Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zhara Juliane
"Depresi adalah gangguan mental umum yang ditandai dengan kesedihan yang berlangsung lama, hilangnya minat pada aktivitas yang biasa dinikmati, dan disertai dengan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, setidaknya selama dua minggu. Narapidana wanita merupakan kelompok yang beresiko terhadap depresi dimana kejadian depresi pada narapidana lebih rentan dialami oleh narapidana wanita dibandingkan laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat depresi pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta. Desain penelitian yang digunakan yaitu cross-sectionaldengan analisis multivariat regresi logistik ganda. Penelitian ini melibatkan jumlah sampel sebesar 200 narapidana yang diambil menggunakan teknik random sampling.Hasil penelitian menunjukan bahwa prevalensi kejadian depresi pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta sebesar 56,5%. Berdasarkan hasil analisis multivariat dapat diketahui faktor yang berhubungan signifikan dengan tingkat depresi adalah usia (p-value=0,012; POR=2,144; 95% CI=1,185 – 3,879) dan status residivis (p-value=0,043; POR=3,926; 95% CI=1,047 –14,729) dimana faktor yang berpengaruh paling besar terhadap kejadian depresi adalah status residivis. Perlu adanya perhatian dari pemerintah terhadap kesehatan jiwa narapidana dengan melakukan berbagai program dan pelayanan kesehatan jiwa seperti skrining regular dan program rehabilitasi.
......Depression is a common mental disorder, characterized by persistent sadness and a loss of interest in activities that you normally enjoy, accompanied by an inability to carry out daily activities, for at least two weeks. Female prisoners represent groups at risk of depression where depression in prisoners is more vulnerable to female prisoners than men. This study aims to determine the factors associated with depression among prisoners in Women’s Class II A Prison Jakarta. The study design used was cross-sectional with multivariate analysis, multiple logistic regression. The number of research samples is 200 prisoners taken using random sampling techniques. The results showed that the prevalence of depression among prisoners in Women’s Class II A Prison Jakarta is 56,5%. Based on the results of the multivariate analysis, it can be seen that factors related significantly to depression are age (p-value = 0.012; POR = 2.144; 95% CI = 1.185 - 3.879) and recidivism status (p-value = 0.043; POR = 3.926; 95% CI = 1,047 –14,729) which the most influential factor on the incidence of depression is recidivism status. Government attention needs to be given to the mental health of prisoners by conducting various mental health programs and services such as regular screening and rehabilitation programs."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityo Widodo
"In orthodontics, functional appliance can be used as a preliminary appliance in treating class II malocclusion with retruded mandible. This type of removable appliance needs patient's full cooperation. However, there is one type of a fixed functional appliance, known as : Herbst Appliance, which was introduced by Herbst in 1909 and was redeveloped by Pancherz in 1979. By using this appliance, the treatment period is much shorter compared to that of other removable functional appliances and the results is more effective. This telescopic mechanism principle produces posterior forces to maxillary dentoalveolar complex and anterior forces to mandibular dentoalveolar complex. The expected effect of the treatment is longer mandible, distal movement of upper molars, mesial movement of lower molars, higher vertical dimension and a decrease of profile convexity. Based on those facts, in treating class II malocclusion-division I or II - a Herbst appliance might be taken into consideration."
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2003
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yuditha Endah Prihmaningtyas
"Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 meninggalkan dampak yang berkepanjangan mengakibatkan masyarakat miskin bertambah banyak jumlahnya. Bulan Febuari lalu, Jakarta dilanda wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan korban yang cukup banyak dari golongan tidak mampu, hal ini disebabkan karena terlambat datang ke pelayanan kesehatan dengan alasan tidak mempunyai cukup biaya jika dirawat di rumah sakit.
