Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Bile reflux: gastropathy is a disease caused by reflux of duodenal fluid to the gaster: This fluid contains pancreatic juices and duodenal secretion. The manifestations that occur depend on the frequency amount, and duration of reflux. This disorder is quite rarely recognized in daily clinical practice. Endoscopy of the upper gastrointestinal tract is required to establish the diagnosis of this disorder: This paper will give a brief view ofthe pathogenesis and diagnostic method for this disorder.
Jakarta: The Indonesian Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2001
IJGH-2-1-Apr 2001-14
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Lydia D.
Abstrak :
We reported here a rare case of a 62 year old male patient with obstructive jaundice due to bile duct tumor. The main clinical features were yellowish eye and skin, followed by pruritus and clay-colored stool. Ultrasonography showed common bile duct dilatation and without evidence of stones. Computed Tomography Scan of upper abdomen showed a mass which were thought of head of pancreas origin. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatograph revealed tight narrowing of the distal bile duct to a malignant tumor. A stent was inserted to allow biliary drainage, A surgical plan for billio digestive anastomosis was rejected by the patient and family.
The Indonesia Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2004
IJGH-5-1-April2004-36
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Excessive hepatocyte apoptosis induced by bile acid accumulation occurred in severe obstructive jaundice, and impair the liver secretion function. The objective of this study is to determine whether the inhibition of bile acid accumulation through bile duct decompression affect the excessive hepatocyte apoptosis and caused improvement the liver secretion functions on human model. In this study we use a before and after study on severe obstructive jaundice patients due to extra hepatic bile duct tumor was decompressed. Bile duct decompression was performed as a model of the role of inhibition of bile acid accumulation inhibition bile acid accumulation and excessive hepatocyte apoptosis. Bile acid and marker of liver secretion functions were serially measured. Liver biopsy pre and post decompression was performed for Hepatocyte apoptosis pathologic examination by TUNEL fluorescing, which measured by 2 people in double blinded system. Total bile acid, and liver secretion functions were measured by automated chemistry analyzer. The result of this study shows that twenty one severe obstructive jaundice patients were included. After decompression the hepatocyte apoptosis index decreased from an average of 53.1 (SD 105) to 11.7 (SD 13.6) (p < 0.05). Average of bile acid serum decreased from 96.4 (SD 53.8) to 19.9 (SD 39.5) until 13.0 (SD 12.6) μmol/L (p < 0.05) Total bilirubin decreased from 20.0 (SD 8.9) to 13.3 (SD 5.0) until 6.2 (SD 4.0) mg/dL (p < 0.05), while the phosphates alkaline (ALP) and γ-glutamil transpeptidase (γ-GT) activities also decreased significantly. In conclusion, bile acids accumulation and excessive hepatocyte apoptosis through bile duct decompression improve the liver secretion functions by inhibition mechanism.
