Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanif Hamdani
Abstrak :
Konsep Nearly Zero Energy Building merupakan salah satu aspek kunci dalam menghadapi tantangan lingkungan global saat ini. Gedung X yang berlokasi di Jakarta Selatan selama tahun 2022 konsumsi energinya termasuk dalam kategori agak boros sehingga masih perlu dilakukan implementasi Nearly Zero Energy Building. Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran langsung konsumsi energi untuk tiap klasifikasi peralatan listrik, kemudian dipilih alteranif investasi untuk pengemahatan konsumsi energinya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh potensi penghematan dan produksi energi pada Gedung X yang dapat diterapkan. Terdapat empat alternatif strategi yaitu Penggantian Cooling Tower dan Pompa CWP, instalasi BAS, Penggantian LED Dim Light, Instalasi Panel Surya, semuanya mengahasilkan NPV yang positif kecuali Instalasi Panel Surya. Alternatif instalasi panel surya memakan biaya investasi yang paling mahal dan menghasilkan NPV yang negatif, seluruh kombinasi investasi yang melibatkan instalasi panel surya akan menghasilkan NPV yang negatif, sehinga penerapan NZEB dengan investasi panel surya disimpulkan tidak layak di Gedung X. Selanjutnya Kombinasi penggantian cooling tower & pompa CWP, Instlasi BAS, dan Penggantian LED Dim Light menghasilkan nilai paling baguns dibanding skenario lain yaitu pengembalian NPV Rp 437,853,822, penurunan IKE sebesar 11.76 menjadi “efisien’ dan penurunan emisi karbon sebesar 1,172,648 (kg CO2/kWh). ......The Nearly Zero Energy Building concept is one of the key aspects in facing current global environmental challenges. Building Data collection is carried out by directly measuring energy consumption for each classification of electrical equipment, then investment alternatives are selected to reduce energy consumption. This research aims to obtain the potential for energy savings and production in Building X that can be implemented. There are four alternative strategies, namely Cooling Tower and CWP Pump Replacement, BAS installation, LED Dim Light Replacement, Solar Panel Installation, all of which produce a positive NPV except Solar Panel Installation. The alternative of installing solar panels requires the most expensive investment costs and produces a negative NPV, all investment combinations involving solar panel installation will produce a negative NPV, so that the implementation of NZEB with solar panel investment is concluded to be unfeasible in Building X. Furthermore, the combination of replacing the cooling tower & CWP pump, BAS installation, and LED dim light replacement produced the best value compared to other scenarios, namely NPV return of IDR 437,853,822, IKE reduction of 11.76 to "efficient" and reduction of carbon emissions of 1,172,648 (kg CO2/kWh).
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widayati
Abstrak :
[ABSTRAK
Persoalan kerusakan lingkungan semakin meningkat dengan terjadinya penurunan luas lahan hutan ke non hutan. Cadangan luas hutan yang semakin terbatas menimbulkan permasalahan dari sisi suplai dan berimplikasi pada peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sebagai gambaran, pada tahun 2005 sebesar 62,8% emisi GRK Indonesia dihasilkan dari perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2010). Emisi karbon dari perubahan lahan hutan memiliki keterkaitan erat dengan perekonomian (PDB) suatu wilayah. Salah satu model yang sering digunakan untuk menganalisis hubungan indikator kerusakan lingkungan dan indikator ekonomi di suatu wilayah adalah Environmental Kuznets Curve (EKC). Secara umum di 7 (tujuh) wilayah terjadi penurunan emisi karbon dari perubahan penutup lahan pada periode 1997-2013. Wilayah Sumatera adalah wilayah dengan emisi karbon/tahun tertinggi yaitu 148,08 juta ton CO2, selanjutnya wilayah Kalimantan 130,51 juta ton CO2, wilayah Papua sebesar 66,34 juta ton CO2, dan wilayah Sulawesi sebesar 62,97 juta ton CO2. Sedangkan 3 (tiga) wilayah lainnya yaitu wilayah Maluku sebesar 16,21 juta ton CO2, wilayah Jawa sebesar 9,13 juta ton CO2, dan wilayah Bali dan Nusa Tenggara sebesar 5,44 juta ton CO2. Hasil estimasi data panel, hubungan emisi karbon per kapita dari perubahan penutup lahan dan PDRB per kapita di Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua digambarkan dengan bentuk kurva U yang berarti bahwa emisi karbon per kapita akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita, sedangkan wilayah Jawa dan Maluku digambarkan dengan bentuk kurva U terbalik sesuai dengan hipotesis EKC yang berarti bahwa setelah mencapai titik balik emisi karbon per kapita akan terus menurun seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita.
