Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mintoro Sumego
Abstrak :
LATAR BELAKANG : Seiring dengan perkembangan teknologi pesawat terbang maka helm penerbang sebagai alat pelindung kepala di penerbangan juga mengalami perkembangan. Agar helm penerbang dapat berfungsi dengan sempurna, maka ukuran helm harus benar-benar cocok dan pas dengan ukuran kepala awak pesawat yang menggunakannya, untuk itu perlu adanya ukuran sefalometri pada calon penerbang TNI AU untuk mendapatkan ukuran helm penerbang yang optimal. METODE : Dilakukan pengukuran sefalometri panjang kepala, lebar kepala dan tinggi pupil-vertex dengan menggunakan alat ukur Antropometer Martin pada 153 calon siswa penerbang pria TNI AU tahun 2003. Hasil pengukuran tersebut dicocokkan dengan helm penerbang yang ada saat ini. Untuk menilai standar kecocokkan helm penerbang digunakan kualitas kecocokkan helm penerbang dari Royal Air Force (Inggris). HASIL : Ukuran sefalometri calon siswa penerbang TNI AU tahun 2003 panjang kepala 18,8 cm (SD 0,8), lebar kepala 15,2 cm (SD 0,7) dan tinggi pupil-vertex 10,1 cm (SD 06). Tidak ada korelasi antara ukuran sefalometri dengan tinggi badan, berat badan,usia dan status gizi menurut indeks massa tubuh pada calon siswa penerbang TNI AU (r<0,25), helm penerbang yang saat ini digunakan jika dinilai dengan standar kecocokan dari RAF dan dihubungkan dengan ukuran sefalometri calon penerbang TNI AU, maka 3% helm penerbang memenuhi kriteria baik sekali, 36% kriteria baik 16% kriteria cukup dan 46% tidak memenuhi kriteria standar kecocokkan helm penerbang menurut RAF. SIMPULAN : Berdasarkan data sefalometri dan standar kecocokkan helm penerbang RAF maka pengadaan helm penerbang di Sekolah Penerbang TNI AU perlu direvisi untuk mendapatkan ukuran helm penerbang yang optimal.
BACKGROUND : In line with the development of the Jet plane technology, the flight helmet as a head protection in aviation has also been developing. In making the function of a flight helmet as perfect as we want it to be, the size of the helmet should be fix and proper with the size of pilot's head, we need a cephalometry measurement from Indonesian Air Force's candidate students, in order to get the optimum size of a flight helmet. METHODS : Doing the cephalometry measurement head length, head breadth and pupil-vertex height by using Martin Anthrop meter apparatus on 153 Indonesian Air force candidate students, than the subject has to go for a fitting the Indonesian Air force's helmet. To make point for the quality of fit the flight helmet is using the Royal Air force's quality of fit. RESULTS : The cephalometry measurement candidate students of Indonesian Air Force head length 18,8 cm (± 0,8), head breadth 15,2 cm (± 0,7) and pupil-vertex height 10,1 cm (± 0,6). No correlation was found between the cephalometry measurement with weight, height, age and Mass Body Index of the Indonesian Air Force's candidate students (r<0,25),If Indonesian flight helmet made in by USAF make point with quality of fit flight helmet is using the Royal Air force's quality of fit and correlation with cephalometry candidate students pilot's Indonesian Air Force's are 3% excellent fit, 36% good fit, 16% adequate fit and 46% quality of fit are bad. CONCLUTION : Based on the cephalometry data and quality of fit from Royal Air Force flight helmet, than the Indonesian Air force school's flight helmet need several revisions on request to get the optimum size of a flight helmets.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrati Tjiptobroto
Abstrak :
ABSTRAK
Pengukuran tinggi muka bawah (TMB) dari beberapa pasien anak-anak yang mempunyai gigitan dalam dengan rasio "upper face height terhadap lower face height" (rasio UFH/LFH) didapatkan nilai yang bervariasi. Padahal TMB merupakan salah satu faktor dalam tata laksana gigitan dalam dan pemilihan jenis alat retensi. Maka penelitian ini bertujuan apakah pada gigitan dalam tidak selalu dijumpai TMB yang menurun dan apakah sudut palatomandibular (sudut PP-MP) yang lebih kecil dari normal menunjukkan TMB yang menurun.

