Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ucip Sucipto
Abstrak :
ABSTRAK
Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan penyebab yang kompleks. Pengobatan KNF mempunyai bebera pa metode pengobatan salah satu diantaranya adalah dengan kemoradiasi. Kemoradiasi merupakan pemberian kemoterapi yang diberikan secara besama-sama dengan radioterapi. Tujuan penelitian ini untuk menggali pengalaman pasien KNF setelah menjalani kemoradiasi. Metode penelitian dengan desaian kualitatif pendekatan studi fenomenologi. Penelitian ini melibatkan sebelas partisipan. Pengambilan data mengguakan wawancara mendalam, analisis data menggunakan Colaizzi. Tiga tema teridentifikasi pada penelitian ini yaitu xerostomia adalah keluhan fisik utama partisipan, penurunan interaksi sosial, dan adanya support system yang adekuat dari keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifik.asi secara dini gejala xerostomia akibat efek samping kemoradiasi sehingga pasien dapat beradaptasi dengan respon yang adaptif.
ABSTRACT
Nasopharyngeal cancer is a tumor of the head and neck with a complex cause. treatment has several methods of treatment one of them is by chemoradiation. Chemoradiation is a given of chemotherapy given jointly with radiotherapy. The purpose of this study was to explore the experience of head and neck patients who has underwentchemoradiation. Research method with qualitative design of phenomenology study approach. The study involved eleven participants. Data collection use in-depth interviews, data analysis using Colaizzi. Three themes identified in this study are xerostomia arc the main physical complaints of participants, decreased social interaction, and adequate support system from the family. The results of this study are expected to identify early symptoms of xerostomia due to the side effects of chernoradiation so that patients can adapt to adaptive responses.
2017
T48300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fifi Dwijayanti
Abstrak :
Kanker nasofaring merupakan jenis kanker yang biasa terjadi di Asia Tenggara dan angka kematiannya masih tinggi. Berdasarkan penelitian sebelumnya di dunia, survival pasien kanker nasofaring masih kurang dari 80%. Di Rumah Sakit Kanker Dharmais, kanker nasofaring merupakan 10 besar penyakit dengan kasus tertinggi stadium III. Desain studi ini bertujuan untuk mengetahui survival pasien kanker nasofaring berdasarkan respon tumor yang menjalani kemoterapi neoadjuvant dilanjutkan dengan kemoradiasi dan faktor prognostik yang mempengaruhinya. Total 261 pasien yang didapat antara bulan Januari 2009-Desember 2013 dianalisis secara retrospektif. Angka respon tumor pasien dengan CR (complete response), PR (partial response) and PD (progressive disease) adalah 33.7%, 45.2% dan 21.2%. Overall survival (OS) selama 5 tahun sebesar 38.6%. Angka OS pasien 5 tahun berdasarkan respon tumor CR, PR dan PD adalah 71.0%, 30.4% dan 10.6%. Variabel independen faktor prognostik yang signifikan adalah respon tumor, pendidikan, pekerjaan, riwayat minum alkohol, stadium dan ketepatan waktu pengobatan. Probabilitas pasien kanker nasofaring yang menjalani kemoterapi neoadjuvant dilanjutkan kemoradiasi dengan respon tumor CR lebih tinggi dibandingkan dengan PR dan PD. Deteksi dini dapat meningkatkan survival pasien dan penambahan jumlah sampel diperlukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Nasopharyngeal cancer is a common malignancy in Southeast Asia with high mortality >rate. The previous studies showed that the patient survival rate are less than 80% worldwide. In Dharmais Cancer Hospital, nasopharyngeal carcinoma is in the top of 10 diseases with the highest case of stadium III cancer progression. The aim of this study is to determine the survival rate of nasopharyngeal carcinoma patients on the tumor response after receiving neoadjuvant chemotherapy followed by chemoradiation and their prognostic factors. A total of 261 patients referred between January 2009-December 2013 were restrospectively analyzed. Tumor response rate for patients with CR (complete response), PR (partial response) and PD (progressive disease) were 33.7%, 45.2% and 21.2% respectively. The 5-years survival rate on tumor response among CR, PR and PD were 71.0%, 30.4% and 10.6% respectively. The significant independent prognostic factors are tumor response, education backgrounds, jobs, alcohol consumption, stadium of cancer and prompt treatment. The probability of nasopharyngeal cancer patients receiving neoadjuvant chemotherapy followed by chemoradiation is higher to CR than PR and PD. Therefore, early detection could improve patients survival and more sample increased the result in this study.