Dalam arti yang lebih kompleks sekaligus sederhana, abuse (abnormal use) of power dapat dimaknai sebagai sebuah akibat dari gagalnya pengendalian internal (internal control). Di dalam industri perbankan sendiri, prinsip kehati-hatian (prudential principle) merupakan patokan utama dalam pembentukan dan pemeliharaan hubungan antara Bank dengan masyarakat. Kendati direksi dan komisaris memikul tanggungjawab hukum dengan porsinya masing-masing, namun terdapat batasan-batasan tertentu mengenai kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko dari keputusan atau tindakan pengawasan yang telah diambilnya. Dengan demikian direksi dan komisaris dapat lebih leluasa dalam mengambil keputusan bisnis maupun aksi-aksi korporasi dalam kegiatan usaha perbankan. Namun pada praktiknya, ketika dihadapkan pada kasus dugaan kejahatan perbankan, Majelis Hakim tidak selalu mempergunakan konsep Business Judgement Rule (BJR) sebagai immunity doctrine bagi direksi untuk menangkis tuduhan White Collar Crime yang ditujukan atas keputusan atau tindakan pengawasan yang telah dilakukan oleh direksi dan komisaris. Hal ini menyebabkan kesenjakan antara das sein dengan das solen. Sehingga disini diperlukan sebuah penelitian dalam bentuk tesis, dengan identifikasi masalah yaitu; Pertama, Bagaimana penerapan Prudential Principle dalam pemberian kredit di Indonesia?. Kedua, Bagaimana penerapan prinsip Business Judgement Rule dalam memeriksa dan memutus kasus dugaan tindak pidana perbankan di Indonesia?
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa ketika keputusan atau tindakan pengawasan yang dilakukan oleh direksi dan komisaris tersebut telah didasari iktikad baik (good faith), pengambilan keputusan telah memperhatikan kepentingan perusahaan (fiduciary duty), berdasarkan pengetahuan/data yang memadai (informed basis), tidak dilakukan untuk berhambur-hambur (duty of care) dan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi (loyalty), serta penuh dengan tanggungjawab, maka seharusnya Direksi berhak atas immunity doctrine.
In a more complex and at the same time simple, abnormal use of power can be interpreted as a result of the failure of internal control. Within the banking industry itself, the principle of prudence is the main benchmark in the formation and maintenance of relations between the Bank and the public. However, in practice, when faced with cases of suspected banking crime, the Panel of Judges does not always use the concept of the Business Judgment Rule as the immunity doctrine for the directors to fend off alleged criminal acts aimed at decisions or supervisory actions that have been carried out by the board of directors and commissioners. This causes a gap between them. So that we need a research in the form of a thesis, with problem identification; First, how is the application of the precautionary principle in lending in Indonesia? Second, how is the application of BJR principles in examining and deciding cases of suspected banking crime in Indonesia?
The research method used is a normative juridical research method, with descriptive analytical research specifications.
From the results of this study, it is concluded that when the decisions or supervisory actions taken by the directors and commissioners are based on good faith, have taken into account the interests of the company, are based on adequate knowledge / data, are not wasting and are not on personal interests, and are full of responsibility, then BJR can be applied.
"Dalam arti yang lebih kompleks sekaligus sederhana, abuse (abnormal use) of power dapat dimaknai sebagai sebuah akibat dari gagalnya pengendalian internal (internal control). Di dalam industri perbankan sendiri, prinsip kehati-hatian (prudential principle) merupakan patokan utama dalam pembentukan dan pemeliharaan hubungan antara Bank dengan masyarakat. Kendati direksi dan komisaris memikul tanggungjawab hukum dengan porsinya masing-masing, namun terdapat batasan-batasan tertentu mengenai kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko dari keputusan atau tindakan pengawasan yang telah diambilnya. Dengan demikian direksi dan komisaris dapat lebih leluasa dalam mengambil keputusan bisnis maupun aksi-aksi korporasi dalam kegiatan usaha perbankan. Namun pada praktiknya, ketika dihadapkan pada kasus dugaan kejahatan perbankan, Majelis Hakim tidak selalu mempergunakan konsep Business Judgement Rule (BJR) sebagai immunity doctrine bagi direksi untuk menangkis tuduhan White Collar Crime yang ditujukan atas keputusan atau tindakan pengawasan yang telah dilakukan oleh direksi dan komisaris. Hal ini menyebabkan kesenjakan antara das sein dengan das solen. Sehingga disini diperlukan sebuah penelitian dalam bentuk tesis, dengan identifikasi masalah yaitu; Pertama, Bagaimana penerapan Prudential Principle dalam pemberian kredit di Indonesia?. Kedua, Bagaimana penerapan prinsip Business Judgement Rule dalam memeriksa dan memutus kasus dugaan tindak pidana perbankan di Indonesia?
