Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hosea Imanuel
Abstrak :
Peningkatan kesadaran masyarakat muslim akan kehalalan produk farmasi menyebabkan kebutuhan sertifikasi halal produk farmasi terus meningkat. Metode pemeriksaan berbasis DNA telah disepakati sebagai salah satu pemeriksaan yang wajib dilakukan dalam pemeriksaan halal. qPCR berbasis SYBR Green merupakan metode pemeriksaan berbasis DNA yang memiliki kecepatan analisis yang lebih tinggi dibandingkan PCR konvensional dan lebih ekonomis dibandingkan qPCR berbasis probe. Multiplex PCR merupakan reaksi PCR yang menggabungkan beberapa primer dalam satu reaksi untuk mengamplifikasi beberapa gen secara sekaligus. Penggunaan primer universal telah dikembangkan untuk meningkatkan reprodusibilitas multiplex PCR berbasis SYBR Green, tetapi belum berhasil melakukan diskriminasi spesies hewan. Pada penelitian ini, primer forward universal yang didampingin dengan primer reverse spesifik untuk porcine, canine, dan murine berhasil dikembangkan. Selain itu, setiap primer menghasilkan amplicon dengan nilai Tm yang berbeda sehingga diskriminasi spesies hewan dapat dilakukan. Multiplex qPCR dari kombinasi primer tersebut ditemukan dapat mengamplifikasi ketiga gen secara sekaligus dengan variasi intra-assay dan variasi inter-assay sebesar 9,83% dan 11,53%. Multiplex qPCR yang dikembangkan dalam mendeteksi gen porcine dalam 6,81 pg/μL DNA total, gen murine dalam 22,88 pg/μL DNA total, dan gen canine dalam 88,06 pg/μL DNA total. Multiplex qPCR yang dikembangkan terbukti dapat mendeteksi sisa DNA yang terdapat pada produk farmasi maupun kosmetik. ......The rise of muslim awareness in halal pharmaceutical has caused an increase in demand for halal certified pharmaceutical. DNA based detection has been approved as a gold standard in halal examination. Intercalating dye-based qPCR is more economically available compared to available commercial kits which employs probe-based qPCR and also require less analysis time compared to conventional PCR. Multiplex qPCR could amplify more than one target by combining two primer set in one reaction. Universal primer have been developed to increase intercalating dye based Multiplex qPCR reproducibility. However, discrimination of animal species with universal primer have not been successful. In this study, universal forward primer was combined with a specific reverse primer for porcine, canine, and murine. These primers were found to be specific and were able to produce a different melting temperature, enabling animal species discrimination. Multiplex qPCR with these primers was repeatable with an intra assay variance and inter assay variance of 9,83% and 11,53%. The developed multiplex qPCR could detect porcine gene in 6,81 pg/μL DNA solution, murine gene in 22,88 pg/μL DNA solution, and canine gene in 88,06 pg/μL DNA solution. Moreover, the developed multiplex qPCR was proven to be able to detect DNA remnant in pharmaceutical and cosmeuticals.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maxwell, David
Abstrak :
Latar belakang : Konsep balanced occlusion umum digunakan pada pembuatan GTP, namun konsep canine guidance menawarkan proses yang sederhana dan mengurangi resorbsi alveolar ridge. Diperlukan penelitian mengenai perbandingan kedua konsep oklusi ini di Indonesia. Tujuan : Menganalisis efektivitas konsep canine guidance dibandingkan balanced occlusion pada pemakai gigi tiruan penuh (GTP). Metode : Sepuluh pemakai GTP berpartisipasi dalam uji klinis dengan desain menyilang, lima subjek dipilih acak untuk memakai GTP balanced occlusion kemudian canine guidance dan lima yang lain memakai GTP canine guidance kemudian balanced occlusion. Pengukuran dilakukan tiga puluh hari setelah pemakaian setiap konsep oklusi. Aktivitas elektromiograf otot masseter superfisialis dan temporalis anterior subjek direkam dengan alat EMG, dan subjek mengisi kuesioner kemampuan mastikasi. Hasil : Rerata antara aktivitas EMG otot masseter superfisialis dan otot temporalis anterior pada pemakaian GTP canine guidance berbeda bermakna (p < 0,05) dengan balanced occlusion. Rerata antara skor kuesioner kemampuan mastikasi pada pemakaian GTP canine guidance berbeda bermakna (p=0,046) dengan balanced occlusion. Terdapat korelasi yang bermakna (p = 0,045) dan kuat (r=0,642) antara aktivitas EMG otot temporalis anterior dengan skor kuesioner kemampuan mastikasi saat pemakaian GTP balanced occlusion dan antara aktivitas EMG otot masseter superfisialis dengan skor kuesioner kemampuan mastikasi (p=0,045 ; r=0,648) saat pemakaian GTP canine guidance. Kesimpulan : Aktivitas otot mastikasi saat memakai GTP canine guidance lebih rendah signifikan secara klinis dan berbeda bermakna secara statistik dengan balanced occlusion. Kemampuan mastikasi secara subjektif juga lebih baik saat memakai GTP canine guidance.