Melalui SK.Menkes No.2541Menkes/JII12004, SK. Gubernur No.591/2004 dan SK.Kepala Dinas No.3622/2004 maka semua pembiayaan pasien demam berdarah dengue yang berobat di puskesmas maupun yang dirawat dirumah sakit namun dirawat diruang perawatan kelas III, ditanggung oleh Pemda Propinsi DKI Jakarta, melalui anggaran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin dan Bencana.
Sistem pembayaran pra upaya yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta adalah dengan menggunakan Paket Pelayanan Esensial Rumah Sakit (PPE-RS) yang dipakai sebagai acuan dalam pengajuan klaim rumah sakit, namun belum semua rumah sakit menggunakannya .
Hasil verifikasi rumah sakit menggambarkan rentang biaya pengobatan DBD sangat besar jika dibandingkan dengan biaya yang ada di PPE-RS, begitu juga dengan format klaim yang diajukan ke Dinas Kesehatan sangat beragam. OLeh karenanya penulis merancang suatu format klaim yang digunakan oleh semua rumah sakit yang berada di wilayah Propinsi DKI Jakarta.
Penelitian ini merupakan riset operasional dengan memakai data sekunder, berupa rekap laporan pasien DBD. Hasil analisis biaya pengobatan penyakit DBD di kelas III RSUD Pasar Rebo adalah : Rata-rata biaya per kasus DBD di IGD adalah Rp 171.575,- Rata-rata biaya per kasus DBD di kelas III adalah Rp 688.617,- Rata-rata biaya per kasus DBD di ICU adalah Rp 1.942.805 ,﷓
Rata-rata biaya perawatan kasus DBD untuk umur < 15 tahun di IGD adalah Rp 165.936,- Rata-rata biaya perawatan kasus DBD untuk umur < 15 tahun di kelas III adalah Rp 626.805,- Rata-rata biaya perawatan kasus DBD untuk umur < 15 tahun di ICU adalah Rp 1.799.412,- Rata rata biaya perawatan kasus DBD untuk umur > 15 tahun di IGD adalah Rp 177.214,- Rata-rata biaya perawatan kasus DBD untuk umur >15 tahun di kelas III adalah Rp 750.429,- Rata-rata biaya perawatan kasus DBD untuk umur >15 tahun di ICU adalah Rp 2.086.197,﷓
Rata-rata biaya perawatan kasus DBD yang diikuti dengan penyakit penyerta di kelas III adalah Rp 788.617,- Rata rata biaya perawatan kasus DBD yang diikuti dengan penyakit penyerta di ICU adalah_Rp 1.987.590;
Lama hari rawat untuk penyakit kasus DBD di kelas III adalah 4,6 hari.Lama hari rawat DBD di ICU adalah 8 hari. Lama hari rawat kasus DBD dengan penyakit penyerta adalah 5,9 hari. Lama hari rawat kasus DBD dengan penyakit penyulit adalah 6,9 hari.
Kisaran biaya perawatan kasus DBD di IGD antara Rp 40.500,- - Rp 377.500; Kisaran biaya perawatan kasus DBD di Kelas III antara Rp 158.100,- -Rpl.909.721,- Kisaran biaya perawatan kasus DBD di ICU antara Rp 743.948; - Rp 7.780.151,- Kisaran biaya perawatan kasus DBD di Kelas III dengan Penyakit Penyerta antara Rp 262.230,- - Rp 939.195,- Kisaran biaya perawatan kasus DBD di Kelas III dengan Penyakit Penyulit antara Rp 102.500,- - Rp 957.258,- Kisaran biaya perawatan kasus DBD di ICU dengan Penyakit Penyerta antara Rp 1.029.145,- - Rp 2.705.614,- Kisaran biaya perawatan kasus DBD di ICU dengan Penyakit Penyulit antara Rp 1.058.171; - Rp 4.231.296,﷓
Hasil uji independent t, bermakna pada hubungan antara rata-rata lama hari rawat dan kelompok umur di kelas III. Rata-rata biaya laboratorium dan kelompok umur di kelas III. Rata-rata total biaya perawatan dan kelompok umur di IGD. Rata-rata total biaya perawatan dan kelompok umur di kelas III. Rata-rata biaya tindakan medis dan kelompok umur di ICU.