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa ketika keputusan atau tindakan pengawasan yang dilakukan oleh direksi dan komisaris tersebut telah didasari iktikad baik (good faith), pengambilan keputusan telah memperhatikan kepentingan perusahaan (fiduciary duty), berdasarkan pengetahuan/data yang memadai (informed basis), tidak dilakukan untuk berhambur-hambur (duty of care) dan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi (loyalty), serta penuh dengan tanggungjawab, maka seharusnya Direksi berhak atas immunity doctrine.
In a more complex and at the same time simple, abnormal use of power can be interpreted as a result of the failure of internal control. Within the banking industry itself, the principle of prudence is the main benchmark in the formation and maintenance of relations between the Bank and the public. However, in practice, when faced with cases of suspected banking crime, the Panel of Judges does not always use the concept of the Business Judgment Rule as the immunity doctrine for the directors to fend off alleged criminal acts aimed at decisions or supervisory actions that have been carried out by the board of directors and commissioners. This causes a gap between them. So that we need a research in the form of a thesis, with problem identification; First, how is the application of the precautionary principle in lending in Indonesia? Second, how is the application of BJR principles in examining and deciding cases of suspected banking crime in Indonesia?
The research method used is a normative juridical research method, with descriptive analytical research specifications.
From the results of this study, it is concluded that when the decisions or supervisory actions taken by the directors and commissioners are based on good faith, have taken into account the interests of the company, are based on adequate knowledge / data, are not wasting and are not on personal interests, and are full of responsibility, then BJR can be applied.
"
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah lembaga yang bergerak dalam bidang usaha dalam rangka usaha pemenuhan kesejahteraan masyarakat. BUMN didirikan atas sebagian ataupun keseluruhan modal (dari APBN yang dipisahkan) yang disertakan oleh negara. Kepemilikan negara atas penyertaan modal tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk kepemilikan saham. Terhadap modal tersebut kemudian terjadi perubahan status hukum yang menyebabkan peralihan keuangan menjadi sepenuhnya milik BUMN. Permasalahan kemudian muncul apabila terjadi kerugian pada BUMN, yakni mengenai penggolongan apakah kerugian tersebut merupakan kerugian BUMN sendiri sebagai corporate loss (kerugian korporasi) dan mencakup risiko dari BUMN dalam menjalankan bisnisnya (risiko bisnis), ataukah merupakan kerugian terhadap keuangan negara. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode yuridis-normatif ini akan menjadikan implikasi tersebut sebagai pertanyaan pemicu yang kemudian diikuti dengan studi terhadap kasus tindak pidana korupsi yang terjadi atas PT Asuransi Jiwasraya dengan putusan No. 31/Pid.Sus/Tpk/2020/PN Jkt.Pst sebagai instrumen pembantu dalam menjawab rumusan permasalahan.
State-owned enterprises is an institution that moves within business field in order to fulfill public’s prosperity and well-being. State-owned enterprises is established whether on half or full capital investation (from a separated state budget) from the states. State’s ownership of the invested capital then manifested in ownership of stocks/shares. The status of aforementioned capital then transformate which causes divertion in financial status to become state-owned enterprises in full. Problem then occurs in an instance of state-owned enterprises’ losses. Is the losses take part within state-owned enterprises’ own matter as a form of corporate losses which also encompasses business risk within state-owned enterprises; or is it a form of losses upon states. This research that is done by using yuridical-normative methods will draw that implication of problems as a triggering question which then followed by a case of corruption crime by PT Asuransi Jiwasraya (No. 31/Pid. Sus/Tpk/2020/PN Jkt. Pst) as an supporting elements in answering research’s questions.