Background : Balanced occlusion commonly used in complete denture fabrication, however, canine guidance offers a simple process and reduce alveolar ridge resorption. Comparative study of these two concepts occlusion is required in Indonesia. Objective: To analyze the effectiveness of canine guidance to the balanced occlusion in complete denture wearers. Methods: Ten denture wearers participating in cross-over clinical trials, five subject randomly selected to wear balanced occlusion followed by canine guidance, five others wearing canine guidance followed by balanced occlusion. Outcomes were measured after 30 days of each occlusal scheme. Elektromiograf activities of superficial masseter muscle and anterior temporal muscle were recorded, participants also answered a masticatory ability questionnaire. Results: There are significant differences between the EMG activity of superficial masseter muscle and the anterior temporal muscle canine guidance on canine guidance wearers and balance occlusion (p <0.05). Patients rated their masticatory ability significantly better for the canine guidance denture (p = 0.046). There are significant and strong correlation (p = 0.045 ; r = 0.642) between the EMG activity of anterior temporal muscle and masticatory ability upon wearing balanced occlusion denture, and also between the superficial EMG activity of superficial masseter muscle and masticatory ability (p = 0.043; r = 0.648) upon wearing canine guidance denture. Conclusion: EMG activity of masticatory muscles upon wearing canine guidance denture are clinically and statistically lower to balanced occlusion. Masticatory ability are also better when using canine guidance denture according to the patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ken Ayu Miranthy
Abstrak :
Latar belakang: Celah alveolar dapat menimbulkan masalah estetika dan fungsional yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Terdapat beberapa cara untuk menutup celah alveolar, diantaranya dengan perawatan orthodonti, pemasangan protesa, hingga dilakukannya tandur tulang. Tandur tulang merupakan baku standar untuk dilakukannya prerawatan celah alveolar. Upaya untuk mendapatkan hasil operasi tandur tulang yang optimal perlu memperhatikan beberapa faktor diantaranya waktu operasi, teknik operasi, lebar celah, dan kondisi gigi kaninus. Penilaian terhadap hasil operasi tandur tulang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan operasi dengan cara mengukur sudut gigi kaninus, tinggi vertikal gigi kaninus, dan tinggi tulang alveolar. Tujuan: Untuk mengevaluasi hasil operasi tandur tulang sekunder melalui tinggi tulang alveolar dengan radiograf dan dianalisa dengan Bergland indeks serta perubahan sudut gigi kaninus, tinggi vertikal gigi kaninus. Metode: 5 radiograf OPG dan 12 radiograf oklusal didapatkan dari pasien operasi tandur tulang sekunder dengan cara restrospektif analitik dari poli CLP RSAB Harapan Kita. Hasil: Didapatkan nilai sebesar 91% keberhasilan operasi tandur tulang dinilai dari tinggi tulang alveolar. Adanya perubahan sudut gigi kaninus dan tinggi vertikal gigi kaninus sebelum dan sesudah operasi. Kesimpulan: Keberhasilan operasi tandur tulang yang ditandai dengan terbentuknya bone brigde akibat adanya gaya mekanikal pada celah alveolar setelah operasi tandur tulang yang dapat dinilai dengan adanya perubahan sudut gigi kaninus dan tinggi vertikal gigi kaninus. ......Background: Alveolar cleft can effect the quality of life the patient due to esthetic and functional problems. There are several techniques to close alveolar cleft such as orthodonti treatment, dental prothesis, and bone grafting. Secondary alveolar bone graft is the gold standar in alveolar cleft treatment. In order to get the optimum result of secondary alveolar bone graft, there are some factors need to be considered timing of operation, operation technique, width of the cleft, and condition of canine teeth. Some parameters were used to evaluate the secondary alveolar bone graft procedure, there are canine angle, vertical height of canine, and alveolar height. Objective: to evaluate secondary alveolar bone graft procedure using alveolar height by Bergland radiographic scale and canine angle and vertical height. Method: 5 OPG and 12 oklusal radiograph were collected from patient alveolar cleft post secondary alveolar bone grat using retrospective analytic sampling from Harapan Kita Hospital. Result: Satisfactory results were obtained in 91% of cases. There are significant changes in canine angle and vertical height post secondary alveolar bone graft procedure. Conclusion:Formation of bone bridge due to mechanical force in alveolar cleft post secondary alveolar bone graft can be identified by the change of canine angle and vertical height.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Godjali
Abstrak :
