Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ipak Ismi Ridha
"
Latar Belakang
Keterlambatan bicara adalah kondisi di mana perkembangan bicara anak tertinggal dibanding anak seusianya. Proporsi globalnya bervariasi dari 2,3% hingga 19%. Gangguan pendengaran sering menjadi penyebab utama, namun faktor lain juga berperan. Penelitian mengenai proporsi dan faktor yang memengaruhi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal masih terbatas sehingga penelitian ini dilakukan untuk menilai proporsi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain observasional deskriptif cross-sectional untuk menilai proporsi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal pada anak usia 12-35 bulan di Poli THT RSCM periode Januari 2022-April 2024. Sampel dipilih menggunakan metode whole sampling dari rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan diagnosis terlambat bicara dan ambang pendengaran normal (<25 dB) berdasarkan pemeriksaan BERA click. Data dianalisis menggunakan program SPSS versi 26.
Hasil
Dari 881 anak 12-35 bulan yang datang ke Poli THT RSCM pada Januari 2022 – April 2024, didapatkan 96 anak (10,9%) terlambat bicara dengan ambang pendengaran normal sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 96 anak, didapatkan 74 anak (77,1%) laki-laki, 12 anak (12,5%) berat badan lahir rendah, 4 anak (4,2%) sumbing bibir/langit-langit, 15 anak (15,6%) prematuritas, 68 anak (70,8%) gangguan motorik, 6 anak (6,3%) hipotiroid kongenital, 14 anak (14,6%) sindrom, 13 anak (13,5%) autisme, dan 29 anak (30,2%) hiperbilirubinemia.
Kesimpulan
Karakteristik dan faktor yang paling banyak ditemukan pada anak 12-35 bulan yang terlambat bicara dengan ambang pendengaran normal di Poli THT RSCM periode Januari 2022 – April 2024 adalah jenis kelamin laki-laki dan gangguan motorik.

Introduction
Speech delay is a condition where a child's speech development lags behind that of their peers. The global prevalence ranges from 2.3% to 19%. Hearing impairment is often a primary cause, but other factors also contribute. Research on the proportion and factors influencing speech delay in children with normal hearing thresholds is still limited, prompting this study to assess the proportion of speech delay in children with normal hearing.
Method
This study employs a descriptive observational cross-sectional design to evaluate the prevalence of speech delay in children aged 12-35 months with normal hearing thresholds at the ENT Polyclinic of RSCM from January 2022 to April 2024. Samples were selected using whole sampling from medical records of patients who met the inclusion criteria, which are diagnosed with speech delay and normal hearing threshold (<25 dB) based on BERA Click examination. Data were analyzed using SPSS version 26.
Results
Among 881 children aged 1-2 years visiting the ENT Polyclinic of RSCM from January 2022 to April 2024, 96 children (10.9%) were identified as having speech delay with normal hearing according to the inclusion and exclusion criteria. Of these 96 children, 74 (77.1%) were male, 12 (12.5%) had low birth weight, 4 (4.2%) had a cleft lip/palate, 15 (15.6%) were premature, 68 (70.8%) had motor disorders, 6 (6.3%) had congenital hypothyroidism, 14 (14.6%) had syndromes, 13 (13.5%) had autism, and 29 (30.2%) had hyperbilirubinemia.
Conclusion
The most common characteristics and factors found in children aged 12-35 months with speech delay and normal hearing at the ENT Polyclinic of RSCM between January 2022 and April 2024 are male and motor disorders.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny Suwento
"ABSTRAK
Fragmen bilirubin yang tidak terkonjugasi dan tidak terikat albumin (bilirubin
bebas) pada neonatus dapat menembus sawar darah otak sehingga terjadi
kerusakan otak berupa ensefalopati bilirubin akut. Salah satu gejala ensefalopati
bilirubin akut adalah tuli sensorineural. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa bilirubin bebas mempunyai neurotoksisitas lebih besar dibandingkan
dengan bilirubin total, namun pemeriksaan bilirubin bebas lebih sulit, rumit,
mahal dan belum tersedia di klinik; sehingga perlu dicari pemeriksaan lain yang
lebih praktis dan aplikatif. Salah satu pilihan untuk menentukan neurotoksisitas
bilirubin adalah pengukuran rasio bilirubin total terhadap albumin (BT/A).