ABSTRACT
The issues of environmental damage increases with changing of forest land to non-forest. Reserve forest area is more limited caused supply side problems and the implications of this is increased of Green House Gas (GHG emissions). As an illustration, in 2005, 62,8% Indonesia's GHG emissions resulting from land-use change and forestry (Ministry of Environment, 2010). Carbon emissions from changes in forest land are closely related to the economy of a region (GDP). One model that is commonly used to analyze the relationship between indicators of environmental damage and economic in a region is the Environmental Kuznets Curve (EKC). Generally in 7 (seven) region, carbon emissions from changes in land cover in the period 1997-2013 is decreased. Sumatra region is the region with carbon emissions/year is 148,08 million tonnes of CO2, Kalimantan 130,51 million tonnes of CO2, Papua is 66,34 million tonnes of CO2, and Sulawesi region is 62,97 million tonnes of CO2. While the 3 (three) other areas, namely the Moluccas with a value of 16,21 million tons CO2, Java is 9,13 million tonnes of CO2, and Bali and Nusa Tenggara region is 5,44 million tons of CO2. Relationship between emissions of carbon per capita from land cover change and GDP per capita in Sumatra, Bali and Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, and Papua described by U curve shape which means that the carbon emissions per capita will continue to increase along with the increase in income per capita, while Java and Maluku depicted the shape of an inverted U curve according to the EKC hypothesis, which means that after reaching a turning point in carbon emissions per capita will continue to decrease with the increase of income per capita., The issues of environmental damage increases with changing of forest land to non-forest. Reserve forest area is more limited caused supply side problems and the implications of this is increased of Green House Gas (GHG emissions). As an illustration, in 2005, 62,8% Indonesia's GHG emissions resulting from land-use change and forestry (Ministry of Environment, 2010). Carbon emissions from changes in forest land are closely related to the economy of a region (GDP). One model that is commonly used to analyze the relationship between indicators of environmental damage and economic in a region is the Environmental Kuznets Curve (EKC). Generally in 7 (seven) region, carbon emissions from changes in land cover in the period 1997-2013 is decreased. Sumatra region is the region with carbon emissions/year is 148,08 million tonnes of CO2, Kalimantan 130,51 million tonnes of CO2, Papua is 66,34 million tonnes of CO2, and Sulawesi region is 62,97 million tonnes of CO2. While the 3 (three) other areas, namely the Moluccas with a value of 16,21 million tons CO2, Java is 9,13 million tonnes of CO2, and Bali and Nusa Tenggara region is 5,44 million tons of CO2. Relationship between emissions of carbon per capita from land cover change and GDP per capita in Sumatra, Bali and Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, and Papua described by U curve shape which means that the carbon emissions per capita will continue to increase along with the increase in income per capita, while Java and Maluku depicted the shape of an inverted U curve according to the EKC hypothesis, which means that after reaching a turning point in carbon emissions per capita will continue to decrease with the increase of income per capita.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diksi Harmonik Rahman
Abstrak :
Perencanaan kota yang baik diperlukan untuk pembangunan kota yang berkelanjutan dan rendah emisi karbon. Di Indonesia, tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan urban sprawl. Sementara itu, urban sprawl berdampak negatif terhadap sosial ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Studi ini berfokus pada bagaimana urban sprawl mempengaruhi emisi karbon di Indonesia dari tahun 2010-2018. Dengan menggunakan model two-way fixed effect pada kota-kota di Indonesia, disimpulkan bahwa urban sprawl berkorelasi positif dengan emisi karbon. Studi ini juga menggunakan faktor transmisi yang menghubungkan urban sprawl dengan emisi karbon, yaitu kendaraan pribadi dan perilaku pembakaran sampah. Hasilnya menunjukkan bahwa urban sprawl dapat memperburuk emisi karbon melalui kepemilikan kendaraan pribadi dan perilaku pembakaran sampah. ......Good urban planning is necessary for sustainable and low carbon emissions urban development. In Indonesia, a high level of urbanization causes urban sprawl. Meanwhile, urban sprawl has negatively impacted socioeconomic, health, and the environment. This study focuses on how urban sprawl affected carbon emissions in Indonesia from 2010-2018. Using a two-way fixed effect model on cities in Indonesia, it is concluded that urban sprawl positively correlated with carbon emissions. This study also employs the transmission factors that connect urban sprawl to carbon emissions, i.e. private vehicle and open burning behavior. The results show that urban sprawl can aggravate carbon emissions through private vehicle possession and open burning behavior.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellias Wijaya
