Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Kawuryan, Megandaru W.
Abstrak :
ABSTRAK
Pada tanggal 27 Mei 2006, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diguncang oleh gempa bumi berkekuatan 5,9 pada skala Richter, akibat dari gempa bumi tersebut tercatat 428.909 orang kehilangan rumah tinggal. Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman merupakan dua Kabupaten yang wilayahnya mengalami kerusakaan paling parah, di Kabupaten Bantul tercatat 245.073 rumah rusak, sedangkan di Kabupaten Sleman tercatat 96.792 rumah rusak. Untuk menangani musibah Gempa Bumi di Yogyakarta, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 23 tahun 2006, dimana dalam Peraturan Gubernur tersebut tersurat prinsip dasar Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah di DIY Berbasis Pada Komunitas. Berdasarkan dari Peraturan Gubernur tersebut, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memilih kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah dengan menyerahkan sepenuhnya proses pendataan sampai dengan pencairan dana rekonstruksi kepada masyarakat. Menurut pemerintah Kabupaten Sleman, pembagian dana rekonstruksi akan sulit dikontrol oleh pemerintah karena masyarakat memiliki cara tersendiri untuk membagikan bantuan yang mereka terima, kebijakan yang bersifat bottom up ini kemudian diwadahi dalam lembaga yang disebut dengan Organisasi Masyarakat Setempat (OMS). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan 13 informan yang sengaja dipilih oleh peneliti berdasarkan pemikiran yang logis dan sesuai dengan informasi yang dicari dan mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka didapatkan pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut: OMS adalah terobosan kebijakan yang dibuat Pemkab Sleman untuk meminimalisasi peluang munculnya konflik di tengah-tengah masyarakat Posisi OMS bertanggung jawab kepada dua pihak sekaligus, yaitu pemerintah dan masyarakat. Lembaga ini melaporkan hasil penilaiannya kepada pemerintah. Laporan ini dijadikan dasar bagi pembentukan kelompok-kelompok masyarakat yang pada gilirannya akan menerima bantuan dana rekonstruksi. OMS menjalankan sebagian peran Pemkab Sleman, yaitu dalam pendataan kerusakan rumah warga. OMS dirasa lebih mampu melakukan pendataan karena mereka mengetahui secara pasti letak rumah, status kepemilikan dan kondisinya setelah diguncang gempa. Pemberdayaan masyarakat terlihat dari beberapa indikasi. Pertama, para tukang menjadi pemain kunci karena penguasaan mereka dalam hal-hal teknis menyangkut bangunan rumah. Ke dua, individu-individu yang memiliki kecakapan administratif ditempatkan pada salah satu posisi penting dalam pokmas, Ke tiga, sejumlah keputusan penting pada tingkat lokal lebih banyak diselesaikan oleh warga sendiri tanpa banyak campur tangan dari pejabat pemerintah di atasnya. Gotong-royong dalam membangun rumah warga tidak dapat berjalan maksimal. Gotong-royong dijalankan pada rumah-rumah yang pemiliknya dipandang tidak mampu secara ekonomis dan tidak memiliki tenaga kerja. Kemandirian masyarakat dapat dilihat dari cepatnya proses pembangunan kembali rumah warga serta besarnya porsi dana mandiri (di atas 80 per sen) yang mereka gunakan dalam seluruh proses pembangunan rumah. Saran dari penelitian adalah sebagai berikut: OMS dapat dijadikan sebagai model pendataan korban bencana berbasis masyarakat, dapat diterapkan untuk daerah-daerah lain yang menghadapi masalah serupa. Diperlukan patokan baku dalam menentukan kriteria warga penerima bantuan. Patokan baku menjadi penting, karena berimplikasi pada wilayah hukum positif. Lembaga RT, RW, dusun dan pemimpin formal di pedesaan dapat dioptimalkan kinerjanya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan selain administrasi kependudukan. Perlu ada operasi pasar secara lebih intensif untuk menstabilkan harga yang melonjak akibat besarnya permintaan bahan bangunan dan tenaga kerja pasca bencana. Komposisi keanggotaan OMS sebaiknya diisi oleh para tokoh masyarakat setempat seperti di Kecamatan Prambanan, sehingga akurasi pendataan akan lebih baik. Penyelesaian sengketa masalah, di Kecamatan Berbah mengenal system berlapis, dari RT keatas sampai Camat, dengan system penyelesaian berlapis, maka Kepala Desa dan Camat tidak terlalu terbebani masalah sengketa teknis lapangan. Kesulitan yang dihadapi selama penelitian adalah beberapa informan tidak menjelaskan hal-hal relevan yang diketahuinya secara transparan. Ada kekhawatiran akan adanya masalah yang menimpa diri mereka jika ternyata di kemudian hari ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan program ini.