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Anggia Julianti
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker serviks masih menjadi kanker tersering kedua di Indonesia dengan insiden 2638 kasus pada tahun 2008. Sejak tahun 1999, National Cancer Institute merekomendasikan penatalaksanaan kanker serviks dengan menggunakan kemoradiasi. Namun selama ini tatalaksana kanker serviks lebih banyak mengacu untuk klasifikasi histopatologi karsinoma sel skuamosa, sementara angka kanker serviks dengan tipe sel adenokarsinoma meningkat dan menurut beberapa penelitian memiliki prognosis yang lebih buruk. Tujuan: Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui perbandingan keberhasilan terapi dengan kemoradiasi dibandingkan dengan radiasi saja serta untuk mengetahui adanya perbedaan respon terapi pada kanker serviks dengan klasifikasi histopatologi karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Metode: yang digunakan adalah secara cross sectional dimana sampel diambil dari pasien kanker serviks IIB ndash; IIIB pada tahun 2011 ndash; 2013 di RSCM yang menjalani terapi radiasi atau kemoradiasi. Hasil: Dari 163 sampel yang dipelajari, sebanyak 107 pasien adalah pasien dengan karsinoma sel skuamosa dan 56 pasien dengan adenokarsinoma. Menurut klasifikasi histopatologi, karsinoma sel skuamosa didapatkan memiliki angka respon lengkap yang tidak berbeda secara signifikan, yaitu 82,2 dibandingkan dengan adenokarsinoma 78,6 p = 0,721 Sebanyak 67,5 pasien mendapatkan terapi radiasi dan 32,5 mendapatkan terapi kemoradiasi dengan agen kemoterapi berbasis platinum, terapi dengan kemoradiasi didapatkan memiliki respon terapi yang lebih baik yaitu dengan angka respon lengkap sebanyak 98,1 dibandingkan dengan radiasi 72,7 p = 0,001 . Pada kelompok pasien yang dilakukan radiasi, pasien dengan karsinoma sel skuamosa tidak memiliki respon yang berbeda dengan kemoradiasi, yaitu respon komplit 76,9 dibandingkan dengan 62,5 p= 0,191 . Begitu juga dengan kelompok kemoradiasi, tidak ada perbedaan respon terapi antara pasien karsinoma sel skuamosa 96,6 dengan adenokarsinoma 100. Kesimpulan: Dari penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan respon terapi pada tipe sel karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Pada masing-masing kelompok radiasi dan kemoradiasi, karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma tidak terdapat perbedaan. Pasien yang diterapi dengan kemoradiasi memiliki respon terapi yang lebih baik dibandingkan radiasi saja. ...... Background: Cervical cancer is the second most frequent cancer in Indonesia with incident of 2638 cases in 2008. Since 1999, National Cancer Institute in the United States recommend to give concurrent chemoradiation for advanced stage cervical cancer. Until now the therapy recommention mostly addressed for squamous cell carcinoma, meanwhile the incidence of adenocarcinoma arise with also worse prognosis. Objective: To know the correlation between histopathological type squamous cell carcinoma and adenocarcinoma with the teurapeutic response and to compare the response of treatment using radiation only and chemoradiation. Method: This study was using cross sectional method, sampel was taken by secondary data using medical report of patient with cervical cancer staged IIB IIIB year 2011 ndash 2013 at RSCM who underwent radiation and chemoradiation. Result: From 163 subjects, 107 was patient with squamous cell carcinoma and 56 patients with adenocarcinoma. According to histopathological