Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Antonius Satria Adinugraha
"The regulations regarding the Restoration of Cultural Heritage were established from the restriction of its removal. The main treaty providing the norm to restore the removed Cultural Heritage from the State of origin is 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property. Through this convention, State, as a subject in international law, was given a set of Rights and Obligations to claim for its Restoration. Indonesia as a developing State has its own interest in the Restortion of Cultural Heritage after its independence, including from Netherlands. Through this thesis, the author analyses the practice in the case of the Restoration from Netherlands to Indonesia, Indonesian Law No. 11 of 2010 on Cultural Heritage, and the urgency of Indonesia to become a State party to 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property.

Ketentuan mengenai Pengembalian Benda Cagar Budaya muncul dari ketentuan pelarangan pemindahan atasnya. Perjanjian Internasional yang terutama dalam mengatur Pengembalian Benda Cagar Budaya kepada Negara asal adalah 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property. Dalam konvensi tersebut Negara sebagai subyek hukum internasional yang diberikan seperangkat Hak dan Kewajiban untuk mengajukan klaim Pengembalian. Indonesia sebagai Negara berkembang memiliki kepentingan Pengembalian Benda Cagar Budaya dari Negara-Negara maju pasca kemerdekaan, salah satunya dari Belanda. Penulisan ini melakukan analisis terhadap praktik Pengembalian yang selama ini telah dilakukan oleh Belanda ke Indonesia, UU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, dan kepentingan Indonesia menjadi Negara peserta Konvensi 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S61117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Mitawati
"Dunia arkeologi Indonesia memiliki tantangan yang berat, selain mencapai tujuannya, yakni untuk mempertahankan datanya di dalam era pembangunan fisik (Mundardjito, 1993). Meskipun demikian, mempertahankan keberadaan data arkeologi, merupakan hakekat pelestarian, menjadi salah satu aspek penting arkeologi selain penelitian (Mundardjito, 1993). Pelestarian membutuhkan dana yang tidak sedikit dan sumber daya manusia berkualitas yang memadai kuantitasnya. Keterbatasan penyediaan hal di atas dapat diatasi dengan melakukan pemilihan bangunan-bangunan yang tingkat kepentingan pelestariannya tinggi. Pemilihan ini dapat dilaksanakan melalui penilaian. Banyak pihak, termasuk Undang-Undang Benda Cagar Budaya telah membuat suatu alat penilaian yang terdiri dari beberapa variabel penilaian. Tetapi, alat penilaian itu kurang obyektif, karena tidak jelas dan rinci, sehingga bersifat intuisi. Selain itu, alat penilaian yang pernah dibuat hanya berdasarkan sudut pandang ilmu tertentu, sehingga kepentingan arkeologi misalnya, seringkali tidak tercakup. Berdasarkan pemikiran ini, maka perlu dibuat suatu sistem penilaian Baru yang lebih obyektif, yang ditandai dengan adanya nilai kuantitatif. Sistem penilaian benda cagar budaya terdiri dari variabel penilaian, kelas variabel penilaian, dan formula. Variabel penilaian bersifat tetap, artinya di manapun penilaian dilakukan, variabel yang dinilai adalah sama. Variabel penilaian dalam sistem ini terdiri dari enam, yakni: variabel usia, variabel perubahan, variabel gaya, variabel hubungan, variabel manfaat, dan variabel kelangkaan. Selain keenam variabel penilaian tersebut, terdapat satu variabel lain yang juga bersifat tetap, yakni variabel kondisi fisik bangunan. Variabel ini berperan dalam menentukan bentuk formula. Dengan demikian, apabila formula telah tercipta, maka dalam penilaian pada bangunan-bangunan selanjutnya, dalam kawasan yang sama, variabel ini tidak termasuk. Variabel kondisi fisik bangunan memiliki empat aspek, yakni: aspek arsitektural, aspek struktural, aspek keterawatan, dan aspek lingkungan. Penelitian yang berkaitan dengan keempat aspek variabel ini terdiri dari dua tahap_ Penelitian tahap pertama, studi kelayakan arkeologi, yaitu penelitian untuk menentukan skala prioritas bangunan (termasuk melakukan penilaian). Penelitian tahap kedua dilakukan terhadap bangunan yang akan memeperoleh upaya pelestarian, berarti penelitian ini bersifat lebih mendalam dan detail. Penelitian tahap pertama hanya melibatkan tiga aspek pertama. Kelas-kelas variabel penilaian merupakan penurunan dari variabel penilaian. Berdasarkan metode penurunannya, variabel penilaian terdiri dari dua macam, yakni: variabel bebas yaitu variabel yang kelas-kelasnya tidak ditentukan oleh kondisi kawasan atau bangunan-bangunan yang akan dinilai (termasuk dalam variabel ini adalah variabel manfaat) dan variabel tidak bebas