Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadira A`Dila
Abstrak :
Asiatikosida adalah konstituen utama yang diisolasi dari Centella asiatica (L.) dan merupakan salah satu zat aktif yang banyak digunakan untuk mencegah penuaan kulit. Namun, asiatikosida memiliki masalah ketidakstabilan karena mudah teroksidasi dan terdegradasi. Hal ini dapat mempengaruhi stabilitas asiatikosida dalam sediaan kosmetik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan mikroemulsi asiatikosida sebagai sistem pembawa yang dapat meningkatkan stabilitas asiatikosida dan memfasilitasinya sebagai sediaan kosmetik. Pada penelitian ini, optimasi mikroemulsi asiatikosida dilakukan dengan memformulasikan mikroemulsi menggunakan isopropil miristat (sebagai fase minyak) dengan konsentrasi surfaktan (Tween 80) yang berbeda, yaitu F1 = 20%, F2 = 25%, dan F3 = 30%. Mikroemulsi dibuat dengan menggunakan metode titrasi fase. Ketiga formula yang diproduksi dievaluasi dalam hal organoleptik, distribusi ukuran partikel, pH, bobot jenis, viskositas, rheologi dan tegangan permukaan, cycling test, sentrifugasi, uji stabilitas 6 minggu pada 5±3°C dan 30±2°C, serta uji penetapan kadar selama 5 minggu penyimpanan. Mikroemulsi jernih dihasilkan dari F2 dan F3, sedangkan F1 tampak keruh dan terjadi pemisahan fase. Uji penetapan kadar menunjukkan bahwa kadar asiatikosida selama 5 minggu dalam formula F1, F2 dan F3 berturut-turut adalah 65,25 ± 13,73%; 42,62 ± 15,72% dan 68,50 ± 5,94%. Dapat disimpulkan bahwa mikroemulsi yang mengandung asiatikosida yaitu F2 dan F3 memenuhi persyaratan dan stabil secara fisik selama penyimpanan 6 minggu. Namun, belum dapat meningkatkan stabilitas kimia asiatikosida selama penyimpanan 5 minggu. ......Asiaticoside is the main constituent isolated from Centella asiatica (L.), and is one of the active substances widely used to prevent skin aging. However, asiaticoside has instability problems because it is easily oxidized and degraded. This can affect the stability of asiaticoside in cosmetic preparations. The aim of this study was to obtain an asiaticoside-containing microemulsion as a carrier system that could increase the stability of asiaticoside and facilitate it as a cosmetic preparation. In this study, optimization of the asiaticoside-contiaining microemulsion was carried out by formulating the microemulsion using isopropyl myristate (as an oil phase) with different surfactant (Tween 80) concentrations, namely F1 = 20%, F2 = 25%, and F3 = 30%. The microemulsion was prepared by using the phase titration method. The three formulations manufactured were evaluated in terms of their organoleptic, particle size distribution, pH, mass density, viscosity, rheology and surface tension. Moreover, a cycling test, centrifugation method, 6-week stability test at 5±3°C and 30±2°C, and drug content assay during 5-week of storage were also conducted. Clear microemulsions were produced from F2 and F3, while F1 looked cloudy and phase separation occurred. The assay results showed that the asiaticoside levels for 5 weeks in F1, F2 and F3 were 65.25 ± 13.73%; 42.62 ± 15.72% and 68.50 ± 5.94%, respectively. It can be concluded that the asiaticoside microemulsions F2 and F3, meet the requirements and were physically stable during 6 weeks of storage. However, it has not been able to increase the chemical stability of asiaticoside during 5 weeks of storage.  
