Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 2001
297.1 ISL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Riris Priyanto
"Civil society is an arena in which all social entities interact and freely express themselves, based on common values and is built by the four pillars of social actors: the academic community, civic community, mass media, and political parties. Unfortunately for years there has been a discord among the fours, especially between the academic community and the civic community, as in the case of Indonesia. This paper is composed from a series of long discussions, held as part of the institutionaliation process of Pacivis?Center for Global Civil Society Studies. If gives a historical outlook of the development of the academic community's roles, its significance in the civil society arena and the necessity to reorganise the academic community in order to regain its strategic place in civil society."
2003
CJCE-1-1-April2003-21
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mahardika S. Sadjad
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hasan Anshori
"Pada dasarnya, penelitian ini didorong oleh perubahan besar yang tengah terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini. Perubahan tersebut terkait erat dengan semangat reformasi dan otoda yang bermaksud untuk lebih mengurangi peran pemerintah dengan memberikan kesempatan yang lebih besar pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tabun 1999 tentang pemerintah daerah merupakan bentuk respons atas semangat perubahan tersebut. Dengan demikian penyelenggaraan otonomi daerah harus dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi, pemberdayaan masyarakat, partisipasi dan pemerataan. Akibatnya, paradigma pembangunan daerah juga mengalami perubahan, termasuk di antaranya perubahan sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah.
Renstra merupakan sistem perencanaan pembangunan yang digunakan oleh kabupaten Gresik sebagai penerjemahan atas semangat otonomi daerah tersebut. Penyusunannya dilakukan dengan mengundang seluruh elemen masyarakat Gresik. Partisipasi mereka diharapkan akan memberikan informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan keinginan masyarakat Gresik secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini, masyarakat tersebut direpresentasikan melalui unsur-unsur civil society yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Gresik. Civil society sendiri merupakan elemen penting kekuatan masyarakat dan proses demokratisasi di Gresik. Keberadaan mereka sangat strategis dalam mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan dalam proses penyusunan renstra. Namun demikian, masalah yang seringkali muncul adalah berkenaan dengan kesiapan, kualitas isu, kebijakan, kuantitas dan kredibilitas mereka.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Tehnik pemilihan informan yang digunakan adaiah purposive. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, asosiasi profesi, organisasi sosial-keagamaan/kemasyarakatan dan Bappeda sendiri. Sedangkan tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan para informan tersebut.
Partisipasi civil society adalah keterlibatan mereka secara langsung dan aktif dalam proses penyusunan renstra. Partisipasi mereka sendiri berada pada tataran decision making ( pengambilan keputusan kebijakan ). Dengan demikian renstra sendiri merupakan dokumen perencanaan yang akan dijadikan acuan atau referensi untuk kegiatan operasional kabupaten Gresik.
Temuan penting dalam penelitian ini adalah pemahaman dan pengetahuan civil society sendiri mengenai renstra sangat beragam dan kurang. Di antara satu civil society dengan lainya membawakan isu dan kebijakan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada perbedaan concern dan kajian masing-masing. Mekanisme pendukung ( enforcing mechanism ) partisipasi sendiri berupa mekansime formal yang dirancang dan difasilitasi pihak pemda. Mekanisme tersebut berbentuk seminar pendahuluan, sidang komisi dan diakhiri dengan rapat paripurna yang bersifat memberikan keputusan final."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kompas , 2000
320.959 8 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Mayelly
"Dalam era reformasi hubungan komunikasi antara pemerintah, DPR dan masyarakat mengalami stagnasi kemacetan atau ketidakharmonisan itu akibat biasanya visi, isi dan interpretasi tentang arti sebuah negara demokrasi. Reformasi yang ingin memposisikan "Civil Society" dalam bingkai demokrasi diterjemahkan sebagai tindakan serba 'boleh'. Bahkan elite-elite politik pun tidak memiliki ofinitas bersama baik dengan sesama penyelenggara negara maupun dengan masyarakat pihak pentingnya suatu perubahan menuju negara yang lebih demokratis. Apalagi perbedaan kepentingan begitu tajam diantara elite-elite politik yang cenderung menanggalkan aturan main konstitusi (UUD 1945), maka tak heran pakar-pakar hukum ketatanegaraan juga ikut meramaikan polemik seputar sistem pemerintahan yang kita anut.
