQoL) of individuals with Myasthenia Gravis have not been explored. Using a cross-sectional design and quantitative methods, this study aims to analyze what variables are the determinants of HRQoL of individuals with Myasthenia Gravis in Indonesia. One hundred and twenty eight respondents who are members of the Myasthenia Gravis Indonesia Foundation were recruited in the study. Data collection is done online via Google Form. The measuring instrument used is the self-administered questionnaire MG-QoL 15, General Self Efficacy Scale, HADS, and the independent variable questionnaire that has passed validity and reliability tests. After descriptive analysis, correlation analysis with Independent T-Test, Anova Test, Correlation Test, and multivariate linear regression analysis were carried out, the results obtained were the average quality of life score of individuals with MG was 28.3±12.89; HRQoL determinants in individuals with MG are Education, Self-Efficacy, Social Support and Mental Health Disorders after being controlled with Age, Marriage, Sex Working Status, Physical Exercise and Visits to Medical Professionals; The determinants most influential to the HRQoL of individuals with MG are Mental Health Disorders with a value of p = 0.001 and a coefficient of Beta = 0.302.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David
Abstrak :
Latar Belakang. Sejak laporan pertama ensefalitis antireseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada 2007, prevalensi ensefalitis autoimun (EA) serupa dengan ensefalitis infeksi (EI). Sayangnya, heterogenitas klinis EA, serupanya klinis dengan EI, penyakit autoimun seperti neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik, atau penyakit psikiatrik menjadi tantangan deteksi awal dan tatalaksana EA. Keterlambatan berhubungan dengan perburukan luaran, sedangkan kekurang-tepatan menerapi EI sebagai EA dapat mengeksaserbasi infeksi. Studi ini bertujuan mengenali karakteristik EA, khususnya ensefalitis antireseptor NMDA definit sebagai EA tersering, di era keterbatasan ketersediaan penunjang definitif di Indonesia. Metode. Studi kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada curiga EA yang menjalani pemeriksaan antireseptor NMDA cairan otak sejak Januari 2015-November 2022. Karakteristik klinis dan penunjang EA, EA seropositif NMDA, dan luarannya dinilai. Analisis univariat dan bivariat dilakukan sesuai kebutuhan. Hasil. Dari 102 subjek yang melalui kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 14 EA seropositif dan 32 seronegatif NMDA. Temuan klinis EA terbanyak adalah gangguan psikiatri dan tidur (85,7%), gangguan kesadaran (78,3%), prodromal (76,1%), dan bangkitan (70,6%). Karakteristik penunjang EA adalah inflamasi sistemik (75,0%), inflamasi cairan otak (69,2%), abnormalitas MRI (57,9%) dominan inflamasi (42,2%), dan abnormalitas EEG (89,5%). Karakteristik klinis EA seropositif NMDA adalah psikosis (76,9% vs 24,1%, p=0,002), delirium (71,4% vs 40,6%, p=0,06), bangkitan (71,4% vs 46,7%, p=0,12), takikardia (55,6% vs 17,6%, p=0,08), dan gangguan otonom lainnya (55,6% vs 23,5%, p=0,19), sedangkan klinis EA seronegatif NMDA adalah somnolen (34,4% vs 7,1%, p=0,07) dan defisit neurologis fokal (31,3% vs 7,1%, p=0,13). Leukositosis dan pleositosis cairan otak dengan dominasi mononuklear secara signifikan lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Sebanyak 10,9% subjek meninggal. Kesimpulan. Karakteristik klinis EA adalah gangguan psikiatri dan tidur, gangguan kesadaran, prodromal, dan bangkitan. Psikosis, delirium, bangkitan, dan disfungsi otonom cenderung lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Inflamasi sistemik, cairan otak, MRI, dan abnormalitas EEG sering ditemukan pada EA, terutama seropositif NMDA.  ......Background. Since the first report of N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) encephalitis in 2007, the prevalence of autoimmune encephalitis (AE) was similar to infectious encephalitis (IE). Unfortunately, heterogenities of EA as well as similarities in the manifestation to IE, other autoimmune diseases including neuropsychiatric systemic lupus erythematosus, or psychiatric diseases compromised the early detection and management of EA. This delay correlated with worse outcome whereas the inaccuracy in treting IE as AE may exacerbate infection. This study aimed to describe the characteristics of EA, particularly definitive NMDAR encephalitis as the most common, in the era of