Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 4 Document(s) match with the query
cover
Sianturi, Grace Nami
"Urtikaria kronik (UK) adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan frekuensi minimal kejadian urtika sebanyak dua kali dalam 1 minggu. Urtikaria kronik merupakan penyakit yang umum dijumpai dengan insidens pada populasi umum sebesar 1-3%, serta melibatkan mekanisme patofisiologi yang kompleks. Urtikaria kronik lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak dan wanita dua kali lebih sering terkena daripada pria. Laporan morbiditas divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta antara Januari 2001 hingga Desember 2005 menunjukkan jumlah pasien UK sebesar 26,6% dari total 4453 orang pasien baru.
Meski telah dilakukan pemeriksaan klinis maupun berbagai pemeriksaan penunjang, etiologi tidak ditemukan pada 80-90% pasien UK dan digolongkan sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Urtikaria kronik idiopatik seringkali menimbulkan masalah bagi dokter maupun pasien. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan autoantibodi pelepas histamin pada 30-50% kasus UKI, sehingga digolongkan sebagai urtikaria autoimun (UA). Autoantibodi pada UA dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan, antara lain uji kulit serum autolog (UKSA) atau disebut pula tes Greaves. Saat ini UKSA dianggap sebagai uji kiinik in vivo terbaik untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin in vitro pada UA. Angka morbiditas UA di Indonesia belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Soebaryo (2002) melaporkan angka kepositivan UKSA sebesar 24,4% pada 127 pasien UK, sedangkan Nizam (2004) memperoleh angka prevalensi kepositivan UKSA sebesar 32,1% pada 81 pasien UK.
Infeksi kuman Helicobacter pylori (Hp) merupakan infeksi bakterial kronik tersering pada manusia, mencapai 50% dari seluruh populasi dunia. Peran infeksi Hp sebagai etiologi kelainan gastrointestinal telah diterima luas. Studi lebih lanjut menemukan keterlibatan infeksi Hp pada berbagai kelainan ekstragastrointestinal, antara lain UKI.
Berbagai penelitian di Iuar negeri memperlihatkan tingginya prevalensi infeksi Hp pada pasien UKI, disertai dengan remisi klinis UKI pasca terapi eradikasi Hp. Pada penelitian-penelitian awal didapatkan angka prevalensi mencapai 80% dan remisi klinis pasta terapi eradikasi Hp terjadi pada 95-100% pasien. Pada penelitian-penelitian selanjutnya ditemukan prevalensi dan frekuensi keterkaitan yang bervariasi. Suatu studi meta-analisis mengenai infeksi Hp pada UKI menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya resolusi urtika empat kali lebih besar pada pasien yang mendapat terapi eradikasi Hp dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi. Namun demikian, remisi total hanya terjadi pada 1/3 pasien yang mendapat terapi eradikasi. Pengamatan ini mendasari timbulnya pemikiran bahwa Hp berperan penting sebagai etiologi pada sebagian kasus UKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
"Helicobacter pylori (Hp) infection is the most common chronic bacterial infection in human. The role of Hp infection in various GI disorders had been widely accepted. However, further studies have found new extragastrointestinal involvement such as urticaria. Chronic urticaria is a common disorder that has complex pathophysiologic mechanism. As mater of fact, etiology remains unclear in most of the cases. This condition is called Idiopathic Chronic Urticaria. Several studies had shown high prevalence of Hp infection in patients with ICU and improved symptoms after eradication therapy of Hp. This observation had suggested that Hp has important role as etiologic factor in some cases of ICU. The presence of Hp infection and its role in ICU should be proven before initiating eradication therapy, so that irrational used of drugs and antibiotics resistance can be prevented."