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang berulang, bersifat
observasional, longitudinal, dan prospektif berupa uji diagnostik untuk
mengetahui proporsi tuli sensorineural yang diprediksi berdasarkan nilai rasio
BT/A tertentu pada neonatus BBLR dengan hiperbilirubinemia. Penelitian ini
dilakukan dalam periode bulan Agustus 2015 sampai dengan Maret 2016, dengan
dua tahap pemeriksaan OAE dan BERA. Pemeriksaan pertama sebagai skrining
pendengaran dilakukan saat subjek berumur ≥ 7β jam?1 minggu dan pemeriksaan
kedua/diagnostik pada usia 3?6 bulan.
Dari 131 subjek yang dilakukan skrining pendengaran dengan OAE dan BERA,
terdapat 70 subjek dengan hasil refer dan 61 dengan hasil pass. Lima puluh satu
subjek datang pada pemeriksaan kedua/diagnostik (response rate 38,9%). Hasil
pemeriksaan diagnostik adalah 9 subjek tuli sensorineural (6,87%) yang terdiri
dari 5 subjek tuli sensorineural bilateral, 2 subjek tuli sensorineural unilateral dan
2 subjek neuropati auditorik. Rasio BT/A berperan terhadap terjadinya tuli
sensorineural dengan OR 16, p = 0,003, sensitivitas 89% dan spesifisitas 67%.
Pada penelitian ini juga didapatkan angka rujukan bilirubin total dan rasio BT/A
yang dapat menyebabkan tuli sensorineural pada neonatus BBLR
hiperbilirubinemia yaitu 12,21 mg/dL dan 0,46.
Rasio BT/A dapat digunakan sebagai prediktor tuli sensorineural pada neonatus
BBLR dengan hiperbilirubinemia.

ABSTRACT
In neonates, unconjugated unbound bilirubin (free bilirubin) can penetrate the
blood brain barrier, causing brain damage in the form of acute bilirubin
encephalopathy as one of the symptoms is sensorineural hearing loss. Previous
research has demonstrated that free bilirubin neurotoxicity was more sensitive
than total bilirubin, but the free bilirubin test is more difficult, complicated,
expensive and not available in the clinic; thus it is necessary to find other tests
which is more practical and applicable. One of the option to determine the
bilirubin neurotoxicity is a measurement of the ratio of total bilirubin to albumin
(BT/A).
This is a repeated cross sectional study done in observational, longitudinal and
prospective diagnostic tests to determine the proportion of sensorineural hearing
loss predicted based on the value BT/A ratio in low birth weight (LBW) neonates
with hyperbilirubinemia. The study was conducted from August 2015 until March
2016, with two-stage examination of the OAE and BERA, i.e. ≥ 7β hours?1 week
and age of 3?6 months respectively.
One hundred and thirty one subjects underwent hearing screening, and it revealed
that 70 subjects diagnosed as refer and the rest (61 subjects) was pass. During the
second examination/diagnostics with response rate at 38.9%, 9 from 51 subjects
were diagnosed as sensorineural hearing loss (6.87%), i.e. five subjects with
bilateral sensorineural hearing loss, two subjects with unilateral sensorineural
hearing loss and two subjects with auditory neuropathy. The BT/A ratio
contributes to the occurrence of sensorineural hearing loss with OR 16, p = 0.003,
sensitivity 89% and specificity 67%. It also revealed in this study that the
reference figure of bilirubin total and BT/A ratio were 12.21 mg/dL and 0.46
respectively. Those reference value can be used to predict sensorineural hearing
loss in LBW neonatal with hyperbilirubinemia.
Ratio of BT/A can be used as a predictor of sensorineural hearing loss in LBW
neonates with hyperbilirubinemia."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti Mega Rinindra
"Tumor di Cerebellopontine Angle CPA terjadi sekitar 5-10 dari seluruh tumor intrakranial. Gejala yang muncul bervariasi sesuai ukuran dan lokasi lesi. Keluhan yang paling sering terjadi adalah ganggguan pendengaran dan tinitus. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data gambaran gangguan pendengaran sensorineural pada pasien tumor CPA di poli THT RSCM berdasarkan audiometri nada murni dan Brainstem Evoked Response Audiometry BERA serta mengetahui gambaran tumor CPA pada MRI di RSCM. Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan studi potong lintang cross sectional yang bersifat deskriptif analitik. Subjek penelitian diambil semua total sampling yaitu sebanyak 104 pasien, berasal dari data sekunder pada periode Juli 2012 hingga November 2016 dan 30 pasien di antaranya memenuhi kriteria penerimaan. Karakteristik pasien tumor CPA di poli THT FKUI RSCM sebagian besar berjenis kelamin perempuan, dengan usia rerata dewasa tua 41-60 tahun dan keluhan paling banyak berupa tinitus dan gangguan pendengaran asimetri berupa gangguan pendengaran sensorineural sangat berat pada 10 subjek. Hasil BERA ipsilateral terganggu pada 29 subjek dan BERA kontralateral terganggu pada 17 subjek. Terdapat 24 dari 30 subjek memberi gambaran tumor berukuran besar, dan lokasi tumor telah meluas di intrakanal hingga ekstrakanal pada 19 subjek.

