Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Batavia: W. bruining & co dan s' Gravenhage: M. Nijhoff
050 TBG 29 (1884)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Purnama Juita Shinta Parulian
Abstrak :
Martin Luther (1483-1546), seorang tokoh reformator dan kritikus gereja Roma yang turut berperan dalam sejarah bangsa Jerman, telah menerjemahkan Alkitab dari bahasa Ibrani dan Yunani ke dalam bahasa Jerman. Ia tidak saja berusaha: menerjemahkan Alkitab, tetapi juga memperbaiki hasil terjemahannya yang dilakukannya terus-menerus semasa hidupnya (Stedje,1969:124). Sebelum Luther menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman sebenarnya telah ada Alkitab terjemahan Jerman, sehingga masyarakat Jerman yang mampu membaca dapat membaca Alkitab dalam bahasa ibunya sendiri (Tschirch,1973:26). Namun tampaknya minat masyarakat tidak besar untuk membacanya. Alkitab terjemahan Luther dapat lebih diterima oleh masyarakat karena lebih jelas dan mudah dimengerti. Gaya bahasanya indah dan pilihan katanya tepat sehingga pendengar dapat menghayatinya (Tschirch,1973:30). Lawan-lawan Luther dari golongan Katolik menolak Alkitab terjemahan Luther dan ingin menyaingi Luther (Tschirch,1973:36). Oleh karena itu, Herzog Georg dari Dresden memerintahkan seorang teolog Katolik, Hieronymus Emser, untuk menerjemahkan Alkitab yang kemudian diterbitkan pada 1527 di Dresden. Karya Emser bukan merupakan hasil penerjemahan dari teks asli, yaitu bahasa Yunani, juga bukan merupakan sebuah revisi atas Alkitab terjemahan Jarman sebelum Luther. Karya Emser adalah salinan kata per kata dari Alkitab (Das Septeiberteq_tamant) karya Luther. Emser hanya menukar kata-kata pilihan Luther dan sama sekali tidak mengubah maknanya (Tschirch,1973:37). Selain Emser, teolog Katolik lainnya seperti Johann Dietenberger dari Hainz dan Johan Eck dari Ingolstadt juga ingin menyaingi Luther. Mereka menerjenahkan Alkitab utuh yang masing-masing kemudian diterbitkan pada 1534 di Mainz dan 1537 di Ingolstadt. Karya Dietenberger tidak menunjukkan kemampuan pribadi sang pengarang. Terjemahan Perjanjian Lamanya merupakan salinan dari Perjanjian Lama karya Luther yang terbit sebagai Alkitab utuh pada tahun yang sama, 1534, dengan pengecualian kitab Nabi-nabi. Sedang terjemahan Perjanjian Barunya adalah salinan dari kita Perjanjian Baru karya Emser (Tschirch,1973:38). Alkitab terjemahan Eck berdasarkan Alkitab terjemahan sebelum Luther.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S14749
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Syadiah
Abstrak :
ABSTRAK
Mitos; sebuah bentuk ide yang telah ada dan mengatur pola pikir masyarakat sejak zaman dahulu hingga saat ini. Mitos dimaknai oleh setiap individu berdasarkan pengalaman yang dialaminya masing-masing. Pemaknaan mitos ini bukan dilihat dari suatu hal yang benar atau salah, melainkan dilihat dari konteks yang sedang diperlukan. Oleh karena itu, pemaknaan di dalam mitos tersebut bersifat plural dan berkembang. Sehingga, pemaknaan di dalam mitos tidak ada yang bersifat tunggal. Selain itu, pemaknaan dalam mitos juga memiliki nilai pragmatis karena pemaknaan mitos yang bersifat plural ini harus dihasilkan dari proses logic yang memiliki konsekuensi praktis dan tidak bisa begitu saja untuk dimaknai. Proses pemaknaan dalam mitos secara logic ini dapat dilihat dari pemikiran semiotik Charles Sanders Peirce melalui proses triadyc yang diciptakannya. Proses triadyc tersebut memiliki tiga unsur, seperti representament, object, dan interpretant. Ketiga unsur ini sangat berkaitan untuk melihat proses pemaknaan pada sebuah mitos. Dengan demikian, di dalam tulisan ini berupaya untuk melihat proses dan juga bentuk mitos yang kini dijadikan sebagai tanda dan sekaligus dijadikan sebagai bahasa sosial di dalam kehidupan masyarakat.Mitos; sebuah bentuk ide yang telah ada dan mengatur pola pikir masyarakat sejak zaman