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI ; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sudiro Waspodo
Abstrak :
Pendahuluan Sirosis hati (SH) telah diketahui merupakan suatu keadaan yang ireversibel di dalam perkembangannya, SH dapat berakhir dengan gagal hati, hipertensi portal, atau dapat menunjukkan aktivitas yang dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang mengalami progresi, regresi atau menetap. Keluhan subyektif pada stadium awal penyakit SH biasanya sangat sedikit dan tidak jelas. Sedangkan pemeriksaan jasmani sering tidak dapat dipakai sebagai ukuran kecuali bila telah terjadi tanda dekompensasi. Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium dapat dipakai untuk pegangan mengikuti perjalanan penyakit seperti transaminase, bilirubin, kolesterol, BSP, dan Indocyanin green. Pemeriksaan tersebut mempunyai beberapa kelemahan seperti sifat tidak spesifik pada pemeriksaan transaminase, gambaran bilirubin tidak hanya mencerminkan kerusakan parenkim hati, penurunan kolesterol bare terjadi pada penyakit yang berat, sedangkan pemeriksaan BSP mengandung bahaya alergi. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan kegunaan pemeriksaan kadar garam empedu serum sebagai alat penyaring adanya penyakit hati dan untuk mengikuti perjalanan penyakit hati. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan pemeriksaan kadar garam empedu serum post prandial lebih sensitif sebagai alat penyaring adanya penyakit hati bila dibandingkan dengan pemeriksaan kadar garam empedu serum puasa. Namun sebaliknya telah dibuktikan bahwa nilai kadar garam empedu serum puasa lebih spesifik untuk penyakit hati. Juga dibuktikan bahwa tinggi rendahnya nilai rata-rata garam empedu serum puasa sesuai dengan berat ringannya penyakit Sirosis hati, meskipun masih didapatkan adanya angka-angka yang tumpang tindih. Kegunaan pengukuran kadar garam empedu serum puasa sebagai petanda prognostik penyakit SH telah dilaporkan di luar negeri dan Indonesia, meskipun penelitian di Indonesia memberikan hasil yang berbeda. Penderita SH dengan kadar garam empedu total serum puasa yang tinggi mempunyai risiko mati yang lebih besar pada tahun pertama dibandingkan dengan penderita SH dengan kadar garam empedu total serum puasa, yang rendah. Bertolak dari hal tersebut di atas ingin dikaji kembali manfaat lebih lanjut dari kadar garam empedu serum puasa sebagai salah satu alat prognostik dan sarana untuk mengikuti perkembangan penyakit sirosis hati.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Pardiastuti Bhudjono
Abstrak :
Radioterapi mempunyai peranan yang penting pada penderita penderita Karsinoma Serviks Uteri dan Karsinoma Ovarium serta Karsinoma Endometrium pascabedah. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara ketahanan hidup 5 tahun penderita keganasan ini pada tingkatan penyakit dini yang hanya mendapat radioterapi saja dan yang dilakukan tindakan operasi dengan dilanjutkan radiasi pascabedah. Sebelum digunakan pesawat dengan energi tinggi, radiasi dengan menggunakan pesawat energi rendah mempunyai keterbatasan karena taleransi kulit yang rendah, Pada saat ini dengan penggunaan pesawat berenergi tinggi dapat diberikan dosis radiasi yang jauh lebih tinggi dengan cedera kulit minimal sekalipun untuk tumor tumor yang letaknya dalam. Dengan demikian diharapkan angka kesembuhan lokal yang tinggi, tetapi dengan kemungkinan akan didapatkan efek samping yang lebih tinggi pada organ organ disekitarnya . Organ organ yang patut mendapat perhatian pada radiasi daerah pelvis atau abdomen adalah bull bull, ureter, rektum, kolon sigmoid dan usus halus. Komplikasi pada traktus digestivus berkisar antara rasa tidak enak pada saluran pencernaan, diare dan yang lebih berat dari itu adalah stenosis usus. Pada dosis radiasi yang lebih tinggi dapat terjadi fistulasi yang kadang kadang memerlukan intervensi pembedahan. Dikenal suatu sindroma dengan gejala gejala nyeri pada perut disertai diare yang disebabkan oleh karena adanya asam empedu yang berlebihan didalam kolon. Sindroma ini didapatkan pada penderita dengan penyakit pada ileum dan disebut