ABSTRAK
On May 27, 2006, Yogyakarta province was hit by a 5.9 Richter scale earthquake. It caused 428.909 people loose their houses. Bantul and Sleman districts are the most seriously affected areas. In Bantul district it was reported that 245.073 houses were damaged, while in Sleman district it was known that 96.792 houses were ruined into pieces. To handle such situation, Governor of Yogyakarta province issued a Governor Rule Number 23 2006, which states that the basic principles of Rehabilitation and Reconstruction of Housing in the region is a community-based one. According to the Governor Rule, local government of Sleman district decided the policy of rehabilitation and reconstruction in its area by giving people full authority to list the broken houses and eventually distribute reconstruction fund. Local government of Sleman district stated that the distribution of reconstruction fund will be difficult to control by the government because society has its own local wisdom in distributing aid they receive. This bottom-up policy was then manifested in an institution so-called Organisasi Masyarakat Setempat (Local Community Organization) (OMS). This research utilizes qualitative approach, by using qualitative ? descriptive method. Data was collected by using techniques, such as interview, observation, and literary studies. Interview was conducted to 13 informants who are intentionally chosen based on logical frame of thinking and are relevant to the research topic. Referring to the analysis of research results, it is concluded that: OMS is a brilliant policy made by local government of Sleman district in order to minimize any conflict among members of the society. OMS holds responsibilities to two parties, namely government and society. This institution reports its assessment to the government. This report becomes a data-base for the formation of local community groups that will eventually receive reconstruction fund. OMS plays some roles of Sleman local government, namely assessing damaged houses. OMS is considered as more able to do such assessment because they know exactly the house locations, their ownership statuses, and their condition after the earthquake. Community development can be seen at a number of indicators. Firstly, carpenters play key roles for their mastery of technical skills on building. Secondly, individuals with clerical skills are given special position in the local community groups. Thirdly, a number of important decisions at local level are mostly made by the community without any government?s intervention. Gotong-royong in building people?s houses cannot be effectively conducted. It is only the case for those are considered as economically incapable and for those are unemployed. Community?s self-reliance can be seen from the quickness of the housing reconstruction and the bigger portion of self-finance (above 80 per cent) they spend for building of their houses. This research recommends: OMS can be model for community-based victim of disaster assessment, and it can be practiced in other regions facing similar problems. It is necessary to have a fixed regulation in determining the criteria of those who receive aid. It is important for it implied to positive law. RT, RW, sub-village and rural informal leaders can be optimized their roles other than clerical things pertaining to population administration. It is necessary to do a more market intervention in order to stabilize the prices heightening caused by the inflation of demand in building materials and labors after the disaster. Composition of OMS membership is more better filled by local leaders like in Prambanan sub-district. It results in the data accuracy. Concerning conflict resolution, Berbah sub-district implements multi-layered conflict resolution, by encouraging resolution from the lowest level to the higher. By this system, the head of sub-district is not so much burdened by technical problems. Difficulty faced during the research is that a number of informants do not explain relevant things they know transparently. They are worried about any possible serious problems they will face if in fact there are things breaking the rule in the implementation of such policy.