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian mengenai optimalisasi kalus remah tangkai daun urutan ke-1 Centella asiatica (L.) Urban (pegagan) pada medium Murashige dan Skoog (MS) 1962 modifikasi dengan delapan variasi auksin dan sitokinin. Delapan variasi tersebut adalah 2,4-D 0,5 mgl -1 + BAP 0,5 mgl -1 (M1), 2,4-D 0,5 mgl -1 + Kinetin 0,5 mgl -1 (M2), 2,4-D 1 mgl -1 + Kinetin 0,5 mgl -1 (M3), 2,4-D 2,5 mgl -1 + Kinetin 1 mgl -1 (M4), NAA 0,2 mgl -1 + BAP 2 mgl -1 (M5), NAA 0,5 mgl -1 + BAP 0,5 mgl -1  (M6), NAA 1 mgl -1 + Kinetin 0,5 mgl -1 (M7), dan NAA 2 mgl -1 + Kinetin 1 mgl -1 (M8). Untuk menginduksi kalus dilakukan penanaman potongan tangkai daun dalam medium Murashige dan Skoog (MS) 1962 modifikasi dengan penambahan 2,4-D 2,5 mgl -1 + Kinetin 1 mgl -1 . Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA UI, Depok (April 2007--September 2007). Untuk induksi dan optimalisasi kalus, dilakukan pemeliharaan selama delapan minggu dengan pencahayaan kontinu. Semua eksplan yang ditanam pada medium induksi kalus membentuk kalus remah. Kalus remah yang terbentuk pada medium tersebut kemudian disubkultur ke dalam delapan medium optimalisasi kalus. Setelah ± empat minggu disubkultur ke medium optimalisasi kalus, tampak bahwa terjadi keragaman tekstur dan warna kalus yang tergantung pada macam dan konsentrasi ZPT yang digunakan. Jumlah kalus remah yang terbentuk pada medium optimalisasi iii berturut-turut dalam medium M1 (40%), M2 (80%), M3 (66,67%), dan M4 (33,33%) dengan warna kalus sebagian besar abu-abu muda, hartal, hingga cokelat. Sementara itu, medium M5--M8 cenderung membentuk kalus kompak dan campuran (remah dan kompak), dengan warna kalus sebagian besar hijau. Berat basah dan berat kering kalus tertinggi terdapat pada medium M7 masing-masing (750,7 ± 357) mg dan (69,1 ± 32,3) mg, sedangkan berat basah dan berat kering terendah terdapat pada medium M4 masing-masing (363,3 ± 230,9) mg dan (29,6 ± 21,1) mg. Secara umum, medium M2 dapat dinyatakan sebagai variasi auksin dan sitokinin yang baik untuk optimalisasi kalus remah tangkai daun C. asiatica.
Universitas Indonesia, 2007
S31476
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui respon kalus Centella asiatica (L.) Urban (pegagan) terhadap medium optimalisasi. Penelitian dilakukan di Lab. Fisiologi Tumbuhan Dept. Biologi, FMIPA UI, Depok (Maret- -September 2007). Kalus diinduksi dari tangkai daun bagian atas urutan ke-1, menggunakan medium Murashige & Skoog (1962) dengan penambahan 2,5 mgl-1 2,4-D dan 1 mgl-1 kinetin. Kalus yang telah terbentuk beserta eksplan dipindahkan ke medium optimalisasi (Murashige & Skoog 1962) dengan penambahan 2,5 mgl-1 2,4-D atau NAA, yang dikombinasikan dengan 0; 0,25; 0,5; 0,75; dan 1 mgl-1 kinetin. Kultur dipelihara pada kondisi terang kontinu (2 minggu untuk induksi kalus dan 4 minggu untuk optimalisasi kalus). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa seluruh eksplan mampu membentuk kalus pada medium induksi. Secara umum, kalus hasil induksi berwarna hijau. Namun, setelah disubkultur ke medium optimalisasi, sebagian besar sampel pada tiap perlakuan mengalami pencokelatan. Sebagian besar kalus hasil induksi maupun optimalisasi bertekstur kompak. Sampel yang ditanam pada medium M9 (MS + 2,5 mgl-1 NAA + 0,75 mgl-1 kinetin) menunjukkan persentase kehidupan sampel paling tinggi (50%). Dengan demikian, medium M9 merupakan medium yang paling mampu menunjang pertumbuhan kalus dibandingkan kesembilan medium lainnya.