type, squamous cell carcinoma and adenocarcinoma had insignificant difference in theurapetical response, which is 82,2, compared to 78,6 p 0,721. There were 67,5 patients got radiation only and 32,5 got concurrent chemoradiation therapy using platinum based agent. Among patient who were treated with chemoradiation, 98,1 patients achieved complete respons and for patient with radiation only 72,7 achieved complete respons 72,7 p 0,001. Patients who were treated with radiation only, when compared to its pathological type, the complete respons were not different 76,9 in squamous cell carcinoma, compared to 62,5 in adenocarcinoma p 0,191. And so as patient with chemoradiation, there were no difference in theurapetical respons in squamous cell carcinoma 96,6 compared with 100 in adenocarcinoma. Conclusion: There was no difference in theurapetical respons in patient with squamous cell carcinoma compared to adenocarcinoma. Chemoradiation appeared to have better theurapetic respon compared to radiation only therapy. In each theurapetic modality group the respon therapy for squamous cell carcinoma and adenocarcinoma had no difference in theurapetical response.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Afdhal
Abstrak :
Latar belakang: Pemeriksaan MRI pada glioblastoma dapat membantu diagnosis dengan tingkat akurasi tinggi. Nilai ADC pada MRI bisa menjadi indikator prognosis, meskipun belum sering diterapkan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk memahami peran nilai ADC dalam meningkatkan prediksi kesintasan pasien glioblastoma. Tujuan: Mengkaji angka kesintasan pasien glioblastoma yang mendapatkan terapi kemoradiasi serta hubungannya dengan nilai ADC dan faktor lainnya. Metode: Angka kesintasan dan nilai ADC minimum diambil dari pemeriksaan MRI kepala post-operasi, pre-kemoradiasi pada 20 pasien dari periode 2017 hingga 2023 yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis kesintasan dilakukan dengan metode Kaplan-Meier. Uji Log Rank digunakan untuk mengevaluasi pengaruh faktor-faktor determinan termasuk nilai ADC terhadap kelangsungan hidup. Hasil: Rerata usia sampel dalam pemelitian ini adalah 43,6 +/- 16,4 tahun. Terdapat 14 pasien laki-laki (70%), dan 6 pasien perempuan (30%). sebanyak 6 pasien (30%) memiliki nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s dan terdapat 14 pasien (70%) memiliki nilai ADC < 0,8 x 10-3 mm2/s. Analisis kesintasan memperlihatkan perbedaan median kesintasan hidup pada kelompok nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s dan < 0,8 x 10-3 mm2/s, yaitu sebesar 12 bulan dan 10 bulan dengan nilai p=0,850. Kesimpulan: Pasien dengan nilai ADC < 0,8 x 10-3 mm2/s memiliki tren kesintasan yang lebih singkat dua bulan dibandingkan dengan pasien dengan nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s yang masing-masing median kesintasannya sebesar 10 bulan dan 12 bulan. ......Background: MRI examinations for glioblastoma can aid in diagnosis with a high level of accuracy. The Apparent Diffusion Coefficient (ADC) value in MRI can serve as a prognostic indicator, although it has not been widely applied in Indonesia. This study was conducted to understand the role of ADC values in improving the prediction of survival in glioblastoma patients. Objective: To examine the survival rates of glioblastoma patients undergoing chemoradiation therapy and its relationship with ADC values and other factors. Methods: Survival rates and minimum ADC values were extracted from post- operative, pre-chemoradiation head MRI examinations of 20 patients meeting the study criteria from the period 2017 to 2023. Survival analysis was performed using the Kaplan-Meier method, and the Log Rank test was employed to evaluate the impact of determinants, including ADC values, on survival. Results: The mean age of the sample in this study was 43.6 +/- 16.4 years. There were 14 male patients (70%) and 6 female patients (30%). Six patients (30%) had ADC values ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s, while 14 patients (70%) had ADC values < 0.8 x 10-3 mm2/s. Survival analysis revealed a median survival difference in the ADC ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s and < 0.8 x 10-3 mm2/s groups, namely, 12 months and 10 months, with a p-value of 0.850. Conclusion: Patients with ADC values < 0.8 x 10-3 mm2/s had a trend of two months shorter survival compared to patients with ADC values ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s whose median survival was 10 months and 12 months.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raphael Kosasih
