Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Donatila Mano S.
"Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global. Infeksi bakteri resisten dapat meningkatkan biaya perawatan kesehatan, lama perawatan di rumah sakit, morbiditas dan mortalitas baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang menghubungkan antara infeksi oleh bakteri gram negatif resisten antibiotik dengan biaya dan lama perawatan rumah sakit belum banyak dilakukan terutama di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang melihat perbandingan biaya perawatan dan lama rawat rumah sakit pada pasien dengan infeksi bakteri gram negatif resisten antibiotik dan peka antibiotik. Pengambilan data dilakukan secara konsekutif dengan kriteria inklusi adalah pasien yang berusis ≥18 tahun dan dirawat inap dengan hasil biakan positif terdapat isolat bakteri Gram negatif. Kriteria eksklusi adalah data psien dari laboratorium mikrobiologi yang tidak sesuai dan pasien yang tidak mendapat antibiotik. Dari 359 isolat hasil penelitian didapatkan sebanyak 221 isolat (61.6%) merupakan isolat bakteri gram negatif yang resisten antibiotik. Adapun bakteri tersebut terdiri K. pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 97 isolat (27%), E. coli penghasil ESBL sebanyak 85 isolat (23.7%), P. aeruginosa yang resisten meropenem sebanyak 11 isolat (3.1%) dan A. baumannii resisten meropenem sebanyak 28 isolat (7.8%). Hasil perhitungan biaya perawatan pasien yang terinfeksi bakteri resisten memiliki rerata sebesar Rp 26.010.218,- sedangkan pasien yang terinfeksi bakteri peka memiliki rerata biaya perawatan sebesar Rp 18.201.234,- (p<0.05). Pasien yang terinfeksi A. baumannii resisten meropenem memiliki biaya rawat inap yang paling besar, diikuti E. coli penghasil ESBL, K. pneumoniae penghasil ESBL, dan P. aeruginosa resisten meropenem. Jumlah hari rawat pasien yang terkena infeksi bakteri adalah 14 hari, dan pasien yang terkena infeksi bakteri nonresisten adalah 9 hari (p<0.05). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa infeksi bakteri Gram nehatif resisten mengakibatkan biaya perawatan dan lama rawat rumah sakit meningkat secara bermakna dibandingkan pasien dengan infeksi bakteri peka antibiotik. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting dilakukan, agar pasien mendapatkan antibiotik yang tepat.

Antimicrobial resistance is a global health problems. Resistant bacterial infection increases hospital costs, length of hospital stay, morbidity and mortality in both developed and developing countries. A few research has been found linking infection with antibiotic resistant Gram-negative bacteria with the hospital costs in Indonesia. This study is a cross-sectional study, analyze the comparison of hospital costs in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections and antibiotic sensitive infections. The sample method is consecutive non-random sampling, with inclusion criteria were patients who were aged ≥18 years and hospitalized with Gram negative bacterial positive culture. Exclusion criteria were inappropriate patient data and patients not receiving antibiotics. From 359 isolates, 221 isolates (61.6%) were antibiotic resistant Gram negative bacteria. The bacteria consisted of 97 isolates (27%) of ESBL-producing K. pneumoniae, 85 isolates (23.7%) were ESBL-producing E. coli, 28 isolates (7.8%) were meropenem-resistant A. baumannii, and 11 isolates (3.1%) were meropenem-resistant P. aeruginosa. The average hospital cost of patients with antibiotic resistant Gram-negative bacteria was Rp. 26,010,218, whereas patients with antibiotic sensitive infection was Rp. 18,201,234, - (p<0.05). Patients with meropenem resistant A. baumannii have the highest hospital costs, followed by ESBL-producing E. coli, ESBL-producing K. pneumoniae, and meropenem-resistant P. aeruginosa. The average length of hospital stay in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections was 14 days, whereas patients with antibiotic sensitive infection was 9 days (p<0.05). The results showed that resistant Gram-negative bacterial infection is significantly higher hospital costs and hospital stay compared to patients with antibiotic-sensitive bacterial infections. Microbiological culture is important to do, so the patients will get the right antibiotics."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Eunike Hanna Dameria
"Latar Belakang : Meropenem, salah satu antibiotik yang paling efektif terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif, dianggap sebagai pengobatan terakhir yang paling dapat diandalkan untuk infeksi bakteri. Penyebaran yang cepat dari resistensi meropenem, terutama diantara bakteri gram negatif, merupakan masalah kesehatan yang sangat penting. Berbagai faktor diketahui berhubungan dengan kejadian resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif, namun penelitian yang dilakukan pada pasien infeksi intra abdomen masih terbatas.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan resistensi antibiotik meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra-abdomen di RSCM tahun 2013-2017.