Universitas Indonesia, 2007
S31466
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi NAA (Naphthaleneaceticacid) dan Kinetin (6-furfurylaminopurine) terhadap pertumbuhan akar adventif pada kultur in vitro daun Centella asiatica (L.) Urban (pegagan) pada bulan Mei--Oktober 2007. Eksplan daun pegagan urutan ke-1 dengan ukuran 1 cm2 ditanam pada medium Murashige & Skoog (1962) modifikasi, dengan penambahan empat macam kombinasi NAA dan Kinetin. Ke empat macam kombinasi tersebut adalah NAA 4 mgl-1 + Kinetin 2 mgl-1 (M0), NAA 3 mgl-1 + Kinetin 2 mgl-1 (M1), NAA 5 mgl-1 + Kinetin 2 mgl-1 (M2), dan NAA 6 mgl-1 + Kinetin 2 mgl-1 (M3). Kultur daun diinkubasi pada fotoperiodisitas 16 jam selama 40 hari. Akar adventif dibentuk secara tidak langsung dari kalus yang bertekstur kompak. Pembentukan akar adventif terjadi pada minggu ke-3 hingga akhir pengamatan. Medium M0, M1, M2, dan M3 mampu mendukung pembentukan akar adventif. Medium M1 merupakan medium yang lebih baik dibandingkan medium kontrol (M0) berdasarkan persentase eksplan yang membentuk akar adventif per perlakuan (58,3%) dan rata-rata hari inisiasi akar adventif (hari ke-24). Medium M3 merupakan medium yang lebih baik dibandingkan medium kontrol (M0) berdasarkan rata-rata berat basah akar adventif (359,2 mg) dan rata-rata berat kering akar adventif (11,7 mg). Hasil pengamatan mikroskopis terhadap akar adventif pegagan yang tumbuh secara in vitro maupun akar pegagan yang tumbuh secara in vivo menunjukkan kesamaan. Secara morfologi terdapat tudung akar, primordia 8 akar lateral, dan akar lateral. Secara anatomi terdapat epidermis, korteks, dan jaringan pembuluh. Analisis kualitatif terhadap senyawa terpenoid, steroid, saponin, dan fenolik menunjukkan bahwa akar adventif pegagan yang tumbuh secara in vitro mengandung senyawa terpenoid dan steroid.
Universitas Indonesia, 2007
S31475
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui respons eksplan tangkai daun Centella asiatica (L.) Urban (pegagan) urutan ke-1 (T1), ke-2 (T2), dan ke-3 (T3) terhadap medium B5 modifikasi dengan kadar sukrosa yang bervariasi, yaitu 20 gl-1 (S1), 30 gl-1 (S2), 40 gl-1 (S3), dan 50 gl-1 (S4). Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA UI, Depok. Kultur dipelihara selama 60 hari dengan pemberian cahaya kontinu. Secara umum, semua eksplan tangkai daun mampu merespons medium induksi kalus dengan membentuk kalus. Warna kalus yang dihasilkan bervariasi, yaitu hijau, hijau keputihan, hjau kecokelatan, dan cokelat. Semua kalus mempunyai tekstur yang kompak. Berdasarkan data kualitatif, eksplan tangkai daun ke-1 yang ditanam pada medium B5 modifikasi dengan kadar sukrosa 40 gl-1 cenderung lebih baik dalam membentuk kalus. Berdasarkan persentase tumbuh kalus, perlakuan T1S3 memiliki nilai persentase tertinggi (100%), sedangkan nilai terendah dimiliki perlakuan (T3S4) (30%). Berdasarkan rata-rata hari tumbuh kalus, perlakuan T1S3 memiliki rata-rata hari tumbuh kalus tercepat (11,7 hari) sedangkan yang terlama (16 hari) dimiliki perlakuan T3 S3. Berdasarkan ukuran kalus diperoleh kategorisasi kalus (+) hingga (++++).