Abstrak :
Kanker payudara merupakan penyebab kematian tersering pada wanita. Salah satu faktor risiko kanker payudara adalah obesitas. Obesitas merupakan masalah kesehatan global yang diderita 13% populasi dunia. Sekitar 56 % pasien kanker payudara mengalami obesitas. Sebagian besar pasien kanker payudara dengan obesitas mengalami peningkatan berat badan setelah diagnosis dan semakin memberat saat mejalani terapi anti-kanker. Peningkatan massa lemak berperan dalam progresivitas sel kanker dan resistensi kanker terhadap kemoradiasi. Asam lemak omega-3, yaitu eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) merupakan nutrien spesifik dalam terapi medik gizi pasien kanker. Penelitian menunjukkan EPA dan DHA dapat memiliki efek anti-kanker, antiinflamasi, dan anti-obesitas yang dapat menurunkan massa lemak, berat badan, dan meningkatkan sensitivitas terapi anti-kanker. Terapi medik gizi dilakukan pada empat pasien kanker payudara dengan obesitas dengan rentang usia 44–58 tahun. Satu pasien tidak mencapai target asupan energi dan satu pasien melebihi target asupan energi, dengan rentang rerata asupan 23–31 kkal/kgBB. Satu pasien tidak mencapai target asupan protein dengan rentang rerata asupan 1–1,4 g/kgBB. Asupan nutrien spesifik asam amino rantai cabang keempat pasien belum mencapai 10 g/hari dengan rentang rerata asupan 8,3–9,3 g/hari. Asupan EPA dan DHA keempat pasien memiliki rentang rerata 1,8–1,9 g/hari. Tiga dari empat pasien mengalami penurunan berat badan dan free fat mass index (FFMI), satu pasien mengalami peningkatan BB dan FFMI, dan dua dari empat pasien mengalami peningkatan kekuatan genggam. Satu pasien mengalami peningkatan C-reactive protein (CRP) dan satu pasien mengalami penurunan CRP. Keempat pasien memiliki rasio neutrofil limfosit diatas 3,49 yang mengindikasikan peningkatan risiko rekurensi. Keempat pasien mengalami toksisitas akur ringan selama radioterapi. Kendala utama dalam aplikasi terapi medik gizi pada keempat pasien adalah tingkat kepatuhan terhadap preskripsi yang semakin menurun menjelang minggu akhir pemantauan Dibutuhkan tatalaksana gizi lebih lanjut pasca radiasi untuk mencapai target nutrisi disertai peningkatan aktivitas fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan massa otot. ......Breast cancer is a leading cause of death in women. One risk factor for breast cancer is obesity, a global health problem affecting 13% of the world's population. About 56% of breast cancer patients are obese. Most breast cancer patients with obesity gain weight after diagnosis and get worse while undergoing anti-cancer therapy. Increased fat mass plays a role in the progression of cancer cells and cancer resistance to chemoradiation. Omega-3 fatty acids, namely eicosapentaenoic acid (EPA) and docosahexaenoic acid (DHA), are specific nutrients in medical nutrition therapy for cancer patients. Research shows that EPA and DHA have anti-cancer, anti-inflammatory, and anti-obesity effects that can reduce fat mass and body weight and increase the sensitivity of anti-cancer therapy. Medical nutrition therapy was done on four obese breast cancer patients aged 44–58. One patient did not reach the energy intake target, and one exceeded the energy intake target, with a mean intake range of 23–31 kcal/kg BW. One patient did not achieve the target protein intake with an average intake of 1–1.4 g/kg BW. The intake of specific nutrients for branched-chain amino acids in the four patients had not yet reached ten g/day with a mean intake range of 8.3–9.3 g/day. The EPA and DHA intakes of the four patients had a mean