Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gillies, Harold Delf Sir
Boston : Little, Brown, 1957
617.95 GIL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hayati
Abstrak :
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dalarn beberapa dekade belakangan ini berkembang sangat pesat, terutarna sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2. Diantara kemajuan di bidang kedokteran yang saat ini banyak diminati orang adalah bidang bedah plastik (plastic surgery). Menurut Ensiklopedi Indonesia, bedah plastik adalah cabang ilmu bedah yang mempelajari cara melakukan perbaikan bentuk organ tubuh yang tidak sempurna (hal.269-270). Oleh sebab itu tujuan dati ilmu yang di Indonesia dikembangkan pertama kali oleh Prof Moenadjat Wiraatmaja adalah untuk peningkatan fungsi organ tubuh yang tidak/kurang sempurna serta mengurangi kecacatan yang mengganggu. Dalam perkembangannya, ternyata ilmu bedah plastik ini juga dipergunakan untuk mempercantik diri, memperbaiki penampilan fisik yang dirasa kurang sempurna meski tidak cacat. Melalui pemaduan dengan ilmu kecantikan, maka lahirlah ilmu bedah kosmetik (cosmetic surgery). Tindakan-tindakan dalam bidang bedah plastik biasanya barn dapat dikatakan berhasil bila pasien puas setelah tindakan itu dilakukan. Namun hila yang terjadi sebaliknya, pasien merasa tidak puas akan hasilnya maka besar kemungkinan hal ini akan menjadi masalah hukum. Narnun mungkinkah hila pasien tidak puas itu berarti ada kesalahan dokter? Tentu perlu ditelaah lebih jauh lagi, misalnya apakah tindakan dokter sudah sesuai dengan Standar Profesi? Memang kasus tuntutan terhadap kegagalan operasi menunjukkan peningkatan bila kita baca di surat kabar belakangan ini. Hal ini karena dalam tindakan bedah plastik terdapat banyak aspek hukumnya. Salah satu aspek hukumnya adalah bahwa hubungan dokter dengan pasien dalarn bidang bedah plastik ini termasuk Inspanningverbintenis dan bukan Resultaatverbintenis. Artinya bahwa dok1er tidak dapat menjamin hasil dari setiap tindakan bedah plastik tetapi hanya akan berupaya semaksimal mungkin. Juga perihal kewenangan yakni dokter apa yang berwenang untuk melakukan tindakan bedah plastik itu? Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan selain Dokter Spesialis Bedah Plastik, yang berwenang juga Dokter Spesialis THT, Dokter Spesialis Mata dan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Tentunya kewenangan tersebut tergantung pada bidang spesialisasinya. Juga seorang dokter yang melakukan tindakan bedah plastik harus tetap memperhatikan hak-hak pasien, khususnya penerapan hak atas informed consent. Dengan informasi itu diharapkan pasien tidak akan mempunyai harapan yang berlebihan akan hasilnya, tapi juga tidak merasa takut yang tidak wajar pula. lni akan banyak memberi manfaat kepada pasien maupun dokternya serta dapat menghindari dati tuntutan malapraktek medis. Hal yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari masalah-masalah hukum yang timbul dari tindakan bedah plastik disarnping masalah lain seperti bagaimana tanggung jawab dokter dan rumah sakit bila terjadi malapraktek, bagaimana aturan hukum yang ada mengenai penyelenggaraan bedah plastik yang mempunyai keunikan dan kekhususan dibanding tindakan bedah lain. Oleh sebab itu menarik penulis untuk mengungkap lebih jauh hal itu dalam skripsi ini.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Faadhilah
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana hukum medis dan etika kedokteran itu berlaku di Indonesia mengatur operasi plastik, rekonstruksi wajah total dan hukum tanggung jawab dokter dan rumah sakit yang melakukan operasi rekonstruksi wajah, dengan menganalisis praktik total rekonstruksi wajah Pasien X yang dilakukan di RSUP dr Rumah Sakit Universitas Airlangga. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif penelitian yuridis dengan penelitian deskriptif. Secara hukum, operasi rekonstruksi wajah diatur dalam beberapa pasal yang tercantum dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dilihat dari kode etik kesehatan yang berlaku di Indonesia, praktik facial Rekonstruksi termasuk dalam pelayanan kesehatan kuratif, yaitu kegiatan dan / atau a serangkaian kegiatan medis yang bertujuan menyembuhkan penyakit. Dalam praktiknya total wajah rekonstruksi Pasien X, unsur kerusakan yang diderita pasien bukanlah a akibat kelalaian dokter karena dokter telah melaksanakan kewajibannya untuk berjuang untuk mengubah bentuk dan meningkatkan fungsi wajah Pasien X, sehingga menjadi dokter tidak bisa dimintai pertanggungjawaban dalam hukum perdata. Teori sentral paling tepat tanggung jawab digunakan dalam menentukan tanggung jawab rumah sakit atas tindakan rekonstruksi dokter dalam praktek rekonstruksi wajah, karena di operasi rekonstruktif, terutama kasus-kasus sulit memerlukan banyak ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu, dan rumah sakit dapat menggunakan konselor dan dokter yang tidak terus berlatih di rumah sakit. Diperlukan peraturan yang memadai untuk mengatur rekonstruksi wajah sebagai diuraikan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan.