Disarankan bagi rumah sakit, agar hasil penelitian ini dijadikan inforrnasi kepada pasien untuk mengetahui besarnya biaya, lamanya perawatan serta tindakan yang akan diterimanya selama perawatan di rumah sakit. Agar sistem pengkodean penyakit di rekam medis diperbaiki, penulisan pada resume medik dengan ICD-X, penulisan diagnosa harus sesuai antara resume medik dengan ICD-X, sehingga dapat mempercepat pekerjaan. Penulisan diagnosa pada resume medik harus oleh dokter. Hasil dari analisis biaya ini dapat dipakai sebagai dasar perhitungan anggaran pendapatan rumah sakit.
Bagi Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta, disarankan analisis biaya ini dijadikan landasan pembuatan kebijakan dalam menentukan besarnya biaya klaim, kasus demam berdarah rawat inap pada Paket Pelayanan Esensial Rumah Sakit (PPE-RS), juga dijadikan dasar untuk membuat perencanaan anggaran antisipasi kejadian luar biasa demam berdarah dengue, khususnya dalam hal pembiayaan pelayanan kesehatan bagi orang tak mampu di rumah sakit serta digunakan sebagai alat kontrol dalam pengendalian biaya kesehatan.
Bagi asuransi analisis biaya ini dijadikan acuan klaim yang akan dibayarkan kepada pelayan kesehatan serta sebagai alat kontrol dalam pengendalian biaya kesehatan.
Daftar Pustaka : 29 ( 1976 - 2003 )

Cost of Treatment Analysis of Dengue Hemorrhagic Fever at Class III of RSUD Pasar Rebo in March-June 2004Economic crisis in 1997 had left the long-term impact that caused the increasing of number of poor family. In the last February, dengue hemorrhagic fever (DHF) attacked Jakarta and most of patients came from the poor families. Due to the lack of money for paying the cost of treatment in hospital, they were late to get the treatment.
According to the decree of Minister of Health number 2541Menkes1II112004, decree of Governor number 59112004, and decree of Head of Health Office number 362212004, all cost of treatment of DHF patient both in Heath Center and Class III in Hospital was insured by the government of DKI Jakarta Province through the budgeting of Health Maintenance Security for Poor Family.
Prepayment service system that used by the Health Office of the Province of DKI Jakarta was Hospital Essential Service Package (HESP) that used as reference in proposing claim for hospital, however not all hospitals applied it yet.
The result of hospital claim verification showed a wide range of cost of DHF treatment when compared with the cost stated on HESP. The claim format that proposed to the Health Office was varied. The study aimed to design the claim format for hospital in the Province of DKI Jakarta.
This study was an operational research using secondary data obtained from recapitulation of DHF patient report. The study result showed that cost average of DHF treatment in Emergency Unit (ER), Class III, and Intensive Care Unit (ICU) respectively was LDR 171,575; IDR 688,617; IDR 1,942,805.
The followings were the cost average of DHF treatment for patient with age less than 15 years old in ER, Class III, and ICU respectively was IDR 165,936; IDR 626,805; IDR 1,799,412. Meanwhile the cost average of DHF treatment for patient with age more than 15 years old in ER, Class III, and ICU respectively was IDR 177,214; IDR 750,429; IDR 2,086,197.
The cost average of DHF treatment with followed diseases for each patient in Class III and ICU sequentially was IDR 788,617 and IDR 1,987,590. Sequentially the average of long of stay of DHF patient in Class III and ICU was 4.6 days and 8 days, while the average of long of stay of DHF patient with followed diseases and complication in each was 5.9 days and 6.9 days.
