Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Aryastuti
Abstrak :
Komplikasi persalinan merupakan penyebab langsung kematian maternal yang sebenarnya dapat dicegah melalui perawatan kehamilan yang baik. Peningkatan cakupan pemeriksaan kehamilan yang tidak diikuti dengan menurunnya komplikasi persalinan karena para ibu hamil belum sepenuhnya mendapatkan pelayanan yang sesuai standar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara perawatan kehamilan dengan komplikasi persalinan pada ibu di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi analitik menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 dengan desain cross-sectional. Sampel penelitian yaitu semua perempuan usia 15-49 tahun yang pernah melahirkan anak hidup maupun mati, tercakup dalam rumah tangga yang disurvei di 33 propinsi di Indonesia yang memenuhi kriteria sampel penelitian sebanyak 11.803 responden. Variabel yang diteliti adalah komplikasi persalinan, perawatan kehamilan, umur ibu saat melahirkan, pendidikan, paritas, jarak kelahiran, penolong persalinan, tempat persalinan, riwayat komplikasi kehamilan, riwayat komplikasi persalinan sebelumnya dan kehamilan kembar. Analisis menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi kejadian komplikasi persalinan di Indonesia antara kurun waktu tahun 2007-2012 sebanyak 49,2% dan prevalensi perawatan kehamilan yang buruk tidak sesuai standar sebanyak 91,2%. Ibu dengan perawatan kehamilan yang buruk berisiko 1,3 kali lebih tinggi mengalami komplikasi persalinan dibandingkan dengan ibu dengan perawatan kehamilan baik (OR: 1,3, 95% CI: 1,14-1,49). ......The complication that appears during delivery is the direct cause of maternal death which could be prevented through a better antenatal care. Improved antenatal coverage was not followed by decline of delivery complication since mothers/pregnant women has not been fully obtained adequate standard services. The purpose of this study to analyze the relationship between antenatal care with childbirth complications on mothers in Indonesia. This research is an analytical study uses data of Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) at year 2012 with cross-sectional design study. The research sample was all women aged 15-49 years who had given birth the child alive or dead, is included in the households surveyed in 33 provinces in Indonesia that meet the criteria of the study sample as many 11.803 respondents. Variables studied are childbirth complications, antenatal care, maternal age in childbirth, education, parity, preceding birth interval, birth attendence, place of delivery, a history of pregnancy complications, previous history of childbirth complications and multiple pregnancies. Analysis using multiple logistic regression. Results showed the prevalence of childbirth complications on mother's in Indonesia between the period of 2007-2012 as much as 49.2% and the prevalence of poor antenatal care (is not according to standards) as much as 91.2%. Mothers with poor antenatal care were 1,3 times higher risk for complications of childbirth compared with women with good antenatal care (OR: 1.3, 95% CI: 1.1 to 1.4).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Yuri Ekaningrum
Abstrak :
Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan suatu masalah multifaktor yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan otak anak sehingga menyebabkan penurunan kecerdasan. Selain itu, BBLR berdampak serius terhadap kejadian morbiditas dan mortalitas perinatal di Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi BBLR adalah komplikasi kehamilan yang mengganggu kesehatan ibu dan janinnya. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang dengan pendekatan observasional analitik. Penelitian ini menggunakan data sekunder SDKI 2012 dengan teknik penarikan sampel cluster sampling tiga tahap. Sampel yang diambil berjumlah 13.143 responden dengan 1.611 responden memiliki BBLR dan 11.532 bayi BBLN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu, status sosial ekonomi, jarak kelahiran, jenis kelamin bayi, tenaga pemeriksaan kehamilan, dan kualitas pelayanan antenatal dengan BBLR. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan 1,78 kali lebih tinggi berisiko untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan.