Di satu pihak, ada pakar hukum ketatanegaraan yang menyatakan Indonesia menganut sistem presidensial tidak murni. Artinya, presiden dipilih oleh MPR dan Presiden memiliki hak perogatif untuk mengangkat atau memberhentikan pembantu-pembantunya (menteri) Pasal 17, UUD 1945 hasil amandemen kedua. Sedangkan dilain pihak, ada anggapan bahwa UUD '45 menganut sistem parlementer tidak murni. Anggapan ini berangkat dari beberapa Pasal UUD '45 yang menyatakan setiap kekuasaan presiden harus mendapati persetujuan DPR. Bahkan, dalam interpretasi ini presiden harus dipilih langsung oleh rakyat, dan pembentukan kabinet harus berkonsultasi dengan DPR.
Nampaknya, interpretasi para pakar menimbulkan masalah tersendiri ketika pemerintah KH Abdurrahman Wahid kehilangan legitimasinya akibat sistem hubungan komunikasi antara lembaga tinggi dan tertinggi negara yang telah terbangun ditinggalkan. Padahal, dalam sistem hubungan itu telah terjalin komunikasi yang cukup efektif seperti terlihat dalam pasal-pasal UUD '45. Apalagi, dalam pasal-pasal tersebut cukup jelas otoritas atau kewenangan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara. Dari sinilah kemudian muncul penafsiran seakan legislatif sedang membangun proses "Check and Balanced" agar eksekutif tidak terlalu 'kuat' seperti di era orde baru yang cenderung Powerful. Proses hubungan komunikasi antar lembaga-lembaga tinggi dan masyarakat di era transisi ini memang tidak terlepas dari pengaruh kultur politik. Artinya, untuk mengubah proses sosialisai politik masyarakat diperlukan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan tingkah laku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal itu, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru.
Berangkat dari pemikiran di atas pertikaian pemerintah versus DPR, yang berimplikasi langgsung kepada masyarakat menjadi menarik ketika presiden bersikeras untuk mengeluarkan dekrit dan respon oleh MPR/DPR dengan segera melakukan Sidang Istimewa yang dipercepat. Tentu saja, kemacetan hubungan kemacetan hubungan komunikasi jadi di saat era reformasi menjaga konsolidasi demokrasi. Oleh karena itu, penulisan tesis ini akan meneliti lebih jauh subtansi masalah kemacetan hubungan komunikasi antara pemerintah dan DPR, serta implikasinya terhadap mesyarakat. Penelitian ini juga akan mengkaji peran media dalam pertikaian pemerintah-DPR yang disinyalir ikut memankan peran sehingga opini publik terbentuk untuk berpihak kepada salah satu kekuatan. Dan maksud mencari temuan-temuan dibalik pertikaian pemerintah versus DPR yang diduga ada perbedaan secara subtantif mengenai aktualisasi reformasi dan implementasi kekuasaan lintas pantai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifuddin Alif Nurdianto
"Ponorogo was previously called Wengker. Ponorogo is one of the Indonesia’s cultural icons with its Reog and is famous as the city of santri (students of Islamic boarding schools), has a dark past. The name of Ponorogo was coined by Bathara Katong in 1496 as a manifestation of his preachings. It was also the sign of the end of the old order, which was full of negative stigma, and the beginning of the better new order. Using philosophical and ethnosemantic approaches, this qualitative research examined the underlying reasons why Bathara Katong changed the name Wengker into Ponorogo. The new name contains philosophical meaning, that is, Ponorogo endeavours to become dynamic and creative civil society which upholds the values of civilization."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta, 2018
400 JANTRA 13:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abdi Rahmat
"LSM selama rezim Orde Baru diakui berperan penting dalam proses kebangkitan masyarakat di Indonesia. Kebangkitan dalam pengertian naiknya posisi tawar masyarakat di hadapan negara, khususnya pemerintah. Begitu pula halnya dengan WALHI, sebagai LSM yang bergerak di isu lingkungan, dan menempatkan isu lingkungan tersebut dalam konteks demokratisasi. Di paruh akhir rezim Orde Baru, kaiangan LSM, termasuk di dalamnya WALHI, umumnya memainkan peran pengimbangan terhadap negara dengan cara konfliktual dan frontal. Hal ini karena memang rezim Orde Baru yang dihadapi ketika itu berwatak otoriter dan represif.
Namun, perkembangan yang terjadi pasca refomasi menunjukkan fenomena mulai terbentuk dan berjalannya institusi-institusi demokrasi. Kekuasaan tidak lagi terpusat di pemerintah pusat, tapi sudah tersebar ke lembaga-lembaga negara lainnya, dan juga ke daerah. Sementara di tingkat masyarakat, terjadi pula perubahan-perubahan yang cenderung menjauh dari nilai-nilai civil society. Fenomena ini tentu saja harus diantisipasi secara tepat oleh WALHI, agar WALHI tetap mendapatkan relevansi perannya dalam proses perubahan kemasyarakatan, dan terutama dalam penguatan civil society.
