Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fransisca Anggarani Purbaningtyas
"Konflik atas sumber daya hutan terjadi secara meluas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berbagai kajian mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia ini terjadi karena implementasi kebijakan pemerintah yang membatasi akses warga kampung hutan untuk ikut serta mengelola hutan sekaligus mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut. Konflik yang diuraikan ini sebenarnya hanya merupakan bagian dari konflik secara keseluruhan yang dihadapi warga kampung hutan dalam kehidupan mereka.
Dengan melihat konflik sebagai suatu proses rangkaian kejadian dimana masing-masing pihak yang berkonflik berusaha memenangkan kepentingan masing-masing dengan pilihan Cara masing-masing, kajian ini mengupas pilihan pranata yang diambil oleh warga kampung hutan dalam mekanisme penanganan konflik yang mereka hadapi, termasuk konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dapat dirumuskan seagai kemanan dan kenyamanan pihak yang terlibat dalam menangani konflik dengan tetap memperjuangkan kepentingannya sebagai tujuannya.
Kajian mengenai konflik ini didasarkan pada sejumlah kasus konflik yang ditemukan pada saat penelitian lapangan dan kemudian dituliskan kembali dalam bentuk ilustrasi rangkaian kejadian konflik dengan satu konteks tertentu. Konflik yang disajikan berupa konflik yang berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan lahan baik di areal warga maupun di kawasan hutan negara, konflik seputar renovasi masjid Al - Iman di Kampung Baru, konflik pengelolaan kawasan hutan berupa peremajaan kopi dan pengarangan dalam kawasan hutan negara dan konflik-konflik pencurian.
Dari kajian ini ditemukan bahwa warga kampung hutan mendasarkan pilihan pranata berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang paling mendasar adalah ketersediaan pranata dalam masyarakat setempat. Dari pranata-pranata tersebut, ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat memilih lebih dari satu pranata dengan pertimbangan keamanan dan kenyamanan posisi mereka dan tercapainya tujuan yang diinginkan. Pada kondisi dimana aturan dan mekanisme penanganan konflik tidak tersedia, warga kampung, dengan dibantu oleh pihak luar ataupun tidak, mampu menciptakan pranata baru melalui musyawarah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama antara berbagai pihak yang berkepentingan. Kehadiran pihak luar sebagai pihak yang menyadarkan para. pihak yang berkonflik dan menggerakkan para pihak itu untuk bersama-sama menangani konflik, sekaligus menjadi teman belajar bersama untuk menemukan suatu bentuk pranata yang sesuai untuk menangani konflik yang terjadi dapat mempercepat proses pembangunan pranata ini.
Berdasarkan hasil dari kajian ini, dapat diambil suatu pemahaman baru mengenai konflik masyarakat kampung hutan. Pada umumnya, konflik yang terjadi pada masyarakat kampung hutan terjadi karena adanya ketidaksepahaman yang dibiarkan berlanjut dan diejawantahkan dalam sikap terbuka atau terselubung dalam berbagai arena social. Oleh karena itu, walaupun konflik yang terjadi tidak serta merta dapat difragmentasi sebagai konflik kehutanan atau non-kehutanan. Dengan melihat konflik masyarakat kampung hutan sebagai suatu kesatuan, dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa ternyata, konflik warga kampung hutan dengan pihak Dinas Kehutanan sehubungan dengan pemanfaatan dan penguasaan lahan dalam kawasan hutan negara hanya merupakan satu bagian kecil dari satu konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kampung hutan.
Upaya untuk mencegah dan menangani konflik yang terjadi Dapat dilakukan secara efektif jika masyarakat memiliki pranata yang kuat sebagai tempat mereka berpaling dan bersandar. Keberadaan pranata yang kuat juga dapat menjadi sarana komunikasi antara warga dan pihak lain yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Selain itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah juga dapat dijadikan bagian dari pranata ini dengan cara menyederhanakan proses dan bahasa aturan tersebut. Kiranya, inilah cara yang paling efektif yang dapat dilakukan untuk proses sosialisasi peraturan dan kebijakan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athiyyah Faadhilah
"Pemanfaaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa aren dinilai belum cukup optimal karena rendahnya produktivitas gula aren yang dihasilkan. Penelitian bertujuan menganalisis kesesuaian lahan budidaya tanaman aren, mengukur produktivitas tanaman aren, kontribusi terhadap pendapatan petani serta evaluasi aturan kelembagaan petani aren di Desa Baru Ranji, Kecamatan Merbau Mataram, Kabupaten Lampung Selatan. Pendekatan yang digunakan berupa kuantitatif dengan metode mixed-methods. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesesuaian lahan Sangat Sesuai (S1) sebesar 88,54% lahan untuk budidaya tanaman aren. Produktivitas tanaman cukup rendah sebesar 162,6 kg/ha/tahun, sehingga rata-rata kontribusi pendapatan petani aren sebesar 21% dari rata-rata pendapatan total sebesar Rp. 18.054.778/petani/tahun dan dikategorikan tidak sejahtera. Aturan kelembagaan berupa aturan konstitusional dalam agroforestri untuk pengelolaan gula aren belum disebutkan secara spesifik walaupun telah terwujud co-management hutan kemsyarakatan. Budidaya tanaman aren secara agroforestri diusung dalam peningkatan produktivitas dan perlu adanya aturan kelembagaan yang mendukung mewujudkan konsep keberlanjutan dalam agroforestri-industri gula aren berbasis hutan kemasyarakatan.