The cost average of DHF treatment in ER, Class III, and ICU, respectively was IDR 40,500-377,500, IDR 158,100-1,909,721, and IDR 743,948-7,780,151. Meanwhile the range of cost of DHF treatment in Class III and ICU with followed diseases in sequence was IDR 262,230-939,195 and 1,029,145----2,705,614. However, the range of cost of DHF treatment with complication was IDR 102,500-957,258 and IDR 1,058,171---4,231,296.
The independent t-test showed that there were significant relationship between the average of long of stay and age group in Class III between the cost average of laboratory and age group in Class III, between total cost of treatment and age group in Class III, between average cost of medical treatment and age group in ICU.
It was recommended to the hospital to use the result of study as information for patients to know the cost of treatment and long of stay that they had to pay. Diseases coding system in medical record should be improved; ICD X and medical resume should be appropriate to ICD X so that the staff could work effectively, diagnose writing should be done by doctor. Cost analysis could be used as calculation base of hospital revenue budgeting. It was also recommended to the Health Office of DIU Jakarta Province in order to use that cost analysis as guideline on making policy such as determining the claim cost of DHF on HESP, and also to make a budgeting plan to anticipate DHF outbreak, particularly in term of health care financing for poor family in hospital, and also as a control tool in health care cost containment. To insurance company, it was suggested to use the study result as claim reference that would be paid to the health provider, and as control tool in cost containment.
References: 29 (1976-2003)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T12897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herra Williany Monalissa
"Praktek kerja profesi di PT CKD-OTTO Pharmaceuticals Periode Januari – Februari Tahun 2018 bertujuan untuk mengerti peranan, tuga dan tanggung jawab apoteker di Industri Farmas, dan memahami penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) di Industi Farmasi. Selain itu calon apoteker juga dapat memiliki gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di industri farmasi, memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di industri farmasi. Tugas khusus yang diberikan yaitu berjudul “Kualifikasi Operasional Biological Safety Cabinet Kelas II Tipe A2 di PT CKD-OTTO Pharmaceuticals”. Tujuan dari pelaksanaan tugas khusus di PT CKD-OTTO Pharmaceuticals adalah mengkaji hasil kualifikasi operasional Biological Safety Cabinet Kelas II Tipe A2 yang dilakukan di PT CKD-OTTO Pharmaceuticals. Secara umum, PT CKD-OTTO Pharmaceuticals masih berada dalam tahap pemenuhan 12 aspek CPOB dengan baik dan benar, penulis juga telah memahami peran, tugas, wawasan dan tanggung jawab apoteker di industri farmasi
......Internship at PT CKD-OTTO Pharmaceuticals Period January - February 2018 aims to understand the role, duties and responsibilities of pharmacists in the pharmaceutical industry and to understand the application of good manufacturing practice (GMP) in the pharmaceutical industry. In addition, the pharmacist candidate can also have the insight, knowledge, skills and practical experience to undertake pharmaceutical work in the pharmaceutical industry. The special assignment given is “Operational Quallification of Biological Safety Cabinet Class II Type 2A at PT CKD-OTTO Pharmaceuticals”. The purpose of this special assignment is to review the results of operational qualification of Biological Safety Cabinet Class II Type A2 conducted at PT CKD-OTTO Pharmaceuticals. In general, PT CKD-OTTO Pharmaceuticals is still int the stage of fulfilling 12 aspect GMP, the authors also have the ability to understand the roles, duties, insights and responsibilities of pharmacists and provide solutions on products in the industry pharmacy"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhani Ayu Andini
"Pendahuluan : Overjet yang besar pada maloklusi kelas II divisi 1 ditengarai mampu
menimbulkan gangguan pada sendi temporomandibula. Perawatan ortodontik dengan
pencabutan dua gigi premolar bertujuan untuk memperbaiki profil serta
menyeimbangkan oklusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan
posisi kondilus sebelum dan sesudah perawatan ortodontik.
Metode : Digunakan 60 foto transkranial sebelum dan sesudah perawatan ortodontik.