Metode : Penelitian desain cross sectional dengan mengambil data dari rekam medis pasien infeksi intra abdomen pada rentang waktu tahun 2013-2017 sebanyak keseluruhan populasi terjangkau.
Hasil : Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dari faktor-faktor yaitu, usia, jenis kelamin, penyakit yang menyertai, riwayat antibiotik, jumlah leukosit dan jumlah albumin yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif.
Kesimpulan : Usia, jenis kelamin, penyakit yang menyertai, riwayat antibiotik, jumlah leukosit dan jumlah albumin bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra abdomen. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra abdomen.

Background : Meropenem, one of the most effective antibiotics against gram-negative bacteria and gram-positive bacteria, is considered to be the most reliable last treatment for bacterial infections. The rapid spread of meropenem resistance, especially among gram negative bacteria, is a very important health problem. Various factors are known to be associated with the incidence of meropenem resistance to gram-negative bacteria, but studies conducted on patients with intra-abdominal infections are still limited.
Objectives : To determine the factors associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections at Cipto Mangunkusumo Hospital in the year of 2013-2017.
Methods : A cross sectional design study by taking data from medical records of intra-abdominal infection patients in the period of 2013-2017 as much as the entire affordable population.
Results : There were no statistically significant differences in factors, namely age, sex, accompanying disease, history of antibiotics, number of leucocyte and amount of albumin associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria.
Conclusion : Age, sex, accompanying disease, history of antibiotics, number of leucocytes and amount of albumin are not factors associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections. Further research is needed to determine the effect of other factors related to meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donatila Mano S.
"Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global. Infeksi bakteri resisten dapat
meningkatkan biaya perawatan kesehatan, lama perawatan di rumah sakit, morbiditas
dan mortalitas baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang
menghubungkan antara infeksi oleh bakteri gram negatif resisten antibiotik dengan
biaya dan lama perawatan rumah sakit belum banyak dilakukan terutama di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang melihat perbandingan biaya
perawatan dan lama rawat rumah sakit pada pasien dengan infeksi bakteri gram negatif
resisten antibiotik dan peka antibiotik. Pengambilan data dilakukan secara konsekutif
dengan kriteria inklusi adalah pasien yang berusis ≥18 tahun dan dirawat inap dengan
hasil biakan positif terdapat isolat bakteri Gram negatif. Kriteria eksklusi adalah data
psien dari laboratorium mikrobiologi yang tidak sesuai dan pasien yang tidak mendapat
antibiotik. Dari 359 isolat hasil penelitian didapatkan sebanyak 221 isolat (61.6%)
merupakan isolat bakteri gram negatif yang resisten antibiotik. Adapun bakteri tersebut
terdiri K. pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 97 isolat (27%), E. coli penghasil
ESBL sebanyak 85 isolat (23.7%), P. aeruginosa yang resisten meropenem sebanyak 11
isolat (3.1%) dan A. baumannii resisten meropenem sebanyak 28 isolat (7.8%). Hasil
perhitungan biaya perawatan pasien yang terinfeksi bakteri resisten memiliki rerata
sebesar Rp 26.010.218,- sedangkan pasien yang terinfeksi bakteri peka memiliki rerata
biaya perawatan sebesar Rp 18.201.234,- (p<0.05). Pasien yang terinfeksi A. baumannii
resisten meropenem memiliki biaya rawat inap yang paling besar, diikuti E. coli
penghasil ESBL, K. pneumoniae penghasil ESBL, dan P. aeruginosa resisten
meropenem. Jumlah hari rawat pasien yang terkena infeksi bakteri adalah 14 hari, dan
pasien yang terkena infeksi bakteri nonresisten adalah 9 hari (p<0.05). Hasil penelitian
ini memperlihatkan bahwa infeksi bakteri Gram nehatif resisten mengakibatkan biaya
perawatan dan lama rawat rumah sakit meningkat secara bermakna dibandingkan pasien
dengan infeksi bakteri peka antibiotik. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting
dilakukan, agar pasien mendapatkan antibiotik yang tepat.

Antimicrobial resistance is a global health problems. Resistant bacterial infection
increases hospital costs, length of hospital stay, morbidity and mortality in both
developed and developing countries. A few research has been found linking infection
with antibiotic resistant Gram-negative bacteria with the hospital costs in Indonesia.