range of 1.8–1.9 g/day. Three of four patients experienced weight loss and free fat mass index (FFMI), one patient experienced an increase in weight and FFMI, and two of four patients experienced an increase in grip strength. One patient had an increase in C-reactive protein (CRP), and one had a decrease in CRP. All four patients had a neutrophil-lymphocyte ratio above 3.49, indicating an increased risk of recurrence. All four patients experienced mild acute toxicity during radiotherapy. The main obstacle in applying medical nutrition therapy to the four patients was the level of adherence to prescriptions which decreased towards the end of the monitoring week. Further nutritional management after radiation was needed to achieve nutritional targets with increased physical activity to maintain or increase muscle mass.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Meidania
Abstrak :
Kanker nasofaring KNF masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Kanker nasofaring merupakan salah satu kanker terbanyak di Indonesia, dengan estimasi insidens 6,2/100.000 populasi atau 12.000 kasus baru per tahun. Sayangnya masih banyak kasus yang tidak tercatat karena banyak faktor, salah satunya adalah belum adanya sistem registrasi kanker nasional. Pada kebanyakan negara berkembang, registrasi kanker berawal dari rumah sakit. Sistem registrasi kanker berbasis rumah sakit atau Hospital Based Cancer Registry HBCR merupakan sumber data penting untuk registrasi kanker berbasis populasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil pasien dan tatalaksana pasien KNF di RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM berdasarkan data HBCR. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif terhadap seluruh pasien KNF periode Januari-Desember 2013 yang teregistrasi di HBCR RSCM. Didapatkan 299 pasien KNF, dengan rasio laki-laki dibandingkan wanita 2,4:1. Median usia adalah 47 tahun, dengan mayoritas pasien berusia 41-50 tahun 27,4. Karsinoma nasofaring tidak berdiferensiasi merupakan jenis histopatologi terbanyak 85. Mayoritas pasien terdiagnosa sebagai stadium lokal lanjut, terbanyak stadium IVA 33,9. Kemoradiasi masih menjadi terapi utama untuk stadium lokal lanjut 84,1, dan kemoterapi untuk stadium lanjut 83,9. Secara umum, karakteristik pasien pada penelitian ini selaras dengan penelitian-penelitian KNF terdahulu di Indonesia. ......Nasopharyngeal cancer NPC remains as part of Indonesia health burden. It is one of most common cancers in Indonesia, with an overall incidence estimated at 6,2 100.000 or 12.000 new cases per year. Unfortunately, many of these cases are unregistered due to several factors, such as lack of national cancer registry. In most developing countries, cancer registration often begin in hospitals. Hospital Based Cancer Registry HBCR provides the initial and major source of information on patients that leads to the set up of a population based registry. This study was conducted to determine NPC patient and treatment profile in Cipto Mangunkusumo Hosiptal, based on HBCR data. This was a descriptive retrospective study of all registered NPC patient in HBCR, from January December 2013. In this study, there were 299 NPC patients, with a male to female ratio of 2,4 1. Median age was 47 years old, with majority of age between 40 49 years old 27,4. Most common type of histology was undifferentiated NPC 85. Most patients presented with locally advanced disease, with majority of stage IVA 33,9. Chemoradiation remains as standard treatment for locally advanced NPC 84,1 and chemotherapy for metastatic NPC 83,9. This study showed that overall NPC patients characteristics in Cipto Mangunkusumo were similar with NPC patients profile in prior Indonesia NPC studies.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Araminta Ramadhania
Abstrak :