Subjek penelitian dipilih berdasarkan kriteria inklusi berupa kasus maloklusi kelas II
divisi 1, ANB ³ 50, overjet ³ 6 mm, memiliki gangguan sendi temporomandibula
sebelum perawatan ortodontik dimulai serta memiliki foto transkranial. Evaluasi posisi
kondilus dilakukan dengan mengukur jarak Anterior Joint Space, Posterior Joint Space
dan Superior Space yang diterjemahkan menjadi posisi supero-anterior dan posisi non
supero-anterior pada kondilus kanan dan kiri. Perubahan posisi kondilus sebelum dan
sesudah perawatan ortodontik diuji menggunakan Mc Nemar.
Hasil : Diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) posisi kondilus sebelum
dan sesudah perawatan ortodontik pada kasus maloklusi kelas II divisi 1 dengan
pencabutan dua gigi premolar. 19 subjek memiliki posisi supero-anterior pada kondilus
kanan dan kiri sebelum dan sesudah perawatan, sedangkan 11 subjek memiliki posisi non
supero-anterior pada kondilus kanan dan kiri sebelum dan sesudah perawatan.
Kesimpulan : Perawatan ortodontik disertai pencabutan dua gigi premolar menyebabkan
perubahan posisi kondilus, namun tidak berbeda bermakna secara statistik. Sebelum dan
sesudah perawatan ortodontik, sebagian besar kondilus tetap berada di posisi superoanterior.
Sesudah perawatan ortodontik, gejala berupa rasa tidak nyaman saat membuka
mulut lebar dan keterbatasan membuka mulut sudah hilang, sedangkan gejala berupa
kliking dan krepitasi masih ada.

Introduction : Increased overjet in malocclusion class II div 1 leads to
temporomandibular joint dysfunction. Orthodontic treatment with upper premolars
extraction is due to correct profile and to harmonize occlusion. This paper will analyze
alteration condylar position before and after orthodontic treatment.
Methods : Transcranial projection was performed of 60 radiographs (30 radiograph
before and 30 radiograph after orthodontic treatment). Subjects were choosed based on
inclusion criteria : malocclusion class II div 1, ANB ³ 50, overjet ³ 6 mm, patient had
temporomandibular symptoms before orthodontic treatment, and all patients had
transcranial radiograph. Condylar position was determined according to Anterior Joint
Space, Posterior Joint Space and Superior Space which convert to supero-anterior
position condyle right and left and non supero-anterior position condyle right and left.
The Mc Nemar Test was used to analyze the data.
Results : No statistically significant (p>0,05) alteration condyle position before and after
orthodontic treatment with extraction upper premolar. 19 subjects had supero-anterior
condyle position, before and after orthodontic treatment and 11 subjects had non superoanterior
condyle position before and after orthodontic treatment.
Conclusion : The results of this study showed that orthodontic treatment with extraction
upper premolars cause alteration condylar positions, but not statistically significant.
Before and after orthodontic treatment, most of all condyles showed in superoanterior
positions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Octavia
"Tujuan: Menganalisis hubungan antara ukuran saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan 126 sampel dengan usia 20-40 tahun yang dipilih secara konsekutif dan dibagi menjadi 2 grup berdasarkan sudut ANB yaitu : maloklusi kelas I dan II, kemudian dikelompokkan lagi menjadi 6 kelompok uji berdasarkan pola pertumbuhan skeletal vertikal (hipo-, normo-, dan hiperdivergen). Saluran pernapasan faring atas dan bawah diukur menggunakan analisis McNamara, sementara panjang saluran pernapasan faring diukur dari titik PNS-Eb. Uji hubungan ukuran saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal dilakukan menggunakan uji Pearson’s Chi-Square dan dilanjutkan dengan uji korelasi Gamma untuk melihat arah hubungannya. Hasil: Analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara lebar saluran pernapasan faring atas dan bawah pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Panjang saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas II juga menunjukkan tidak ada hubungan dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal, berbeda dengan maloklusi kelas I yang menunjukkan adanya hubungan antara panjang saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Kesimpulan: Meskipun hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi lebar saluran pernapasan faring atas pada maloklusi kelas II menunjukkan pola yang unik yaitu saluran pernapasan faring atas menyempit pada pola pertumbuhan skeletal vertikal yang semakin divergen. Temuan unik lainnya dari penelitian ini adalah panjang saluran pernapasan faring berkorelasi positif dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal pada maloklusi kelas I, yaitu semakin panjang saluran pernapasan faring dengan meningkatnya pola pertumbuhan skeletal vertikal.