This study is a cross-sectional study, analyze the comparison of hospital costs in
patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections and antibiotic
sensitive infections. The sample method is consecutive non-random sampling, with
inclusion criteria were patients who were aged ≥18 years and hospitalized with Gram
negative bacterial positive culture. Exclusion criteria were inappropriate patient data
and patients not receiving antibiotics. From 359 isolates, 221 isolates (61.6%) were
antibiotic resistant Gram negative bacteria. The bacteria consisted of 97 isolates (27%)
of ESBL-producing K. pneumoniae, 85 isolates (23.7%) were ESBL-producing E. coli,
28 isolates (7.8%) were meropenem-resistant A. baumannii, and 11 isolates (3.1%) were
meropenem-resistant P. aeruginosa. The average hospital cost of patients with antibiotic
resistant Gram-negative bacteria was Rp. 26,010,218, whereas patients with antibiotic
sensitive infection was Rp. 18,201,234, - (p<0.05). Patients with meropenem resistant
A. baumannii have the highest hospital costs, followed by ESBL-producing E. coli,
ESBL-producing K. pneumoniae, and meropenem-resistant P. aeruginosa. The average
length of hospital stay in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial
infections was 14 days, whereas patients with antibiotic sensitive infection was 9 days
(p<0.05). The results showed that resistant Gram-negative bacterial infection is
significantly higher hospital costs and hospital stay compared to patients with antibioticsensitive
bacterial infections. Microbiological culture is important to do, so the patients
will get the right antibiotics."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Komara
"Sebagian besar bakteri penyebab Infeksi saluran kemih (ISK) adalah bakteri gram negatif. Bakteri Gram negatif banyak yang telah resisten terhadap berbagai macam antibiotik, salah satunya terhadap antibiotik gentamisin dan kotrimoksazol. Kedua antibiotik ini termasuk antibiotik yang digunakan untuk mengatasi ISK akibat bakteri gram negatif. Menurunnya kepekaan obat ini menjadi salah satu kendala dalam penanggulangan ISK di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menentukan pola kepekaan bakteri Gram negatif terhadap antibiotik gentamisin dan kotrimoksazol dari tahun 2001-2005. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan disain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data sekunder sebanyak 1522 sampel yang diteliti dengan kultur positif di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI dari Januari 2001 sampai Desember 2005 dan telah menjalani pemeriksaan resistensi berdasarkan National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS), terdiri dari: Escherichia coli 567 sampel, Enterobacter 153 sampel, Klebsiella pneumonia 407 sampel, Proteus mirabilis 137 sampel dan Pseudomonas aeruginosa 256 sampel. Hasil analisis menunjukan bahwa nilai rata-rata kepekaan Escherichia coli terhadap gentamisin 78,4% dan kotrimoksazol 34%; nilai rata-rata kepekaan Enterobacter terhadap gentamisin 71,7% dan kotrimoksazol 36,3%; nilai rata-rata kepekaan Klebsiella pneumonia terhadap gentamisin 70% dan kotrimoksazol 50,6%; nilai rata-rata kepekaan Proteus mirabilis terhadap gentamisin 94,7% dan kotrimoksazol 43%; nilai rata-rata kepekaan Pseudomonas aeruginosa terhadap gentamisin 44,8% dan kotrimoksazol 29%. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa dari tahun 2001-2005 bakteri Gram negatif terhadap antibiotik kotrimoksazol cenderung telah resisten, sedangkan terhadap antibiotik gentamisin cenderung masih sensitif kecuali terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa yang telah resisten.

Most of the bacteria causing urinary tract infection (UTI) is negative gram bacteria. Some of these bacteria are resistant to several antibiotics, including gentamycin and cotrimoxazole. Both of these antibiotics are used for treating UTI caused by negative gram bacteria. Decreasing sensitivity of these drugs being the obstacle in the management of UTI in Indonesia. This research is aimed to investigate the sensitivity pattern of the gram negative bacteria to gentamycin and cotrimoxazole from 2001 to 2005. The disain of this study was cross-sectional descriptive. This study was conducted by analyzing secondary data with 1522 positive culture samples from Clinical Microbiology Laboratory Faculty of Medicine University of Indonesia since January 2001 to December 2005 and had been checked for their resistance based on the National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) including 256 samples of Eschericia coli, 153 samples of Enterobacter, 407 samples of Klebsiella pneumonia, 137 samples of Proteus mirabilis, and 258 samples of Pseudomonas aeruginosa. Results of the analysis showed that sensitivity of Escherichia coli to gentamicin and cotrimoxazol were 78.4% and 34% respectively; sensitivity of Enterobacter to gentamicin and cotrimoxazol were 71.7% and 36.3% respectively; sensitivity of Klebsiella pneumonia to gentamicin and cotrimoxazol were 70% and 50.6% respectively; sensitivity of Proteus mirabilis to gentamicin and cotrimoxazol were 94.7% and 43% respectively; sensitivity of Pseudomonas aeruginosa to gentamicin and cotrimoxazol were 44.8% and 29% respectively. Based on that analysis, it can be concluded that from 2001-2005, negative Gram bacteria tend to resistant to be cotrimoxazole, meanwhile to gentamycin, it’s still effective, except to resistant Pseudomonas aeruginosa."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nuryasni
"Infeksi saluran napas bawah telah menjadi penyebab banyak penggunaan antibiotik dan banyaknya kunjungan ke dokter di seluruh dunia. Infeksi saluran napas bawah terutama pada orang dewasa sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Belakangan ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif. Kepekaan suatu bakteri umumnya berubah-ubah terhadap suatu antibiotik. Untuk itu diperlukan suatu kajian berkala untuk mengetahui pola kepekaan bakteri terhadap antibiotik sebagai landasan dalam melakukan educated guess therapy.
