Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bolnick, David A.
Abstrak :
Surgical guide to circumcision is a compendium of the who, what, where, why, and most importantly, the how of circumcision. Given that one third of the world’s males have undergone this most ancient of surgical procedures, a contemporary resource on the subject is in order. Most circumcisions are elective with no acute medical necessity, that is, most are done for cultural reasons. Thus, in addition to being a standard surgical guide for those who perform circumcision, this book is an anthology of circumcision, from its prehistoric roots to its present day admixture of religion, culture, and medicine. Surgical guide to circumcision is a fully illustrated, step-by-step guide to the most common techniques of circumcision and addresses aspects such as informed consent, religious and cultural sensitivities, pre-exam, post-care, pain control, and prevention and management of potential complications.
London : Springer, 2012
e20425971
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Diannisa Paramita Susantono
Abstrak :
Latar Belakang: Sirkumsisi adalah prosedur bedah untuk menghilangkan kulit prepusium. Prosedur ini melibatkan proses penyembuhan luka yang meliputi 3 fase: inflamasi, pembentukan jaringan, dan remodeling jaringan. Tenascin-c adalah protein matriks ekstraselular yang diekspresikan pada saat perlukaan, perbaikan, dan regenerasi jaringan. Tenascin-c ditemukan pada area inflamasi, terutama di tepi perlukaan. Riset ini bertujuan mengidentifikasi korelasi antara ekspresi tenascin-c pada tepi luka sirkumsisi dengan resolusi inflamasi pada penyembukan luka sirkumsisi. Metode: Sampel preputium didapatkan dari kegiatan sirkumsisi masal, kemudian sampel melalui histotechniques dan immunohistokimia spesifik untuk tenascin-c. Data juga diperoleh dari wawancara yang dilaksanakan 14 hari setelah sirkumsisi. Wawancara diikuti oleh observasi fisik untuk menentukan resolusi inflamasi pada perlukaan pasien. Hasil: 85,7 dari sampel yang tenascin-c positif mengalami resolusi inflamasi yang normal. 66,67 dari sampel yang tenascin-c negatif mengalami resolusi inflamasi yang tertunda. Kesimpulan: Ada korelasi antara ekspresi tenascin-c dan resolusi inflamasi pada perlukaan pasca sirkumsisi.
Background Circumcision is a common invasive surgical procedure to remove the preputial skin. It involves the wound healing process, consisting of 3 phases inflammation, tissue rebuilding, and tissue remodeling. Tenascin c is an extracellular matrix protein highly expressed during tissue injury, renewal, and regeneration. Tenascin c expressions are found at sites of inflammation, it especially peaks at the incision wound edges. This research aims to identify a correlation between tenascin c expressions at the circumcision incision area and the inflammation resolution of circumcision wound healing. Method Preputial skin samples were obtained from a mass circumcision event, afterwards they underwent histotechniques which includes hematoxylin eosin staining and immunohistochemistry specific for tenascin C. Data was also obtained from a follow up interview conducted 14 days after the surgical procedure. The interview was confirmed with physical observation to determine state of inflammation resolution. Results 85,7 of tenascin c positive samples exhibits normal inflammation resolution. 66,67 of tenascin c negative samples exhibit delayed inflammation resolution. Conclusion There is a correlation between tenascin c expression and inflammation resolution in post circumcision wound healing.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Handayani