Pasien kanker kepala-leher berisiko tinggi mengalami malnutrisi disebabkan oleh perubahan metabolisme, lokasi tumor, serta gejala toksisitas akut akibat kemoradiasi. Terapi medik gizi secara dini sejak pasien terdiagnosis kanker untuk mencapai asupan energi dan protein yang adekuat, didukung asupan branched-chain amino acid (BCAA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) sesuai target, serta aktivitas fisik dapat menjaga massa otot dan status gizi pasien. Acute kidney injury (AKI) merupakan efek toksisitas obat kemoterapi berbasis platinum yang sering dialami pasien. Kondisi tersebut dapat menghambat optimalisasi pemberian nutrisi khususnya protein pada pasien kanker. Tiga dari empat pasien serial kasus sudah mengalami penurunan berat badan drastis, juga pre-kaheksia atau kaheksia sebelum mendapat terapi medik gizi. Selama menjalani kemoradiasi, asupan keempat pasien mengalami penurunan akibat gejala toksisitas akut yang semakin memberat mulai minggu ke-2 radiasi, sehingga tiga dari empat pasien tidak dapat mencapai target asupan energi dan protein pada sebagian besar pemantauan, dengan kisaran antara 6–41 kkal/kgBB/hari dan 0,3–1,6 g/kgBB/hari. Pemberian oral nutrition supplements (ONS) dan nutrisi enteral melalui nasogastric tube (NGT) membantu pemenuhan makronutrien, mikronutrien, serta nutrien spesifik. Berbagai studi menyatakan bahwa pasien yang mendapat terapi medik gizi disertai konseling nutrisi rutin mengalami penurunan berat badan lebih sedikit selama menjalani kemoradiasi. Keempat pasien serial kasus ini mengalami penurunan berat badan >10% selama menjalani kemoradiasi, terutama dari penurunan massa otot. Pasien juga mengalami penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Dua orang pasien yang mendapat terapi medik gizi sejak sebelum kemoradiasi disertai asupan nutrien spesifik sesuai target, dengan rentang asupan BCAA 3,5–16,2 g/hari dan EPA 1–1,38 g/hari, mengalami penurunan berat badan dan kualitas hidup relatif lebih sedikit dibanding dua pasien lainnya. Dibutuhkan asupan energi ≥30 kkal/hari dan asupan protein ≥1,2 g/hari disertai peningkatan aktivitas fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan massa otot. Penurunan asupan masih dapat terjadi hingga beberapa minggu pascakemoradiasi, sehingga pemberian terapi medik gizi juga harus dilanjutkan setelah terapi kanker selesai. ......Patients with head and neck cancer are at risk of malnutrition as a result of the metabolic alteration, site of their cancer, also acute toxicity following chemoradiation therapy. Early nutrition intervention consisted of adequate energy, protein, BCAA, and EPA intake, including physical activity initiated immediately after diagnosis was made, may maintain skeletal muscle mass and nutritional status. Platinum-based chemotherapy drug-induced nephrotoxicity can hinder the optimization of protein intake in cancer patients. Three out of four patients in this case series had experienced severe weight loss, also pre-cachexia and cachexia before initiation of nutrition intervention. Energy and protein intake of three patients remained insufficient until the end of chemoradiation therapy, ranged from 6–41 kcal/kg/day and 0,3–1,6 g/kg/day. These inadequacies were mainly caused by acute radiation toxicities that worsen as radiation went on. Oral nutrition supplements and enteral tube feeding may help to achieve adequate macronutrient, micronutrient, and specific nutrient intake. A number of studies demonstrated that regular dietary counseling during chemoradiation was associated with less weight loss. All patients in this case series suffered from weight loss >10%, mainly from skeletal muscle loss. Functional status and quality of life during chemoradiation therapy were also reduced. Better quality of life and less weight loss were seen in two patients who received early nutrition intervention and reached the daily intake target of specific nutrient, ranged from 3,5–16,2 g/day for BCAA and 1–1,38 g/day for EPA. Energy intake ≥30 kcal/day and protein intake ≥1,2 g/day combined with increased physical activity are needed to maintain or increase muscle mass. Side effects of radiation can last for months after treatment; therefore, nutrition intervention should be continued to maintain good nutrition after radiation therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library