Metoda penelitian ini adalah cross-sectional terhadap 2456 isolat yang berasal dari sputum penderita infeksi saluran napas bawah yang mengirimkan sampel ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik Departemen Mikrobiologi FKUI pada tahun 2001-2005. Kemudian dilakukan uji sensitivitas terhadap amoksisilin.
Hasil penelitian didapatkan 28 jenis bakteri. Tiga bakteri yang memenuhi besar sampel dan kriteria inklusi adalah Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacter aerogenes. Persentase kepekaan Klebsiella pneumoniae ss pneumonia 12.5% pada tahun 2001 menjadi 25.71% pada tahun 2005, Pseudomonas aeruginosa 3.94% tahun 2001 menjadi 6.59% tahun 2005, Enterobacter aerogenes 20.96% tahun 2001 menjadi 19.04% tahun 2005. Kebanyakan bakteri Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacter aerogenes telah resisten terhadap amoksisilin.

Globally, lower respiratory tract infections account for a large proportion of antibiotic prescriptions and visits to family practitioners. Lower respiratory tract infections especially in adult, most of them cause by bacteria. Recently, reports from several cities in Indonesia mentioned that bacteria found in sputum of pneumonia patients are gram negative bacteria. Susceptibility of bacteria toward an antibiotic usually changes. Therefore, there should be an investigation to monitor the susceptibility pattern of bacteria toward antibiotic as a base to give an educated guess therapy.
Methods of this research is cross-sectional design toward 2456 isolate from sputum of lower respiratory tract infection patient in Clinical Microbiology Laboratory Faculty of Medicine University of Indonesia (FMUI) in 2001-2005.
The result is there are 28 species of bacteria. Three bacteria that fulfill the inclusion criteria are Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa and Enterobacter aerogenes. The susceptibility percentage of K. pneumoniae ss pneumonia 12.5% in 2001 become 25.71% in 2005, P. aeruginosa 3.94% in 2001 become 6.59% in 2005, and E. aerogenes 20.96% in 2001 become 19.04% in 2005. Most of Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa and Enterobacter aerogenes bacteria already resistant to amoxicillin.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Subekti
"Infeksi saluran napas bawah merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Penatalaksanaan definitif dari infeksi saluran napas bawah sangat bergantung pada kuman penyebab dan hasil uji kepekaan umumnya tersebut terhadap antibiotik tertentu. Seftriakson merupakan antibiotik spektrum luas yang direkomendasikan oleh American Thoracic Society baik sebagai terapi definitif untuk infeksi saluran napas bawah yang disebabkan oleh bakteri gram positif maupun gram negatif. Pola kepekaan bakteri ini berubah setiap tahun, oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang dapat melaporkan pola kepekaan bakteri terhadap seftriakson setiap tahunnya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) deskriptif.
Data yang digunakan adalah hasil uji kepekaan bakteri gram negatif yang diisolasi dari dahak (sputum) yang diperiksa di LMK FKUI dan memberikan hasil kultur positif. Bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumonia ss pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa, dengan jumlah sampel minimal yang digunakan adalah 35, kemudian dibandingkan pola kepekaan setiap tahunnya.
Hasil uji kepekaan E. aerogenes selama tahun 2001-2005 tidak berbeda bermakna (36.84% pada tahun 2001 menjadi 36% pada tahun 2005), hasil uji kepekaan K. pneumoniae ss pneumonia selama tahun 2001-2005 berbeda bermakna (55.71% pada tahun 2001 menjadi 42.16% pada tahun 2005), dan hasil uji kepekaan P. aeruginosa selama tahun berbeda bermakna (30% pada tahun 2001 menjadi 13.33% pada tahun 2005). Berkurangnya kepekaan bakteri-bakteri tersebut terhadap seftriakson dapat disebabkan oleh munculnya beberapa strain mutan dari masing-masing bakteri. Secara umum, seftriakson tidak lagi efektif untuk mengatasi infeksi saluran napas bawah akibat bakteri gram negatif.