The Indonesia Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2005
IJGH-6-2-August2005-48
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Teffy Nuary
"Latar belakang: Penilaian kualitas hidup dibutuhkan untuk menilai respons terapi. Saat
ini belum tersedia instrumen penilaian kualitas hidup pasien urtikaria kronik berbahasa
Indonesia. CU-Q2oL merupakan kuesioner spesifik urtikaria kronik yang pertama kali
dikembangkan dalam versi bahasa Italia. Proses adaptasi lintas bahasa dan budaya
diperlukan agar kuesioner dapat digunakan di Indonesia. Uji validitas dan reliabilitas
penting untuk memastikan telah digunakan bahasa atau istilah yang tepat sesuai budaya
setempat dan tidak terdapat perubahan validitas dan reliabilitas kuesioner tersebut.
Tujuan: Mendapatkan kuesioner CU-Q2oL berbahasa Indonesia yang diadaptasi dari
CU-Q2oL berbahasa Italia untuk menilai secara spesifik kualitas hidup pasien urtikaria
kronik.
Metode: CU-Q2oL asli berbahasa Italia diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Pengisian
kuesioner kualitas hidup urtikaria kronik (KHUK) dilakukan pada 40 pasien dengan
urtikaria kronik di poliklinik Kulit dan Kelamin RS. Dr. Cipto Mangunkusumo secara
daring menggunakan google form. Uji validitas dilakukan dengan menghitung nilai
koefisien korelasi, uji reliabilitas dilakukan dengan menghitung nilai Cronbach α dan
intraclass coefficient (ICC).
Hasil: Adaptasi lintas bahasa dan budaya CU-Q2oL berbahasa Italia menghasilkan
sebuah kuesioner KHUK. Nilai koefisien korelasi seluruh pertanyaan dengan skor total
berkisar antara 0,467 – 0,856. Koefisien korelasi pertanyaan dengan skor ranah antara
0,585 – 0,958. Cronbach α seluruh pertanyaan 0,923 dan cronbach α pertanyaan sesuai
ranah antara 0,738 – 0,904. ICC seluruh pertanyaan adalah 0,913 dan ICC setiap ranah
antara 0,898 – 0,950.
Kesimpulan: Telah diperoleh kuesioner KHUK berbahasa Indonesia berdasarkan
adaptasi lintas bahasa dan budaya. Kuesioner KHUK berbahasa Indonesia dinyatakan
valid dan reliabel sebagai suatu alat ukur untuk menilai kualitas hidup pasien urtikaria
kronik di Indonesia.

Background: Assessment of quality of life is needed to assess therapeutic response.
There is no instrument for assessing the quality of life of chronic urticaria patients in
Indonesia. CU-Q2oL is a specific questionnaire for chronic urticaria that was first
developed in Italian version. Cross-language and cultural adaptation processes are
needed so that the questionnaire can be used in Indonesia. Validity and reliability tests
are important to ensure that the language or term that used is appropriate to the local
culture and there is no change in the validity and reliability of the questionnaire.
Objective: Obtain an Indonesian-language CU-Q2oL questionnaire that adapted from
Itaian version of CU-Q2oL to specifically assess the quality of life of patients with
chronic urticaria.
Method: The Italian version CU-Q2oL was translated into Indonesian language. The
KHUK questionnaire was answered by 40 chronic urticaria patients in dermatology
dan venereologi clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using google form.
Validity test is done by calculating the value of the correlation coefficient, reliability
test is done by calculating the value of Cronbach α and intraclass coefficient.
Result: Cross-language and cultural adaptations of Italian vesrsion CU-Q2oL resulted
a KHUK questionnaire.. Correlation coefficient values for all questions with a total
score ranging from 0.467 to 0.856. The question correlation coefficient with domain
scores was between 0.585 - 0.958. Cronbach α of all questions 0,923 and the value of
cronbach α of questions according to the realm ranged from 0.738 - 0.904. The ICC for
all questions is 0.913 and the ICC for each domain ranges from 0.898 - 0.950.
Conclusion: KHUK questionnaire based on cross – language and cultural adaptation
has been obtained. The questionnaire is valid and reliable to assess the quality of life of
chronic urticaria patients in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Mahri
"Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan.
Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D.

Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia.
Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients.
Methods: This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire.
Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031).
Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library