Penelitian ini berdasarkan analisa vertikal dari sefalometri ronsenografik lateral, yang dilakukan pada anak-anak Indonesia yang datang di Klinik Pasca Sarjana FKG-Ul. Kriteria sampel adalah anak-anak dengan tumpang gigit lebih dari 50%, hubungan molar satu K1. I Angle dan belum pernah dirawat ortodonsi.

Uji statistik terhadap rasio UFH/LFH dan sudut PP-MP dengan chi kuadrat didapatkan nilai xa sebesar 0,51 dan 0,183 pada p=0,05 dan df=1. Pengujian terhadap kelompok sudut yang normal dan menurun dimana masing--masing kelompok didapati nilai rasio UFH/LFH normal dan meningkat didapatkan nilai x2' sebesar 15,384 dan 9,782 pada p.=:0,05 dan df=1.

Hasil penelitian menunjukkan pada gigitan dalam didapati TMB yang 'normal dan menurun. Penafsiran TMB menurut rasio UFH/LFH selalu sama dengan sudut PP-MP. Dan sudut PP-MP yang kurang dari normal menunjukkan TMB yang menurun. Kedua parameter ini cukup sensitif dan konsisten dalam menggambarkan TMB. Dengan penggunaan kedua parameter ini diharapkan pengukuran TMB lebih akurat.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Rahadian
Abstrak :
Latar belakang: Tanda klinis Pierre Robin Sequence (PRS) meliputi mikrognati, glossoptosis, obstruksi jalan napas atas, dan celah palatal. Adanya sindrom/kelainan penyerta turut berperan terhadap keterlambatan pertumbuhan dan keparahan obstruksi jalan napas. OSA akibat obstruksi jalan napas merupakan kondisi yang umum ditemui pada bayi dengan PRS. Tujuan: Untuk mengetahui gambaran morfologi mandibula dan risiko OSA pada pasien PRS di RSAB Harapan Kita Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan desain potong lintang. Sebanyak 11 pasien PRS memenuhi kriteria seleksi penelitian ini. Data usia, sindrom/kelainan penyerta, riwayat sesak napas saat lahir diperoleh dari rekam medik. Sefalometri yang diperoleh diukur panjang mandibula, tinggi ramus, panjang body mandibula, dan sudut gonial. Pasien juga dievaluasi risiko OSA dengan menggunakan kuesioner Brouillette. Hasil: Panjang mandibula, panjang body mandibula, dan sudut gonial berbeda bermakna antara grup usia pengambilan sefalometri 5 tahun dan 10 tahun. Panjang mandibula berbeda bermakna antara grup pasien PRS non sindromik dan sindromik. Tidak ada perbedaan bermakna risiko OSA berdasarkan usia pasien maupun status sindrom. Riwayat sesak napas saat lahir berkorelasi dengan morfologi mandibula, namun tidak berkorelasi dengan risiko OSA. Kesimpulan: Kondisi mikrognati yang persisten menunjukkan tidak ada catch up growth pada pasien penelitian ini. Sindrom/kelainan penyerta turut mempengaruhi pertumbuhan mandibula. Sesak napas saat lahir sebagai gejala klinis dari obstruksi jalan napas atas tidak berperan terhadap risiko OSA. ......Background: Clinical signs of Pierre Robin Sequence (PRS) including micrognathy, glossoptosis, upper airway obstruction, and palatal cleft. The presence of sydrome contributes to the growth and severity of airway obstruction. Obstructive Sleep Apnea (OSA) related to airway obstruction is common condition in infants with PRS. Objective: To know mandibular morphology and risk of OSA in patients at RSAB Harapan Kita. Methods: This research is a retrospective study. A total of 11 patients met the selection criteria of this study. Data on age, associated syndrom, history of breath difficulties at birth were obtained from medical records. The cephalometry were measured mandibular length, ramus height, mandibular body length, and sudut gonial. Patients were also evaluated for risk of OSA using brouillette questionnaire. Results: Mandibular length, mandibular body length, and sudut gonial differed significantly between the 5 years and 10 years cephalometric collection age groups. Mandibular length differed significantly betweenn the nonsyndromuc and syndromic PRS. There was no significant difference in OSA risk based on the patient’s age or syndrome status. History of breath difficulties at birth was correlated with mandibular morpholgy, but it was not correlated to risk of OSA. Conclusion: Persistent micrognathic showed no catch up growth in the patients of PRS in this study. Associated syndrome or disorder affected the growth of the mandible. History of breath difficulties at birth as a clinical symptom of upper airway obstruction did not contribute to risk of OSA.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parade, Magdalena