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk mendapatkan analisis tentang praktik khitan perempuan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi terkait dalam rangka mencari upaya untuk mengeliminasi khitan perempuan yang dilakukan tenaga kesehatan di Kecamatan Sukmajaya. Kota Depok, Jawa Barat. Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan informasi yang menggunakan wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan pengamatan melalui observasi praktik khitan perempuan. Jumlah keseluruhan informan bidan adalah 12 orang, yang bekerja di Puskesmas, Rumah Bersalin dan Bidan Praktik Swasta. Sedangkan informan kunci dalam studi ini terdiri dari ibu yang memiliki bayi perempuan yang anaknya dikhitan oleh tenaga kesehatan, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Informasi yang diperoleh dalam studi ini menunjukkan bahwa informan tenaga kesehatan yang melakukan praktik khitan perempuan seluruhnya berprofesi sebagai bidan dengan rentang usia antara 23 hingga 49 tahun. Umumnya, informan bidan berasal dari suku Jawa dan Sunda serta beragama Islam. Masa kerja informan bidan yang > 5 tahun dan <5 tahun tidak memiliki perbedaan dari sisi pengetahuan, sikap, persepsi dan penawarannya terhadap khitan perempuan kepada masyarakat. Informan bidan yang berusia < 30 cenderung longgar terhadap nilai-nilai tradisi. Sedangkan informan bidan yang berusia > 30 tahun memiliki nilai-nilai tradisi yang lebih melekat pada dirinya. Pada umumnya informan bidan beragama Islam dan terdapat perbedaan pendapat tentang kekuatan perintah pelaksanaan khitan perempuan. Praktik khitan perempuan yang dilakukan oleh informan bidan, berdasarkan klasifikasi WHO (1984), masuk ke dalam tipe 4, yaitu `tidak terklasifikasi' unclassified, dan tipe simbolik (Pop Council) Alat yang digunakan adalah gunting kecil, jarum dan kapas, dilakukan pada saat bayi perempuan berusia 3 - 40 hari, dengan besar biaya bervariasi antara Rp 5.000 - Rp 50.000,-. Informan bidan memiliki persepsi yang negatif terhadap mitos psikoseksual khitan perempuan. Namun, semua informan bidan memiliki persepsi bahwa khitan perempuan berhubungan dengan syarat sahnya masuk Islam. Informan bidan menyatakan tidak menawarkan paket tindik kuping dan khitan perempuan kepada pasien yang baru melahirkan bayi perempuan. Namun, ada informan bidan yang mengakui secara otomatis menawarkan khitan perempuan kepada ibu yang baru melahirkan bayi perempuan. Informasi tersebut juga didukung oleh informan kunci ibu bayi yang mengatakan melakukan khitan perempuan karena ditawari oleh bidan penolong persalinan. Informan bidan menyatakan tidak ada SOP khitan perempuan dan membutuhkannya supaya tidak melakukan praktik yang salah. Padahal SOP khitan perempuan tidak dapat dibuat karena tidak ada standar medis yang akan ditegakkan. Semua informan bidan menyatakan tidak tahu dan belum pernah mendengar bahwa WHO telah mengeluarkan pernyataan bulan Agustus 1982 tentang larangan tenaga kesehatan melakukan praktik khitan perempuan. Praktik khitan perempuan oleh tenaga kesehatan kemungkinan akan tetap berlanjut di Kecamatan Sukmajaya. Selain karena eksistensi dukun yang semakin hilang dan masyarakat lebih memilih tenaga kesehatan untuk praktik khitan perempuan. Praktik ini juga didukung oleh tokoh agama dan lingkungan sosial. Perlu ada sosialisasi tentang manfaat dan bagi kesehatan perempuan serta peraturan yang jelas tentang praktik khitan perempuan serta kejelasan fatwa kejelasan fatwa dari MUI. Upaya ini perlu didukung oleh semua instansi terkait. ......This study conducted to get analysis about the practices of FC by HCP in district of Sukmajaya, Town of Depok, West Java. The result of this study expected can become input to related institution in order to searching effort for elimination of FC by HCP in district of Sukmajaya, Town of Depok, West Java. To achieve the objectives. data was collected qualitative method by indepth interview, focus group discussion and observation of the practices. informants of this study consists of 12 midwifes from Puskesmas, Rumah Bersalin and Midwife from private sector. To validate of information, this study also collected data from mother owned baby girl who circumcised by HCP, elite figure and religion figure. Information which obtained in this study indicate that HCP who practices circumcised in district of Sukmajaya, entirely have profession as midwife. So that here in after referred to as midwife informan, spanned aged between 23 till 49 year. In general midwife informan come from ethnic Java and Sunda and also believe in Islam. In