Universitas Indonesia, 2006
S31414
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhila Kiasatina Larasati
Abstrak :

Ekstrak herba pegagan (Centella asiatica L.) memiliki kandungan senyawa aktif berupa senyawa asiatikosida. Asiatikosida memiliki absorpsi dan penetrasi yang buruk karena sifatnya yang hidrofilik. Pada penelitian ini, ekstrak kental herba pegagan dimodifikasi ke dalam bentuk kompleks nanovesikel fitosom yang diformulasikan ke dalam sediaan krim untuk mengatasi permasalahan absorpsi dan penetrasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah memformulasikan sediaan krim fitosom dan krim ekstrak tanpa modifikasi, serta membandingkan penetrasi keduanya. Fitosom dibuat dengan konsentrasi fosfolipid dan ekstrak kental 1:1. Pembuatan fitosom dilakukan dengan metode hidrasi lapis tipis. Hasil pengujian efisiensi penjerapan terhadap fitosom sebesar 47,56 ± 1,68 %. Uji penetrasi metode sel difusi Franz dilakukan terhadap kedua jenis krim menggunakan membran abdomen tikus betina. Jumlah kumulatif asiatikosida terpenetrasi dari sediaan krim fitosom dan krim non fitosom berturut-turut sebesar 4,56 ± 0,32 µg/cm2 dan 1,86 ± 0,24 µg/cm2, dengan persentase berturut-turut sebesar 40,81 ± 2,83%, dan 16,66 ± 2,17%. Fluks dari sediaan krim fitosom dan krim non fitosom berturut-turut adalah sebesar 0,659 ± 0,035 µg.cm-2.jam-1 dan 0,465 ± 0,061 µg.cm-2.jam-1. Sediaan krim yang mengandung ekstrak herba pegagan dalam bentuk kompleks fitosom memiliki daya penetrasi yang lebih tinggi dibandingkan krim yang mengandung ekstrak herba pegagan konvensional. Keduanya menunjukkan stabilitas fisik yang baik melalui hasil pengamatan organoleptis, homogenitas, dan viskositas yang dilakukan selama dua bulan dalam berbagai variasi suhu.


Centella asiatica L. extract contains active content in form of asiaticoside. The absorption and penetration properties of that active ingredient are poor, due to its hydrophilic properties. In order to overcome those obstracles, in this research, a modification of Centella asiatica L. extract was made by formulating cream containing extract in the form of nanovesicle complex called phytosome. The aim of this research is to formulate two kinds of cream that contain phytosomal extract and normal extract without any modifications, then to compare both penetration profiles. The phytosome was made by mixing 1:1 phospholipid:extract with thin layer hydration method. Entrapment efficiency value of the phytosome suspension is 47,56 ± 1,68 %. Penetration test of both creams was run using Franz diffusion cell method. The cumulative amount of asiaticoside penetrated from phytosomal and non-phytosomal cream reaches 4,56 ± 0,32 µg/cm2 and 1,86 ± 0,24 µg/cm2, with the percentage of 40,81 ± 2,83%, and 16,66 ± 2,17%. Flux value from the phytosomal and non-phytosomal cream amounts 0,659 ± 0,035 µg.cm-2.hr-1 and 0,465 ± 0,061 µg.cm-2.hr-1. These results show that Centella asiatica L. extract in phytosomal cream gives better penetration profile compared to non-phytosomal cream. Both creams are showing good physical stability through organoleptic, homogenicity, and also viscosity observations done throughout two months at various temperatures and conditions.

Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah
Abstrak :
Pegagan (Centella asiatica L. Urban) mengandung asiatikosid yang dapat dimanfaatkan dalam penggunaan kosmetik anti-aging yang terbukti dapat meningkatkan sintesis kolagen. Asiatikosid memiliki berat molekul yang besar dan bersifat hidrofilik sehingga menyebabkan sulit berpenetrasi melalui kulit. Transfersom merupakan salah satu sistem pembawa yang cocok untuk meningkatkan penetrasi zat aktif. Penelitian ini bertujuan memformulasikan dan mengkarakterisasi transfersom ekstrak daun pegagan. Selanjutnya transfersom dengan formula terbaik diformulasikan ke dalam bentuk sediaan gel serta dibuat gel kontrol tanpa transfersom. Kedua sediaan tersebut dievaluasi dan diuji penetrasi secara in vitro menggunakan sel difusi Franz pada tikus betina galur Sprague Dawley. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi formula transfersom, yaitu F1, F2 dan F3 dengan konsentrasi asiatikosid berturut-turut adalah 0,3%; 0,5%; dan 0,7% Hasil menunjukan bahwa F1 adalah formula terbaik dengan morfologi yang sferis, efisiensi penjerapan 85,80 ± 0,22 %, Dmean volume 124,62 ± 0,86 nm, nilai indeks polidispersitas 0,125 ± 0,008, zeta potensial -36,3 ± 0,30 mV dan indeks deformabilitas 1,12 sehingga digunakan pada formulasi gel. Jumlah kumulatif asiatikosid yang terpenetrasi dari sediaan gel, yaitu 1050,85 ± 19,82 μg/cm2 untuk gel transfersom dan 540,21 ± 12,28 μg/cm2 untuk gel kontrol. Presentase jumlah asiatikosid terpenetrasi dari sediaan gel transfersom dan sediaan gel kontrol secara berturut-turut adalah 51,80 ± 0,97 % dan 26,63 ± 0,60%. Fluks dari sediaan gel transfersom dan gel kontrol berturut-turut 47,92 ± 1,74 μg/cm2/jam dan 26,57 ± 0,77 μg/cm2/jam. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan gel transfersom memiliki daya penetrasi yang lebih baik dibandingkan dengan gel kontrol. ...... Asiaticoside from Gotu kola leaves extract (Centella asiatica L. Urban) could be used as an active substance for anti-aging cosmetics. It has proven to increase collagen synthesis. Asiaticoside is hydrophillic and has a high molecular weight, therefore it would be difficult to penetrate to the skin. Transfersome is a suitable carrier system that can enhance the penetration of active substances. This study aims to formulate and characterize transfersome Gotu kola leaves extract and formulated it into a gel, a control gel also prepared without transfersome. Both gels were evaluated and penetration tested using Franz diffusion cells with the skin of female Sprague Dawley rats. Transfersome was formulated with different concentration of active substance; equals of asiaticoside 0,3% (F1), 0,5% (F2), and 0,7% (F3). The F1 transfersome were incorporated into gel dosage form, since the F1 transfersome had spherical morphology, the highest entrapment efficiency 85.80 ± 0.22%, Dmean volume 124.62 ± 0.86 nm, polydispersity index 0.125 ± 0.008, zeta potensial -36,3 ± 0,30 mV and deformability index 1.12. The cumulative amount of asiaticoside that was penetrated is 1050.85 ± 19.82 μg/cm2 for transfersome gel and 540.21 ± 12.28 μg/cm2 for control gel. Cumulative percentage of penetrated asiaticoside for transfersome gel and control gel were 51.80 ± 0.97% and 26.63 ± 0.60%, respectively. The flux of transfersome gel containing asiaticoside and control gel are respectively 47.92 ± 1,74 μg/cm2/hours and 26.57 ± 0.77 μg/cm2/hours. Based on these results it can be concluded that asiaticoside contained in transfersome gel has a better penetration compared to the control gel.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S63789
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library