yaitu variabel yang kelas-kelasnya ditentukan oleh kondisi kawasan atau bangunan-bangunan yang akan dinilai (termasuk dalam variabel ini adalah variabel perubahan, variabel gaya, variabel hubungan, variabel usia, variabel kelangkaan, dan variabel kondisi fisik bangunan). Kemudian, sejumlah bangunan yang dinilai akan disusun skala prioritasnya, maka setiap kelas variabel diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya, misalnya untuk variabel kondisi fisik bangunan, semakin buruk tingkat keterawatannya, maka semakin besar nilainya, yakni: 3. Sedangkan variabel yang kelas-kelasnya tidak dapat dibuat peringkat seperti variabel di atas, maka diberi nilai yang sama untuk setiap kelas, yakni: 1. Dengan demikian. maka diperlukan analisis hasil penilaian yang dapat memperlihatkan variasi kelas variabel, kemudian penilaian diberikan berdasarkan peringkat kepentingan variasi tersebut. Penilaian dimulai dari angka 1 dan seterusnya. Demikian seterusnya metode yang sama diperlakukan kepada variabel-variabel yang lain, tak terkecuali. Kemudian, dilakukan penjumlahan semua nilai dari setiap variabel dari suatu bangunan. Bangunan dengan jumlah nilai terbesar diurutkan dalam skala prioritas tertinggi diikuti bangunan-bangunan lain yang memiliki nilai semakin kecil. Komponen sistem penilaian yang terakhir adalah formula atau rumusan matematis yang digunakan untuk menentukan apakah suatu bangunan prioritas atau bukan prioritas dalam pelestarian. Formula ini digunakan pada bangunan selain kelompok bangunan yang telah disusun skala prioritasnya, seperti telah disebutkan terdahulu, tetapi masih dalam kawasan yang memiliki karakteristik kelas variabel yang sama. Formula diperoleh dari pengolahan , nilai-nilai yang telah ditentukan pada bangunan-bangunan yang menjadi data dalam program SPSS. Semua nilai variabel, kecuaii variabel kelangkaan, diolah dalam program SPSS pengolahan data regresi linear berganda. Variabel kondisi fisik bangunan dijadikan variabel prioritas atau variabel yang bersifat dependent (Y). Hasil pengolahan data yang diterapkan pada Kawasan Kembang Jepun, Surabaya adalah rumusan sebagai berkut: Y - 1,290 + 1,031 XI - 0,959 X2. 0,795 X3 + 0,489 X4 dengan X, : nilai variabel perubahan (1 atau 2) X2 : nilai variabel hubungan antarbangunan (0, 1 atau 2) X3 : nilai variabel usia (1 atau 2) Xi : nilai hubungan antara bangunan denngan wilayah (0, 1 atau 2) Hasil perhitungan dari formula tersebut, Y, terdiri dari 3 kemungkinan, yakni: 1, 2 atau 3. Nilai 1 berarti bukan prioritas dan nilai 3 berarti prioritas. Sedangkan nilai 2 berarti mengandung kemungkinan prioritas-bukan prioritas tergantung pada pelaksana pelestarian."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S11421
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
St Prabawa Dwi Putranto
"Tesis ini membahas tentang peningkatan suatu warisan budaya atau benda cagar budya menjadi sumber daya budaya. Studi kasus yang digunakan adalah Gereja Katedral Jakarta. Penelitian ini adalah penclitian kualitatif dengan desain deskriptif. Penelitian ini menggambarkan sejarah dan deskripsi mengenai bangunan Gereja Katedral Jakarta. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan signifikansi dan nilai yang dimiliki oleh Gereja Katedral Jakarta. Setelah itu dilakukan peningkatan nilai dan peningkatan pengelolaan untuk mengakomodasi peningkatan nilai tersebut. Peningkatan pengelolaan dilakukan dengan analisis TOWS untuk mencari strategi pengelolaan. Dalam penelitian ini juga diungkapkan mengenai Gereja Katedral sebagai living monument. Hasil penelitian menyarankan mengenai peningkatan nilai dan strategi pengelolaan terhadap Gereja Katedral Jakarta. Nilai yang perlu dikedepankan adalah nilai identitas dan simbolik yaitu toleransi beragama antara umat Katolik dan umat Islam. Selain itu, juga menyarankan agar dibuat peraturan terhadap living monument yang kurang diatur dalam Undang-Undang BCB No. 5 tahun 1992."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25228
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
St Prabawa Dwi Putranto
"Tesis ini membahas tentang peningkatan suatu warisan budaya atau benda cagar budya menjadi sumber daya budaya. Studi kasus yang digunakan adalah Gereja Katedral Jakarta. Penelitian ini adalah penclitian kualitatif dengan desain deskriptif. Penelitian ini menggambarkan sejarah dan deskripsi mengenai bangunan Gereja Katedral Jakarta. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan signifikansi dan nilai yang dimiliki oleh Gereja Katedral Jakarta. Setelah itu dilakukan peningkatan nilai dan peningkatan pengelolaan untuk mengakomodasi peningkatan nilai tersebut. Peningkatan pengelolaan dilakukan dengan analisis TOWS untuk mencari strategi pengelolaan. Dalam penelitian ini juga diungkapkan mengenai Gereja Katedral sebagai living monument. Hasil penelitian menyarankan mengenai peningkatan nilai dan strategi pengelolaan terhadap Gereja Katedral Jakarta. Nilai yang perlu dikedepankan adalah nilai identitas dan simbolik yaitu toleransi beragama antara umat Katolik dan umat Islam. Selain itu, juga menyarankan agar dibuat peraturan terhadap living monument yang kurang diatur dalam Undang-Undang BCB No. 5 tahun 1992."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T39660