Abstrak :
Kondisi lahan gambut di Kalimantan Tengah saat ini sudah rusak paska dibukanya proyek lahan gambut sejuta hektar. Salah satu upaya restorasi rawa gambut yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum adalah pembuatan tanggul untuk mengendalikan aliran air dan muka air tanah. Rencana pembuatan tanggul di Desa Sei Ahas, Kalimantan Tengah ternyata menghadapi hambatan-hambatan sosial yang erat kaitannya dengan tingkat kesiapan masyarakat. Mengingat pentingnya peranan tanggul dalam mendukung restorasi ekosistem rawa gambut, maka perlu dikaji aspek-aspek apa yang menghambat kesiapan masyarakat dalam menerima dan memanfaatkan tanggul. Penelitian ini dilakukan di Desa Sei Ahas tahun 2013 dengan pendekatan penelitian integratif. Metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam, survei, observasi lapangan dan studi literatur. Tingkat kesiapan masyarakat termasuk dalam kategori preplanning. Faktor-faktor yang menghambat kesiapan masyarakat Sei Ahas adalah kekhawatiran terganggunya mata pencaharian penduduk, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap emisi karbon dan kebakaran gambut, persepsi yang salah terhadap fungsi dan mekanisme tanggul, dan kurang harmonisnya jaringan sosial di masyarakat.
Jakarta: Puslitbang Sosial Budaya Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembanga Kementrian Pekerjaan Umum, 2009
352 JSEPU 5 (3) 2013
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Prangin Angin, Fadhil Waficandra
Abstrak :
Tanaman adalah makhluk hidup yang dapat menyerap karbon pada suatu daerah melalui proses fotosintesis, sehingga keberadaannya diperlukan untuk menyerap emisi karbon. Mengestimasi nilai biomassa merupakan indikator penting karena memberikan prasyarat dasar mengenai estimasi kepadatan dan penyimpanan karbon dalam wilayah tersebut. Ketidak seimbangan antara emisi karbon dengan stok karbon akan terjadi apabila kegiatan manusia yang menghasilkan emisi karbon lebih tinggi dibandingkan dengan stok karbon pada daerah tersebut. Faktor yang memengaruhi tingkat emisi karbon pada daerah tersebut adalah tingkat kepadatan populasi, persentase wilayah urban, dan kepadatan jalan. Nilai karbon didapatkan dari model dengan perhitungan model menggunakan regresi linear. Sementara untuk mengetahui nilai biomassa diperlukan data diameter setinggi dada pada jenis jenis pohon perkotaan. Citra satelit untuk kemudian diolah menjadi data NDVI serta citra yang digunakan adalah Sentinel 2-A. Nilai Estimasi stok karbon dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan persamaan allometrik yang dapat menentukan nilai biomassa permukaan, setelah mendapatkan nilai biomassa permukaan dilakukan persamaan regresi terhadap nilai NDVI. Perhitungan antara nilai emisi karbon dengan nilai stok karbon kemudian dihitung selisihnya untuk mendapatkan wilayah yang kelebihan penyimpanan karbon atau kekurangan penyimpanan karbon. Hasil dari penelitian ini adalah komposisi antara karbon yang mampu disimpan oleh tanaman pada wilayah Kecamatan Kuta, Kuta Utara dan Kuta Selatan dengan emisi karbon yang terdapat di Kecamatan Kuta, Kuta Utara dan Kuta Selatan. ......The Plant is an living creatures that can absorbs carbons on open air with their capability to photosynthesis, therefore its existence are surely needed to absorbs carbon emissions. Estimating biomass was one of the important indicator because it is an basic requirements about estimating the density of carbons storage on that region. The imbalance between carbon emissions and carbon stocks will happen if the human activity that produce carbon emissions were higher than carbon stocks on that region. Driving factors that interfere the size of carbon emissions on some regions are populations density, road density, and urban percentages. Carbons value were collected by model with calculations using linear regressions. In the other hand to determine biomass value required diameter breast height on tree species on the city. Satellite imagery is also required to produce NDVI data, satellite imagery that were used on this study was Sentinel 2-A. Estimations value of carbon stocks can be obtained by using allometric equation which can determine aboveground biomass, after obtaining the aboveground biomass the next step is making linear regressions against NDVI value. Calculations between carbon emissions value and carbon stocks value were calculated the difference for obtaining which region that had more carbon stocks and which region that hasn’t. the result of this study were composisions between carbons that can be absorbs by the plant in Kuta,North Kuta, and South Kuta District with the carbon emissions that happened on Kuta, North Kuta and South Kuta District.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dandy Rizky Wibowo
Abstrak :
