Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Rizky Aprihandini
"Angkutan antarkota antarprovinsi merupakan salah satu angkutan umum darat yang sering digunakan sebagai moda transportasi oleh masyarakat di Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan pada penyelenggaraannya, seperti peristiwa hilangnya barang penumpang di dalam kabin angkutan. Maka dari itu, penelitian ini menganalisis bagaimana pelindungan terhadap penumpang yang mengalami kehilangan barang di dalam kabin angkutan antarkota antarprovinsi, serta bagaima upaya hukum penyelesaian masalah tersebut. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Penumpang yang merupakan seorang konsumen memiliki hak untuk merasa aman, nyaman, dan selamat ketika menggunakan jasa angkutan umum. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti rugi apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga mengatur bahwa Perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian penumpang yang timbul akibat kelalaian Perusahaan. Penumpang yang merasa dirugikan tersebut berhak untuk mendapatkan ganti rugi dari Perusahaan angkutan umum apabila perusahaan lalai dalam menjalankan pelayanan angkutan. Apabila perusahaan angkutan umum menolak untuk memberikan ganti rugi, maka penumpang yang dirugikan dapat mengajukan permohonan ke Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) atau gugatan ke Pengadilan Negeri.
Intercity and interprovincial transportation is a commonly used mode of land public transportation in Indonesia. However, there are still several shortcomings in its implementation, such as incidents of passengers' belongings being lost in the vehicle cabin. Therefore, this research analyzes the protection of passengers who experience the loss of their belongings in intercity and interprovincial transportation cabins, as well as the legal remedies for resolving such issues. This research employs a doctrinal research method. Passengers, who are consumers, have the right to feel safe, comfortable, and secure when using public transportation services. The Consumer Protection Law stipulates that consumers are entitled to compensation if the goods and/or services received are not as expected. The Road Traffic and Transportation Law also states that public transportation companies must compensate passengers for losses resulting from the company's negligence. Passengers who feel aggrieved have the right to receive compensation from the public transportation company if the company is negligent in providing transportation services. If the public transportation company refuses to provide compensation, the aggrieved passenger may submit a claim to the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK) or file a lawsuit in the District Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nadia Sekar Widyastuti
"Sebagai negara maritim dan kepulauan, Indonesia tentu banyak memanfaatkan pengangkutan melalui laut, terutama pengangkutan barang sebagai pondasi utama perdagangan nasional maupun internasional. Kelancaran pengangkutan barang melalui laut ini menjadi penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi negara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, tidak jarang kemudian terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di antara para pihak yang terlibat yang menyebabkan terlambatnya, rusaknya atau hilangnya barang angkutan. Hal inilah yang terjadi pada Kapal TB Hector 103 dan BG. PMS 202 (270 FT) yang mengangkut barang berupa batu scroup yang tidak dapat diserahkan oleh si Pemilik Kapal sebagai Pengangkut kepada Penerima dikarenakan ketidakakuratan kelaiklautan (seaworthiness) yang dilakukan Pengangkut terhadap kapal, sehingga kapal dan barang angkutan tidak dapat diterima di pelabuhan tujuan. Atas keterlambatan tersebut kemudian muncul bentuk pertanggungjawaban dari para pihak yang terlibat yakni pengangkut serta agen kapal sebagai pihak yang melakukan pengurusan terhadap administrasi kapal yang diberangkatkan. Hilangnya barang akan ditinjau berdasarkan hukum pelayaran nasional yang masih merujuk pada KUHD sebagai dasar pertanggungjawaban pengangkut selain kemudian dibuatnya UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta peraturan turunan di bawahnya. Sebagai perbandingan, kasus juga akan dianalisis dengan The Hague-Visby Rules, Hamburg Rules serta Rotterdam Rules, mengingat ketiganya sebagai konvensi internasional lebih relevan dengan perkembangan pengangkutan yang ada sekarang.
As a maritime and archipelagic country, Indonesia certainly utilizes a lot of transportation by sea, especially the transportation of goods as the main foundation of national and international trade. The smooth transportation of goods by sea is important for the continuity of the country's economic growth. However, in its implementation, it is not uncommon for unwanted things to happen between the parties involved which cause delays, damage or loss of transportation goods. This is what happened to TB Hector 103 and BG. PMS 202 (270 FT) which transporting scroup stones that could not be delivered by the Shipowner as the Carrier to the Receiver due to inaccuracies in the Carrier's seaworthiness of the ship, so that the ship and goods could not be received at the destination port. The delay of goods will then be reviewed based on national shipping law which still refers to the KUHD as the basis for carrier liability in addition to later made Law 17 of 2008 concerning Shipping and its derivative regulations. For comparison, the case will also be analyzed with The Hague-Visby Rules, Hamburg Rules and Rotterdam Rules, considering those three as international conventions are more relevant to the current development of transportation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library