limited availability of definitive ancillary test in Indonesia. Methods. Retrospective study using medical records at Dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital was conducted for suspected EA cases tested for cerebrospinal fluid NMDAR autoantibody test from January 2015 to November 2022. Clinical, ancillary characteristics, and concordance between clinical diagnosis and diagnostic criteria were assessed. Univariate, bivariate, and multivariate analysis were perfomed as needed. Result. Of 102 subjects following inclusion and exclusion criteria, there were 14 seropositive and 32 seronegative NMDA subject. Clinical characterstics of AE were psychiatric and sleep disorder (85,7%), altered consciousness (78.3%), prodromal (76.1%), and seizure (70.6%). Ancillary characteristics of AE were systemic inflammation (75.0%), cerebrospinal fluid inflammation (69.2%), MRI abnormalities (57.9%) with inflammatory predominance (42.2%), and EEG abnormalities (89.5%). Seropositive NMDA characteristics were psychosis (76.9% vs 24.1%, p=0.002), delirium (71.4% vs 40.6%, p=0.06), seizure (71.4% vs 46.7%, p=0.12), tachycardia 955.6% vs 17.6%, p=-0.08), and other autonomic disorder (55.6% vs 23.5% p=0.19) whereas seronegative NMDA characteristics were somnolence (34.4% vs 7.1%, p=0.07) and focal neurologic deficit (31.3% vs 7.1%, p=0.13). Leukocytosis and cerebrospinal fluid pleocytosis with mononuclear predominance were significantly found in seropositive NMDA AE. The mortality rate was 10.9%. Conclusion. Clinical characteristics of AE were psychiatric and sleep disorder, altered consciousness, prodromal, and seizure. Psychosis, delirium, seizure, and autonomic dysfunction tended to be found in seropositive NMDA AE. Inflammation in systemic, cerebrospinal fluid, and MRI findings as well as EEG abnormalities commonly occurred in AE, especially seropositive NMDA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Noviandi
Abstrak :
Pendahuluan: Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis terbanyak di dunia, kurang lebih 20-30% diantaranya merupakan epilepsi resistan obat. Salah satu penyebab epilepsi resistan obat adalah autoimun, yang diperantari antibodi saraf. Antibodi saraf yang paling sering ditemukan dan diteliti adalah antibodi anti N-Methyl-D-Aspartate (NMDAR). Diagnosis pasti epilepsi autoimun adalah ditemukannya antibodi saraf di serum atau cairan serebrospinal (CSS), namun saat ini ketersediaanya terbatas dan harganya cukup mahal di Indonesia. Skor Antibody Prevalence in Epilepsy and Encephalopathy 2 (APE2) dan Antibody Contributing to Focal Epilepsy Signs and Symptoms (ACES) merupakan dua piranti klinis yang dapat digunakan untuk menduga adanya antibodi saraf, namun belum ada penelitiannnya di Indonesia. Tujuan: Penelitian ini adalah uji diagnostik untuk menilai kemampuan APE2 dan ACES dalam menduga adanya antibodi saraf anti NMDAR di serum pasien epilepsi resisten obat. Metode: Pasien epilepsi resistan obat yang datang ke Poli Neurologi Anak Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo Surabaya pada bulan Maret hingga Agustus 2023 dinilai menggunakan APE2 dan ACES lalu diperiksa serum antibodi anti NMDAR. Hasil: Didapatkan 90 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Antibodi NMDAR serum ditemukan pada 10 dari mereka. Skor APE2 memiliki sensitivitas 60%, spesifisitas 82,5%, PPV 30%, NPV 94,3%, LR+ 3,43, dan LR- 0,48. Poin skor APE2 yang memiliki nilai bermakna adalah perubahan status mental (p 0,042) dan gejala prodormal sebelum kejang (p 0,005). Skor ACES memiliki sensitivitas 85,71% spesifisitas 72,22%, PPV 37,5%, NPV 96,3%, LR+ 3,08, dan LR- 0,198. Poin skor ACES yang memiliki nilai bermakna adalah gangguan kognitif (p 0,033) dan gangguan bicara (p 0,028). Pada kejang fokal, APE2 memiliki nilai sensitivitas, PPV, NPV dan LR+ yang lebih rendah namun spesifisitas dan LR- yang lebih tinggi dibandingkan dengan ACES. Kesimpulan: Skor APE2 kurang sensitif namun cukup spesifik dengan NPV yang tinggi. Skor ACES cukup sensitif dan spesifik dengan NPV yang tinggi. Keduanya dapat digunakan untuk skrining awal epilepsi terutama bila ada gejala perubahan status mental, gejala prodormal virus, gangguan kognitif dan gangguan bicara sebelum atau saat awal awitan kejang. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai antibodi saraf lain, dengan pemeriksaan antibodi di CSS dan tidak terbatas pada epilepsi resisten obat saja serta yang awitan kejangnya dibawah 1 tahun.

