Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulmairi Khiyul
"ABSTRAK
Gelombang pemogokan antara tahun 1910-1920 memaksa pemerintah meninjau kembali kebijaksanaannya. Hubungan yang lebih langsung dengan buruh tampak jelas dalam periode ini. Pada tahun 1919 Gubernur Jendral van Limburg Stirum membentuk komisi untuk kemungkinan standar gaji minimum, mengawasi kondisi buruh, sebagai contoh, menyelidiki tingkat kesejahteraan penduduk di Jawa. Kemudian di akhir tahun 1921, Komisi ini dialihkan ka dalam Kan_toor van Arbeid dengan staf yang lebih besar dan fungsi yang lebih luas. Kemerosotan tingkat kesejahteraan pen_duduk Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1830, di bawah sistem Tanam Paksa. Di mana tingkat perekonomian kolonial menanjak dengan cepat sementara itu kesejahte_raan penduduk sebaliknya kian merosot.
Antara tahun 1918-1920, perekonoman tanah Hindia kian merosot. PD I dan malaise yang diakibatkannya menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok mendadak naik. Sudah menjadi jelas bahwa kaum buruhlah yang pertama merasakan akibatnya. Dalam situasi yang serba sulit ini kaum maji_kan tetap tidak mau ambil peduli terhadap tuntutan buruhnya, bahkan para pengusaha-pengusaha besar melakukan kerja sama dan membentuk korporasi. Misalnya kongsi gula (Sugar Syndicate) dengan induk perusahaan Belandanya BB_NISO, sementara usaha-usaha yang sejenis mengikuti jejak di atas. Pemilik penanaman bergabung ke dalam Cultiva_tion Owners, 1918 ada asosiasi para majikan dan onderne-mersraad, dll. Dan tidak mengherankan kalau antara tahun 1918-1920 gelombang pemogokan begitu hebat. Dan skripsi ini mengisahkan tentang perlawanan tersebut.

"
1990
S12634
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Karel Budiman
"Pemberlakuan asas No Work No Pay pada masa pandemi Covid-19 bagi pekerja terjadi ketika pekerja dirumahkan karna alasan internal (pengaruh penurunan bisnis) maupun eksternal (kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat). Sebagaimana diketahui, asas No Work No Pay tidak dapat serta-merta diberlakukan dalam situasi tersebut, karna tidak bekerja dalam periode tertentu bukan merupakan keinginan dari pekerja maupun bukan kesalahan pekerja. Dalam praktiknya penerapan asas No Work No Pay dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan, namun di sisi lain menimbulkan kerugian bagi pekerja, karna dengan tidak mendapatkan upah, maka pekerja tidak dapat menerima pendapatan bagi kehidupannya. Sehingga penerapan asas No Work No Pay pengupahan secara sepihak ini dapat menimbulkan perselisihan ketika pekerja dirumahkan dalam situasi pandemi Covid-19. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis praktek pengupahan saat pandemi Covid-19 yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk perlindungan hukum terhadap tenaga kerja. Pemerintah dalam masa pendemi Covid-19 mengeluarkan beberapa aturan terkait pelaksanaan hubungan kerja selama masa pandemi Covid-19 termasuk bagaimana pengupahannya melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2021 dan Peraturan Mentri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021. Penelitian ini menggunakan teknik analisa data yang bersifat kualitatif deskriptif, dengan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana pentingnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang efektif untuk menjamin kepastian hukum, sehingga jelas bagaimana perlindungan hukum mengenai pengupahan pada masa pandemi Covid-19 bagi pekerja yang dirumahkan, serta penyelesaian perselisihan mengenai pengupahan, dan bagaimana selharulsnya pelngatulran pelngulpahan pada saat pandelmi Covid-19 ketika pelkelrja dirulmahkan melalui kesepakatan Bipartite.
......The implementation of the No Work No Pay principle during the Covid-19 pandemic for workers occurred when workers are standing down due to internal reasons (effect of a decline in business) or external (policy of imposing restrictions on community activities). As known, the principle of No Work No Pay cannot be automatically applied in this situation because not working for a certain period is not the urge of the worker or the worker's fault. In practice, the application of the No Work No Pay principle can provide benefits for companies, but on the other hand it causes losses for workers, because by not getting wages, workers cannot receive income for their lives. Therefore, the unilateral application of the No Work No Pay wages principle can lead to disputes when workers are standing down during the Covid-19 pandemic situation. This research was conducted to analyze wage practices during the Covid-19 pandemic issued by the Government for legal protection for workers. The government during the Covid-19 pandemic issued several regulations regarding the implementation of work relations during the Covid-19 pandemic including how remuneration was through the Decree of the Minister of Manpower of the Republic of Indonesia Number 104 of 2021 and Regulation of the Minister of Labor Number 2 of 2021. This research uses data analysis techniques that are descriptive qualitative, with secondary data sourced from primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. By using normative juridical research methods, this paper will analyze how important it is for the government to issue effective regulations to guarantee legal certainty, so that it is clear how the legal protection regarding wages during the Covid-19 pandemic for workers who were standing down, as well as the settlement of disputes regarding wages, and how the ideal of wage regulations should be carried out during the Covid-19 pandemic when workers were standing down through a bipartite agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfanny
"ABSTRAK
Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) merupakan salah satu dari sekian banyak serikat buruh yang ada di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950- 1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan pada awal Orde Baru (1966-1973). Sarbumusi lahir di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 27 September 1955.
Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) sebagai sebuah serikat buruh yang berafiliasi pada kelompok politik Islam, dalam hal ini Partai Nahdlatul Ulama (NU) dalam perkembangannya tidak hanya memperjuangkan kepentingan politik NU dalam sektor perburuhan, melainkan juga memperjuangkan aspirasi kaum buruh ketika berhadapan dengan Pemerintahan Orde Baru yang represif terhadap gerakan buruh.
Pada perkembangannya gerakan buruh Indonesia terpecah mengikuti afiliasi politiknya masing-masing. Pada awal pertumbuhannya Sarbumusi sebagai serikat buruh yang berafiliasi pada Partai NU disibukkan oleh persoalan konsolidasi dan eksistensi organisasi terutama demi mengimbangi pengaruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), serikat buruh yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keterkaitan serikat buruh dan politik pada satu sisi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi penanaman ruh nasionalisme dalam masa Pergerakan Nasional. Namun di sisi lain nuansa politik yang kental dari serikat-serikat buruh telah menyebabkan perjuangan buruh tidak mencapai basil yang optimal terutama ketika berhadapan dengan pihak pengusaha dan pemerintah. Gerakan buruh tidak mampu bersatu dalam memperjuangkan aspirasinya, tapi terpecah belah oleh orientasi dan afiliasi politiknya masing-masing.
Sarbumusi bersama ormas-ormas NU lainnya mengambil peranan yang cukup besar dalam upaya membersihkan SOBSI pasca G.30 S PKI. Namun di sisi lain TNI AD yang menjadi Ujung tombak dalam operasi pembersihan sisa-sisa PKI telah bertindak sewenangwenang dengan melakukan penangkapan buruh-buruh yang bukan anggota SOBSI.
Sarbumusi mengkritisi Orde Baru yang masih mempertahankan perilaku usang Rejim Orde Lama di bidang perburuhan. Sarbumusi dengan tegas menolak pemecatan massal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan negara dan menyatakan bahwa tindakan pemecatan massal merupakan tindakan yang menguntungkan PKI. Sarbumusi juga menuntut pencabutan larangan mogok, sebuah peraturan Rejim Orde Lama yang coba dipertahankan oleh Orde Baru.
Namun menjelang Pemilu 1971, Orde Baru bertekad memenangkan pemilu dengan melemahkan kekuatan masyarakat, yang salah satunya adalah gerakan buruh dengan Sarbumusi sebagai serikat buruh terbesar yang menginduk pada Partai NU yang juga menjadi pesaing utama Golkar, mesin politik Orde Baru, pada Pemilu 1971.
Pemerintah Orde Baru kemudian melakukan proses penataan ulang gerakan buruh Indonesia dengan tiga kebijakannya yang kemudian mendapat penentangan keras dari Sarbumusi. Pertama, kebijakan tentang intervensi asing dalam urusan perburuhan domestik yang dimonopoli hak perantaranya oleh Sekber Golkar. Kedua, tentang rencana pembentukan Korps Karyawan (Kokar) dan yang dilanjutkan dengan ketentuan monoloyalitas pegawai negeri. Ketiga, adalah kebijakan penyatuan kaurn buruh dalam sebuah wadah tunggal. Pasca Pemilu 1971, Pemerintah Orde Baru yang semakin bertambah kuat memprakarsai pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) setelah serangkaian pertemuan di kantor Bakin. Setelah FBSI berdiri, serikat-serikat buruh yang lama tidak dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, namun pemerintah menempuh cara lain untuk membubarkan serikatserikat buruh lama yaitu dengan memberikan hak monopoli pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam sebuah perusahaan kepada FBSI.
Kegagalan Sarbumusi dalam menolak kehendak Orde Barn, terutama dalam menolak kebijakan pembentukan Kokar dan monoloyalitas serta pembentukan FBSI disebabkan kepentingan Orde Baru lemahnya posisi NU, induk Sarbumusi, pasca Pemilu 1971. Setelah Golkar memastikan kemenangan telak dalam Pemilu 1971 dan NU hanya mampu meraih urutan kedua, maka posisi tawar Sarbumusi pun kian melemah. Sebagai akibat sikap kritisnya sebelum Pemilu 1971, Sarbumusi mengalami represi oleh Orde Baru dan dipaksa untuk melebur dalam FBSI.

