Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Nizamuddin Awliya
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai Kesultanan Mamluk periode Bahri pada 1250-1382. Kesultanan Mamluk merupakan kesultanan yang berkuasa di Mesir, Syam dan Hijaz pada 1250 hingga 1517. Pembentukan kesultanan ini menjadi pengganti bagi Kesultanan Ayyubiyah di Mesir setelah berhasil menngulingkan Sultan Turansyah pada 1250. Kesultanan ini dibagi menjadi dua periode yakni periode Bahri pada 1250 ndash; 1382 dan periode Burji pada 1382 ndash; 1517, kedua periode ini dibedakan karena elit yang berkuasa berbeda etnis yakni Kipchak dan Sirkasia. Pada skripsi ini penulis akan membahas mengenai dua hal yang menjadi keunikan dalam kesultanan ini yakni kelompok elit penguasa kesultanan dan suksesi kepemimpinan. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan data sejarah. Nama Mamluk merupakan sebutan untuk angkatan budak militer yang direkrut oleh petinggi negara untuk tujuan sebagai angkatan bersenjata. Pada kesultanan ini para Mamluk merupakan kelompok elit yang menjalankan pemerintahan dan juga menjadi angkatan militer negara. Model pemerintahan Kesultanan Mamluk merupakan kerajaan aristokrasi karena posisi sultan diperoleh melalui musyawarah oleh kelompok elit. Namun, Mamluk terdiri dari kelompok yang berbeda dikarenakan oleh setiap petinggi negara memiliki Mamluk . Fenomena ini menyebabkan suksesi kepemimpinan pada periode Bahri dalam kesultanan Mamluk sebagai perebutan kekuasaan antar kelompok Mamluk . Apabila suatu kelompok mendominasi kekuasaan dalam kesultanan sistem suksesi sultan menjadi turun temurun, namun nasib mayoritas sultan pada model suksesi ini dikendalikan oleh para elit sehingga mereka dapat dilengserkan sesuai keinginan para elit.

ABSTRACT
This thesis discusses about Mamluk Sultanate during Bahri period in 1250 1382. The Mamluk Sultanate was the ruler of Egypt, Sham and Hijaz in 1250 to 1517. The establishment of the sultanate became a substitute for the Ayyubid Sultanate in Egypt after successfully overthrowing Sultan Turansyah in 1250. The sultanate was divided into two periods, Bahri period in 1250 1382 and Burji period in 1382 ndash 1517. These two periods were distinguished by the ruling elites ethnicities namely Kipchak and Circassian. In this thesis the author will discuss about two things that become uniqueness of this sultanate which is the ruling elite in the sultanate and leadership succession. This thesis uses descriptive qualitative method with historical data. Mamluk is a military slave recruited by state officials for military purposes. The Mamluks were an elite group that ran the government and also became the main military force of the state. The government model of the Mamluk Sultanate is an aristocratic kingdom because the position of sultan is obtained through conference by elite groups. However, Mamluk s are made up of several groups because every state official has their own Mamluk . This phenomenon led to the succession of leadership during Bahri period as a power struggle between groups of Mamluks. If a group of Mamluk was able to dominate the power, the succession of the sultan becomes hereditary but the majority of the sultans in this succession model is controlled by the elites and they can be deposed as the elites desire."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vyan Tashwirul Afkar
"Dalam disiplin Ilmu Geografi Politik, Cox (2002) memperkenalkan konsep teritorial dan teritorialitas. Teritorial adalah ruang fisik yang dibela atau diperebutkan, sedangkan teritorialitas adalah kesadaran akan adanya ruang kekuasaan tersebut. Kedua hal ini mendorong aktor politik melakukan klaim teritorial. Dalam konteks dakwah Islam di Indonesia, klaim teritorial berupa perebutan masjid sebagai upaya masing-masing kelompok Islam dalam memperluas pengaruhnya. Bentuk klaim ini beragam, misalnya pemasangan penanda, perombakan pengurus, pelaksanaan tata laksana ibadah menurut aliran tertentu, dan pemanfaatan masjid untuk kepentingan kelompoknya. Penelitian ini membahas klaim teritorial yang terjadi di Masjid Al Bahri Jatinegara. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menganalisis makna fenomena perebutan masjid dalam perspektif spasial, dengan metode pengumpulan data yaitu wawancara mendalam, observasi, dokumentasi, dan tinjauan pustaka. Wawancara dilakukan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dewan Masjid Indonesia, dan beberapa informan kunci yang relevan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan identitas spasial secara temporal di Masjid Al Bahri Jatinegara, dimana pada aktivitas sehari-hari masjid ini memiliki identitas NU tetapi pada peristiwa politik tertentu masjid ini memiliki identitas yang bertolak belakang dengan NU, bahkan cenderung sejalan dengan PKS. Kasus yang terjadi di Masjid Al Bahri Jatinegara memicu tindakan saling tuding dan saling bantah tentang adanya penguasaan masjid antar kelompok Islam.I

In the discipline of Political Geography, Cox (2002) introduces territorial and territorial concepts. Territorial is physical space that is defended or contested, while territoriality is the awareness of the existence of the power space. Both of these encourage political actors to make territorial claims. In the context of Islamic da'wah in Indonesia, the territorial claim in the form of the seizure of mosques is an effort of each Islamic group to expand its influence. The form of this claim varies, for example, markers, reshuffle of administrators, implementation of religious practices according to a particular flow, and the use of mosques for the benefit of their groups. This study discusses territorial claims at Al Bahri Mosque in Jatinegara. This research is qualitative by analyzing the meaning of the phenomenon of the seizure of the mosque in a spatial perspective, with data collection methods namely in-depth interviews, observation, documentation, and literature reviews. Interviews were conducted with Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dewan Masjid Indonesia (DMI), and several key informants. The results of this study indicate a change in spatial identity temporally in Al Bahri Mosque Jatinegara, where in daily activities this mosque has an NU identity but at certain political events this mosque has an identity that is contrary to NU, and even tends to be in line with PKS. The case that occurred at Al Bahri Mosque in Jatinegara triggered mutual accusations and mutual arguments about the possession of mosques between Islamic groups.>"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library