Studi ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran deskriptif analisis tentang peran yang dimainkan WALHI pasca reformasi dalam penguatan civil society di Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran tersebut, studi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam, analisis terhadap dokumen-dokumen tertulis, serta diperkaya dengan perspektif dan analisis teoritik dari bahan-bahan pustaka.
Analisis terhadap peran WALHI tersebut didekati dengan kerangka paradigma LSM yaitu paradigma konformisme, reformasi, dan transformasi, serta kerangka peran LSM yaitu peran pengimbangan (countervailling power), peran pemberdayaan masyarakat (people empowerment), dan peran perantaraan (intermediary institution). Selanjutnya, analisis peran tersebut dikaitkan dengan dampak perannya terhadap penguatan civil society yang dilihat dari perspektif civil society sebagai organisasi masyarakat yang bergerak di wilayah kultural (CSO 1) dan yang bergerak di wilayah politik atau secara vertikal (CSO It), serta civil society dalam perspektif sebagai nilai-nilai yang kultural (CSV II) dan nilai-niiai yang politis (CSV I!).
Dalam menghadapi perkembangan pasca reformasi, sebenarnya tidak terlalu banyak perubahan peran yang dilakukan oleh WALHI dibandingkan dengan masa-masa akhir rezim Orde Baru. Di era pasca reformasi, WALHI lebih melakukan penegasan dan penguatan visi dan paradigmanya, serta penataan internal kelembagaan sebagai antisipasi terhadap perkembangan yang terjadi. Di dataran visi, WALHI menguatkan tujuannya untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelotaan SDA secara adil dan berkelanjutan. Kemudian, menegaskan pandangannya dalam penolakan terhadap kapitalisme global dan neo-liberalisme yang dianggap paling mempunyai andil terhadap kerusakan lingkungan dan penutupan akses rakyat terhadap sumber daya alam. Di tingkat aksi, WALHI melakukan advokasi dan kontrol terhadap kebijakan negara dan implementasinya, dan advokasi untuk penegakan hukum lingkungan. Program aksi berikutnya adalah penguatan organisasi rakyat yang ditujukan untuk penguatan basis avokasi dan basis gerakan WALHI menjadi gerakan rakyat. Di samping itu, WALHI membangun jejaring kerja di antara kekuatan-kekuatan civil society.
Dari visi dan aksi WALHI, hasil analisis menunjukkan bahwa WALHI lebih cenderung berparadigma transformatif, meskipun perspektif reformatif digunakan juga oleh WALHI terutama di tingkat aksi. Dominannya paradigma transformatif ini berpengaruh terhadap strategi dan program WALHI yang memilih menjadi organisasi advokasi. Pilihan strategi dan program ini menunjukkan bahwa WALHI lebih menekankan peran sebagai kekuatan pengimbang. Di samping itu, WALHI tetap melakukan peran pemberdayaan masyarakat melalui program penguatan organisasi rakyat, serta pecan perantaraan dengan membangun jejaring kerja untuk menggalang kekuatan-kekuatan civil society. Meskipun peran pemberdayaan dan peran perantaraan ini sebenarnya juga diorientasikan untuk memperkuat peran pengimbangan WALHI terhadap negara dan kalangan industri.
Dari peran yang telah dilakukan WALHI, penguatan civil society dapat dilihat pada meningkatnya keterlibatan kalangan civil society dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara, terjalinnya jejaring kerja di antara kelompok-kelompok civil society. Di samping itu, munculnya kesadaran kritis, kemandirian, keswadayaan, solidaritas, dan kepatuhan pada norma dan proses hukum, pada organisasi-organisasi rakyat dampingan WALHI. Meskipun, di sana-sini terdapat anomali, seperti masih berkembangnya anarkisme di tingkat masyarakat dalam konflik-konflik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan demikian, WALHI dapat dikategorikan sebagai organisasi civil society kategori kedua (CSO II) yang bermain di wilayah politik dan kebijakan. Sebagai CSO II, WALHI memperjuangkan nilai-nilai civil society yang politis (CSV 11). Meskipun demikian, WALHI tetap memperdulikan aktualisasi nilai-nilai civil society yang kultural (CSV II). Sehingga, secara teoritik, ada persinggungan antara CSV I dan CSV II sebagai nilai-nilai civil society yang diperjuangkan oleh CSO.