2007
T22901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Chairiyah Anwar
Abstrak :
Penyakit Hepatitis B merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus dan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai daerah yang termasuk kelompok endemis tinggi, saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 11 juta pengidap penyakit hepatitis B di Indonesia. Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara, akan tetapi penularan secara vertikal, dari orang tua pengidap penyakit hepatitis B kepada anaknya cukup besar (45,9%). Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hepatitis B sejak dini, maka WHO telah merekomendasikan program imunisasi hepatitis B untuk semua bayi (Universal childhood immunization against Hepatitis B). Sebagai implementasinya, pemerintah Indonesia memasukkan program imunisasi hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin secara nasiona] sejak tahun 1997. Hingga saat ini program imunisasi hepatitis B masih terus berjalan walaupun banyak kendala yang dihadapi, misalnya belum tercapainya target cakupan imunisasi dan indek pemakaian vaksin yang rendah. Melalui pelaksanaan program imunisasi rutin dengan 7 jenis vaksin, diharapkan dapat menekan prevalensi kasus penyakit-penyakit tersebut. Namun dengan semakin banyaknya jumlah vaksin yang diberikan maka secara iangsung akan berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan biaya kesehatan. Dan karena itu perlu diupayakan pelaksanaan program imunisasi yang efektif dan efisien, salah satunya adalah melalui pengendalian biaya khususnya pemilihan vaksin dan alat suntik. PeIaksanaan imunisasi hepatitis B di Indonesia saat ini masih menggunakan alat suntik yang bersifat dapat digunakan kembali (reuseable) dan alat suntik disposable (sekali pakai). Dan segi keamanan dan nilai ekonomis kedua alat suntik tersebut masih rendah, sehingga keduanya tidak efisien dan mengakibatkan biaya operasional kegiatan imunisasi menjadi lebih mahal. Studi tentang penggunaan alat suntik yang berbentuk uniject telah dilakukan dalam program imunisasi hepatitis B di D.I. Yogyakarta. Namun belum diketahui berapa besar efektifitas alat suntik tersebut dibandingkan alat suntik disposable. Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang biaya yang paling efektif dari penggunaan alat suntik disposable dan Uniject. Rancangan penelitian bersifat cross sectional, dengan mengambil kasus di Kabupaten Bantul D.I. Yogyakarta. Penelitian melibatkan 26 Puskesmas yang melakukan kegiatan imunisasi rutin termasuk hepatitis B. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ditinjau dan sisi pemerintah (provider) dengan menggali biaya yang dikeluarkan oleh puskesmas dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B tahun 1999 dan 2000. Hasil penelitian menunjukkan, besarnya total biaya dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable 17,93% lebih mahal dibandingkan dengan alat suntik uniject. Komponen biaya terbesar dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah biaya operasional (rata-rata per puskesmas 97,36%, kemudian biaya investasi 2,56% dan biaya pemeliharaan 0,08%. Sedangkan pada pelaksanaan imunisasi dengan alat suntik uniject rata-rata per puskesmas untuk biaya operasional adalah 99,31%, biaya investasi 0,58%, dan biaya untuk pemeliharaan 0,11%. Jumlah cakupan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah 16.417 suntikan, dengan rata-rata 631 per puskesmas dari indek pemakaian vaksin 66,4%. Sedangkan dengan uniject cakupan mencapai 16.474 suntikan, dengan rata-rata cakupan per puskesmas adalah 644 bayi dan IP vaksin 100%. Besarnya biaya satuan aktual untuk pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah Rp. 31572,-, sedangkan dengan alat suntik uniject sebesar Rp. 27.553,-. Apabila komponen gaji dikeluarkan dari perhitungan total biaya, maka besarnya biaya satuan untuk imunisasi hepatitis B dengan disposable menjadi Rp.17.342; (turun 48,34%), sedangkan dengan uniject menjadi Rp. 13.627,- atau turun 50,54%. Perbedaan besarnya biaya satuan dipengaruhi oleh tingkat efisiensi alat suntik, jenis biaya yang dihitung dan cakupan imunisasi. Mengacu pada besarnya biaya satuan aktual maka dapat disimpulkan, penggunaan alat suntik uniject jauh lebih cost effective dibandingkan alat suntik disposable. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan untuk mencapai sasaran imunisasi hepatitis B dalam jumlah yang sama, akan jauh lebih murah apabila digunakan alat suntik uniject dari pada menggunakan alat suntik disposable. ......Cost Effectiveness Analysis of Hepatitis B Vaccination Using Uniject and Disposable Syringe in Bantul District, Year 2000Hepatitis B is an infection disease caused by hepatitis B virus (VHB) which remains as public health problem globally, especially in Indonesia. With more than I1 million carriers, Indonesia is classified into high endemic group of countries. Among different mode of VHB transmission, vertical transmission from carrier to newborns is important in Indonesia (45,9%). In objective of decreasing the morbidity and mortality of hepatitis B, WHO recommend "Universal Chilhood Immunization againt Hepatitis B" operationally, Indonesia integration hepatitis B vaccination into the routine program since 1997. Problems identified are lower level of coverage and higher wastage rate. The Indonesia immunization program is now concentrating in providing 7 antigens all children in decrease the prevalens of targeted deseases. The increasing number of discs of vaccine required will result in increase of health budget. Immunization program therefore, will have to be more effective and efficient by selecting the right type of vaccine and syringe. Currently reusable plastic syringe and disposable syringe are the types of syringe for hepatitis B vaccinetion in Indonesia. In form of safety and economic scale, both types of syringes are considered low quality and inefficient, which result in higher operational cost. Study on the use of uniject had been carried out in province of yogyakarta, but the effectiveness of unijct compared to disposable syringes in not known. This study an economic evaluation wich aims at providing information about the most cost effetive injection equipment between disposable syringe and uniject. A cross sectional study was designed for Bantul District, covering 26 Health Centres which implement routine immunization services including hepatitis B vaccination of hepatitis B vaccination. Data used in this study were facility-based data, complimented with primary data on the expenses related to the implementation of hepatitis B vaccination year 1999 and 2000. The result of the study shows that the total cost hepatitis B vaccination using disposable syrunge was 17.93% higher than the total cost using uniject. The largest cost component for disposable syringe was operational cost (on average 97.36% per Health Center), investment cost 2.56%, maintenance cost 0,08%. where as for uniject, operational cost was 99.31%, investment cost 0.58% and maintenance cost 0.11%. The hepatitis B coverage using disposable syringe was 16,417 or 637 per Health Center and vaccine utilization index was 66,4%. the hepatitis B coverage using uniject was 16,474 or 644 per Health Center with vaccine utilization index of 100%. The actual unit cost of hepatitis B vaccination using disposable syringe was Rp. 33,572, compered to Rp. 27,553 for uniject. It the study excluded salary from the cost component, the actual unit cost for disposable would be Rp. 17,342 (reduced by 48.34%) and for uniject weld be Rp. 13,627 (reduced by 50.54%). The difference in cost unit is influenced by the unit price of injection equipment, cost variables and level of vaccination coverage. Based on the actual unit cost, uniject is more cost effective than disposable syringe. So, the spend of budget for giving immunization hepatitis B in the same target with uniject more cheaper than disposable.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulastriyono
Abstrak :
Pada awalnya, tanah timbul di muara sungai Progo terjadi karena proses alam yaitu akibat banjir yang membawa lumpur dan pasir yang mengendap kemudian muncul di pinggiran dan di tengah aliran muara sungai. Pada tahap berikutnya, dengan dilakukannya pembangunan tanggul pengaman banjir dan krep di sepanjang sisi timur muara sungai Progo mengakibatkan bentuk dan luas tanah timbul semakin bertambah (tahun 1985= 48 Ha. dan tahun 1996= 229,5360 Ha). Keberadaan tanah timbul di muara sungai, Progo sebagai tanah komunal desa (tanah desa) memberikan harapan yang baik bagi para petani dan aparat pemerintah desa Poncosari. Bagi para petani, keberadaan tanah timbul secara ekonomis potensial untuk usaha pertanian dan penambangan pasir. Di lain pihak, bagi aparat pemerintah desa Poncosari, keberadaan tanah timbul sebagai tanah komunal desa (tanah desa) merupakan salah satu asset/ kekayaan desa. Upaya penertiban penguasan tanah timbul oleh aparat pemerintah desa Poncosari didukung oleh para pejabat BPN kabupaten Bantul dengan Proyek Peningkatan Penguasaan hak Atas Tanah (PPPHT) yang dituangkan dalam keputusan desa nomor 4 tahun 1992. Upaya penertiban penguasaan tanah timbul tersebut mendapatkan reaksi atau tanggapan dari para petani penggarap sehingga mengakibatkan permasalahan yaitu konflik atau sengketa antara para petani penggarap dengan aparat pemerintah desa Poncosari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya penertiban penguasaan tanah timbul yang dilakukan oleh aparat pemerintah desa Poncosari menyebabkan konflik atau sengketa antara para petani penggarap dan aparat pemerintah desa Poncosari dan berdampak negatif bagi kehidupan para petani. Masing-masing pihak menggunakan caranya sendiri-sendiri dalam upaya menyelesaikan sengketanya. Konflik atau sengketa tersebut disebabkan oleh: Pertama, perbedaan persepsi kedua belah pihak mengenai