Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hera Prasetya
Abstrak :
Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian furosemide per oral dosis tunggal pada penderita pembesaran prostat jinak yang akan dilakukan pemeriksaan uroflowmetri dapat mempengaruhi lama tunggu penderita di klinik dan basil pemeriksaan uroflowmetri. Bahan dan Cara: Penelitian merupakan penelitian prospektif, open label, cross over study terhadap 40 (rerata umur 62.42 ± 7.40 tahun) penderita pembesaran prostat jinak yang memenuhi kriteria penelitian. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, 20 penderita menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 1 dan tanpa furosemide pada kunjungan 2 (kelompok 1); 20 penderita lainnya tidak diberikan furosemide pada kunjungan 1 dan menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 2 (kelompok 2). Lama menunggu penderita di klinik (sejak penderita berkemih sampai memenuhi syarat untuk pemeriksaan) dan basil uroflowmetri yang terdiri dari volume buli, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih dicatat dan dianalisa dengan Student Mast atau Mann-Whitney U-test. Hasil: Karakteristik subyek penelitian pada kedua kelompok yang terdiri dari umur, kadar hemoglobin, serum kreatinine dan nilai PSA tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0.05). Terdapat perbedaan yang sangat bermakna (p<0.01) pada lama tunggu penderita di Klinik Urologi; pada kelompok 1 dari 72.55 bertambah menjadi 120.00 menit sedangkan pada kelompok 2 dari 178.05 berkurang menjadi 89.75 menit. Pada pemberian obat, secara keseluruhan terjadi pengurangan lama menunggu yang sangat bermakna (p<0.01), dari 149.02 menit tanpa furosemide menjadi 81.15 menit dengan pemberian furosemide peroral. Pada analisa basil uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih pada kedua kelompok maupun secara keseluruhan dengan dan tanpa pemberian obat, tidak didapatkan perbedaan yang berrnakna secara statistik (p.0.05). Kesimpulan: Pemberian furosemide peroral dosis tunggal sangat mengurangi lama menunggu untuk pemeriksaan uroflowmetri penderita pembesaran prostat jinak di klinik tanpa mempengaruhi hasil pemeriksaan uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time dan residu urin pasca berkemih.
Objective: To identify whether a single dose of oral furosemide given to benign prostate hyperplasia patients scheduled for uroflowmetry had an impact on clinic waiting time and flow rate parameters. Materials and Methods: This was a prospective, open label, cross over study conducted among 40 benign prostate hyperplasia patients (mean age 62.42 ± 7.40 years) who fulfilled the inclusion criteria.. They were separate on two groups, where the 1 s1 group receive 20 mg furosemide at the 15` visit but no furosemide at rd visit and the 2"d group without furosemide at the 1S1 visit and receive 20 mg furosemide at god visit. Clinic waiting time and flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine-measuring by ultrasound) were captured in a database. Student t-test or Mann-Whitney U-test analysis were carried out to evaluate the characteristic different between the two groups. Results: Patients characteristics (age, hemoglobin content, creatinine and PSA serum) between the two groups were not statistically different (p>0.05). There was significant different on clinic waiting time in both groups; 72.55 versus 120.00 minutes, p<0.01 at 15` group and 178.05 versus 89.75 minutes, p<0.0I at 2nd group. An oral 20 mg of furosemide was significant reduction on clinic waiting time in all patients (81.15 versus 149.02 minutes, p<0.01). From evaluation of flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine), there were not statistically different in each group and in all patiens whether with or without receive 20 mg furosemide (p>0.05). Conclusions: The impact of a single dose 20 mg of oral furosemide was significant reduced clinic waiting time without significant changes in flow rate parameters at benign prostate hyperplasia patients who scheduled for uroflowmetry.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyandra Parikesit
Abstrak :
Penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi hubungan antara LUTS/BPH dan sindrom metabolik pada pria Indonesia. Dua ratus dua puluh tujuh pasien dengan BPH diinklusi dalam penelitian ini. Pengukuran indeks masa tubuh, lingkar perut, volume prostat, dan international prostate symptom score (IPSS) dilakukan pada semua pasien. Berbagai pemeriksaan laboratorium seperti prostate specific antigen, gula darah puasa, trigliserida, lipoprotein densitas tinggi telah diuji. Diagnosa sindrom metabolik disesuaikan dengan kriteria dari The National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III). IPSS disubkategorikan menjadi nilai keluhan obstruktif dan iritatif dan sindrom metabolik di kelompokkan sesuai dengan jumlah komponen kriteria (kurang dari 3, 3, 4, dan 5). Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisa hubungan antara seluruh data kontinyu. Nilai rerata antara kelompok faktor resiko dianalisa menggunakan One-way ANOVA untuk data dengan nilai distribusi normal dan Kruskall Wallis untuk data dengan nilai distribusi tidak normal. Pada penelitian ini didapatkan sindrom metabolik pada 87 pasien (38.3 %). Pasien dengan sindrom metabolik memiliki nilai indeks masa tubuh, lingkar perut, tekanan darah sistolik, trigliserida, gula darah puasa, gejala iritatif, dan total IPSS lebih tinggi, dan lipoprotein densitas tinggi lebih rendah secara signifikan. Pasien dengan obesitas sentral memiliki resiko mengalami gejala LUTS/BPH sedang-berat lebih tinggi secara signifikan (RR 1.16, 95% CI: 1.01-1.4, p = <0.05) dan resiko memiliki nilai PSA yang tinggi (PSA ³ 20) (RR 0.41, CI 95%: 0. 23 -0.74, P = <0.001). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sindrom metabolik memiliki dampak yang terbatas terhadap gejala LUTS/BPH pada pria Indonesia. Hubungan dan peningkatan resiko gejala LUTS/BPH hanya terlihat pada pasien dengan obesitas sentral. ......This paper was made to evaluate the association between LUTS/BPH and MetS in Indonesian men. A total of 227 patients with histologic proven BPH were included in this study. Body mass index (BMI), waist circumference (WC), prostate volume, and international prostate symptom score (IPSS) were measured. Prostate specific antigen (PSA), fasting blood glucose (FBG), triglyceride (TG), high density lipoprotein (HDL) were tested. MetS were diagnosed using The National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III). IPSS was subcategorized as irritative and obstructive scores and patients were classified into 4 groups according to the number of exhibited MetS components (less than 3, 3, 4, and 5). Spearman s correlation were used to analyses the association between all continuous variable. Mean difference between risk factor groups were analysed using One-way ANOVA for normally distributed variables and Kruskall Wallis for abnormally distributed variables. In this paper, MetS was diagnosed in 87 patients (38,3%). Patients with MetS have significantly higher BMI, WC, systolic blood pressure, triglyceride, fasting blood glucose, IPSS irritative score, total IPSS score, and lower HDL cholesterol. Patients with central obesity have significantly higher risk of having moderate-severe LUTS (RR 1.16, 95% CI: 1.01 -1.4, p = <0.05) and decreased risk in developing higher PSA level (PSA ³ 20) (RR 0.41, CI 95%: 0. 23-0.74, P = <0.001). From this paper we could conclude that MetS has limited impact towards LUTS/BPH in Indonesian men. Association and increase risk of LUTS/BPH were only seen in patients with central obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Leo
Abstrak :
Disfungsi ereksi pada laki-laki sering ditemukan dan berdampak pada penurunan kualitas hidup. Benign prostate hyperplasia (BPH) dengan lower urinary tract symptoms merupakan salah satu komorbid terjadinya disfungsi ereksi dimana terdapat kesamaan jalur patofisiologi pada keduanya. Kontraksi dari otot-otot bulbokavernosus dan isciokavernosus sebagai bagian dari otot dasar panggul akan menginisiasi dan mempertahankan ereksi sehingga latihan penguatan otot-otot tersebut akan membantu rigiditas ereksi penis. Studi laporan kasus berbasis bukti ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan klinis yaitu bagaimana efektivitas pemberian latihan penguatan otot-otot dasar panggul terhadap fungsi ereksi pada pasien BPH. Pencarian literatur dilakukan pada database elektronik yaitu Cochrane, PubMed, Scopus, Science direct, Oxford Academic dan Sage Journal dengan kata kunci sesuai dengan pertanyaan klinis. Hasil pencarian