......Objective: To analyse the correlation between the pharyngeal airway morphology in class I and II malocclusions with vertical skeletal growth patterns. Methods: This cross-sectional study was involved 126 samples aged 20-40 years who were selected by consecutive sampling and divided into 2 groups; class I and class II malocclusions according to ANB angle. This group will be further be divided into 6 test groups based on the vertical skeletal growth patterns (hypodivergent, norm divergent, and hyperdivergent). Upper and lower pharyngeal airway width were measured using McNamara analysis, while pharyngeal airway length was measured from the PNS-Eb point. Pearson's Chi-Square test was used to test the correlation between pharyngeal airway morphology and vertical skeletal growth patterns and proceed with the Gamma correlation test to see the direction of the correlation. Results: Statistical analysis showed that there was no correlation between the upper and lower pharyngeal airway width in Class I and II malocclusions with vertical skeletal growth pattern. The length of the pharyngeal airway in class II malocclusion also showed no correlation with the vertical skeletal growth pattern, in contrast to the class I malocclusion which showed a statistical correlation between the pharyngeal airway length and the vertical skeletal growth pattern. Conclusion: Although the results of statistical analysis showed no statistical correlation, the upper pharyngeal airway width in class II malocclusion showed a unique trend, that the upper pharyngeal airway width narrowed with an increasingly vertical skeletal growth pattern. Another trend finding from this study is that the length of the pharyngeal airway is positively correlated with the vertical skeletal growth pattern in class I malocclusion i.e., the longer the pharyngeal airway, the greater were the vertical skeletal growth pattern.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dastie Kanya Dasril
"ABSTRAK
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah/Pejabat Lelang Kelas II seharusnya
memiliki peran yang penting dalam rangka membantu menurunkan tingkat tindak
pidana pencucian uang di Indonesia. Tulisan ini membahas bagaimana peran dari
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah/Pejabat Lelang Kelas II dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta bagaimana
kasus hukum yang terkait dengan peran dari masing-masing profesi tersebut
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Permasalahan tersebut dijawab dengan menggunakan metode penelitian yuridis
normatif yang meliputi studi kepustakaan dan wawancara dan kemudian
menghasilkan kesimpulan bahwa tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan
menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC), Customer Due Diligence
(CDD), dan Enhanced Due Diligence (EDD). Sedangkan tindakan pemberantasan
dapat dilakukan dengan melakukan kewajiban pelaporan kepada PPATK bagi
profesi yang telah menjadi Pihak Pelapor atau melaporkan adanya indikasi tindak
pidana pencucian uang kepada instansi penegak hukum bagi profesi yang belum
menjadi Pihak Pelapor, selain itu para Notaris/Pejabat Pembuat Akta
Tanah/Pejabat Lelang Kelas II juga dapat berperan dalam rangka memberantas
tindak pidana pencucian uang dengan bertindak secara kooperatif apabila
keterangan atau kesaksiannya diperlukan dalam suatu proses hukum.