"
2001
S12160
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjafri Sairin, 1945-
"On Javanese plantation workers in North Sumatera, Indonesia."
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2014
331.11 SJA d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gerindo Joyo Negoro
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan terhadap pembayaran upah buruh dan pemenuhan hak-hak buruh yang timbul akibat PHK pada perusahaan yang dinyatakan pailit berdasarkan undang-undang kepailitan dan ketenagakerjaan, dengan studi kasus kepailitan PT Fit U Garment Industry. Penelitian ini menguraikan mengenai buruh sebagai salah satu kreditor dari debitor pailit yang harus bersanding dengan kreditor-kreditor lainnya dalam mendapatkan pembayaran upah buruh dan hak-hak buruh lainnya dari harta pailit. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut; pertama, Bagaimana kedudukan tagihan upah buruh dan hak-hak buruh lainnya dalam urutan prioritas pembayaran utang. Kedua, Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh buruh terhadap putusan kepailitan untuk mendapatkan hak-hak buruh yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan terakhir, bagaimana pembayaran upah buruh dan pemenuhan hak-hak yang timbul akibat PHK pada kasus kepailitan PT Fit-U Garment Industry.

This thesis discusses the protection of workers' wage payment and fulfillment of labor rights arising from layoffs at the company declared bankrupt under the laws of bankruptcy and employment, with the bankruptcy case studies PT Fit U Garment Industry. This study describes about the workers as one of the creditors of the bankruptcy debtor must be coupled with other creditors in obtaining payment of wages and other labor rights of the bankruptcy estate. This study aims to answer the question as follows; first, how the position of wage bills and other labor rights in order of priority debt payments. Second, how efforts to be made by the workers against the decision of the bankruptcy to obtain labor rights set out in the legislation in force. And lastly, how payment of wages and fulfillment of the rights arising from layoffs in the case of bankruptcy PT Fit-U Garment Industry."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T46325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Harijanto
"Penulisan mengenai pemogokan buruh perkebunan tahun 1950, yang penelitiannya dipusatkan daerah perkebunan Be_suki, dimulai dari awal munculnya sistem buruh kontrak yang sejalan dengan berkembangnya perusahaan perkebunan swasta di Hindia Belanda. Mengingat bahwa sejarah adalah suatu proses, maka pemogokan buruh perkebunan tahun 1950 adalah suatu proses panjang yang dialami oleh buruh perkebunan un_tuk memperjuangkan nasibnya. Maka penulisan pemogokan buruh perkebunan tahun 1950, pembahasannya ditarik ke belakang yaitu mulai munculnya perusahaan perkebunan swasta di Hin_dia Belanda. Kemudian diikuti dengan perkembangan gerakan buruh perkebunan dan gerakan buruh lainnya sampai munculnya Serikat Buruh Perkebunaa Republik Indonesia, hingga terja_di pemogokan buruh perkebunan tahun 1950. Tujuannya adalah untuk mengetahui sebab yang paling mendasar timbulnya pemo_gokan buruh perkebunan terhadap perusahaan asing. Penelitian data dilakukan di perpustakaan dan Arsip Nasional di Jakarta dengan mengadakan interpretasi sumber Selain itu juga diadakan peninj auan ke lokasi peris tiwa pe_mogokan di daerah Jember ( sekarang PTP XXVI di Jelbuk dan PTP XXVII di Jember ). Kesimpulannya, bahwa pengalaman buruh perkebunan di jaman Hindia Belanda adalah bernasib buruk dan hidup tidak layak. Dan perjuangan untuk meningkatkan taraf hidup yang layak selalu tidak berhasil, karena pengusaha perkebunan mendapat perlindungan dari pemerintah kolonial baik yang berupa poenale sanctie ataupun undang-undang hukum pidana dari artikel 161. his yang membatasi gerakan buruh. Maka se_telah Indonesia Merdeka kaum buruh tidak menyenangi pengu_saha asing sebagai sisa-sisa kolonial. Namun buruh perke_bunan harus bekerja kembali pada pengusaha asing sisa-sisa kolonial, karena pemerintah Republik menerima perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949. Kaum buruh perkebunan harus menerima upah yang rendah dari pengusaha asing, sehingga mereka kembali hidup tidak layak seperti jaman kolonial. Ma_ka dalam diri kaum buruh perkebunan tumbuh sifat nasionalisme yang dinyatakan melalui sikap anti perusahaan asing sisa_-sisa kolonial yang masih memberi upah terlalu rendah di ne_gara Indonesia yang sudah merdeka. Jadi sifat nasionalisme dan kebutuhan sosial ekonomi yang mendasari terjadinya pe_mogokan buruh perkebunan tahun 1950."
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library