Latar Belakang: Dalam identifikasi odontologi forensik, diperlukan penentuan jenis kelamin dan ras. Tujuan: Menenentukan jenis kelamin dan ras berdasarkan ukuran mesiodistal (MD) dan bukolingual (BL) gigi kaninus rahang bawah, beserta nilai referensinya. Metode: Dilakukan pengukuran MD dan BL gigi C RB pada populasi suku Batak dan Tionghoa, selanjutnya ditetapkan nilai referensinya. Hasil: Ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD dan BL pada pengujian antar jenis kelamin (p<0,05). Pada pengujian antar ras ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD, namun tidak pada ukuran BL. Pada penentuan jenis kelamin nilai referensi ukuran MD 6,942 mm dan BL 7,527 mm. Pada penentuan ras, nilai referensi pada laki-laki ukuran MD 7,529 mm dan BL 7,845 mm, sedangkan perempuan MD 6,643 mm dan BL 7,210 mm. Kesimpulan: Ukuran MD dan BL gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin dan ras. ......Background: In odontologic forensic identification, determining sex and race are important. Objectives: To determine race and sex by using mesiodistal (MD) and buccolingual (BL) measurements of mandibular canines and to obtain their reference points. Methods: Measured MD and BL mandibular canines measurements of Batak and Chinese in Indonesia, then calculated the reference points. Results: There is significant difference of MD and BL measurements between sex (p<0,05). There is significant difference of MD measurement between races but there isn’t on BL measurement. To determine sex, reference point for MD measurement is 6,942 mm and BL is 7,527 mm. To determine race, reference point for men is 7,529 mm for MD and 7,845 mm for BL, for women is 6,643 mm for MD and 7,210 mm for BL. Conclusions: Mesiodistal and buccolingual measurements can be used to determine sex and race in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bilqis Nurul Azizah
Abstrak :
Latar Belakang: Kasus bencana yang diakibatkan oleh alam dan manusia di Indonesia menimbulkan banyak korban jiwa. Terdapat usia kritis yang terkait dengan undang-undang yang berkaitan dengan usia. Dibutuhkan metode yang paling baik dalam uji estimasi usia, sehingga perlu dicari metode uji estimasi usia yang akurat untuk di Indonesia. TCI-Khoman baru dikemukakan pada tahun 2015, estimasi usia pada metode ini menggunakan gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar pada radiograf periapikal yang  hasilnya belum pernah dibandingkan dengan metode estimasi usia yang sudah ada. Metode atlas Blenkin-Taylor merupakan metode estimasi usia dengan menggunakan atlas tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi usia prenatal hingga 25 tahun  pada pria dan wanita, populasinya pada Australia Modern dengan menggunakan radiograf panoramik atau sefalometrik yang telah digunakan sebagai acuan tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi di dunia. Sehingga dibutuhkan penelitian untuk membandingkan antara hasil estimasi usia menggunakan metode TCI-Khoman yang baru ditemukan, dengan metode atlas Blenkin-Taylor yang sudah menjadi acuan di dunia. Tujuan: Menganalisis keakuratan metode estimasi usia menggunakan rumus TCI-Khoman dibandingkan dengan metode atlas Blenkin-Taylor pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar di Indonesia dalam rentang usia 8-25 tahun. Metode: Pengujian estimasi usia pada 123 sampel dengan menggunakan rumus TCI-Khoman kemudian dibandingkan dengan estimasi usia menggunakan metode atlas Blenkin-Taylor. Hasil: Metode TCI-Khoman dapat menggunakan radiograf periapikal maupun panoramik. Hasil perbandingan antara estimasi usia dengan menggunakan metode TCI-Khoman dan atlas Blenkin-Taylor tidak ditemukan perbedaan bermakna. Hasil perbandingan antara usia kronologis dengan masing-masing metode estimasi usia TCI-Khoman dan atlas Blenkin-Taylor tidak ditemukan perbedaan bermakna. Kesimpulan: Uji estimasi usia menggunakan metode TCI-Khoman dengan metode atlas Blenkin-Taylor pada rentang usia 8-25 tahun sama-sama dapat digunakan di Indonesia dengan menggunakan radiograf panoramik. ......Background: Cases of human or natural disasters in Indonesia have caused many victims. There is a critical age associated with laws relating to age. The best method for age estimation is needed, so it is necessary to find an accurate age estimation for Indonesian people. TCI-Khoman discovered in 2015, the age estimation in this method uses incisor, canine, premolar, and molar teeth on periapical radiographs whose results have never been compared with existing age estimation methods. The Blenkin-Taylor Atlas method using atlas order of eruption between prenatal age to 25 years old in men and women with Modern Australian population uses panoramic or cephalometric radiographs that have been used as a reference for tooth development and eruption atlas in the world. So the research is needed to compare the results of age estimation using the newly discovered TCI-Khoman method, with the Blenkin-Taylor atlas method that has become a reference in the world. Objectives: To analyze the accuracy of the age estimation method using the TCI-Khoman formula in incisor, canine, premolar, and molar  teeth compared to the Blenkin-Taylor atlas method in Indonesia in the age range of 8-25 years. Methods: Testing age estimations in 123 samples using the TCI-Khoman formula then compared with age estimation using the Blenkin-Taylor atlas method. Results: The TCI-Khoman method can use in both periapical and panoramic radiographs. The results of the comparison between age estimations using the TCI-Khoman method and Blenkin-Taylor atlas did not show significant difference. The results of the comparison between actual age between each TCI-Khoman age estimation method and Blenkin-Taylor atlas did not show significant differences. Conclusion: Both age estimation methods, TCI-Khoman method and Blenkin-Taylor atlas method, in the age range of 8-25 years can be used in Indonesia using a panoramic radiograph.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library