Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Warsidah Rahmi
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat proses perubahan identitas tokoh Saidi yang berkaitan dengan konsep gender dalam budaya Bugis Budaya Bugis mengakui keberadaan transgender yang dikenal dengan penyebutan calabai, merujuk laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan, dan calalai merujuk kepada perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. Selain calabai dan calalai, juga hadir bissu. Bissu adalah transgender yang menempati posisi pemangku adat. Pengakuan masyarakat akan keberadaan bissu terlihat dalam berbagai upacara adat. Permasalahan identitas transgender dalam budaya Bugis, diangkat Pepi Al-Bayqunie dalam Calabai 2016 . Novel Calabai ini mendiskusikan keberadaan bissu yang direpresentasikan melalui tokoh Saidi. Dengan menggunakan teori performativitas, Butler, penelitian ini menganalisis tokoh transgender dalam novel Calabai. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara ruang dan identitas. Perubahan ruang mempengaruhi identitas tokoh Saidi karena setiap ruang yang dihuninya memiliki budaya dan latar sosial yang berbeda. Dari performativitas Saidi sebagai bissu juga diperlihatkan sikap teks terkait kehadiran bissu. Teks memapankan identitas bissu dalam budaya Bugis yang berterima dalam masyarakat Segeri sebagai representasi penerimaan masyarakat Bugis. Di waktu yang bersamaan, teks juga mempertanyakan identitas bissu dalam pandangan Islam. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru menyangkut isu transgender.
ABSTRACT
This study aims to see the process of transformation of Saidi related to the concept of gender in Bugis culture. Bugis culture acknowledge the existence of transgender named calabai, referring to men who behave womanly, while calalai refers to women who behave men look alike. In addition to calabai and calalai, there is an existence of bissu. Bissu is a transgender that occupies the position in tribal council. Public recognition of the existence of bissu is proven in various traditional ceremonies. Problems of transgender identity in Bugis culture is appointed by Pepi Al Bayqunie in Calabai 2016 . This novel discussed the existence of bissu represented through the character Saidi. By using the theory of performativity, this research tried to analyze the transgender character in Calabai novel. The performance analysis showed that there was a connection between sphere and identity. Spatial changes affected the identity of Saidi because every space occupied had a different culture and social setting. Saidi 39 s performance as a bissu also showed the point of view of the text related to bissu as an identity. The text established the identity of bissu regarding to their acceptance in Bugis culture in Segeri society as a representation of Bugis society acceptance as a whole. However, the text actually questioned the identity of bissu in Islam perspective. The results of this study were expected to provide a new perspective on transgender issues.
2018
T49979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arristo Herbawono
Abstrak :
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kelompok minoritas gender merupakan kelompok yang rentan terhadap viktimisasi. Kerentanan ini dapat dilihat dengan jelas manakala kelompok minoritas gender ini menunjukkan eksistensinya di dalam masyarakat yang memiliki kultur heteronormatif. Di Indonesia sendiri adanya kultur heteronormatif ini dipengaruhi oleh keberadaan agama-agama samawi, khususnya Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Kelompok Bissu yang merupakan bagian dari tradisi lima gender di dalam kebudayaan Bugis telah terbukti mengalami viktimisasi yang terjadi hingga saat ini. Hal tersebut dikarenakan Bissu yang eksis pada saat ini adalah mereka yang dahulunya adalah seorang Calabai (laki-laki berjiwa perempuan), walaupun pada hakikatnya semua bentuk gender dapat menjadi seorang Bissu. Secara historis, eksistensi Bissu sebagai salah satu kelompok minoritas gender telah mengalami pergolakan sejak fase pertama kali Islam masuk di Sulawesi Selatan hingga fase revitalisasi yang berlangsung hingga saat ini. Hal ini tidak terlepas dari kultur heteronormatif yang juga dibawa oleh Islam pada saat penyebarannya di Indonesia. Bissu yang sudah menjadi tradisi Masyarakat Bugis selama ratusan tahunpun terancam eksistensinya dan dikhawatirkan mengalami kepunahan. Namun, eksistensi Bissu yang dapat dijumpai hingga saat ini menunjukkan bahwa Bissu melakukan resistensi atas viktimisasi yang mereka alami. Penelitian ini