This study aims to analyze how the medical law and medical ethics apply in Indonesia regulating plastic surgery, total facial reconstruction and the legal responsibilities of doctors and hospitals that perform facial reconstruction surgery, by analyzing the total practice of facial reconstruction in Patient X which is carried out in RSUP from Hospital Airlangga University. The form of research used in this study is juridical normative research with descriptive research. Legally, facial reconstruction operations are regulated in several articles listed in Law No. 36 of 2009 concerning Health. Judging from the health code of ethics that applies in Indonesia, the practice of facial Reconstruction is included in curative health services, namely activities and / or a a series of medical activities aimed at curing diseases. In practice the total facial reconstruction of Patient X, the element of damage suffered by the patient is not due to the negligence of the doctor because the doctor has carried out his obligation to struggle to change the shape and improve the facial function of Patient X, so that becoming a doctor cannot be held accountable in civil law. The most appropriate central theory of responsibility is used in determining the hospital's responsibility for physician reconstruction actions in the practice of facial reconstruction, because in reconstructive surgery, especially difficult cases require many experts from various disciplines, and hospitals can use counselors and doctors who do not continue to practice in the hospital. Adequate regulations are needed to regulate facial reconstruction as described in Government Regulations and Minister of Health Regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
Jakarta: Sagung Seto, 2011
617.95 THE f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chaula Luthfia Sukasah
Jakarta: UI-Press, 2008
PGB 0504
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1995
617.95 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Agustini
Abstrak :
Dewasa ini perkembangan dunia kedokteran semakin bertambah pesat sehingga tidak saja berfungsi dalam hal penyembuhan namun juga memberikan suatu peluang yang positif terhadap dunia kecantikan. Salah satunya ialah bedah plastik. Dulu suatu tindakan bedah plastik selalu dikaitkan dengan suatu keadaan dimana pasiennya menderita suatu indikasi medis sehingga memerlukan penanganan bedah plastik. Namun dunia kedokteran kini tidak lagi hanya berfungsi apabila adanya indikasi medis, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik kecantikan seseorang. Bedah plastik mempunyai karakteristik yang khusus misalnya dalam hal bedah plastik estetik yang berbeda dengan tindakan medis lainnya. Hal ini disebabkan karena bedah plastik estetik lebih mengutamakan kepada suatu hasil kerja dari dokter bedah plastik yang bersangkutan (Resultaatverbintenis), walaupun memang bedah bedah plastik rekonstruksi merupakan bedah plastik yang lebih mengutamakan daya upaya atau usaha maksimal dari tindakan dokter (Inspaningverbintenis). Perlindungan hukum atas hak-hak konsumen (pasien) di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Begitu juga hak-hal pasien telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Salah satu hak tersebut adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atas tindakan pelaku usaha yang menyebabkan kerugian itu. Aspek hukum perlindungan konsumen (pasien) menjadi fokus penting karena tindakan dokter bedah plastik yang sering merugikan konsumen. Dalam hal bedah plastik ada beberapa permasalahan yang dapat timbul seperti tidak adanya pengaturan secara eksplisit yang mengatur mengenai dokter yang berwenang untuk melakukan tindakan bedah plastik. Hal ini menyebabkan banyak dokter yang mengklaim dirinya mampu untuk melakukan bedah plastik.Permasalahan lainnya ialah apabila seorang dokter melakukan Perbuatan Melawan Hukum maupun wanprestasi yang biasanya disebut dengan Malpraktek. Pemberlakuan klausula-klausula yang bersifat baku sehingga konsumen (pasien) hanya bisa menerima dan tidak adanya kesempatan bernegosiasi dan terkadang klausula tersbut berisi pembebasan tanggung jawab dari pihak dokter bedah plastik. Klausula tersebut sering terdapat dalam Informed consent. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa antara konsumen (pasien) dengan dokter bedah plastik apabila terjadi suatu tindakan malpraktek dalam bidang Perdata, maka dapat diselesaikan baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan yaitu dengan cara musyawarah serta dapat diajukan permasalahan kepada organisasi profesi yang terkait yaitu MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran).