Aktualisasi paradigma dan peran WALHI di era pasca refonnasi dipengaruhi juga oleh faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan WALHI. Kekuatan WALHI adalah jaringannya yang menasional, struktur dan mekanisme kelembagaan yang partisipatif dan demokratis, dan pengalaman serta kompetensi WALHI dalam membangun jejaring kerja (networking), baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Sedangkan kelemahan WALHI terletak pada: ketergantungan pada donor asing, keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM, serta anggota (LSM) yang besar dan heterogen dalam hal visi, misi, bahkan ideologinya.
Faktor eksternal yang mempengaruhi, ada yang menjadi peluang bagi WALHI yaitu: situasi politik nasional yang telah terbuka, peluang otonomi daerah, dan kecenderungan menguatnya gerakan civil society secara global. Sementara yang menjadi ancaman adalah: situasi politik transisional yang membuat kehidupan politik menjadi tidak menentu, rezim yang berkuasa yang cenderung menjadi represif, kecenderungan munculnya oportunisme ekonomi politik pada penyelenggera negara, dan menguatnya hegemoni kapitalisme global dan neo-liberalisme.
Studi ini tidak mengembangkan parameter untuk menganalisis hasil kerja kalangan LSM dalam penguatan civil society di Indonesia. Karena itu, dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menilai efektifitas hasil kerja kalangan LSM, sebagai komponen penting civil society, dalam penguatan civil society. Sehingga, nantinya akan diketahui sejauh mana kondisi civil society di Indonesia, dan sejauhmana pula civil society bisa menjadi fondasi yang kuat bagi terbangunnya tatanan kehidupan yang demokratis dan berkeadilan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Abrori
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada peran jawara di Banten sebagai elemen sosial yang nampak mempunyai pengaruh kuat di Banten dan seringkali mengambil sikap yang mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah daerah maupun pusat. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai Banten dan Jawara, seperti Kartodirdjo (1984), Hamid (1987), dan Tihami (1992) memperlihatkan bahwa jawara memang sudah lama menjadi elemen sosial yang berpengaruh karena tidak sedikit diantara mereka yang menjadi pemimpin masyarakat untuk bidang ekonomi, bidang politik (birokrasi) atau bidang agama. Sebagai pemimpin masyarakat atau elit sosial, jawara juga mendapat dukungan anak buah jawara yang hampir tersebar di seluruh wilayah Banten.
Keberadaannya sebagai elit sosial yang berpengaruh dan cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, memperlihatkan bahwa jawara adalah orang-orang yang ikut serta berpartisipasi politik. Dalam hal ini, akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang terjadi di Banten. Kemudian dipilihlah sebuah organisasi jawara yang bemama Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) yang sekretariat pusatnya terdapat di Serang. Dipilihnya organisasi tersebut mengingat para jawara yang akan dijadikan informan sesuai dengan konsep yang telah dibuat, tidak menetap pada suatu desa tertentu tetapi menyebar di beberapa desa atau kecamatan. Selain itu, Serang merupakan lbukota Propinsi Banten dimana suhu politik cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain.
Pada kasus jawara, perilaku politik mereka difokuskan pada budaya politik (pengetahuan, keyakinan dan sistem nilai yang mereka anut) dan kepemimpinan jawara. Untuk meneliti budaya politiknya, digunakan teori yang dibuat oleh Almond dan Verba. Untuk meneliti tentang kepemimpinannya, digunakan penjelasan kekuasaan oleh Weber, Parsons, Lasswell dan Mills.
Dari hasil kajian beradasarkan data yang diperoleh, pola perilaku politik jawara termasuk kepada pola perilaku pragmatic. Perilaku inilah yang mendorong para jawara untuk cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah.
Perilaku ini berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan mereka bahwa pemimpin (termasuk pemimpin pemerintahan eksekutif dan legislatif) itu harus dihormati. Mereka yakin pemimpin tersebut sah secara hukum karena terpilih melalui pemilihan umum. Cara ini dipercaya oleh mereka sebagai bentuk demokrasi.
Namun, alih-alih berjuang untuk negara dengan doktrin "bela diri bela bangsa bela negara", perilaku politik mereka tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Ini terlihat dari makna bela diri yang difahami sebagai jihad untuk mengejar kepentingan materi'. Dengan demikian nilai (value) yang mereka kejar sebenarnya adalah kepentingan ekonomi.
Untuk kepentingan ekonomi itu, mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka yang diperoleh dari budaya lokal. Karena sumber legitimasi kepemimpinannya berasal dari budaya lokal, maka tipe kepemimpinan mereka bisa digolongkan kepada tipe otoritas tradisional.