ingin membuktikan apakah viktimisasi yang dialami Bissu berpengaruh terhadap kehidupan Bissu dan apakah viktimisasi tersebut memiliki hubungan dengan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender melalui studi kualitatif-partisipatoris. ......It is undeniably that gender minority groups are vulnerable to victimization. This vulnerability becomes evident when these gender minority groups assert their existence in societies with a heteronormative culture. In Indonesia, the presence of this heteronormative culture is influenced by the existence of Abrahamic religions, particularly Islam, which is the most widely practiced religion in Indonesian society. The Bissu community as part of the five-gender tradition in Bugis culture, has been proven to experience victimization that persists to this day. This is because the current Bissu individuals were formerly Calabai (feminine men), although, in essence, individuals of any gender can become Bissu. Historically, the existence of Bissu as one of the gender minority groups has undergone turmoil since the early phases of Islam's entry into South Sulawesi, continuing through the ongoing revitalization phase. This is closely tied to the heteronormative culture brought by Islam during its spread in Indonesia. The Bissu, a tradition in Bugis society for centuries, is now at risk of extinction due to the heteronormative influences. However, the continued existence of Bissu individuals indicates their resistance to the victimization they face. This research aims to prove whether the victimization experienced by Bissu has an impact on their lives and whether this victimization is related to discrimination against gender minority groups through a qualitative-participatory study.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Theresia Indirastuti
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mempelajari bagaimana calabai, istilah Bugis untuk waria atau transgender woman, menegosiasikan subjektivitas gendernya agar dapat memperoleh posisi dalam masyarakat Bugis masa kini. Eksistensi dan peran calabai telah diakui dalam tradisi Bugis selama beratus tahun. Perubahan sistem sosial dalam masyarakat Bugis, terutama masuknya Islam dengan sistem seks/ gender yang dikotomis, pendidikan modern dan berubahnya sistem politik membawa perubahan mendasar dalam konteks hidup calabai. Sebagian calabai bertahan pada peran tradisionalnya, sedangkan lainnya memasuki peran nontradisional dalam konteks sosial dengan sistem gender yang lebih dikotomis. Penelitian kualitatif ini mempelajari kehidupan 12 calabai dalam beragam peran. Dengan mengadopsi sudut pandang Michel Foucault mengenai sistem kuasa, Judith Butler tentang performativitas gender, serta Patricia Hill Collins tentang opresi interseksional, ditemukan bahwa subjektivitas gender dinegosiasikan secara cair sepanjang hidup calabai. Negosiasi subjektivitas gender calabai memiliki bentuk yang sangat beragam, tidak kaku dan linier tetapi cair dan berubah-ubah dalam konteks hidup yang berkelindaan relasi kuasa yang beragam serta terus terjadi dalam tahapan hidup yang berbeda-beda. Subjektivitas gender calabai dibangun dengan tujuan yang beragam, tidak ada satu tujuan yang ideal dan stabil, namun berwarna-warni.
ABSTRACT
The research studied how calabai, the Bugis term for transgender woman, negotiates her gender subjectivity to own position in the current Bugis society. Calabai?s existence and roles have been acknowledged in Bugis tradition for hundreds years. Changes in social system, including the entry of Islam with its dichotomous sex/gender system, modern education and changing political system have brought fundamental changes in calabai?s life context. Some calabai hold on to traditional roles, while others enter non-traditional roles in social context with stricter gender dichotomy. This qualitative research studied the life of 12 calabai with diverse roles. By adopting Michel Foucault?s viewpoint on power systems, Judith Butler?s gender performativity and Patricia Hill Collins? intersection oppression, the research found that gender subjectivity is negotiated fluidly in a complex way throughout calabai?s life. Different calabai negotiate her gender subjectivity in different ways, the process is not rigid and linear but fluid and changing through different life context that intertwined with power relations and through life stages. Calabai gender subjectivity is constructed with diverse aim, there is no ideal and stable aim, but expressed in a colourful ways;
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library