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitan: Telah dilakukan penelitian status sefalometri subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa di Jakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif untuk mengetahui data sefalometri pada subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa dan studi analisis untuk membandingkan status sefalometri antara subetnik Tapanuli dengan subetnik Jawa. Penelitian dilakukan terhadap 4 kelompok yaitu 50 orang pria subetnik Tapanuli, 50 orang wanita subetnik Tapanuli, 50 orang pria subetnik Jawa, 50 orang wanita subetnik Jawa. Status sefalometri yang diamati mencakup data panjang kepala maksimal, lebar kepala maksimal, jarak bizygomatik, jarak bigonion, indeks sefalikus dan indeks mandibula. Oleh karena bentuk kepala merupakan salah satu ciri khas untuk ras atau subetnik, maka dapat dilakukan penilaian melalui sefalometri. Pengukuran kepala dilakukan dengan protokol baku antropometri dengan menggunakan alat bantu berupa Antropometer (Martin). Data sefalometri hasil pengukuran dan penghitungan lalu di klasifkasikan menurut kriteria yang sesuai dan standard antropometri. Analisis statistik dengan uji Z dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan status sefalometri antara pria dan wanita kedua subetnik serta antara subetnik Jawa dan Tapanuli. Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada subetnik Tapanuli dan Jawa ukuran panjang kepala, lebar kepala, bizygomatik, bigonion pada pria lebih besar secara bermakna dari wanita. Sebaliknya indeks sefalikus dan Indeks yugomandibular pria Tapanuli ditemukan tidak berbeda dari wanita Tapanuli. Panjang kepala dan bigonion pria Tapanuli lebih besar secara bermakna dari pria Jawa. Wanita Tapanuli memiliki panjang kepala dan bigonion yang lebih besar secara bermakna dari wanita Jawa. Lebar kepala, bizygomatik pria Tapanuli tidak berbeda bermakna dari pria Jawa dan wanita Tapanuli memiliki lebar kepala dan bigonion yang tidak berbeda bermakna dari wanita Jawa. Indeks sefalikus pria Tapanuli sama dengan pria Jawa, Indeks sefalikus wanita Tapanuli tidak sama dengan wanita Jawa. Demikian juga dengan Indeks yugomandibular pria dan wanita Tapanuli sama dengan pria dan wanita Jawa.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T5757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulina Rachmasari
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang:Teknik conventional two flap palatoplasty akan menimbulkan defek lateral tanpa adanya pelindung periosteum. Defek lateral yang terbuka ini akan menyebabkan rentannya terkena kontaminasi dan infeksi. Hal inilah yang akan menimbulkan kontraksi luka, pembentukan skar dan mengganggu pertumbuhan maxilla.Tahun 2011, terdapat studi mengenai teknik ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo;. Teknik ini meninggalkan sebagian periosteum yang diharapkan dapat mempercepat proses epitelisasi pada defek lateral. Epitelisasi yang lebih cepat diharapkan mengurangi terjadinya kontraksi luka dan kedepannya dapat tercapai pertumbuhan maksila yang baik.Metode:Merupakan studi kasus kontrol yang terdiri atas 2 grup membandingkan pertumbuhan maksila pasien dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit yang dikerjakan dengan teknik conventional ldquo;Two Flap Palatoplasty rdquo; dan teknik ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo;. Hasil pengukuran cephalometri dicatat serta dibuat cetakan gigi untuk tiap pasien kemudian dikategorisasi menggunakan metode GOSLON YARDSTICK. Data yang diperoleh dianalisis dengan SPSS versi 20.Hasil:Terdapat 4 pasien di kelompok ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo; dan 10 pasien pada teknik conventional ldquo;Two Flap Palatoplasty rdquo;. Hasil pengukuran cephalometri SNA, SNB dan ANB menunjukkan bahwa