Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sinaga, Syamsudin Manan
Jakarta: Tatanusa, 2012
346.078 SIN h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yusriza Abdullah Pratama
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kekeliruan Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat dalam memutus perkara kepailitan PT AAAS yang terdapat dalam Putusan
Perkara Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst yang diputus pada
tanggal 29 Juni 2015. Kekeliruan tersebut merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU terkait dengan prosedur permohonan
pernyataan pailit. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, Para Pemohon yang dalam hal ini
diwakili oleh Kuasa Hukumnya/advokat dalam mengajukan permohonan pailit
kepada PT AAAS berdasarkan UUK-PKPU merupakan pihak yang keliru dan
tidak memiliki Legal Standing untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit,
karena hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU. Kedua,
terdapat putusan yang berbeda dalam menyikapi ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUKPKPU
yaitu dalam kasus permohonan pernyataan pailit Kasus PT Antaboga Delta
Securitas Indonesia, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Dengan melihat putusan PT AAAS maka nasabah perorangan dari perusahaan
efek dapat dengan mudah memohonkan pernyataan pailit terhadap perusahaan
efek, terjadi penarikan besar-besaran terhadap dana harta nasabah di perusahaanperusahaan
efek lainnya dan membuat iklim investasi di pasar modal terganggu

ABSTRACT
The focus of this thesis is the mistake made by judges at the Central Jakarta
Commercial Court in deciding the case of bankruptcy of PT AAAS contained in
Decision Case No. 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst which ended on
June 29, 2015. The mistake was a violation of the provisions of Article 2 ayat (4)
UUK-PKPU regarding about declaration of bankruptcy application procedure.
This study uses normative juridical approach. The results of this study are as
follows: First, the applicant in this case represented by the Legal Counsel in filing
bankruptcy petition for PT AAAS under UUK-PKPU is wrong party and doesn?t
have the Legal Standing to file an application for declaration of bankruptcy,
because it is contrary to Article 2 ayat (4) UUK-PKPU. Secondly, there is a
different decision in response to the provisions of Article 2 ayat (4) UUK-PKPU
i.e. in case of declaration of bankruptcy petition Case of Antaboga Delta
Securities, which can lead to legal uncertainty. By looking at the PT AAAS case,
the impact is the individual customers of securities companies can easily call a
bankruptcy declaration against securities firms, massive withdrawals to fund
client assets in other securities firms and make the investment climate in the
capital markets disrupted"
2016
T45672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Farih Romdoni Putra
"Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu direformulasi dalam ketentuan penundaan kewajiban pembayaran utang (“PKPU”) dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan 2004”) agar kreditor dan debitor diberikan perlindungan yang seimbang. Secara spesifik penelitian ini fokus pada permasalahan pengajuan PKPU oleh kreditor, kedudukan kreditor separatis dan kreditor preferen dalam perdamaian, dan pembatalan perdamaian yang telah disahkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan PKPU dalam UU Kepailitan 2004 lebih cenderung melindungi kreditor daripada debitor. Berdasarkan penelitian ini dan perbandingan dengan hukum kepailitan Belanda, Singapura, dan Amerika Serikat, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU Kepailitan 2004 atas hal-hal sebagai berikut: (i) penambahan syarat bagi kreditor yang hendak mengajukan PKPU; (ii) pengaturan cramdown, (iii) hak suara kreditor preferen terhadap rencana perdamaian; dan (iv) pengaturan tentang pembatalan perdamaian perlu disesuaikan agar kelalaian pelaksanaan perdamaian tidak harus berujung pada kepailitan serta memberi kesempatan agar perdamaian dapat diubah berdasarkan kesepakatan para pihak dengan tetap di bawah pengawasan pengadilan niaga.