Kata kunci: ACES, APE2, epilepsi autoimun, epilepsi resisten obat, NMDAR ......Epilepsy is one of the most common neurological disorders in the world, approximately 20-30% of which are drug-resistant epilepsy. One cause of drug-resistant epilepsy is autoimmune disease, mediated by neural antibodies. The most frequently found and studied neural antibody is the anti-N-Methyl-D-Aspartate (NMDAR) antibody. The definitive diagnosis of autoimmune epilepsy is the discovery of neural antibodies in serum or cerebrospinal fluid (CSF), but currently their availability is limited and the price is quite expensive in Indonesia. The Antibody Prevalence in Epilepsy and Encephalopathy 2 (APE2) score and Antibody Contributing to Focal Epilepsy Signs and Symptoms (ACES) are two clinical tools that can be used to suspect the presence of neural antibodies, but there has been no research in Indonesia. Purpose: This research is a diagnostic test to assess the ability of APE2 and ACES to predict the presence of anti-NMDAR neural antibodies in the serum of drug-resistant epilepsy patients. Methods: Drug-resistant epilepsy patients who seek treatment at the Pediatric Neurology Outpatient clinic at the National Central General Hospital, dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta and the Regional General Hospital dr. Soetomo Surabaya from March to August 2023 were assessed using APE2 and ACES, then checked for serum anti NMDAR antibody. Results: There were 90 research subjects who met the research inclusion and exclusion criteria. Serum NMDAR antibodies were found in 10 of them. The APE2 score has a sensitivity of 60%, specificity of 82.5%, PPV of 30%, NPV of 94.3%, LR+ 3.43, and LR- 0.48. In this study, the APE2 score points that had significant values were changes in mental status (p 0.042) and prodromal symptoms before seizures (p 0.005). The ACES score has a sensitivity of 85.71%, a specificity of 72.22%, PPV 37.5%, NPV 96.3%, LR+ 3.08, and LR- 0.198. In this study, the ACES score points that had significant values were cognitive symptoms (p 0.033) and speech problem (p 0.028). In focal seizures, APE2 has lower sensitivity, PPV, NPV and LR+ values but higher specificity and LR- compared to ACES. The APE2 score is less sensitive but quite specific with a high NPV. The ACES score is quite sensitive and specific with a high NPV. Both can be used for initial epilepsy screening, especially if there are symptoms of changes in mental status, viral prodromal symptoms, cognitive symptoms and speech problem before or at the onset of seizures. Further research is needed to assess other neural antibodies, examining neural antibodies in CSF and also including those whose seizure onset is less than 1 year, not limiting to drug-resistant epilepsy only.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sundari
Abstrak :
Penyakit autoimun adalah sindroma ldinik yang disebabkan oleh respon autoimun akibat aktivasi dari sel T maupun sel B atau keduanya terhadap antigen selfl). Penyakit ini merupakan kelainan yang cukup sering ditemukan di ldinik, dapat bersifat ringan maupun berat, terjadi akibat gangguan keseimbangan kerja sistem imun. 1 Penyebab penyakit dan patogenesisnya belum jelas. Gejala dan keparahan dari penyakit autoimun berbeda beda pad a tiap p~ien. Pemeriksaan laboratorium ANA mempunyai tingkat sensitivitas ' dan spesifisitas yang berbeda beda pada tiap penyakit autoimun; pada penyakit LES yang paling sensitif (:::; 95%). Pol a ANA yang ditemukan pada pasien penyakit autoimun dapat berupa speckled, homogen, nuldeoli, perifer, sentromer dan sitoplasma. ' Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data tentang profil ANA pada pasien autoimun yang berobat ke polildinik Alergi dan