kedua grup tersebut masuk dalam golongan maloklusi tipe III defisiensi maksila . Sementara hasil GOSLON Yardstick memperlihatkan GOSLON tipe III sebagai kelompok yang sering ditemukan bagi kedua grup dengan reliabilitas inter-rater baik p=0.839 . Pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi antara variabel cephalometri dengan skor GOSLON.Kesimpulan:Hasil studi kami menunjukkan bahwa teknik modifikasi ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo; tidak berhubungan secara signifikan terhadap pertumbuhan maksila. Namun penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu ukuran sampel yang sedikit karena faktor keluarga, sosial dan faktor lainnya yang berada di luar kendali tim peneliti. Selain itu usia pasien yang dievaluasi ialah 7-9 tahun, dimana hasil ini bukan merupakan hasil akhir. Kata Kunci: Evaluasi pertumbuhan maksila, cephalometri, GOSLON YARDSTICK, Two Flap Palatoplasty
ABSTRACT
Background Conventional Two Flap Palatoplasty technique will made lateral defects without any periosteal coverage. These denuded lateral defects are prone to contamination and infection. These will result in wound contraction, scar formation and maxillary growth impairment.In 2011, we studied ldquo The Non Denuded Palatoplasty rdquo technique. This technique precipitated the epithelialization process of the lateral defects. Faster epithelialization is expected to decrease wound contraction and in the long run will result in good maxillary growth.Methods This is a case control study to compare the maxillary growth of 2 groups consists of unilateral cleft lip and palate patients repaired with ldquo The Non Denuded Palatoplasty rdquo technique and Conventional Two Flap Palatoplasty. The outcome will be evaluated from cephalometry and the dental cast for each patient areevaluated using GOSLON YARDSTICK method. Data will be analyzed using SPSS version 20.Results A total of 4 patients in The Non Denuded Palatoplasty group and 10 in the Conventional Two Flap Palatoplasty. The cephalometric SNA, SNB and ANB point showed Class III skeletal jaw relationship or deficient maxilla. While the GOSLON yardstick type III are the frequent GOSLON on both group with good inter ratter reliability p 0.839 based on Mann Whitney test. In these study there were no correlation between cephalometric variables with GOSLON score.Conclusion Our results showed that modification The Non Denuded Palatoplasty technique made no statistically significant difference to the maxillary growth. However this study has several limitations, which are the sample size was small due to family, social and other factors that are beyond the control of the investigating team. Also the age of evaluation 7 9 years , means that the result is not the final outcome.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sugiartati Arif
Abstrak :
Latar Belakang: Variasi pada posisi nasion dapat mengubah nilai SNA yang berpengaruh secara signifikan pada interpretasi hubungan rahang sebagai contoh, semakin ke anterior atau superior posisi nasion maka semakin kecil nilai SNA yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai ANB dan perubahan nilai estimasi pada pola skeletal rahang. Titik S dan N yang mewakili bidang basis kranium anterior yang berperan dalam menentukan pola skeletal rahang. Garis S-N yang tidak sesuai dapat mempengaruhi hasil pada analisa sefalometri lateral dengan keadaan S-N yang sangat miring terhadap FHP akan menghasilkan ketidaksesuaian hasil analisa sefalometri lateral dengan keadaan morfologi yang sebenarnya sehingga diperlukan alternatif lain dalam menegakkan diagnosis, antara lain dengan menganalisis basis kranium posterior (S-Ba). Tujuan: Menganalisis hubungan antara inklinasi basis kranium posterior dengan berbagai pola skeletal rahang. Metode: Subjek penelitian menggunakan sefalogram lateral pada pasien laki-laki dan perempuan berusia 20-45 tahun yang belum melakukan perawatan ortodonti. Sefalogram lateral dalam kondisi baik dan terlihat jelas serta memiliki kemiringan bidang S-N terhadap bidang Frankfort 5°-7° dengan mengelompokkan