ABSTRACT
A Notary/Land Deed Official/Auctioneer Class II should have an important role
in the prevention and eradication of money laundering in Indonesia. This paper
discusses about the role of Notary/Land Deed Official/Auctioneer Class II in the
prevention and eradication of money laundering and various legal cases relating to
the role of each of these professions in preventing and combating money
laundering in Indonesia. The problem is answered by using normative juridical
research method, which includes studies of literature and interviews. It leads to
the conclusion that the prevention measure which should be taken and
implemented by a Notary/Land Deed Official/Auctioneer Class II are Know Your
Customer (KYC) principle, Customer Due Diligence (CDD) principle and
Enhanced Due Diligence (EDD) principle. A Notary/Land Deed
Official/Auctioneer Class II should also help combat money laundering by
reporting requirements to INTRAC to those who have become Reporting Parties
or reporting indication of money laundering to the law enforcing institutions for
those who have not become Reporting Parties, moreover Notary/Land Deed
Official/Auctioneer Class II may also combat money laundering by acting
cooperatively in the event of providing evidence and information in any relevant
judicial proceeding."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angeline Pandora Djuhadi
"Latar Belakang: Inklinasi gigi insisivus merupakan titik utama dalam menentukan rencana perawatan demi mewujudkan hasil yang estetis dan seimbang. Profil wajah seseorang sangat mempengaruhi persepsi estetika dan penampilan. Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan inklinasi gigi insisivus dengan profil jaringan keras dan lunak wajah masih sangat jarang dilakukan, terutama pada pasien dengan maloklusi kelas II. Di sisi lain, pasien dengan maloklusi skeletal kelas II seringkali memiliki masalah pada inklinasi gigi dan profil wajah sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. Tujuan: Mengetahui korelasi inklinasi gigi insisivus rahang atas dan bawah terhadap profil jaringan keras dan lunak wajah pada pasien maloklusi skeletal kelas II.Metode: Pengambilan sampel penelitian berupa radiograf sefalometri lateral digital pasien dengan skeletal kelas II yang diperiksa dengan alat yang terstandarisasi dari suatu klinik yang sama kemudian dilakukan identifikasi landmark dan analisis sudut dengan aplikasi OneChep untuk diperoleh data berupa besar sudut inklinasi insisivus dari analisis Eastman, profil jaringan keras wajah dari analisis Down, dan profil jaringan lunak wajah dari analisis Holdaway. Analisis data dengan uji korelasi Pearson. Hasil: Uji korelasi Pearson antara inklinasi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap seluruh parameter uji profil jaringan keras dan lunak wajah menunjukkan angka signifikansi lebih besar dari 0,05. Maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan skeletal kelas II. Tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang bawah terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap profil jaringan lunak dan keras wajah pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II.
......
Background: Incisors inclination is one of the main point on deciding the treatment plan to bring an aesthetic and balanced result. Facial profile also have a great impact on the perception of aesthetic and appearance. In Indonesia, research about the correlation of incisors inclination with facial profile is rarely done, especially in patient with class II skeletal malocclusion. On the other hand, patient with class II skeletal malocclusion usually have problems regarding incisors inclination and facial profile. Hence, research about the correlation on incisors inclination with soft and hard tissue facial profile is really important to conduct. Objective: Determine the correlation of incisors inclination with soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion. Method: 52 sample of lateral cephalometric radiograph from patient with class II skeletal malocclusion from standardized lab were analyzed with an application called OneChep to gain the data of incisors inclination from Eastman analysis, hard tissue facial profile from Down analysis, and soft tissue facial profile from Holdaway analysis. Then, the data was tested for correlation using Pearson Correlation test. Result: Pearson correlation test on class II skeletal malocclusion patient showed the significance value between maxillary and mandibular incisors inclinations towards hard and soft tissue facial profile were >0.05 on each of the parameter. The parameters used on hard tissue facial profile were facial angle and angle of convexity from Down analysis. The parameter used on soft tissue facial profile was soft tissue facial angle by Holdaway analysis. Thus, there were no correlation between maxillary incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle, also no correlation between mandibular incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle in patient with class II skeletal malocclusion. Conclusion: There were no correlation between maxillary and mandibular incisors inclination toward soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library