Pengejaran nilai eknomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural.
Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pala hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara.
Jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Mereka menyebut elit-elit tersebut sebagai amitma.
Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembaga-lembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembaga-lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bersebrangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis.
Kekuasaan yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat dukungan dan mitra-mitranya juga karena pola interaksi yang mereka kembangkan adalah model patrimonial dimana ketua jawara diakui sebagai patronnya. Dengan model ini, upaya control (pengawasan) terhadap lembaga-lembaga bersebrangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk memobilisasi massa yang mereka miliki.
Dengan sistem pemerintahan yang menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah terjadinya decivilasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Mudatsir Mandan
"Studi tesis ini berjudul Kelas Menengah Kritis: Studi tentang Posisi Ornop (Organisasi Non Pemerintah) terhadap Negara dalam Perspektif Masyarakat Sipil (Civil Society), bertujuan merekonstruksikan suatu bangunan teoritik tentang kelas menengah serta identifikasi pengelompokan kelas tersebut. Fokus bahasannya pada kelas menengah kritis yang bersumber dari kalangan ornop, serta hubungannya dengan negara. Sedangkan topik yang dibahas, tentang kelas menengah secara umum, menurut pandangan teori klasik maupun kontemporer tentang negara dan masyarakat sipil; dan organisasi non pemerintah.
Studi menggunakan metode kualitatif dengan cara penelusuran riset kepustakaan (library research) sebagai data sekunder dan data dari BPS. Jumlah buku yang digunakan sebagai referensi sebanyak 89, dengan 3 buku utamanya. Pokok permasalahan yang diangkat pada intinya berkaitan dengan posisi masyarakat yang lemah di hadapan negara yang sangat kuat, terutama pada masa rezim orde baru. Dalam posisi seperti itu ornop (organisasi non pemerintah), berposisi sebagai pengimbang terhadap dominasi negara. Ornop 'dikatagorikan sebagai penggerak demokrasi, yang mengarah pada terwujudnya masyarakat sipil.
Dari studi ini didapatkan tiga kesimpulan utama, yaitu:
1. Kerangka analisis Weberian tentang kelas, yang menekankan pada pendekatan pluralistic approach dalam rangka diferensiasi sosial, dipandang lebih cocok sebagai alat analisis guna memahami munculnya kelas menengah Indonesia. Pandangan Marxian tentang kelas lebih bersifat simplistis deterministik dan bersifat uni demensional sehingga tidak cocok untuk analisis kelas di Indonesia.
2. Kemunculan kelas menengah Indonesia berlangsung secara lambat dan dalarn jangka waktu yang lama, dimulai sejak jarnan penj aj ahan Belanda. Sedangkan keberadaannya dapat diidentifikasi melalui kepentingan sosial, ekonomi, politik maupun ideologis. Sikap politik kelas menengah cenderung sangat beragam, tetapi dapat didikotomikan menjadi kelas menengah kooperatif dependen (jumlahnya cukup besar) dan kelas menengah kritis independen terhadap negara (jumlahnya relatif kecil). Kelas menengah kritis banyak berasal dari kalangan ornop.
3. Keberadaan kelas menengah kritis,mengindikasikan adanya suatu kelompok yang lebih otonom dari pemerintah serta merupakan elemen yang penting dari ideologi alternatif guna mencari format baru yang lebih demokratis menuju masyarakat sipil yang kuat. Kelas menengah kritis mengambil posisi berhadapan dengan negara, menjadi kekuatan kritis sebagai pengimbang dari idelogi pembangunanisme pemerintah; kekuatan kritis sebagai penekan atas hegemoni negara terhadap masyarakat sipil; dan kekuatan kritis sebagai kontrol sosial atas pelaksanaan pembangunan negara.
Studi merekomendasikan dilakukannya suatu model penelitian yang lebih konperhensip tentang kelas menengah kritis hubungannya dengan perubahan sosial yang sedang terjadi di Indonesia. Rekomendasi ini didasarkan atas adanya dugaan yang kuat bahwa: (1) Kelompok-kelompok independen yang kritis terhadap negara pada masa orde baru, terutama dari kalangan ornop, mempunyai peranan yang signifikan terhadap terjadinya proses reformas; (2) Arus reformasi yang mengarah pada percepatan proses demokratisasi menuju masyarakat sipil, akan terus bergulir dan mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar di Indonesia; (3) Dengan demikian akan terjadi suatu pengelompokan atau tatanan sosial yang baru yang diakibatkan oleh perubahan mendasar yang terus didorong oleh arus kekuatan kekuatan pro-demokrasi."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T4254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>