dahulu hingga saat ini. Mitos dimaknai oleh setiap individu berdasarkan pengalaman yang dialaminya masing-masing. Pemaknaan mitos ini bukan dilihat dari suatu hal yang benar atau salah, melainkan dilihat dari konteks yang sedang diperlukan. Oleh karena itu, pemaknaan di dalam mitos tersebut bersifat plural dan berkembang. Sehingga, pemaknaan di dalam mitos tidak ada yang bersifat tunggal. Selain itu, pemaknaan dalam mitos juga memiliki nilai pragmatis karena pemaknaan mitos yang bersifat plural ini harus dihasilkan dari proses logic yang memiliki konsekuensi praktis dan tidak bisa begitu saja untuk dimaknai. Proses pemaknaan dalam mitos secara logic ini dapat dilihat dari pemikiran semiotik Charles Sanders Peirce melalui proses triadyc yang diciptakannya. Proses triadyc tersebut memiliki tiga unsur, seperti representament, object, dan interpretant. Ketiga unsur ini sangat berkaitan untuk melihat proses pemaknaan pada sebuah mitos. Dengan demikian, di dalam tulisan ini berupaya untuk melihat proses dan juga bentuk mitos yang kini dijadikan sebagai tanda dan sekaligus dijadikan sebagai bahasa sosial di dalam kehidupan masyarakat.
ABSTRACT
Myth A form of ideas that has existed and set the mindset of people since ancient times until today. Myth is interpreted by each individual based on the experience experienced by each. The meaning of this myth is not seen from something right or wrong, but viewed from the context that is needed. Therefore, the meaning in the myth is plural and evolving. Thus, the meaning in myth doesn rsquo t exist singularly. In addition, the meaning of the myth also has a pragmatic value because the meaning of this myth that is plural must be generated from the logic process that has practical consequences and can rsquo t simply to be interpreted. This logical meaning in mythology can be seen from Charles Sanders Peirce 39 s semiotic thought through the triadyc process he created. The triadyc process has three elements, such as representament, object, and interpretant. These three elements are closely related to seeing the process of meaning in a myth. Thus, in this paper seeks to see the process and also the form of myth that is now used as a sign and simultaneously serve as a social language in the life of society.
2017
S69890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rifqi
Abstrak :
Kematian eksistensial hanya terjadi pada eksistensi. Kematian ini bukan bagian dari dunia manusia, meskipun terjadi pada tiap-tiap manusia. Akan tetapi, kematian dapat dihadirkan dalam dunia manusia melalui domestifikasi seiring berkembangnya kemampuan manusia untuk meningkatkan harapan hidupnya. Hal ini mengakibatkan kematian selalu mengalami pergeseran dan perubahan, bukan hanya pada tataran konseptual, tapi juga secara faktual. Konstruksinya tergantung pada kemampuan manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Meskipun memiliki kemampuan untuk mengorganisasi kematian, namun manusia tidak mungkin menundukkannya secara penuh. Ini berarti, manusia tidak mungkin menjadi immortal. Bukan karena teknologi belum memungkinkan, tapi karena immortalitas melenyapkan kemanusiaan.
Existential death occurs only on existences. Existential death is not part of human-world, although it happens to every human. But, death may presents on human-world through its domestification along development of human_s ability to increase their lifespan. As the result, there always displacement and alteration of death, not only conceptually, but also factually. Construction of death depends on human_s ability to survive. Although, human ables to organize death, but impossible to defeat it completely. It means, human can not be immortal. It is not because of disability of technology, but immortality vanishes our humanity
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16054
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library