masing-masing sefalogram berdasarkan pola skeletal rahang kelas I, kelas II dan kelas III. Hasil: Uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara basis kranium posterior terhadap pola skeletal rahang kelas II dan kelas III (p<0,05). Kesimpulan: Rata-rata inklinasi basis kranium posterior pada kelompok pola skeletal II lebih besar (mandibula retrognati) dibandingkan pola skeletal kelas III (mandibula prognati). Terdapat perbedaan bermakna antara inklinasi basis kranium posterior pada pola skeletal kelas I dan kelas III, kelas II dan kelas III. Selain itu terdapat hubungan inklinasi basis kranium posterior pada pola skeletal kelas II dan kelas III yaitu moderate signifikan pada populasi di Jakarta. ......Introduction: Variations in the position of nasion could significantly affect the SNA value, which in turn influences the interpretation of jaw relationships. For example, as nasion position moves more anterior or superior, the SNA value decreases, ultimately affecting the ANB value and altering the estimated jaw skeletal patterns. Points S and N represent the anterior cranial base, a crucial role in determining the skeletal jaw patterns. Improper S-N line can affect lateral cephalometric analysis results, as a highly tilted S-N line relative to the Frankfort Horizontal Plane (FHP) can lead to discrepancies between the analysis results and true morphology. Therefore, alternative methods, such as analyzing the posterior cranial base (S-Ba), are needed to establish a diagnosis. Objective: To determine relationship between posterior cranial base inclination and skeletal jaw patterns. Materials and Methods: The study included male and female subjects aged 20-45 who had not undergone orthodontic treatment. Lateral cephalograms with clear visibility and a 5°-7° tilted of the S-N plane relative to the Frankfort plane were selected. The cephalograms were grouped based on the skeletal jaw patterns: Class I, Class II, and Class III. Results: Spearman correlation tests showed a relationship between the posterior cranial base inclination in Class II and Class III skeletal jaw patterns (p<0.05). Conclusions: The average inclination of the posterior cranial base was greater in the Class II skeletal jaw patterns group (retrognathic mandible) compared to the Class III skeletal jaw patterns group (prognathic mandible). Significant differences were observed in the inclination of the posterior cranial base between Class I and Class III then between Class II and Class III skeletal jaw patterns. Furthermore, there was a moderate significant relationship between posterior cranial base inclination in Class II and Class III skeletal jaw patterns within the Indonesian Subpopulation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruthy Yulianti
Abstrak :
Latar Belakang : Sefalometri lateral merupakan pemeriksaan radiograf penunjang yang menjadi standar utama dalam mengetahui kelainan kompleks kraniofasial anak terutama pada kelainan pola skeletal serta menegakkan diagnosis dan penentuan rencana perawatan. Sefalometri memiliki efek paparan radiasi yang kumulatif dan dapat menginduksi kematian sel sehingga dapat merusak fungsi organ. Sekarang ini, terdapat pergeseran paradigma tujuan perawatan ortodontik yang lebih mengutamakan penilaian jaringan lunak. Fotometri lateral telah digunakan sebagai alat diagnostik non-invasif dan dapat memprediksi nilai keselarasan skeletal. Analisis fotometri dinilai lebih efektif, andal, dan ekonomis dalam menilai morfologi kraniofasial profil wajah. Tujuan : Menganalisa perbedaan jarak dan sudut radiografi sefalometri terhadap fotometri lateral pada anak dengan maturasi vertebra servikal tahap dua dan tiga ras Deutro Melayu sebagai landasan dalam penentuan diagnosis dan rencana perawatan. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang dengan total subyek 38 anak dengan CVS 2 – CVS 3 ras Deutro Melayu. Pengambilan radiograf sefalometri lateral dan fotometri lateral serta dianalisis menggunakan aplikasi perangkat lunak (Webceph). Hasil : Tidak terdapat perbedaan signifikan antara sudut SNA, jarak NA, dan jarak FHP pada sefalometri lateral dengan sudut TrgNA, jarak N’A’, dan jarak FHP’ pada fotometri lateral. Kesimpulan : Fotometri lateral dapat dipertimbangkan menjadi alternatif dalam mengevaluasi kelainan kraniofasial yang lebih sederhana, eknomis, dapat dilakukan berulang dan bersifat radioproteksi. ......Background: Lateral cephalometry is a supporting radiograph examination that is the main standard in finding out the abnormalities of the pediatric craniofacial complex, especially in skeletal pattern abnormalities and establishing a diagnosis and determining a treatment plan. Cephalometry has the effect of cumulative radiation exposure and can induce cell death that damage organ function. Currently, there is a paradigm shift in orthodontic treatment goals that prioritizes soft tissue assessment. Lateral photometry has been used as a non-invasive diagnostic tool and can predict skeletal alignment. Photometric analysis is considered more effective, reliable, and economical in assessing the craniofacial morphology of the facial profile. Objective: To analyze the difference in distance and angle of cephalometric radiographs to lateral photometry in children with stage two and three cervical vertebra maturation of the Deutro Malay race as a basis for determining the diagnosis and treatment plan. Methods: A cross-sectional study with a total of 38 subjects with CVS 2 - CVS 3 of Deutro Malay race. Lateral cephalometry and lateral photometry radiographs were taken and analyzed using a software application (Webceph). Results: There is no significant difference between SNA angle, NA distance, and FHP distance in lateral cephalometry with TrgNA angle, N'A' distance, and FHP' distance in lateral photometry. Conclusion: Lateral photometry can be considered as an alternative in evaluating craniofacial abnormalities that are simpler, economical, repeatable and radioprotective.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elliana Nadhira
Abstrak :
Latar Belakang: Sinus Frontalis merupakan salah satu tanda anatomis yang penting dalam forensik odontologi sebagai penentu jenis kelamin. Keunikan dan kekuatan sinus frontalis menjadi salah satu alasan bahwa sinus frontalis penting dalam menentukan jenis kelamin. Salah satu cara untuk menganalisisnya adalah dengan mengukur dimensi sinus frontalis melalui radiografi sefalometri posteroanterior (PA), sebagai radiografi kedua paling umum digunakan terutama pada perawatan ortodonsia. Tujuan: Untuk menganalisis dimensi sinus frontalis dengan metode radiomorfometrik pada radiografi sefalometri posteroanterior nondigital untuk penentuan jenis kelamin. Metode: Menganalisis dimensi sinus frontalis dengan 4 parameter yaitu tinggi maksimum sisi kiri dan kanan, serta lebar maksimum sisi kiri dan kanan pada 200 sampel radiografi sefalometri posteroanterior (PA). Hasil: Parameter dimensi sinus frontalis berupa tinggi maksimum sisi kiri laki-laki 27.73 mm, perempuan 22.53 mm; lebar maksimum sisi kiri laki-laki 42.77 mm; perempuan 38.29 mm, tinggi maksimum sisi kanan laki-laki 23.19 mm; perempuan 19.86 mm, lebar maksimum sisi kanan laki-laki 40.18 mm; perempuan 36.04 mm. Kesimpulan: Adanya perbedaan signifikan tinggi dan lebar maksimum sinus frontalis sisi kiri dan kanan pada laki-laki dan perempuan. Persamaan regresi probabilitas jenis kelamin dengan akurasi tertinggi pada penelitian ini yaitu dengan menggabungkan keempat parameter dimensi sinus frontalis dan memiliki akurasi sebesar 79%. ......Background: Frontal sinus is one of the important anatomical landmark in Forensic Odontology as a gender determinant. The uniqueness and strength of the frontal sinus is one of the reasons that the frontal sinus is important in determining gender. One way to analyze it is to measure the dimension of the frontal sinus through cephalometry posteroanterior (PA) radiography, as the second most commonly used radiograph, especially in orthodontic treatment. Objective: To analyze the dimensions of the frontal sinus using the radiomorphometric method on a non-digital posteroanterior cephalometric