This research aims at identifying matters needed to be reformed in the suspension of debt payment obligations (“PKPU”) in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("Bankruptcy Law 2004") so creditors and debtors have equal protection. Specifically, this research focused on the problem of PKPU's petition by creditors, the position of separatist creditors and preferred creditors in the plan, and the termination of a confirmed plan. This research was conducted using a normative juridical research method with a comparative approach. Results of this study indicated that the regulation of PKPU in Bankruptcy Law 2004 tends to protect creditors than debtors. Based on this research and the comparison with bankruptcy law in the Netherlands, Singapore, and the United States of America, Bankruptcy Law 2004 needs to be reformed on the following matters: (i)  the requirement of creditors who can submit PKPU petition; (ii) the regulation of cramdown; (ii) the voting rights of preferred creditors to composition plan; and (iv) the regulation of plan termination need to be reformed so that the failure of plan implementation doesn't have to end with bankruptcy, and also a chance to modify a confirmed plan based on the agreement of all parties under the supervision of a commercial court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sovie Yunita Dwi Utami
"Perjanjian Perdamaian merupakan salah satu upaya pengakhiran kepailitan. Perjanjian perdamaian antara PT. Intercon Enterprises sebagai debitor dan para kreditornya merupakan perjanjian perdamaian yang dilakukan setelah Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dalam proses tcrcapainya kesepakatan atas perjanjian Perdamaian tersebut tidak menutup kemungkinan timbul beberapa masalah, diantarannya nengenai pencapaian kesepakatan antara PT. Intercon Enterprises sebagai debitor pailit dan parakreditor sehingga tercapai perjanjian perdamaian sebagai upaya pengakhiran kepailitan PT Intercon Enterprises dan akibat hukum dari perjanjian perdamaian. Proses perjanjian perdamaian dalam Perjanjian Perdamaian PT. Intercon Enterprises tercapai sesuai dengan tahap-tahap sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan yang berlaku pada saat perjanjian perdamaian tersebut berlangsung yaitu tanggal 5 Oktober 2000, dimana Undang-undang Kepailitan yang berlaku pada saat tersebut adalah Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 dan akibat hukum dari perjanjian perdamaian adalah pengakhiran kepailitan PT. Intercon Enterprises dan penyelesaian pembayaran utang-utang debitor kepada para kreditor sebagaimana disepakati oleh para pihak dalamPerjanjian Perdamaian."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Sherley Ikawati
"Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mempunyai peranan dan tanggung jawab yang cukup penting didalam pelaksanaan putusan pailit maupun putusan perdamaian dalam kepailitan. Sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk mambuat akta-akta autentik, Notaris dan PPAT wajib mengikuti peraturan-peraturan dan hukum yang berlaku. Hukum kepailitan bukan merupakan produk hukum yang baru di Indonesia, tetapi didalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengerti Hukum Kepailitan. Pelaksanaan putusan palit maupun putusan perdamaian dalam kepailitan oleh Notaris maupun PPAT didalam kenyataannya banyak memiliki celah-celah yang dapat mengakibatkan seorang Notaris maupun PPAT harus berhadapan dengan “masalah hukum”. Kurator yang diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil alih kepengurusan Debitur Pailit seharusnya dengan sungguh-sungguh
melaksanakan tugasnya dengan mengelola harta debitur Pailit .
Materi tesis ini akan mencoba membahas lebih jauh masalah-masalah yang dihadapi Notaris PPAT didalam melaksanakan putusan pailit maupun putusan perdamaian dalam kepailitan, dan tentunya diharapkan dapat memberi masukan-masukan bagi banyak pihak agar pelaksanaan putusan pailit maupun pelaksanaan putusan perdamaian dalam kepailitan dapat berjalan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku dan tidak ada pihak yang dirugikan
Notaries and Land Deed Making Officials (PPAT) have important roles and responsibilities in the implementation of bankruptcy decisions and reconciliation decisions in bankruptcy. As Public Officials authorized to make authentic deeds, Notaries and PPATs are required to follow the applicable laws and regulations. Bankruptcy law is not a new legal product in Indonesia, but in reality there are still many people who do not understand Bankruptcy Law. The implementation of bankruptcy decisions and reconciliation decisions in bankruptcy by a Notary and PPAT in reality has many loopholes that can result in a Notary or PPAT having to deal with "legal problems". The curator who is authorized by law to take over the management of the Bankrupt Debtor should seriously carry out his duties by managing the assets of the Bankrupt Debtor.
The material of this thesis will try to further discuss the problems faced by PPAT Notaries in implementing bankruptcy decisions and reconciliation decisions in bankruptcy, and of course it is hoped that it can provide input for many parties so that the implementation of bankruptcy decisions and the implementation of reconciliation decisions in bankruptcy can run in accordance with applicable laws and regulations and no party is harmed.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fredy Hartanto
"Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Dari definisi penanggungan utang dapat dilihat terdapat tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur di sini berkedudukan sebagai pemberi kredit atau orang berpiutang sedangkan debitur adalah orang yang mendapat pinjaman uang atau kredit dari kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur ketika debitur tidak memenuhi prestasinya. Pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung merupakan hal yang cukup lumrah, khususnya apabila penanggung adalah penanggung perusahaan. Namun, tidak demikian halnya dengan permohonan pailit yang diajukan terhadap penanggung pribadi. Ternyata hanya sedikit sekali permohonan pailit yang diajukan terhadap penanggung pribadi, secara umum ada kecenderungan bahwa kreditur enggan berurusan dengan debitur pribadi untuk alasan praktis.
Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat accessoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang antara debitur dengan kreditur. Pada asasnya dengan hapusnya perjanjian pokoknya maka semua perjanjian accessoir-nya juga turut hapus. Perjanjian penanggungan bersifat mengabdi kepada suatu perjanjian pokok sehingga tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu.