Tumors in cerebellopontine angle CPA occurs approximately about 5 10 of all intracranial tumors. Symptoms are varies according to the size and location of the lesion. Unilateral hearing loss and tinnitus are the most frequent symptoms. The aim of the is study is to obtain data of sensorineural hearing loss in CPA tumor patients in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital CMH using pure tone audiometry and BERA, also to obtain data of tumor imaging in MRI. This is a cross sectional study descriptive analytic. Subjects of this study was collected using total sampling method from secondary data from July 2012 to November 2016. Thirty patient from 104 patients met the inclusion criteria. Characteristics of the CPA tumor patients in the ENT CMH outpatients clinic mostly female, with a mean age of middle age patients 41 60 years and most clinical presentation is tinnitus and severe assymmetry sensorineural hearing loss in 10 subjects. From 30 subjects, 29 subjects had impaired BERA in ipsilateral and contralateral BERA impaired in 17 subjects. There are 24 from 30 subjects had a large sized tumor and location of the tumor has spread in intracanal until extracanal in 19 subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdullah Muhammad Syafi`i
"Latar Belakang
Keterlambatan wicara adalah kondisi ketika seorang anak belum dapat mencapai batas kemampuan bicara yang ideal sesuai dengan anak normal seusianya. Salah satu penyebab keterlambatan wicara adalah gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dapat diintervensi dengan tepat apabila pemeriksaan tidak terlambat. Baku emas pemeriksaan pendengaran pada anak oleh Joint Committee on Infant Hearing adalah Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Namun, BERA memiliki nilai standar yang berbeda pada setiap institusi, sehingga diperlukan nilai standar nilai BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di Poliklinik THT RSCM
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif numerik dengan model penelitian cross- sectional. Subjek dalam penelitian ini adalah anak berusia 2-3 tahun dengan keterlambatan wicara yang melakukan pemeriksaan BERA dengan hasil fungsi pendengaran perifer normal untuk dicari rerata hasil pemeriksaan BERA pada 2018-2023.
Hasil
Dari 133 sampel yang dikumpulkan, didapatkan nilai normal masa laten absolut gelombang V BERA click dengan intensitas 20 dB pada anak dengan keterlambatan wicara adalah 7,30±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,29±0,41 ms pada telinga kiri. Terdapat perbedaan hasil pada laki-laki dan perempuan, dengan rerata nilai gelombang V BERA pada anak laki-laki sebesar 7,37±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,38±0,39 ms pada telinga kiri, sedangkan pada anak perempuan sebesar 7,16±0,38 ms pada telinga kanan dan 7,13±0,42 ms pada telinga kiri.
Kesimpulan
Terjadi pemanjangan hasil nilai normal gelombang V BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di poliklinik THT RSCM. Terdapat perbedaan yang bermakna pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan nilai rerata nilai normal gelombang V BERA anak laki-laki lebih panjang dibanding pada anak perempuan.

Introduction
Delayed speech is condition when a child can’t reach the milestones for their age. Hearing loss is one reason speech delay occurs. Hearing loss could intervened appropriately if diagnosed correctly. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) is the gold standard for child hearing tests, according to the Joint Committee on Infant Hearing. However, BERA standard values is vary in each institution, so it’s need a standard BERA value in children with speech delays at the ENT Polyclinic of RSCM
Method
This study is a descriptive numerical study with a cross-sectional model. Children aged 2-3 years with delayed speech who underwent BERA examinations with normal hearing function as the subject to find the average wave V BERA results in 2018-2023.
Results
From 133 samples collected, the average value of wave V BERA click with intensity 20 dB in children with delayed speech was 7.30±0.41 ms in right ear and 7.29±0.41 ms in left ear. There were differences in the results in boys and girls, with the average value of wave V BERA in boys being 7.37±0.41 ms in right ear and 7.38±0.39 ms in left ear, while in girls it was 7.16±0.38 ms in right ear and 7.13±0.42 ms in left ear.
Conclusion
The results of the normal value of wave V BERA in children with speech delay at ENT clinic of RSCM is prolonged compared to normative value. There is a significant difference in boys compared to girls, with prolonged average value of wave V BERA in boys than girls.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library