The utilization of Non-Timber Forest Products (NTFP) in sugar palm is considered not optimal enough due to the low productivity of the palm sugar produced. The study aimed to analyze land suitability for sugar palm cultivation, measure the productivity of palm plants, analyze contribution to palm farmers' income and evaluate institutional rules for sugar palm farmers in Baru Ranji Village, Merbau Mataram District, South Lampung Regency. The approach used is quantitative with mixed methods. The results showed that the land suitability level was Very Suitable (S1) of 88.54% for sugar palm cultivation. Plant productivity is quite low at 162.6 kg/ha/year, so the average contribution of farmers' income is 21% of the total income of Rp. 18,054,778/farmer/year and classified as not prosperous. Institutional rules in the form of constitutional rules in agroforestry for managing palm sugar have not been specifically stated, even though community forest co-management has been realized. Cultivation of palm plants filed in agroforestry increases productivity and the need for institutional rules that enable the realization of the concept of sustainability in agroforestry - a community forest-based palm sugar industry."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Nurjaya
"ABSTRAK
Magersari adalah komunitas-komunitas penduduk di dalam kawasan hutan negara yang dikelola dan diusahakan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) di Jawa. Penduduk telah bertahan-tahun dan bahkan secara turun-temurun bertahan hidup di pemukiman-pemukiman magersari, dan kehidupan mereka sangat tergantung pada sumber daya hutan, terutama tanah hutan dan pekerjaan kehutanan yang diberikan Perum Perhutani. Penduduk bekerja sebagai petani-petani penggarap lahan hutan dengan sistem tumpangsari (pesanggem), dan sebagai pekerja-pekerja hutan (blandong) yang diandalkan Perum Perhutani dalam kegiatan penjarangan tanaman, penebangan pohon, penyaradan, sampai pengangkutan ke tempat-tempat penimbunan kayu.
Studi ini pada dasarnya bertujuan untuk memberi pemahaman mengenai pola adaptasi petani pekerja hutan magersari dalam kegiatan wanatani yang dilakukan Perum Perhutani; mengapa penduduk magersari secara turun-temurun tinggal dan bertahan hidup di pemukiman-pemukiman magersari, padahal kesejahteraan hidup mereka dari tahun ke tahun selain tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, juga selalu diselimuti dengan ketidakterjaminan (insecurity) ekonomi, sosial, dan hukum dari segi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Untuk memahami pola adaptasi penduduk magersari terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, termasuk adaptasi terhadap kebijakan-kebijakan Perum Perhutani dalam pengusahaan hutan, maka paling tidak dapat dicermati dari tiga aspek, yaitu : (1) adaptasi penduduk di bidang ekonomi tercermin dari kegiatan-kegiatan pencaharian hidup yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya di dalam kawasan hutan; (2) adaptasi sosial penduduk tercermin dari sistem sosial magersari, nilai-nilai, norma-norma, .institusi sosial, dan mekanisme-mekanisme yang digunakan sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial dalam kehidupan magersari, yang meliputi elemen pengelompokan sosial (social alignment) yang membentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial; elemen media sosial (socia media) yang mengikat dan mempertahankan kehidupan bersama; elemen standar sosial (social standard) yang mengukuhkan dan mempertegas hak dan kewajiban, kedudukan dan peran anggota masyarakat; dan elemen mekanisme kontrol sosial (social control) yang menjaga dan memelihara keteraturan sosial dalam kehidupan bersama; dan (3) staretgi-strategi yang diciptakan penduduk magersari untuk menghadapi kebijakan pengelolaan hutan, sehingga mereka dapat mengakses sumber daya alam lebih banyak dari yang diperbolehkan Perum Perhutani.
