Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Felicia Wulandari
"Dalam rangka pemilihan jenis vegetasi yang tepat untuk hutan kota, telah dilakukan pengkajian kemampuan vegetasi dalam menurunkan suhu udara, perbedaan pertumbuhan dan pengaruh jarak tanam dari 3 jenis vegetasi yang terdapat di Padang Golf Halim II, yaitu: Saga (Adenanthera pavonina), Gamal (Glvricidia sepium), dan Ki roda (Hura crepitans).
Metode yang digunakan ialah metode kuarter, yang titik-titik contohnya ditentukan secara acak. Parameter yang diukur adalah: luas kanopi dan suhu udara di bawah kanopi pohon, yang digunakan untuk mengetahui jenis vegetasi mana yang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menurunkan suhu udara; garis tengah batang pohon; tinggi pohon; dan luas kanopi pohon untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan vegetasi pada kondisi lingkungan Padang Golf Halim II; dan jarak tanam pohon serta garis tengah batang pohon tetangga terdekat, untuk mengetahui pengaruh kerapatan terhadap pertumbuhan vegetasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerimbunan kanopi mempengaruhi suhu udara di bawah kanopi dan Gamal memiliki kemampuan yang lebih besar dalam mempengaruhi kesejukan udara dibanding Ki roda, sedangkan antara Saga dan Gamal, maupun Saga dan Ki roda tidak jauh berbeda. Pertumbuhan antara Saga, Gamal, dan Ki roda berbeda nyata dan Gamal memiliki pertumbuhan yang paling baik di Padang Golf Halim II. Jarak tanam sangat mempengaruhi pertumbuhan Saga, Gamal, dan Ki roda. Gamal dan Saga merupakan jenis tumbuhan yang berbunga indah, sehingga dapat ditanam sebagai tanaman hias di hutan kota wisata, tetapi Saga sering menggugurkan daunnya."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Shania Guntoro
"Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area hijau yang menjadi tempat berlindung lumut pada cuaca panas dan kering di wilayah urban. Spesies lumut yang mampu menoleransi kekeringan akan memiliki tutupan lumut yang besar dan melimpah pada suhu udara tinggi dan kelembapan udara rendah. Lumut epifit dapat menjadi bioindikator karena lumut sensitif terhadap perubahan lingkungan. Kelimpahan suatu spesies lumut epifit dapat menunjukkan lingkungan yang ekstrim di suatu area. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kelimpahan lumut epifit serta mengetahui hubungan faktor lingkungan dan inang pohon dengan kelimpahan lumut epifit di Hutan Kota Srengseng Sawah dan tepi Jalan Moch. Kahfi II. Penelitian dilakukan dengan mengoleksi sampel lumut epifit pada pohon inang yang dipilih secara random dengan ketentuan DBH batang pohon >20 cm. penelitian dilakukan pada 3 plot di dalam hutan kota dan 3 plot di tepi jalan luar hutan kota. Hasil analisis data rata-rata tutupan lumut epifit di dalam hutan lebih besar 43,32 ± 31,69% daripada di luar hutan 39,63 ± 29,44%, namun tidak beda signifikan (p = 0,566). Berdasarkan divisinya, rata-rata tutupan lumut sejati di dalam hutan sebesar 35,71 ± 27,81% dan lumut hati sebesar 47,96 ± 33,57%. Sedangkan di luar hutan, rata-rata tutupan lumut sejati sebesar 41,85 ± 29,11% dan lumut hati sebesar 26,56 ± 29,56%. Lumut melimpah pada pohon jati belanda, tipe kulit scaly-smooth, DBH batang pohon 37,9–58,7, rentang nilai pH 4,96–5,92, dan tutupan kanopi sebesar 33–56%. Rata-rata tutupan lumut tinggi pada ketinggian 0–100 dan arah utara di dalam hutan. Berdasarkan uji korelasi Spearman, hasil data kelimpahan lumut tidak berkorelasi antara parameter abiotik yaitu suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya dengan tutupan lumut di hutan kota dan tepi jalan. Hasil penelitian ini adalah persentase tutupan lumut dapat menjadi indikator parameter kelembapan udara di wilayah urban.

Green Open Space (GOS) became an area for epiphytic bryophyte to refuge from hot and dry weather in urban district. Bryophyte species that can tolerate desiccation will have large and abundant bryophyte cover at high air temperature and low humidity percentage. Epiphytic bryophyte known to be used as bioindicator because it’s sensitivity to environmental changes. The abundance of some epiphytic species may indicate that they are present in the harsh environment of the area. This study aimed to see the significant difference of epiphytic bryophyte abundance and also the relationship between the abundance of epiphytic bryophyte with environmental factors and tree hosts in Srengseng Sawah City Forest and Moch. Kahfi II Roadside. This research collected epiphytic bryophyte sampels on random host trees with DBH >20 cm. The research carried out in 3 plots inside and 3 plots outside of city forest. The abundance of epiphytic bryophyte cover and its relations with environmental parameters were analysed. Data results state that the mean cover of bryophyte in the forest is greater 43,32 ± 31,69% than outside the forest 39,63 ± 29,44%, but not significantly different (p = 0,566). Based on division, the average moss (Bryophyte) cover in the forest is 35,71 ± 27,81% and liverworts (Marchantiophyta) are 47,96 ± 33,57%. Meanwhile, the average moss cover outside forest 41,85 ± 29,11% and liverworts are 26,56 ± 29,56%. Moss is abundant on Guazuma ulmifolia trees, scaly-smooth bark type, tree DBH range 37,9–58,7, pH value range 4,96–5,92, and canopy cover of 33–56%. The average bryophyte cover is high at heights 0–100 and facing north in the forest. Based on the Spearman correlation test, data results of bryophyte abundance did not correlate between abiotic parameter, that is air temperature, humidity, and light intensity with bryophyte cover at city forest and roadside. This research conclude that percentage of bryophyte cover can be an indicator for air humidity in urban district."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library