Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kusdijono
"Lebih dari 5,000 kepala keluarga pengungsi Madura korban kerusuhan Sambas di Kalbar ditempatkan di daerah baru dalam program relokasi. Rancangan dan implementasi program pembangunan didaerah ini perlu hati-hati agar tidak mengulang kegagalan umum pembangunan selama ini, yakni meningkatnya kemiskinan, merusak lingkungan hidup, dan menimbulkan kekerasan sosial baru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan intervensi program bantuan dan pemulihan bagi pengungsi Madura di Kalimantan Barat. Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah tentang capaian program pembangunan di kawasan relokasi pengungsi Madura. Metode penelitian ini bersifat riset evaluatif dengan pendekatan kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif. Informasi yang diperoleh dari pendekatan kuantitatif dipakai sebagai informasi awal untuk penggalian lebih mendalain dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan ditiga satuan relokasi, yakni Parit Bhakti Suci, Tebang Kacang SP II, dan Parit Haji AIi. Kesemuanya berlokasi di Kecamatan Sungai Raya.
Konsep yang dirujuk dalam penelitian ini adalah model pembangunan transiormatif berkelanjutan yang diajukan terutama oleh Korten, D (2002, terjemahan) dan Jan Nederveen Pieterse, J.N (2001). Konsep tersebut dipakai untuk memeriksa apakah kebijakan Pemerintah dan implementasinya untuk membangun kembali para pengungsi di relokasi sesuai dengan model pembangunan tersebut. Hal ini perlu diamati agar pembangunan tidak mengarah kepada timbulnya kemiskinan baru dan berpotensi kearah munculnya kerusuhan baru.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa pembangunan sarana dan prasarana masih sangat terbatas (jalan, lahan, rumah) dan dengan kualitas kurang baik atau sudah rusak. Sebagian pengungsi yang meninggalkan rumah di relokasi akibat rendahnya akses terhadap sumber daya (tanah pertanian terbatas, gambut, tanah dalam sengketa, status belum jelas).
Sebaliknya pertambahan penghuni di kawasan relokasi dicirikan oleh tinginya akses terhadap sumber daya. Dalam jangka pendek, para pengungsi di kawasan relokasi cenderung terhindar dari kemungkinan munculnya kerusuhan baru karena rendahnya intensitas interaksi dengan masyarakat luar, tetapi keterbatasan prasarana pembangunan juga membuat kapasitas mereka sangat rendah untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Sebaliknya upaya rekonsiliasi telah banyak diupayakan baik oleh Pemerintah maupun lembaga-lembaga non Pemerintah. Namun, para pengungsi di relokasi sementara ini tidak berminat untuk kembali ke tempat asal mereka, melainkan menghendaki bantuan Pemerintah agar mereka dapat menjual asset fisik yang mereka tinggalkan. Perlu adanya intervensi lebih lanjut untuk issue tersebut.
Selain Pemerintah, banyak lembaga internasional dan sedikit lembaga swadaya masyarakat (LSM) ambil bagian dalam pembangunan kembali pengungsi di relokasi sejak awa] penempatan. Program pembinaan pengungsi dari Pemerintah selesai tahun 2002, sedangkan program lembaga internasional umumnya selesai pada tahun 2004, kecuali CRS yang bekerja sama dengan LSM lokal melanjutkan dengan program pertanian berkelanjutan dan peace building.
Indikasi pembangunan transformative-berkelanjutan sejauh ini belum muncul. Partisipasi masyarakat baru muncul sebagai akibat intervensi program sebatas "respons" terhadap intervensi. Program belum mampu mendorong munculnya inisiatif masyarakat untuk turut mengendalikan kebijakan dan intervensi program yang terkait dengan upaya perbaikan kehidupan mereka (transformasi sosial). Ini dapat dimaklumi karena kapasitas mereka masih sangat terbatas, perlu ada pemberdayaan dengan membangun prasarana dan ruang inisiatif lebih luas, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat pengungsi.
Direkomendasikan bahwa dalam jangka pendek, Pemerintah dan pihak lain tidak mendorong terjadinya pemulangan kembali pengungsi ke tempat asal, melainkan terus melanjutkan untuk membangun prasarana dan sarana (transportasi, perbaikan rumah), legalitas tanah, dan membangun kapasitas (kemampuan) para pengungsi dalam konteks peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta ruang untuk berinisiatif dan ambil bagian dalam pembangunan. Untuk jangka waktu menengah Pemerintah dan agen pembangunan lain direkomendasikan untuk mendorong upaya rekonsiliasi dikalangan tokoh masyarakat terkait, serta dalam jangka panjang perlu diupayakan repatriasi para pengungsi Madura."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Datta, Ankur
"Since 1989, Jammu and Kashmir has been affected by conflict between the Indian state and a movement demanding independence. This book explores the effect of that conflict on the Hindu Pandit minority of the Kashmir Valley. The displacement of the Kashmir Pandits has been drastic with the majority having fled Kashmir within the first year of the conflict and relocating to Jammu and elsewhere. They are one of the most prominent internally displaced persons (IDPs) in the region. Kashmiri Pandits are historically associated with state bureaucracies from the precolonial to postcolonial regimes and having been prominent landowners in Kashmir. While Kashmiri nationalism declares independence from the Indian state, the Pandits are located in the union between India and Kashmir. This book attempts to explore their experiences by looking at their relationship to Kashmir and the place they have relocated to, where they have rebuilt their lives. Focusing on camp colonies and the lives of Pandits across the city, the book reveals a tension between the recovery of ordinary life after loss and the inability to feel truly settled and to finds ones place in the world. This book explores how they seek recognition as victims through engagements with political parties, organizations, and organs of the Indian welfare state. But this process is caught in a struggle between the uniqueness of victimhood and the universality of violence and suffering. Thus, this book attempts to understand experiences of dispossession among people who occupy a politically ambivalent location."
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20470450
eBooks  Universitas Indonesia Library