general, midwife informan year of service with year of service > 5 year < 5 year do not have difference of knowledge side, attitude, perception and promoted FC to client. In general midwife informan which have age < 30 tend to diffuse to tradition values. While midwife informan which have age > 30 year have more coherent tradition values in them self. In general midwife informan believe in Islam and there are different idea about strength of command of the obligatory of FC. There is which is obliged, and there is which is mubah. The practiced of FC by midwife informan, pursuant to classification of WHO ( 1984), coming into type 4, that is unclasified. While, pursuant to criterion of Population Council ( 2003), including symbolic classification, where there is no part of organ of kelamin crosscut or cut. Appliance the used was small scissors, cotton and needle, done at the time of baby woman of have age to 3 - 40 day, the expense of varying between Rp 5.000 - Rp 50.000,-. In general midwife informan have negative perception to myth of FC flirtatiously and fertility.But, in general midwife informan have perception that FC relate to its islamization, In general midwife informan express do not offer the package of tindik and ear and FC to new patient who have just delivery baby girl. Though there is also midwife informan confessing automatically offer FC to new mother bear woman baby. The information is also supported by mother of baby girl who told conducted FC because offered by midwife. In general midwife informan express there is no SOP(Standard Operation Procedure) FC and requiring her so that de not do wrong practices. Though SOP FC cannot be made by for no medical standard to be upheld. In general midwife informan express do not know and have never heard that WHO have released statement of August, 1982 that HCP prohibited to do FC practices. hi general midwife informan express that the FC practices conducted because request of public. There is also indication that in all possibility the practice of FC by HCP will remain continue in District of Sukmajaya after time. Besides, because of tine traditional circumciser have not exist anymore, this practice also supported by religion figure and social environment. Need there is socialization about implication and benefit of FC to health of woman and also clear regulation about practices of FC by HCP and also supported from any institutions related.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12804
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Shindi Eugene Tiurma
Abstrak :
ABSTRACT
Sirkumsisi telah dianggap sebagai salah satu prosedur bedah tertua dan paling sering dilakukan. Meskipun telah banyak teknik-teknik sirkumsisi yang telah diciptakan, tidak ada mufakat dalam penentuan metode sirkumsisi yang terbaik dalam praktik, terutama dalam ketentuan perbaikan jaringan kulit. Tenascin-C TNC adalah glikoprotein ekstraselular yang terbentuk selama embriogenesis dan meningkat sewaktu penyembuhan luka, terutama dalam fase resolusi. Dalam penelitian ini, penulis menganalisa penyembuhan luka akibat sirkumsisi dengan dorsal-slit method dan kauter laser melalui ekspresi Tenascin-c. Kulit khatan dari 20 partisipan laki-laki 5-12 tahun dikumpulkan dan diwarnai dengan pewarna hematoxylin-eosin untuk menentukan area insisi. Ekspresi tenascin-c diamati dengan imunohistokimia: rasio area dengan TNC positif dan batas pinggiran insisi. Hal ini diikuti dengan daftar pertanyaan pasca-operasi beserta foto-foto dari partisipan untuk menentukan status penyembuhan luka. Grup konvensional memperlihatkan ekspresi TNC yang lebih besar 57.28 47.56 dibanding grup kauterisasi 25.36 16.44 p=0.07 . Rata-rata ekspresi TNC pada subyek dengan penyembuhan luka yang normal 42.15 40.87 sedikit lebih tinggi daripada rata-rata pada subyek dengan penyembuhan luka yang tertunda 38.83 33.40 p=0.872 . Tidak ada korelasi yang signifikan antara ekspresi tenascin-c dengan proses penyembuhan luka. Dari data yang terkumpul dapat dilihat bahwa dorsal-slit dan kauterisasi method, kedua-duanya membuahkan perbaikan jaringan kulit yang normal.