Penanggungan hutang tidak dipersangkakan tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas. Hal ini berarti adanya suatu penanggungan, harus dinyatakan secara tegas baik secara akta notarial, ataupun di bawah tangan. Suatu Penanggungan dapat dilakukan secara lisan tetapi Kreditur akan lebih sulit untuk membuktikan sampai sejauh manakah kesanggupan Penanggung untuk menjamin hutang Debitur. Sebagai suatu perjanjian maka perjanjian penanggungan juga harus memenuhi asas-asas yang berlaku umum dalam hukum perjanjian. Para penanggung pribadi mempunyai hak istimewa, yaitu hak untuk menuntut supaya benda-benda dari debitur terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya, hak ini dapat dilepas oleh penanggung yang membuat penanggung tidak bisa menuntut agar benda-benda dari debitur lebih dahulu disita dan dijual."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfredo Joshua Bernando
"Penerapan hukum kepailitan di Indonesia untuk menyatakan pailitnya seseorang atau suatu perusahaan membutuhkan pembuktian sederhana, dimana hanya membutuhkan syarat mempunyi dua atau lebih kreditur dan mempunyai setidaknya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pembuktian yang sangat sederhana ini tidak menyertakan insolvency test sebagai salah satu syarat untuk mendasari pertimbangan Majelis Hakim untuk memutus pailit dalam putusan pengadilan niaga. Hal ini cenderung tidak proporsional karena merugikan pihak debitur, dimana Prinsip Keadilan adalah salah satu Prinsip atau Asas yang mendasari Hukum Kepailitan di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya insolvency test dapat menunjukan bahwa seseorang atau suatu perusahaan sebagai debitur dalam keadaan solven atau insolven, sehingga dapat dipertimbangkan apakah aset-aset yang dimiliki oleh debitur dapat membayar utang-utangnya atau tidak. Tidak adanya penerapan insolvency test dalam proses kepailitan menutup kemungkinan untuk melihat hal-hal tersebut sehingga debitur dapat dengan mudah untuk dipailitkan. Sehingga, insolvency test perlu untuk diterapkan dalam proses kepailitan serta diperbaharui peraturannya agar tidak menciderai prinsip keadilan yang menjadi dasar dari hukum kepailitan di Indonesia.

The application of bankruptcy law in Indonesia to declare someone or a company bankrupt requires simple proof, where it only needs the condition of having two or more creditors and at least one debt that has matured and is demandable. This very simple proof does not include the insolvency test as one of the conditions to substantiate the consideration of the Judges' Panel to decide bankruptcy in a commercial court ruling. This tends to be disproportionate as it harms the debtor, where the Principle of Justice is one of the principles underlying Bankruptcy Law in Indonesia, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The existence of an insolvency test can show that an individual or a company as a debtor is in a solvent or insolvent condition, so it can be considered whether the assets owned by the debtor can pay off its debts or not. The lack of the application of the insolvency test in the bankruptcy process closes the possibility of examining these matters, making it easy to declare bankruptcy for debtors. Thus, the insolvency test needs to be applied in the bankruptcy process and its regulations need to be updated to avoid undermining the principle of justice that is the basis of bankruptcy law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Sarah Lasmaria
"ABSTRAK
Jaminan merupakan hal yang penting dalam perjanjian kredit, karena dengan adanya jaminan maka seandainya debitur tidak melaksanakan kewajibannya, kreditur dapat memperoleh pelunasan dari penjualan jaminan yang ada. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata namun ada juga jaminan yang tidak di atur di dalam KUHPER, salah satunya adalah Jaminan Fidusia ( UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia). Perjanjian fidusia merupakan perjanjian jaminan hutang yang bersifat assesoir (perjanjian tambahan). Dalam hal debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka semua harta kekayaan debitor dinyatakan sebagai harta pailit, tak terkecuali benda jaminan fidusia yang haknya telah beralih kepada kreditor pemegang jaminan fidusia, yang secara fisik benda jaminan itu masih dikuasai debitor. Dalam hal kreditor pemegang hak jaminan tidak melaksanakan haknya maka kurator berhak meminta seluruh kebendaan (sertifikat-sertifikat dan bukti lainnya) dari pemegang jaminan untuk kemudian dilelang dan kemudian dibagikan kepada para kreditor tanpa mengurangi hak separatis dari pemilik hak jaminan tersebut.
Jika Debitur Pailit, maka eksekusi kreditur separatis ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

ABSTRACT
Warranties are important in the credit agreement , due to the presence of the collateral if the debtor does not perform its obligations , the creditor may obtain repayment of the existing sales collateral . In the Book of Civil Law , but there is also a guarantee that they are not set in the Civil Code , one of which is a Fiduciary ( Undang-Undang no. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia ). Fiduciary agreement is an agreement that is collateral assesoir ( additional agreements ) . In the event that the debtor is declared bankrupt by the Commercial Court , then all assets the debtor declared bankruptcy estate , not to mention objects fiduciary whose rights have been transferred to the creditor fiduciary holder , which guarantees that the physical object is still controlled by the debtor . In terms of creditor rights holders do not exercise their rights guarantee the right to ask the curator of the whole material ( certificates and other evidence ) of the holders of a guarantee for later auctioned and then distributed to the creditors without prejudice to the rights of the owner of separatists such security interest .
If the Bankrupt Debtors , the execution creditor separatist suspended for a period not exceeding 90 (ninety ) days from the date of the bankruptcy judgment is pronounced ."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>