Studi ini memperlihatkan bahwa pola interaksi antara penduduk magersari dengan Perum Perhutani dalam pengusahaan hutan pada dasarnya merupakan hubungan yang bercorak mutualistik (mutualistic relationship), yang saling memhutuhkan (mutual need), saling membantu (mutual help), dan saling menguntungkan (mutual benefit) karena : di satu sisi penduduk magersari membutuhkan sumber daya hutan, terutama tanah tempat tinggal, lahan garapan tumpangsari dan kebun kopi, kayu perkakas dan kayu bakar, sedangkan di sisi lain Perum Perhutani sangat memerlukan tenaga petani-pekerja magersari untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kehutanan, mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, penjarangan, penebangan, penyaradan, sampai pengangkutan ke tempat-tempat penimbunan kayu. Namun demikian, apabila dikaji secara lebih mendalam terutama dari substansi kontrak magersari dan kontrak tanaman yang mendasari perjanjian kerja penduduk dengan Perum Perhutani, maka ditemukan pola hubungan yang lebih bersifat patron-klien (patron-client relationship) yang didasarkan pada ketidaksetaraan ekonomi, sosial, dan politik, karena penduduk magersari berada pada kedudukan sub-ordinasi sedangkan Perum Perhutani diposisikan sebagai super-ordinasi, atau penduduk magersari berada di pihak yang bersifat inferior, sedangkan Perum Perhutani diposisikan sebagai pihak yang bersifat superior dalam kegiatan pemanfaatan dan pengusahaan hutan.
Kondisi ini menyebabkan penduduk magersari tidak mempunyai pilihan dan tidak memiliki posisi tawar, selain menerima semua persyaratan dalam kontrak baku (standard contract) yang ditetapkan Perum Perhutani. Fakta ini pada gilirannya kemudian menciptakan paling tidak tiga kondisi ketidakterjaminan (insecurity) dalam kehidupan petani-pekerja magersari, yaitu : (1) ketidakterjaminan ekonomi (economical insecurity) dalam kaitan dengan hak atas lahan-lahan garapan tumpangsari dan kebun-kebun kopi sebagai sumber kehidupan penduduk sewaktu- waktu dapat dicabut Perum Perhutani; (2) ketidakterjaminan sosial (social insecurity) dalam hubungan dengan asuransi keselamatan kerja, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, bea siswa untuk pendidikan anak-anak magersari belum pemah diberikan, walaupun penduduk magersari telah bertahun-tahun dan turun-temurun bekerja untuk Perum Perhutani; dan (3) ketidakterjaminan hukum (legal insecurity) yang berkaitan dengan status hak atas tanah pemukiman magersari; walaupun tanah magersari telah bertahun-tahun dan bahkan secara turun-temurun dipakai sebagai tempat tinggal, tetapi setiap saat dapat dicabut dan penduduk dapat dikeluarkan dari pemukiman magersari oleh Perum Perhutani.
Dengan menggunakan cara pandang emit: (emit view) dapat diketahui bahwa penduduk magersari tetap bertahan hidup dan tinggal di pemukiman-pemukiman magersari, karena apa yang diperoleh dari pemberian dan belas kasihan (charity) Perum Perhutani dirasakan cekap (cukup secara ekonomi) dan hidup di magersari dinikmati dalam suasana tentrem (tentram secara kejiwaan) dan rukun (bersahabat dalam hubungan antar tetangga). Suasana kehidupan seperti di atas cenderung mendorong penduduk bersikap menerima nasib apa adanya (nrimo ing pandum) dan pasrah menerima keadaan sebagai nasib (pasrah Ian sumarah) seperti ekspresi dari sikap hidup orang Jawa di daerah pedesaan pada umumnya.
Dengan demikian, implikasi teoritis dari studi ini memperteguh teori mengenai sikap hidup orang Jawa yang selalu merasa cekap (cukup) dan berupaya menciptakan suasana tentrem (tentram), angel (hangat dalam keluarga), rukun dalam kehidupan bertetangga, dan cenderung memiliki sikap hidup yang menerima nasib (nrimo ing pandum) atau pasrah menerima keadaan sebagai nasib, seperti tercermin dalam temuan-temuan C. Geertz (1985); H. Geertz (1985); Singarimbun dan Penny (1984); Guinness (1984, 1985); dan Sairin (1992). Implikasi metodologis dari studi ini adalah setiap kehijakan peningkatan kesejahteraan penduduk di daerah pedesaan seperti dicanangkan Perum Perhutani melalui program perhutanan sosial (social forestry), atau program-program pemberdayaan masyarakat pedesaan dari pemerintah daerah dan intansi-instansi terkait semestinya juga ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk magersari, karena mereka secara administrasi pemerintahan menjadi bagian dari penduduk desa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan penduduk desa-desa di sekitar hutan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
D512
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library