sebagai Cholerheic Enteropathy. Seperti diketahui pada keadaan normal asam empedu direabsorpsi oleh ileum. Gambaran yang sama dengan " Cholerheic Enteropathy " didapatkan pada pereobaan binatang yang mendapat radiasi. Sehingga dipikirkan bahwa gangguan diatas merupakan faktor yang panting atas terjadinya diare pada penderita yang mendapat radiasi daerah pelvis atau abdomen. Dengan metoda radiasi konvensional yang diberikan 5 kali per minggu, dengan dosis harian 200 cc/hari selama kurang lebih 5 minggu, keluhan diare biasanya mulai timbul pada minggu kedua. Setelah selesai radiasi pada sebagian besar kasus diare akan berhenti atau mereda dalam beberapa minggu. Dilaporkan oleh Newman bahwa terjadi perubahan defekasi pada 12 dari 17 penderita dengan tumor ganas kandungan yang mendapat terapi radiasi. Sedangkan Van Blankestein mendapatkan penurunan reabsorpsi asam empedu pada semua pasien yang mendapat radiasi daerah abdomen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari jawaban salah satu dari berbagai kemungkinan penyebab diare berlandaskan teori diatas, yakni dengan mendapatkan data data mengenai gambaran kadar asam empedu dalam serum penderita kanker ginekologis yang mendapat terapi radiasi pada daerah pelvis atau abdomen, balk kadar asam empedu dalam keadaan puasa maupun sesudah makan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Damayanti
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Pruritus kronis adalah sensasi tidak menyenangkan yang mencetuskan keinginan untuk menggaruk, berlangsung enam minggu atau lebih. Pruritus sering dihubungkan dengan sejumlah kelainan sistemik. Salah satu kelainan sistemik tersering yang disertai pruritus kronis adalah kelainan hati hepatobilier kolestasis. Patofisiologi terjadinya pruritus kolestasis dihubungkan dengan peningkatan akumulasi mediator pruritogenik salah satunya yaitu asam empedu serum total (AEST) di darah perifer begitu juga di jaringan lunak termasuk kulit, yang secara normal diekskresikan ke empedu. Masih sedikit yang mengetahui kemungkinan peran peningkatan kadar AEST dengan kejadian pruritus. Tujuan : mengetahui perbedaan rerata kadar AEST pada pasien geriatri tanpa dermatosis primer yang mengalami pruritus kronis dan tanpa pruritus kronis Metode : penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan subyek penelitian sejumlah 80 orang, terdiri atas perempuan dan laki-laki usia ≥ 60 tahun. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pruritus terdiri atas 40 pasien pruritus kronis, dan kelompok kontrol yang terdiri atas 40 pasien tanpa pruritus kronis. Kadar AEST dinilai menggunakan metode enzimatik kolorimetri, kemudian dianalisis perbedaan kadar AEST antar kedua kelompok. Hasil: kadar AEST pada kelompok pruritus didapatkan median 4,5 μmol/L, dengan nilai minimum-maksimum yaitu 3-51 μmol/L. Kadar AEST pada kelompok non-pruritus didapatkan median empat μmol/L, dengan nilai minimum-maksimum 3-22 μmol/L, perbedaan ini tidak bermakna (p = 0,095). Kesimpulan: Kadar AEST pada kelompok pruritus lebih tinggi dibandingkan kelompok non-pruritus, namun tidak bermakna secara statistik
ABSTRAK
Background : Chronic pruritus is defined as an unpleasant sensation of the skin leading to the desire to scratch, which lasting six weeks or more. Pruritus is associated with numerous systemic disorders, and it is a common symptom of any cholestatic hepatobiliary disease. Its pathophysiology is attributed to progressive accumulation of pruritogenic mediators such as bile acid in the peripheral blood as well as in soft tissues including the skin, which are normally excreted into the bile. Little is known about the potential contribution of elevated total serum bile acids (TSBA) levels to pruritus. Objective : to differentiate TSBA levels in geriatrics patients with chronic pruritus and without chronic pruritus. Methods : this is a cross-sectional study comprising 80 patients men and women aged ≥ 60 years old, consist of 40 patients in chronic pruritic group, and 40 patients in non-pruritic group. The serum levels of bile acid were measured by enzymatic colorimetric methods, and the level TSBA were analyzed from the two groups. Results : TSBA levels were detected higher in chronic pruritic group patients (median 4,5 μmol/L, minimum-maximum range 3-51 μmol/L), than in the non-pruritic group (median 4 μmol/L, range 3-22 μmol/L), the difference was insignificant (p = 0,095). Conclusions : the serum bile acid levels are elevated in chronic pruritic patients but statistically insignificant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Dahlan