penguasaan tanah timbul. Secara historis faktual, para petani penggarap telah terbukti sebagai pemegang hak garap atas tanah timbul yang berlangsung secara turun temurun tanpa ada gangguan dari pihak lain, konsekuensinya mereka tidak mau ditarik retribusi baik oleh aparat pemerintah desa atau negara. Di lain pihak, aparat pemerintah desa Poncosari sebagai pemegang kekuasaan desa merasa berhak merealisir hak ulayat desa untuk mengatur dan menertibkan penguasaan tanah komunal desa yang berupa tanah timbul dengan konsekuensi bahwa para petani yang menerima lahan wajib membayar retribusi kepada aparat pemerintah desa guna mendukung pembangunan desa. Kedua, para petani penggarap tanah timbul dan aparat pemerintah desa Poncosari masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda dalam mempertahankan status sebagai pemegang hak tanah timbul. Ketiga, para petani dan aparat pemerintah desa Poncosari mempunyai persepsi yang berbeda mengenai aturan yang seharusnya berlaku dalam melaksanakan hak penguasaan tanah timbul. Kehidupan para petani di desa Poncosari yang teratur merupakan suatu lapangan sosial yang semi-otonom (semi-autonomous social field). Di lain pihak, lingkungan kerja para aparat pemerintah desa Poncosari juga merupakan salah satu wujud lapangan sosial yang semi otonom (semi-autonomous social field). Kedua lapangan sosial yang semi-otonom tersebut mampu menciptakan aturan-aturan sendiri dan dan ditaati.nya, tetapi keduanya juga dapat menggunakan aturan-aturan tertulis yang dibuat oleh negara yang berujud perundang-undangan. Dalam hal ini, kedua belah pihak tetap rentan terhadap kekuatan dari luar yang lebih besar. Bagi kedua belah pihak, penguasaan aturan-aturan tersebut tergantung kepada kepentingannya, dalam arti mereka akan menggunakan aturan yang lebih menguntungkannya. Konflik atau sengketa penguasaan tanah timbul di desa Poncosari berdampak negatif bagi kehidupan para petani karena konflik atau sengketa 'penguasaan tanah timbul di desa Poncosari antara lain megakibatkan terganggunya keserasian hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dusun Sambeng II. Berbagai strategi untuk menyelesaikan konflik atau sengketa telah dilakukan oleh para pihak yang bersengketa. Di satu pihak, para petani melakukan koalisi secara vertikal dengan para tokoh-tokoh politik, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta koalisi secara horizontal dengan membentuk Kelompok Petani Penggarap Tanah Timbul Pinggir Kali (KETALI). Di lain pihak, aparat pemerintah desa Poncosari juga melakukan koalisi secara vertikal dengan para pejabat atasannya seperti camat, aparat keamanan bupati dan gubernur.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arisman
Abstrak :
ABSTRAK
Kabupaten Bantul merupakan salah satu daerah yang termasuk kategori rawan bencana gempa bumi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kejadian gempa bumi terakhir tahun 2006 di daerah ini menimbulkan dampak yang luar biasa, yaitu korban jiwa, maupun kerusakan besar baik infrastruktur maupun bangunannya. Namun demikian, terdapat juga beberapa daerah yang mengalami kerusakan ringan akibat bencana gempa bumi tersebut. Tesis ini membahas mengenai analisis risiko gempa bumi dan variasi spasialnya di Kabupaten Bantul. Perhitungan risiko didasarkan pada fungsi perkalian antara bahaya (H) dan kerentanan (V) dibagi dengan ketahanan/kapasitas (C). Parameter bahaya yang dianalisis meliputi: nilai PGA (Peak Ground Acceleration), dan Struktur Sesar. Parameter kerentanan yang dianalisis meliputi: luas permukiman, panjang jaringan jalan, jenis batuan, jumlah penduduk, jumlah kepadatan penduduk, jumlah penduduk usia rentan, jumlah penduduk wanita, jumlah keluarga miskin, jumlah industri kecil/menengah, jumlah pasar dan jumlah pendapatan asli daerah (PAD). Parameter ketahanan/kapasitas yang dianalisis meliputi: jumlah fasilitas kesehatan, fasilitas umum berupa sekolah dan keberadaan sistem peringatan dini bencana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Bantul mempunyai variasi spasial tingkat risiko bencana gempa bumi dengan 3 kategori yaitu: risiko rendah, sedang dan tinggi. Secara umum Kabupaten Bantul didominasi oleh wilayah dengan tingkat risiko sedang/menengah. Wilayah dengan risiko tinggi terdapat dua variasi spasial yaitu di sepanjang sesar Opak dan sebagian mengelompok di bagian utara dekat dengan Kota Yogyakarta dan Bantul. Wilayah risiko tinggi tersebut umumnya dikarenakan memiliki tingkat kerentanan wilayahnya tinggi hingga sedang baik kerentanan fisik maupun sosial ekonominya, akan tetapi kapasitasnya rendah. Wilayah yang memiliki risiko paling tinggi meliputi desa Trimulyo, kemudian Sumberagung, dan Tamantirto. Wilayah yang mempunyai risiko paling rendah meliputi desa Jatimulyo, kemudian Terong dan Dlingo. Wilayah risiko rendah tersebut umumnya mempunyai tingkat kerentanan rendah baik fisik maupun sosial ekonominya, tetapi mempunyai kapasitas daerahnya tinggi.