Imunologi, departemen Ilmu Penyakit Dalam, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi kepada ldinisi tentang pola dominan yang ditemukan pada penyakit autoimun tertentu dan membantu memperkirakan penyakitnya. Subjek diambil dari pasien dewasa (usia> 15 tahun) rawat jalan yang berobat di polildinik Alergi Imunologi (Juni 2010-Agustus 2010) dan menggunakan penelitian deskriptif. Pasien dengan stadium pengobatan stadium pengobatan : maintenance 21(52,5%), tappering offl2 (30%), dan induk~i 7 pasien (17,5%). Pemeriksaan ANA dilakukan pada 40 sampel dan 10 subjek sehat. Subjek penelitian terdiri dari 38 wanita (95%) dan 2 pria (5%) sedangkan subjek sehat terdiri dari 8 wanita (80%) dim 2 pria (20%). Usia median untuk subjek adalah 20-29 tahun sedangkan subjek sehat median umur 30-39 tahun. Kami mendapatkan 6 kontrol denga.'1 hasil negatif dan 4 hasil positif pola speckled halus dengan titer rendah 11100. Pada subjek penelitian didapatkan diagnosis LES 38 pasien (95%) dan 2 slderoderma (5%). Pada pasein LES, didapatkan hasil ANA positif 33 (87%) dan negatif 5 (13%). Pada kedua pasien slderoderma, pemeriksaan ANA nya positif. Pada pasien LES 'dengan ANA positif, karni menemukan pola speckled 26 (65%), terdiri dari speckled kasar 23 (57,5%) dan speckled halus 3 (7,5%), nuldeolar 4 (10%), homogen 2 (5%), dan anti sitoplasma antibodi 1 (2,5%). Modus titer ANA sebelum pengobatan 1110.000 dan setelah pengobatan 11100. ......Autoimmune disease is an inflammatory ,disorder charactherized by autoantibodies among others to nuclear antigen.Severity and symptoms of autoimmune disease differ in each' patient. 'A laboratory test of antinuclear antibo4y (ANA) is different in every autoimmune dis~e; but in SLE, is the most sensitivetest,(:::: 95%). Patterris of ANA were' found in ~utoimmune disease , patients 'are speckled, homogen, nucleoli, peripheral, centrQmere and cytoplasmic pattern. The aim of this study was to found the pattern of ANA iIi patients that 'di~gno~d as 'autoimmune disease in Allergy and Immunology clinic, department" of internal medicine, Cipto Mangunkusumo Hospital. The value of this study was to give infonnation to clinician the most frequent pattern of ANA founded in autoimmune patient and to estimate type of autoimmune disease. ' Subjects were taken in out patient in' Allergy Immunology clinic (June 2010 - Augustus 201 0) in adult autoimmune pa~ents (age:> 15 years). , ' ANA test was applied to 40 autoiininune subjects, and 10 healthy subjects. Thirty eight of subjects were wom~ (95%) and 2 of them were men (5%). The median age is 20-29 years old. (45%). Healthy 'subjects are 8 women and 2 men and median age is 30-40 years old. We found 6 healthy subjects were negative ANA test and 4 were positive fine speckled pattern and titer were low 11100. We found SLE 38 patient (95%) 'and 2 Schlerodenna (5%). From 38 SLE patient ,positive of ANA test '33 (87%) and 5 negative of ANA test (13%), and from 2 schlerodenna 100%' ANA test positive. From positive ANA test of SLE we found 26 speckled pattern (65%), devide in coarse speckled 23 (57,5%) and fine speckled 3 (7,5%),4 nucleolar (10%), 2 homogen pattern (5%), and antlcytoplasmic antib<;>dy pattern 1 (2,5%). In this study founded that the most ANA pattern and spesific for SLE patients in department internal medicine, Cipto Manglmkusumumo Hospital was speckled pattern. The stage of therapy are maintenance ' 21 ' (52,5.%), "tapering off stag~12(30%)and induction stage 7 (17,'5%) is maintenance stage and 7 patient (17,5%) in tapering off stage. , " ' Modus titer ANA Defore therapy ,1/1 0.000 and after therapy 11100.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T58025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>