didapatkan sebuah studi kajian sistematik setelah dilakukan penapisan terhadap kriteria eligibilitas, adanya duplikasi dan penilaian seluruh isi naskah pada 142 artikel. Kajian sistematik tersebut menunjukkan latihan penguatan otot-otot dasar panggul memberikan respon komplit perbaikan fungsi ereksi pada 35-47% subjek, peningkatan domain ereksi pada International Index of Erectile Function (p<0,05) dan peningkatan tekanan intrakavernosa serta maximal anal pressure. Kesimpulan penelitian adalah latihan penguatan otot-otot dasar panggul dilakukan dengan kontraksi cepat (1 detik) dan kontraksi lambat (tahan 6-10 detik) dengan frekuensi 9-30 repetisi, 2-3 kali per hari selama 3-12 bulan yang dilakukan pada posisi berbaring, duduk dan berdiri, latihan tersebut dapat diberikan sebagai program latihan di rumah dan perlu dilakukan identifikasi dan pengendalian faktor-faktor komorbid disfungsi ereksi lainnya. ......Erectile dysfunction (ED) often found in men and has an impact on reducing the quality of life. Benign prostate hyperplasia (BPH) with lower urinary tract symptoms is one of the comorbid which share the similar pathophysiology with ED. Contraction of the bulbocavernosus and ischiocavernosus muscles as part of the pelvic floor muscles (PFM) will initiate and maintain an erection so strengthening for these muscles will help stiffen the penis. This evidence-based case report study was conducted to answer the clinical question, how effective is giving PFM training on erectile function in BPH patients. Literature search was carried out on electronic databases, namely Cochrane, PubMed, Scopus, Science direct, Oxford Academic and Sage Journal with the keywords according to the clinical question. A systematic review study was obtained after screening from the eligibility criteria, duplication and assessment of the entire contents of the manuscript in 142 articles acquired. The study showed that PFM training improve erectile function in 35-47% of subjects, increased erectile domain in International Index of Erectile Function (p<0.05) and increased intracavernous pressure and maximal anal pressure. The conclusions are PFM training are carried out by fast and slow contractions with 9-30 repetitions, 2-3 times per day for 3-12 months which are carried out in lying, sitting and standing positions, these exercises can be given as a home exercise program and it is necessary to identify and control other comorbid factors of ED.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Cahya Kurnia
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Pembesaran Prostat Jinak merupakan salah satu penyakit yang umum ditemukan pada pria lanjut usia, berakibat pada pembesaran prostat, obstruksi muara buli dan gejala saluran kemih bawah. Namun gejala dan obstruksi yang terjadi tidak seluruhnya bergantung pada ukuran prostat. Protrusi prostat intravesika telah ditemukan berkorelasi dengan obstruksi buli. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai hubungan antara protrusi prostat intravesika, prostat specific antigen, dan volume prostat, serta mana dari ketiganya yang merupakan prediktor terbaik untuk menunjukkan adanya obstruksi muara buli yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak. Metode: Sebuah studi prospektif pada 118 pasien pria diperiksa antara Januari 2012 sampai Juli 2012. Pasien pria berusia lebih dari 40 tahun yang datang dengan LUTS dan dicurigai menderita BPH dipilih untuk mengikuti studi. Mereka dievaluasi dengan digital rectal examination (DRE), International Prostate Symptoms Score (IPSS), serum total PSA, uroflowmetri, pengukuran urin residu postvoid, Intravesical Protrusion Prostate (IPP) dan Prostate Volume (PV), menggunakan USG transabdominal. Hasil: PV, IPP dan PSA menunjukkan korelasi paralel. Ketiga indikator menunjukkan korelasi yang baik dalam mendeteksi obstruksi muara buli yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak. Analisis statistik menggunakan tes Chi square dan Spearman?s Rank correlation test. Kurva Receiver Operator Characteristic (ROC) digunakan untuk membandingkan korelasi PSA, PV dan IPP dengan BOO. Angka rerata PSA ditemukan lebih tinggi signifikan pada pasien yang mengalami obstruksi (8.6 ng/mL;0.76-130) dibandingkan dengan yang tidak mengalami obstruksi (6.44 ng/ml;1.0-40.6). Angka rerata volume protat juga ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan obstruksi (50.33 mL±24.34) dibandingkan yang tidak mengalami obstruksi (50.33 mL ±24.34). Angka rerata IPP juga ditemukan lebih tinggi signifikan pada pasien obstruksi (7.29±2.78) dibandingkan dengan yang tidak mengalami obstruksi (6.59±2.93). Koefisien korelasi rho spearman adalah 0.617, 0.721 dan 0.797 untuk PSA, PV, dan IPP. Dengan menggunakan kurva karakteristik receiver-operator, daerah di bawah kurva ditempat secara berturut-turut oleh PSA, PV, dan IPP yaitu 0.509, 0.562, dan 0.602. Nilai prediktif positif dari PV, PSA dan IPP adalah 59.7%, 55.6%, dan 60.2%. Menggunakan model regresi nominal, IPP tetap menjadi indeks independen utama untuk menentukan BOO yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak. Kesimpulan: Prostat Specific Antigen, Prosat Volume dan Intravesical Prostatic Protrusion diukur dengan menggunakan ultrasonografi transabdominal, merupakan metode yang noninvasif dan mudah didapat yang sangat berkorelasi dengan obstruksi muara buli (bladder outlet obstruction/BOO) pada pasien dengan pembesaran prostat jinak, dan korelasi IPP lebih kuat dibandingkan PSA dan PV. Ketiga indikator non invasif ini berkorelasi satu dengan lainnya. Studi ini menunjukkan bahwa IPP merupakan prediktor yang lebih baik untuk BOO dibandingkan PSA atau PV.
ABSTRAK
Introduction: Benign prostatic hyperplasia (BPH) is one of the most common diseases in elderly men. Benign prostatic hyperplasia may lead to prostatic enlargement, bladder outlet obstruction (BOO) and lower urinary tract symptoms (LUTS). But the symptoms and obstruction do not entirely depend on the size of prostate. In contrast, intravesical prostatic protrusion (IPP) has been found to correlate with BOO. This study will define the relationship between intravesical prostatic protrusion (IPP), prostate specific antigen (PSA) and prostate volume (PV) and also determine which one of them is the best predictor of bladder outlet obstruction (BOO) due to benign prostatic enlargement. Method: A prospective study of 118 male patients examined between Januari 2012 until July 2012 was performed. Male patients aged more than 40 years presenting with LUTS and suggestive of BPH were selected for the study. They were evaluated with digital rectal examination (DRE), International Prostate Symptoms Score (IPSS), serum total PSA, uroflowmetry, postvoid residual urine measurement, Intravesical Protrusion Prostate (IPP) and Prostate Volume (PV) using transabdominal ultrasound. Results: PV, IPP and PSA showed parallel correlation. Although all three indices had good correlation in detecting bladder outlet obstruction caused by benign prostate hyperplasia. Statistical analysis included Chi square test and Spearman?s Rank correlation test. Receiver Operator Characteristic (ROC) curves were used to compare the correlation of PSA, PV and IPP with BOO. Mean prostate specific antigen was significantly higher in obstructed patients (8.6 ng/mL; 0.76-130) compared to non-obstructed patients (6.44 ng/mL; 1.0-40.6). Mean prostate volume was significantly larger in obstructed patients (50.33 mL ± 24.34) compared to non-obstructed patients (45.39 mL ± 23.43). Mean IPP was significantly greater in obstructed patients (7.29 ± 2.78) compared to nonobstructed patients (6.59 ± 2.93). The Spearman rho correlation coefficients were 0.617, 0.721 and 0.797 for PSA, PV and IPP, respectively. Using receiveroperator characteristic curves, the areas under the curve for PSA, PV and IPP were 0.509, 0.562 and 0.602, respectively. The positive predictive values of PV, PSA and IPP were 59.7%, 55.6% and 60.2%, respectively. Using a nominal regression model, IPP remained the most significant independent index to determine BOO caused by benign prostate hyperplasia. Conclusion: Prostate Specific Antigen, Prostate volume & intravesical prostatic protrusion measured through transabdominal ultrasonography are noninvasive and accessible method that significantly correlates with bladder outlet obstruction in patients with benign prostatic hyperplasia and the correlation of IPP is much more stronger than PSA and PV. All three non-invasive indices correlate with one another. The study showed that IPP is a better predictor for BOO than PSA or PV.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library