ABSTRACT
Bantul District is one of earthquake prone area in Yogyakarta Province. Last genesis earthquake on 2006 in this area past a tremendous impact, the loss of lives, substantial damage of infrastructures dan buildings. However, there are also some areas that suffered minor damage due to the earthquake disaster. This research is analyse the earthquake risk and its spatial variation in Bantul District. Risk calculation is based on multiplication function between Hazard (H) and Vulnerability (V) divided by the Capacity (C). Hazard parameters include in these analyzed: Peak Ground Acceleration (PGA) and Fault Structure. Vulnerability parameters include in these analyzed: the percentage of the settlement area, the length of road network, the lithology, number of population, number of density, the number of vulnerable population, number of females, the number of poor families, number of market, number of industrial, and number of economic income (PAD).Capacity parameters include in these analyzed: the number of health facilities, public facilities such as schools and early warning system of disaster in villages. The final result showed that The Bantul District has spatial variaton of earthquake risk in 3 categories: low risk, medium and high risk. The Bantul District is dominated by areas with medium risk. They have two spatial pattern of high risk, the areas were in line with Opak Fault and other area was near the city of Yogyakarta and Bantul. High risk area have three characteristics, high vulnerability of pyhsics and social economics, medium hazard, and low capacity. The areas of high risk are Trimulyo Village, Sumberagung and Tamantirto. The areas of low risk have three characteristic, low hazard, low vulnerability and high capacity. The low areas are Jatimulyo, Terong and Dlingo.
2015
T44729
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Ananto Wisan Rinuwat
Abstrak :

ABSTRAK
Program pengentasan desa-desa miskin atau lebih dikenal dengan istiiah Ingres Desa Tertinggal (IDT), memiliki tujuan untuk memberi bantuan agar desa tertinggal tersebut dapat mengelola sumberdaya yang dimiliki, diantaranya sumber daya alam. Dengan demikian diharapkan dapat mengejar ketertinggalannya dari desadesa lain.

Melihat gambaran di atas, maka pengetahuan tentang kondisi kemampuan sumber daya alam mutlak di kuasai, terutama dalam mengidentifikasi daerah miskin. Oleh karena itu, penulis mencoba meneliti keberadaan desa-desa tersebut dengan meninjau dari sudut pandang keterbatasan kemampuan fisik wilayah.

Dengan mengetahui kondisi sumber daya yang dimiliki. maka diharapkan dapat dikaitkan dengan upaya meningkatkan penghasilan penduduk desa yang umumnya masih bertumpu pada sektor pertanian.

Dengan demikian tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui keterkaitan penyebaran desa tertinggal dengan keterbatasan kondisi fisik wilayahnya serta pengaruhnya terhadap tingkat penghasilan penduduk di Kabupaten BantuI, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dari gambaran di atas terlihat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian mi adalah : Bagaimana kaitan letak desa tertinggal yang terbatas tingkat penghasilan penduduknya dengan kondisi fisik wilayah di Kabupaten BantuI, Daerah Istimewa Yogyakarta ?

Desa tertinggal di Dati II BantuI yang dianalisis dalam penelitian ini, merupakan gambaran ketertinggalan suatu wilayah berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik, dalam Penentuan Desa Tertinggal 1993, mencapai 23 desa atau 30,67 % dari total 75 desa.