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sekarjati Sulistyaningsih
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang penegakan hukum terhadap kejahatan Benda Cagar
Budaya, khususnya pada tahap penyelidikan dalam studi kasus pencurian koleksi
emas di Museum Sonobudoyo Yogyakarta tahun 2010. Benda Cagar Budaya
merupakan sumber ilmu pengetahuan dalam merekonstruksi kehidupan masa lalu.
Kasus pencurian yang tidak kunjung terungkap selama lebih dari empat tahun
menunjukan adanya masalah dalam sistem penegakan hukum terhadap kejahatan
Benda Cagar Budaya. Skripsi ini juga membicarakan kejahatan Benda Cagar
Budaya dalam kaitannya dengan Organized Crime. Penelitian dilakukan secara
kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara pada pihak kepolisian, ppns,
museum dan juga lembaga swadaya masyarakat.

ABSTRACT
This research will discuss about law enforcement effort on crime against cultural
property, concern with investigation obstacle within the case of larceny in
Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Cultural property, as source of knowledge, in
the course of historical reconstruction. This particular case, that has been left
unsolved for over four years, indicate problems within the law enforcement effort
on crime against cultural heritage object. Also within this research, relation
between crime against cultural heritage objects and organized crime will be
discussed. This Research uses qualitative approach with interviews with police,
government internal affairs, museum?s manager and also NGO?s."
2015
S60941
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryszcha Mirdania
"Benda cagar budaya merupakan salah satu warisan kebudayaan bangsa yang menyimpan identitas dari bangsa yang memilikinya, informasi mengenai masa lampau, estetika yang otentik, hingga nilai-nilai kultural yang menyusun identitas suatu bangsa, karenanya ia harus dilindungi baik kelestarian fisiknya, sekaligus nilai dan informasi yang dikandungnya. Bangsa yang menciptakan dan mewarisi benda cagar budaya merupakan pihak dengan kepentingan paling besar dan paling tepat untuk melaksanakan peran dalam melindungi kelestarian benda cagar budaya, namun benda cagar budaya suatu bangsa seringkali diambil secara tanpa hak hingga berakhir di bawah penguasaan pihak-pihak lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana instrumen hukum nasional dan internasional mengatur pelindungan dan pemilikan atas benda cagar budaya sekaligus bagaimana prinsip hukum perdata internasional diterapkan dalam upaya pengembalian benda cagar budaya kepada kebudayaan asalnya. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa instrumen hukum yang berlaku bagi benda cagar budaya menghendaki dikembalikannya benda cagar budaya kepada bangsa yang menghasilkannya untuk dipelihara demi sebesar-besarnya kepentingan umat manusia atas warisan kebudayaannya sekaligus kepentingan bangsa atas identitas kebudayaan. Dikehendaki pula diterapkannya lex originis sebagai prinsip hukum perdata internasional yang berlaku terhadap sengketa terkait benda cagar budaya.

Cultural properties are one of the nation's cultural heritages that store the identity of a nation, information about the past, priceless aesthetics, and cultural values that make up the identity of a nation, therefore the physical preservation along with the values and informations it contains must be protected. The nation that creates and inherits the cultural properties has the greatest interest in protecting their cultural properties. However, cultural properties are often removed and exported illicitly from the country of origin. This study aims to analyze how national and international legal instruments regulate the protection and ownership of cultural properties as well as how the principles of private international law are applied in efforts of nations to return their cultural properties. This study obtained that international conventions for the protection of cultural properties require the return of cultural properties to the country of origin, as well as the application of lex originis as the most proper private international law principles for disputes relating to cultural properties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library