Secara teoritis, carbon pricing – yang umumnya terdiri dari pajak karbon dan sistem perdagangan emisi – adalah kebijakan yang efektif dalam mengurangi emisi. Akan tetapi, terdapat isu apakah carbon pricing  berhasil menurunkan emisi dalam prakteknya. Isu lainnya adalah carbon pricing menyebabkan penurunan pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan memperburuk ketimpangan pendapatan. Menggunakan regresi data panel fixed effect dan menjadikan negara G20 sebagai studi kasus, studi ini menunjukkan bahwa pengimplementasian pajak karbon dan sistem perdagangan emisi secara bersamaan mengakibatkan penurunan emisi, tetapi disaat yang bersamaan menyebabkan penurunan PDB dan memperburuk distribusi pendapatan. Membedakan dan membandingkan dampak pajak karbon dan sistem perdagangan emisi secara terpisah, studi ini menemukan bahwa tidak pajak karbon maupun sistem perdagangan emisi memberikan dampak yang menguntungkan pada emisi, PDB, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan. Meskipun penurunan emisi dari pajak karbon lebih rendah daripada sistem perdagangan emisi dan telah terbukti bahwa pajak karbon menyebabkan penurunan PDB, akan tetapi pengimplementasian pajak karbon menurunkan ketimpangan pendapatan. Sebaliknya, sistem perdagangan emisi yang penurunan emisinya lebih besar dibandingkan dengan pajak karbon justru malah meningkatkan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian, pengimplementasian carbon pricing memberikan tantangan bagi pengambil kebijakan untuk bagaimana dampak negatif dari pengimplementasian carbon pricing dapat diminimalisir. ......Theoretically, carbon pricing – which in general consists of carbon tax and Emissions Trading System (ETS) – is an effective policy in reducing emissions. However, there is an issue whether in practice carbon pricing has been successful in reducing emissions. Another issue is carbon pricing would induce a decrease in GDP and worsen income inequality. Using fixed effect panel data regression and utilized G20 countries as the case study, this study revealed that the implementation of carbon tax and ETS simultaneously has been effective in reducing emissions, while at the same time induced decrease in GDP and worsening income inequality. Differentiating and comparing the impact of carbon tax and ETS separately, this study found neither carbon tax nor ETS provide favorable outcomes on emissions, GDP, and income inequality simultaneously. Although the emissions reduction from carbon tax is lower than the ETS and it is proven that carbon tax implementation reduces GDP, but the implementation decreases income inequality. In contrast, ETS which provide larger emissions reduction compared to the carbon tax result in higher income inequality. Thus, the carbon pricing implementation leaves policymakers the challenges on how to reduce the adverse impact due to the implementation.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Az Zahra Sashe Azhar
Abstrak :
Dengan meningkatnya kesadaran global terhadap perubahan iklim dan pengurangan emisi karbon, perdagangan karbon menjadi instrumen penting untuk mencapai target emisi. Implementasi perdagangan karbon di Indonesia masih awal dan memerlukan regulasi lebih lanjut, terutama terkait sistem perpajakan. Beberapa negara telah mengimplementasikan perpajakan seperti pajak penghasilan, namun di Indonesia hal ini belum ditelaah lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah penghasilan dari perdagangan karbon melalui bursa karbon dan perdagangan langsung merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh), serta membandingkan ketentuan PPh atas penghasilan perdagangan karbon di Australia dan Brazil yang bisa diadopsi oleh Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan mengkaji regulasi, literatur, data sekunder, serta benchmarking. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan perlakuan pajak antara transaksi bursa karbon dan perdagangan langsung, yang memengaruhi efektivitas perdagangan karbon di Indonesia serta terdapat objek PPh atas penghasilan perdagangan karbon. Penghasilan dari bursa karbon dapat dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) yang juga sesuai dengan pengenaan pajak pada saham karena didefinisikan sebagai efek, sedangkan perdagangan langsung masih menjadi perdebatan terdapat potensi besar juga atas penerimaan keuntungan dari penjualan aset tersebut atau keuntungan yang dapat dikenakan PPh badan secara umum dengan tarif 22%. Benchmarking dengan Australia dan Brazil memberikan gambaran ketentuan PPh yang dapat diterapkan di Indonesia. ......With the increasing global awareness of climate change and carbon emission reduction, carbon trading has become an important instrument to achieve emission targets. The implementation of carbon trading in Indonesia is still early and requires further regulation, especially regarding the taxation system. Some countries have implemented taxation such as income tax, but in Indonesia this has not been explored further. This study aims to analyze whether income from