Pola penyebarannya secara umum memanjang di bagian Timur, kemudian menyebar secara acak di bagian Selatan, selain itu juga terdapat di bagian Tengah wilayah penelitian dalam jumlah yang sedikit. Tingkat penghasilan penduduk di Kabupaten BnatuI (satuan analisis desa) ditentukan dengan cara mengalokasikan produksi sektor pertanian tingkat Kabupaten BantuI. Pada analisis perhitungan Tingkat Penghasilan Penduduk di Kabupaten BantuI, pengklasifikasiannya disederhanakan menurut kategori batas pengeluaran, sebagai berikut: 1. Desa tidak miskin, penyebarannya di BantuI mencapai 46 dari 75 desa (berkisar 61,33%) 2. Desa miskin, penyebaran desa dengan tingkat penghasilan miskin di Kabupaten BantuI, jumlahnya mencapai 29 dari 75 desa yang ada di wilayah penelitian (38,67%).

Hasil analisis korelasi desa tertinggal dengan tingkat penghasilan penduduk, menunjukkan klasifikasi desa tertinggal yang miskin dan desa tertinggal yang tidak miskin. Selanjutnya hasil korelasi tersebut ditampalkan dengan peta wilayah tanah usaha sehingga menghasilkan gambaran kondisi fisik desa tertinggal berkaitan dengan gambaran tingkat penghgasilan penduduk di daerah bersangkutan, yang dapat disimpulkan sebagai berikut; 1. Terdapat 10 dari 12 desa tertinggal yang miskin, menyebar di desa yang memiliki wilayah tanah usaha terbatas, sedangkan sisanya sebanyak 2 desa terdapat pada desa yang tidak memiliki luas wilayah tanah usaha terbatas. 2. Terdapat 11 desa tertinggal yang tidak miskin, seluruhnya menyebar di desa yang tidak memiiiki wilayah tanah usaha terbatas.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Sulistyabudi
Abstrak :
ABSTRACT
The advancement of technology in social media has penetrated into all areas of life such as economies, business, entertainment, education, and culture. The need of the information media such as the internet is rapidly growing. Its role has been widely spread in human life for various aspects of life. This study aims to look at now The Culture and Tourism Office of Bantul Regency use social media in preserving local culture and disseminating information on art and culture as well as the natural wealth in Bantul Regency. This study drew the data from observation and related materials from libraries and internet. The results of this study indicate social media plays an important role in preserving culture preservation in Bantul regency. Websites have been used to inform the activities of The Culture and Tourism Office of Bantul Regency in preserving local culture. It also disseminates schedules of cultural events as well as photos and videos.
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta, 2017
400 JANTRA 12:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Sulistyabudi
Abstrak :
The advancement of technology in social media has penetrated into all areas of life such as economies, business, entertainment, education, and culture. The need of the information media such as the internet is rapidly growing. Its role has been widely spread in human life for various aspects of life. This study aims to look at now The Culture and Tourism Office of Bantul Regency use social media in preserving local culture and disseminating information on art and culture as well as the natural wealth in Bantul Regency. This study drew the data from observation and related materials from libraries and internet. The results of this study indicate social media plays an important role in preserving culture preservation in Bantul regency. Websites have been used to inform the activities of The Culture and Tourism Office of Bantul Regency in preserving local culture. It also disseminates schedules of cultural events as well as photos and videos.
Yogyakarta: BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA D.I. YOGYAKARTA, 2017
400 JANTRA 12:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Sulistyabudi
Abstrak :
ABSTRACT
The advancement of technology in social media has penetrated into all areas of life such as economies, business, entertainment, education, and culture. The need of the information media such as the internet is rapidly growing. Its role has been widely spread in human life for various aspects of life. This study aims to look at now The Culture and Tourism Office of Bantul Regency use social media in preserving local culture and disseminating information on art and culture as well as the natural wealth in Bantul Regency. This study drew the data from observation and related materials from libraries and internet. The results of this study indicate social media plays an important role in preserving culture preservation in Bantul regency. Websites have been used to inform the activities of The Culture and Tourism Office of Bantul Regency in preserving local culture. It also disseminates schedules of cultural events as well as photos and videos.
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta, 2017
400 JANTRA 12:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>