Lower respiratory tract infection is the main health problem, either in developing countries or developed countries. The definite treatment of this infection is depend on the microorganism and its sensitivity test to several antibiotics. Ceftriaxone is a broad spectrum antibiotic recommended by American Thoracic Society as both empirical and definite therapy of lower respiratory tract infection caused by either Gram positive or Gram negative bacteria. The sensitivity pattern of each bacteria to ceftriaxone will change every year, therefore, the research reporting the sensitivity pattern of bacteria to ceftriaxone annually is needed. The design used in this research was descriptive cross sectional.
The data was the result of sensitivity test of Gram negative bacteria isolated from sputum which examined at LCM FMUI. Bacteria that used in this research were Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae ss pneumonia, and Pseudomonas aeruginosa. The minimum number of sample was 35, and then the sensitivity tests were compared annually.
The results of sensitivity tests of E. aerogenes to ceftriaxone within 2001-2005 were not significantly different (from 36.84% in 2001 into 36% in 2005). The results of K. pneumoniae ss pneumonia were significantly different (from 55.71% in 2001 into 42.16% in 2005), and the results of P. aeruginosa were also significantly different (from 30% in 2001 into 13.33% in 2005). The decreases of their sensitivity to ceftriaxone may be caused by some mutant strains of each species. Generally, ceftriaxone is not effective anymore to treat lower respiratory tract infections caused by gram negative bacteria."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09132fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Desta Nurwati Siamyah
"Kasus resistensi antimikroba telah menjadi permasalahan klinis utama khususnya pada bakteri gram negatif. Salah satu penyebabnya adalah pompa efflux yang berperan dalam mengekstrusi antimikroba ke luar sel bakteri. Seiring dengan peningkatan kasus resistensi, penghambatan pompa efflux bakteri menjadi menarik untuk membantu menyelesaikan masalah resistensi antimikroba. Berbagai upaya penemuan senyawa efflux pump inhibitor (EPI) baik dari sintetik maupun bahan alam pun sudah dilakukan. Namun, beberapa senyawa EPI sintetik yang sudah diketahui tidak dianjurkan penggunaannya secara klinis karena masalah toksisitas. Oleh karena itu, dilakukan pencarian EPI dari bahan alam yang dapat dikonsumsi oleh manusia sehingga diharapkan toksisitasnya lebih rendah dibandingkan dengan senyawa sintetik. Pada literature review ini, penulis mengulas mengenai perkembangan penemuan EPI yang berasal dari bahan alam sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran peneliti yang ingin mengembangkan EPI sebagai terapi dalam mengatasi resistensi antimikroba. Berdasarkan penelitian, banyak bahan alam yang dapat digunakan sebagai EPI. Salah satu contoh yang berpotensi adalah tanaman dari famili Lamiaceae, Apocynaceae, Convolvulaceae dan Malvaceae. Theobroma cacao merupakan tanaman yang tumbuh di Indonesia dan berpotensi lebih baik sebagai EPI pada bakteri gram negatif karena terbukti memiliki aktivitas penghambatan pada empat bakteri gram negatif berbeda yaitu Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, dan Salmonella typhimurium.

Antimicrobial resistance has become a major clinical problem, especially in gram-negative bacteria. One of the causes is the efflux pump which plays a role in extruding the antimicrobials out of the bacterial cell. As resistance cases increase, inhibition of bacterial efflux pumps becomes attractive to help solve the problem of antimicrobial resistance. Many methods to find efflux pump inhibitor (EPI) compounds both from the synthetic and natural sources have also been carried out. However, some known synthetic EPI compounds are not recommended for clinical use because of their toxicity. Therefore, a search for EPI from a natural source that can be consumed by humans is expected to have lower toxicity compared to synthetic compounds. In this literature review, the author reviews the development of EPI findings derived from natural sources so that it is expected to provide an overview of the researchers who want to develop EPI as a therapy in overcoming antimicrobial resistance. Based on research, many natural sources can be used as EPI. Examples of potential plants from the Lamiaceae, Apocynaceae, Convolvulaceae, and Malvaceae families. Theobroma cacao is a plant that grows in Indonesia and has better potential as EPI in gram-negative bacteria because it has been shown to have inhibitory activity on four different gram-negative bacteria, namely Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, and Salmonella typhimurium.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library