carbon trading through carbon exchanges and direct trading is an object of Income Tax (PPh), as well as compare the provisions of Income Tax on carbon trading income in Australia and Brazil that can be adopted by Indonesia. The research uses a qualitative descriptive approach by reviewing regulations, literature, secondary data, and benchmarking. The results show differences in tax treatment between carbon exchange transactions and direct trading, which affect the effectiveness of carbon trading in Indonesia and the object of income tax on carbon trading income. Income from carbon exchange can be subject to final income tax Article 4 paragraph (2) which also corresponds to the tax imposition on shares because it is defined as securities, while direct trading is still debatable, there is also a large potential for receiving profits from the sale of these assets or profits that can be subject to general corporate income tax at a rate of 22%. Benchmarking with Australia and Brazil provides an overview of income tax provisions that can be applied in Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fauzy Habiby Prasetya
Abstrak :
Kota Depok merupakan salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia, dan termasuk kedalam Kawasan Megapolitan Jabodetabek, Ibukota Jakarta beserta dengan semua kota penyangga yang beririsan dengannya. Salah satu konsekuensi yang ditimbulkan sebagai kota metropolitan adalah jumlah penduduk yang besar. Kondisi ini mendorong berbagai macam permasalah lingkungan, salah satunya tingginya emisi karbon yang dihasilkan, hingga banyaknya perubahan tutupan lahan dalam utamanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomis masyarakat. Perubahan tutupan lahan ini seringkali mengabaikan kebutuhan masyarakat terkait interaksi bersama dengan lingkungan dan alam. Salah satu yang menjadi efek besar dari perubahan tutupan lahan perkotaan ini adalah berkurangnya jumlah Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan. Ruang Terbuka Hijau memiliki peran penting bagi masyarakat, utamanya di wilayah perkotaan. Selain menjadi ruang interaksi antar masyarakat dan alam, Ruang Terbuka Hijau juga memiliki fungsi ekologis, sebagai zona serap gas rumah kaca. Gas Rumah Kaca di perkotaan banyak dihasilkan melalui emisi karbon aktivitas manusia. Emisi karbon menjadi masalah bagi wilayah perkotaan dikarenakan adanya aktivitas manusia dalam jumlah besar. Estimasi biomassa banyak dimanfaatkan salah satunya untuk memperkirakan jumlah serapan karbondioksida vegetasi yang terdapat di suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi distribusi Ruang Terbuka Hijau di Kota Depok, menghitung korelasi beragam indeks vegetasi terhadap karakteristik vegetasi pada ruang terbuka hijau di kota Depok (lebar diameter batang pohon), dan mengestimasi jumlah biomassa simpanan dan daya serap karbon dioksida di Kota Depok. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa total simpanan biomassa yang ada di Kota Depok adalah sebesar 2.524.116,991 Kg, dengan kemampuan daya serap karbondioksida sebesar 3.710.451,976 Kg Gas CO2, dan stok karbon sebesar 1.186.334,986 Kg C. ......Depok City is one of the largest metropolitan cities in Indonesia, and is included in the Jabodetabek Megapolitan Area, which is The capital city, Jakarta along with all the supporting cities intersecting with it. One of the consequences being a metropolitan city is a large number of population. This condition creates various kinds of environmental problems, one of which is the high carbon emissions produced, to the many changes in land cover, to meet the economic needs of the public community. Changes in land cover often ignores public community needs regarding interaction with the environment and nature. One of the major effects of changes in urban land cover is the reduced number of green open spaces in urban areas. Green Open Space has an important role for society, especially in urban areas. Besides of being an open space for interaction between people and nature, Green Open Spaces also have an ecological role, as a greenhouse gas absorption zone. Many greenhouse gases in urban areas are produced through carbon emissions from human activities. Carbon emissions are a problem for urban areas due to large amounts of human activity. Estimation of biomass is widely used, one of which is to estimate the amount of carbon dioxide absorbed by vegetation in an area. This study aims to identify the distribution of green open space in Depok City, calculate the correlation of various vegetation indices on vegetation characteristics in green open spaces in Depok city (diameter at breast height), and estimate the amount of biomass stored and carbon dioxide sequestration capacity in Depok city. The results of this study indicate that the total biomass savings in Depok City is 2,524,116.991 Kg, with a carbon dioxide sequestration capacity of 3,710,451.976 Kg of CO2 gas, and a carbon stock of 1,186,334.986 Kg C.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library