Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Sudarto
Abstrak :
ABSTRAK
Deregulasi di bidang moneter dan perbankan, khususnya sejak Paket Oktober 1988 yang pada dasarnya menghilangkan entry barriers industri perbankan, membuat kalangan usahawan berlomba-lomba memasuki industri ini.

Dalam kurun waktu kurang dari 2 (dua) tahun, ratusan cabang baru perbankan telah dibuka di seluruh Indonesia dan jumlah itu akan terus membengkak.

Walaupun perekonomian Indonesia secara umum berkembang relatif pesat, namun pertumbuhan industri perbankan membuat situasi benar-benar menjadi buyers' market.

Dalam kondisi demikian, kalangan perbankan mudah sekali diadu domba oleh para nasabah dalam seal suku bunga, apalagi manajemen Bank pada umumnya sangat menekankan pada target pertumbuhan yang pesat dari aktiva, sumber dana dan keuntungan tanpa memberikan arah yang jelas tentang cara mencapainya.

Akibatnya setiap cabang sebuah Bank cenderung secara membabi-buta menerima semua nasabah tanpa pandang bulu, bahkan kalau perlu segera bersedia menderita kerugian. Akibatnya keahlian pelayanan para personalia perbankan menjadi minimal.

Menghadapi situasi demikian, Bank Umum Nasional cabang Warung Buncit, sebagai kasus dari studi ini, ternyata juga cenderung mengikuti arus. Apalagi Bank Umum Nasional hanya mengenal sistim pool rate berupa RPKP I RPKC dan prime rate yang pada dasarnya tidak mungkin diterapkan untuk setiap dan semua cabang mengingat masing-masing cabang memiliki karakteristik cost dan revenue sendiri.

Dalam upaya menanggulangi masalah-masalah tersebut di atas, diusulkan setiap cabang Bank Umum Nasional menghitung Cost of Funds dan Prime Rate-nya sendiri-sendiri dengan menggunakan metoda Historical Average Cost yang relatif mudah dan murah digunakan.

Analisa Cost of Funds dan Prime Rate masing-masing cabang ternyata merupakan alat yang ampuh untuk menyusun strategi dalam upaya menanggulangi masalah yang muncul. Dengan alat ini setiap cabang mampu menganalisa kelemahan dan kekuatannya sendiri sehingga relatif dapat lebih mampu mengendalikan bidang-bidang yang rawan melalui berbagai cara.

Sebagai contoh, Bank Umum Nasional cabang Warung Buncit terbukti lemah dalam bidang pengembangan volume usaha (loan) dan pengendalian Overhead Cost, tetapi kuat dalam hal pengendalian kredit macet, pendanaan maupun Pendapatan Lain- Lain.

Walaupun demikian, metoda Historical Average Cost dan data yang dipakai memang mengandung beberapa kelemahan. Sebab itu setiap cabang seyogyanya memahami kelemahan-kelemahan itu dan tidak memakai basil perhitungan Cost of Funds dan Revenue secara 'mati'.

Misalnya, prime rate pada bulan n sebesar 20,0% per tahun, tetapi trend suku bunga secara umum sedang melambung. Untuk itu suku bunga pinjaman harus ditentukan relatif agak tinggi, katakanlah 24,0% per tahun.

Dengan menggunakan alat yang sama untuk tahun 1989, dalam hal revenue Bank Umum Nasional cabang Warung Buncit dianjurkan untuk meningkatkan volume usaha terutama ke arah target pasar KPR I KKB dan perusahaan-perusahaan kecil menengah dengn tetap memprioritaskan kualitas kredit. Pricingnya disarankan berkisar 2,0% - 2,5% di atas prime rate.

Peningkatan volume usaha juga dapat dilakukan dengan cara antar cabang Bank Umum Nasional saling memperkenalkan para nasabahnya.

Dalam hal cost, manajemen harus selalu mengkomunikasikannya dengan para karyawan agar setiap karyawan perusahaan mempunyai kultur 'sadar biaya'. Dalam hal sumber daya manusia, dianjurkan untuk merekrut team pemasaran dengan kualifikasi yang relatif sederhana mengingat target market-nya, mengurangi 'middle manager' sebanyak-banyaknya dan menerapkan semacam 'matrix organization' khususnya bagi personalia dari Bagian Customer Service dan Kasir untuk dimanfaatkan secara optimal.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library