ABSTRACT
Circumcision has been noted as one of the oldest and most common surgical procedure. Even though, various techniques have been developed, there is no consensus on best practice method for circumcision in terms of skin tissue repair. Tenascin c TNC is an extracellular glycoprotein expressed during embryogenesis and markedly increased in wound healing, especially in resolution phase. In this study, the author analyzed the outcome of skin tissue repair dorsal slit and laser cauterization through expression of tenascin c. Prepuces from 20 male participants 5 12 years old were collected and stained using hematoxylin eosin staining to determine incisional area. Tenascin C expression was determined by immunohistochemistry with ratio of TNC positive area and incisional margin. Follow up investigation was done using post operative questionnaire and photographs to determine the status of wound healing. The conventional group showed greater TNC expression 57.28 47.56 than cauterization group 25.36 16.44 p 0.07 . The mean expression of TNC in normal wound healing subjects 42.15 40.87 is slightly more than the mean of delayed wound healing subjects 38.83 33.40 p 0.872 . There is no significant correlation between tenascin c expression and wound healing process. The number of subjects with normal healing after cauterization or conventional techniques is almost identical. The data presented here suggested that both dorsal slit and cauterization methods resulted in normal skin tissue repair.
2016
S70375
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Nabila Setiawan
Abstrak :
Praktik sunat perempuan menurut WHO tidak diperkenankan untuk dilakukan dalam bentuk dan tingkat apapun sebab membahayakan anak perempuan dan perempuan serta melanggar hak kesehatan reproduksi. Di Indonesia, 48.8% pada anak perempuan usia 0-11 tahun di Indonesia dengan 80% orang tua menunjukkkan persetujuan keberlanjutan sunat perempuan pada masa yang akan datang pada tahun 2013. Mahasiswa sebagai calon pemimpin dan orang tua di masa depan adalah yang menentukan keberlanjutan praktik sunat perempuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan faktor yang mempengaruhi persetujuan mahasiswa terhadap praktik sunat perempuan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022. Disain studi dalam penelitian ini menggunakan studi potong lintang pada 248 mahasiswa yang berdomisili di DKI Jakarta yang dipilih secara acak pada Mei – Juni 2022. Analisis hubungan menggunakan chi-square dan pemodelan dengan regresi logistik biner. Hasil penelitian menunjukkan faktor mempengaruhi persetujuan mahasiswa terhadap praktik sunat anak perempuan pada masa depan di DKI Jakarta adalah persetujuan terhadap persepsi manfaat moral seksual sunat perempuan (aOR=4.05, p=0.025) dan mahasiswa fakultas non kesehatan (aOR=2.79, p=0.037). Intervensi direkomendasikan melalui pendidikan dan media massa untuk mengedukasi tidak adanya hubungan sunat perempuan memiliki manfaat moral seksual bagi mahasiswa kesehatan maupun non kesehatan. ...... Female circumcision is not allowed to be carried out in any form and level since it endangers girls and women and violates reproductive health rights. According to National Basic Health Riset 2013, female circumcision occurred 48.8% of girls aged 0-11 years followed with 80% of parents showing agreement of the continuation of female circumcision in the future. University students as future leaders and future parents are related to the continuation of the practice of female circumcision in the future. This study aims to describe and identify factors influencing agreement toward female circmcission of future daughter among university students in DKI Jakarta 2022. Analysis was performed using chi-square and binary logistic regression. Data was collected between May - June 2022 through an online questionnaire involving 248 students in DKI Jakarta. Students who agreed of sexual moral perceptions of female circumcision strongly influenced their agreement toward female circmcission of future daughter (aOR=4.05, p=0.025). Also, non-medical faculty students strongly agreed toward female circmcission of their future daughter (aOR=2.79, p=0.037) than medical faculty students. Interventions are recommended through education and mass media to educate that the absence of female circumcision has sexual moral benefits for both medical and non-medical students.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library