Abstrak :
Latar Belakang: Fibrosis hati disebabkan cedera hati kronis akan menjadi sirosis. Vesikel ekstraseluler (VE) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) banyak dipelajari sebagai terapi fibrosis dan regenerasi hati. Penelitian ini memanfaatkan kombinasi VE dan recombinant human-HGF ( rh-HGF) sebagai terapi alternatif fibrosis hati pada model tikus ligasi duktus bilier (LDB). Metode: Sebelas tikus Sprague Dawley (SD) menjalani LDB, 5 tikus kontrol dan 6 tikus mendapat perlakuan injeksi VE 150 uL dan rh-HGF 0,1 mg intravena sejak 3 minggu pasca LDB, selama 7 hari. Satu tikus kontrol diterminasi 3 minggu pasca LDB sebagai data dasar. Tikus-tikus kelompok kontrol dan perlakuan diterminasi pada 1 hari dan 2 minggu setelah injeksi terakhir. Dilakukan penilaian skor Laennec hati serta kadar HGF, alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST). Hasil: Histopatologi 3 minggu pasca LDB menunjukkan skor Laennec 2. Skor fibrosis kelompok kontrol (KK) dan kelompok perlakuan (KP) 1 minggu dan 2 minggu pasca injeksi VE dan rh-HGF seluruhnya dengan skor 2. Kadar HGF pada KP lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan KK 1 hari pasca injeksi terakhir (1,35+0,06 vs 1,53+0,06; p<0,001), semakin menurun setelah 2 minggu pasca injeksi terakhir namun tidak bermakna secara statistik 0,83 (0,73-0,84) vs 0,76 (0,73-0,80) p=0,248). Kadar AST 1 hari pasca injeksi terakhir; KK 1,66+0,05 KP 0,91+0,12 debgan p = 0,001. Setelah 2 minggu pasca injeksi; kadar AST pada kedua kelompok menurun 1,12 (1,11-1,22) vs (0,96+0,03); p=0,021). Kadar ALT pada kelompok perlakuan lebih rendah secara signifikan pada 1 hari pasca injeksi dan 2 minggu pasca injeksi dengan nilai p<0,001 dan 0,033a ......Background: Fibrosis of the liver due to a chronic liver injury will become cirrhosis at the end-stage. The Extracellular Vesicles (EV) and hepatocyte growth factor (HGF) are recently learned as much as fibrosis and liver regeneration therapy. This study aims to know the result of using a combination of EV and recombinant human HGF (rh-HGF) as an alternative therapy due to liver fibrosis on the rat bile duct ligation (BDL) model. Methods: Eleven BDL Sprague Dawley (SD) were divided into two groups, five mice as the untreated control group and six mice as the treatment group was getting an EV 150 ul and rh-hgf 0.1 mg intravenous injection three weeks after BDL, for seven days. One control rat is expanded three weeks after BDL as baseline data. The control and treatment group mice were projected at day one and two weeks after the final injection. This study was assessed from liver fibrosis by using Laennec score, alanine aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST), and Hepatocyte Growth Factor (HGF) level. Results: Scoring of histopathology by using the Laennec score at 3 weeks after BDL was 2. Meanwhile scoring of fibrosis of the control group and treatment group at 1 week and 2 weeks after ve and rh-hgf injection were 2. HGF level of the treatment group was lower significantly than control group at day 1 after last injection (1,35+0,06 vs 1,53+0,06; p<0,001), and within 2 weeks, the number of HGF levels decreased but statistically insignificant; 0,83 (0,73-0,84) vs 0,76 (0,73-0,80) p=0,248). AST level at day 1 after last injection; control group vs treatment group ;1,66+0,05 vs 0,91+0,12, p value = 0,001. 2 weeks after injection; AST level for both group were become lower 1,12 (1,11-1,22) vs (0,96+0,03); p=0,021), and ALT level on treatment group was significantly lower at day 1 and 2 weeks after injection with p value <0,001 and 0, 033a
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library