radiograph for gender determination. Method: Analyzing the dimensions of the frontal sinus with 4 parameters, which are the maximum height of the left and right sides, and the maximum width of the left and right sides in 200 posteroanterior cephalometry samples. Result: The dimensions of the frontal sinus are the maximum height of the left side for male 27.73 mm, female 22.53 mm; Maximum left side width for male 42.77 mm, female 38.29 mm; Maximum height of the right side for male 23.19 mm, female 19.86 mm; The maximum width of the right side for male is 40.18 mm, for female is 36.04 mm. Conclusion: There is a significant differences in the height and maximum width of the left and right frontal sinus in men and women. The gender probability regression equation with the highest accuracy in this study is by combining the four parameters of the frontal sinus dimension and has an accuracy of 79%.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Yastani
Abstrak :
Pendahuluan: mengetahui perbedaan ukuran angular dentokraniofasial antara anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral dan bilateral komplit pasca labiopalatoplasti dibandingkan dengan anak tanpa celah bibir dan langit-langit. Material dan metode: Subyek penelitian terdiri dari 16 anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit pasca labiopalatoplasti, 16 anak dengan celah bibir dan langit-langit bilateral komplit pasca labiopalatoplasti, 16 anak tanpa celah bibir dan langit-langit yang berada pada status maturasi vertebra servikalis I dan II. Tahap maturasi vertebra servikalis ditentukan dengan metode oleh Baccetti dkk (2002). Uji statistik yang dilakukan meliputi uji untuk distribusi data yang normal, uji t berpasangan, dan anova dengan tingkat signifikansi p < 0,5. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada sudut insisif atas – bidang maksila antara kelompok unilateral dan normal; terdapat perbedaan bermakna pada sudut ANB, sudut SN/MP, dan sudut insisif atas – bidang maksila antara kelompok bilateral dan normal; terdapat perbedaan bermakna pada sudut SNA, sudut insisif atas – bidang maksila antara kelompok unilateral dan bilateral. Kesimpulan: Inklinasi insisif atas paling terpengaruh oleh celah bibir dan langit-langit. Inklinasi maksila ditemukan sedikit retrusif untuk kelompok celah bibir dan langit-langit unilateral komplit, sedangkat sedikit protrusif untuk kelompok celah bibir dan langit-langit bilateral komplit. Hubungan sagital kelompok bilateral ditemukan paling protrusif, diikuti kelompok normal, dan selanjutnya kelompok unilateral. Kecuraman bidang mandibula ditemukan pada kelompok bilateral ......Introduction: To evaluate dentocraniofacial morphology of children with complete unilateral and bilateral cleft lip and palate following labioplasty and palatoplasty. Analysis was made when the children were at first and second stages of cervical vertebral maturation stage, before the peak of maxillary growth. Materials and methods: Sixteen digital cephalometric images of subjects with complete unilateral and bilateral cleft lip and palate following labioplasty and palatoplasty were compared with 16 normal stage-matched controls. Cervical vertebral maturation stage was determined by Method of Baccetti et al (2002). Statistics included tests for normal distribution, paired t test, and anova with the significance level p < .05. Results: There were significant cephalometric differences in UI/MxPl angle between unilateral and normal group; ANB angle, SN/MP angle, UI/MxPl angle between bilateral and normal group; SNA angle, UI/MxPl angle between unilateral and bilateral group. Conclusion: The inclination of upper incisor was most affected by cleft lip and palate. The maxilla inclination was found a little retrusive for unilateral cleft lip and palate, while a little protrusive for bilateral. Sagittal relationship of bilateral was found the most protrusive followed by normal and unilateral group. Mandibular steepness was found for bilateral cleft lip and palate.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library