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York : PMA Publishing, 1988
617.477 PRI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Japan : Hokkaido University Graduate School of Medicine, 2005
617.477 SUG m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Donna Savitry
Abstrak :
Tumor sekitar mata dan struktur yang berdekatan sering memerlukan pembuangan bulbus okuli (enukleasi) atau seluruh isi orbita (eksenterasi). Pembedahan dan radioterapi juga memiliki konsekuensi mutilasi pada orbits. Tidak adanya mata dan disharmoni wajah merupakan kecacatan psikis dan fisik bagi pasien. Tujuan mendasar semua prosedur rekonstruksi daerah periorbita adalah untuk memperbaiki hubungan fungsional antara orbita, bulbus okuli dan palpebra, serta untuk meyakinkan proteksi mata dan preservasi penglihatan. Penghargaan struktur anatomi dan fungsi palpebra sangat membantu dalam sebuah rekonstruksi. Kemampuan untuk rekonstruksi defek yang kompleks pascaablasi kanker kepala dan leher telah berubah secara signifikan sejak kemajuan tehnik bedah mikro. Flap bebas memberi kesempatan pada ahli bedah untuk memindahkan berbagai jaringan yang berbeda pada semua lokasi di wajah dengan angka kesuksesan yang sangat tinggi. Usaha-usaha untuk merekonstruksi palpebra yang berfungsi dengan dimasukkannya prostesis telah memerlihatkan hasil yang buruk sehingga dianjurkan menggunakan patch, kacamata hitam dan prostesis eksternal yang direkatkan (cosmetic patch) daripada melakukan rekonstruksi. Rekonstruksi anophialmic orbit merupakan sesuatu yang kompleks, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang anatomi orbita, dikombinasi dengan tehnik bedah khusus. Rencana penatalaksanaannya menggambarkan ruang dan waktu, dan secara berhati-hati diadaptasikan pada pasien anophtalmic yang memiliki kondisi psikis yang rapuh dan berubah-ubah. Rekonstruksi anophtalmic orbit mengikuti sekuens yang mengharuskan pasien berkonsultasi ke ahli-ahli onkologi, radiologi, ophtalmologi dan psikologi. Rencana pembedahan yang akan dilakukan didisain dengan computed tomography scans serta foto premorbid dan saat ini, dan keinginan pasien dipertimbangkan secara hati-hati oleh tim multidisipliner. Di subbagian Bedah Plastik RSUPN Cipto Mangunkusumo sendiri belum terbentuk suatu tim multidisipliner yang menangani masalah rekonstruksi periorbita yang kompleks Pasien-pasiennyapun tidak terjaring banyak (dalam pengamatan selama satu setengah tahun didapatkan 4 orang pasien). Selain itu penggunaan prostesis belum menjadi salah satu pertimangan seperti di luar negeri. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran masalah yang dihadapi pasien-pasien di subbagian Bedah Plastik RSUPN Cipto Mangunkusumo dalam kurun waktu tersebut dan bagaimana pasien-pasien tersebut mendapatkan terapi rekonstruksinya. Selain itu tulisan ini juga merupakan tulisan akhir dalam menyelesaikan program studi bedah plastik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>