Low birth weight (LBW) is a multifactor problem affect brain growth and development in children so that cause intelligence degradation. Beside that, LBW affects seriously towards perinatal morbidity and mortality in Indonesia. One factor that affect LBW is pregnancy complication that disturb mother and fetus health. Research design that is used is cross sectional with analitical observational approach. This research uses secondary data IDHS 2012 with cluster sampling three stage technique. Sample total is 13.143 respondents that 1.611 respondents have LBW babies and 11.532 respondents have normal weight babies. Research result shows that there are association between educational attainment, social economic status, birth interval, sex of babies, prenatal care worker, and quality of antenatal care with LBW. Mother who sustain pregnancy complication has risk 1,78 times higher than mother who does not sustain pregnancy complication.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S54358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Herdiman Theodorus
Abstrak :
Tetanus merupakan infeksi oleh C.tetani yang menjadi masalah kesehatan penting di negara-negara berkembang. Perjalanan penyakitnya biasanya lama, memerlukan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk perawatan hingga sembuh. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap prognosis tetanus. Faktor tersebut adalah derajat spasme, usia, sedasi dan takikardia yang berpengaruh signifikan terhadap mortalitas pasien tetanus. Bila pasien tetanus dapat melewati fase akut penyakitnya, masalah lain timbul seperti disfungsi otonom dan pneumonia nosokomial (sering disebabkan oleh organisme multiresisten) sebagai penyebab tersering kematian. Laporan kasus berikut menampilkan 6 kasus tetanus, tiga di antaranya mengalami pneumonia nosokomial, dan dua di antara tiga pasien tersebut geriatri berusia 70 dan 72 tahun meninggal saat di rumah sakit. (Med J Indones 2004; 14: 117-21)
Tetanus, an infection by C.tetani continues to be a major health problem in the developing world. The course of the disease is typically prolonged, requiring weeks to months of supportive management to resolve. Several studies have been conducted to determine which factor/s really influenced the outcome of tetanus. Factors such as severity of spasms, age, sedation and tachycardia were found to significantly influence mortality. Patients now surviving the initial acute phase of their illness, but new problems have emerged autonomic dysfunction and hospital acquired pneumonia (often with multiresistant organisms) are now the commonest causes of death. This serial cases report presents six selected cases of tetanus, three patients acquired secondary pneumonia during treatment, among the three, two patients are elderly age 70 and 72 years old. Both of the presented patients died during treatment in the hospital. (Med J Indones 2004; 14: 117-21)
Medical Journal of Indonesia, 2005
MJIN-14-2-AprJun2005-117
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Dorna Yanti Lola
Abstrak :
Latar Belakang: Diabetes melitus DM merupakan penyakit epidemik yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun di seluruh dunia. Jumlah penderita DM ini diperkirakan akan mencapai 552 juta orang pada tahun 2030. Kadar glukosa darah KGD yang tidak terkontrol merupakan penyebab terjadinya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler sehingga meningkatkan angka morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap. Terapi medik gizi klinik adekuat dan sesuai dengan kondisi klinis pasien dapat mencegah, memperlambat dan memperbaiki komplikasi akibat DM. Metode: Pasien serial kasus dengan diagnosis DM tipe 2 disertai berbagai komplikasi, berusia 48 ndash;71 tahun. Satu dari empat pasien mendapatkan nutrisi melalui nasogastric tube NGT , dan sisanya melalui oral. Terapi medik gizi diberikan pada keempat pasien sesuai dengan kondisi klinis masing-masing. Pemberian karbohidrat disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan dosis insulin yang diperoleh pasien. Pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal masing-masing pasien. Hasil : Keempat pasien mengalami perbaikan keadaan klinis antara lain luka pada kaki, sesak napas hilang, edema dan asites berkurang, ureum dan kreatinin membaik. Kasus pertama, kedua dan keempat mengalami perbaikan pada kadar glukosa darah, sedangkan kasus ketiga KGD masih tetap tinggi pada saat keluar dari RS. Keempat pasien pulang ke rumah dengan kondisi membaik. Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik yang adekuat untuk mengontrol KGD dapat membantu memperbaiki keadaan klinis dan mencegah perburukan pada pasien DM tipe 2 dengan berbagai komplikasi. ...... Background: Diabetes mellitus DM is an epidemic disease that is increasing year by year around the world. The number of DM patients is estimated 552 million people by 2030. Uncontrolled blood glucose level is one of the cause of macrovascular and microvascular complications that may increase morbidity, mortality and length of hospitalization. An adequate nutrition therapy in accordance with the clinical condition of the patient may help to prevent, delay and improve the complications due to DM. Methods:All patients in these case series were diagnosed with type 2 DM accompanied by various complications, aged 48-71 years. One in four patients was administered nutrition through tube feeding, and the rest through oral. Nutrition therapy was given to all patients according to their clinical conditions. Carbohydrate was adjusted to the patient 39;s needs and the dose of insulin obtained by the patient. Protein administration was adjusted for each patient 39;s renal function. Result:Four patients experience of improving of clinical conditions, such as breathlessness, reduced edema and ascites, decreased urea and creatinine levels. The first, second and fourth cases improve in blood glucose levels, while the third case remains to have high blood glucose level at the time of discharge. While all patients discharge from hospital with better condition. Conclusion: An adequate clinical nutrition therapy to improve glycemic control is needed to improve clinical conditions and prevent deterioration in patients with type 2 DM with various complications.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sakti Oktaria Batubara
Abstrak :
CAPD merupakan suatu tehnik dialisis dengan menggunakan membran peritoneum sebagai membran dialisis yang memisahkan dialisat dalam rongga peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah peritoneum. Berbagai komplikasi dapat timbul pada penanganan CAPD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko terjadinya komplikasi CAPD. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah 130 pasien CAPD di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang dipilih dengan cara purposive sampling. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap prosedur standar ( p = 0,019) dan higienitas saat penggantian cairan dialisat (p = 0,013) memiliki hubungan yang bermakna dengan komplikasi CAPD. Pasien dengan higienitas kurang baik saat mengganti cairan dialisat berisiko untuk mengalami komplikasi CAPD 3,82 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien yang higienitasnya baik setelah dikontrol oleh variabel kepatuhan terhadap prosedur standar CAPD. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu dilakukan evaluasi berkala terhadap kemampuan perawatan CAPD dirumah. ......CAPD is a dialysis technique using peritoneal membran as a dialysis membrane that separate the dialysate in the peritoneal cavity and blood plasma in the blood peritonium vessels. This study aimed to identify the risk factors of complications on CAPD. The study used a descriptive design with cross sectional analytic. The population in this study was 130 CAPD patients in hospitals RSUD Dr. Moewardi Surakarda and RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, selected by using purposive sampling. The results of the study indicated that adherence to standard procedures (p = 0.019) and hygiene during the dialysate fluid replacement (p = 0.013) had a significant association with complications of CAPD. The patients with poor hygiene during dialysat replacement had a risk for experiencing complication of CAPD at about 3.82 times greater than patients who had good hygiene when controlled by variable of adherence to standard procedures CAPD. The recommendation of this study was the necessity of conducting periodic evaluation of the patient?s ability of CAPD treatment at home.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Alvin Hartanto Kurniawan
Abstrak :

ABSTRACT
Diabetic gastroenteropathy is a common complication in prolonged diabetic patients, particularly patients with poor glycemic control or other complications, including all form of diabetic complication on the gastrointestinal tract, which prompts various symptoms of heartburn, abdominal pain, nausea, vomiting, even constipation, diarrhea, and fecal incontinence. The underlying pathophysiology of this complication manifestations are different on each organ or symptom, but may include autonomic nervous system neuropathy, loss of Interstitial Cell of Cajal as gastric muscle pacemaker leading to dysmotility, impair of liquid transportation and motoric function, as well as hyperglycemia causing oxidative stress, and other factors like Insulin-Growth Factor I inducing smooth muscle atrophy. Diabetic gastroenteropathy is one of major morbidity on diabetes mellitus patients. Patients with this complication need to be well diagnosed and ruled out other diagnosis possibilities. Management of the complication includes resolving main symptoms and maintaining good glycemic control. With growing number of diabetes mellitus patients and the prevalence of diabetic gastroenteropathy complication not being well recorded, caused by lack of attention and knowledge of healthcare provider in identifying the complication; it is important to be able to identify and to give early treatment to diabetic gastroenteropathy patients, to increase quality of life and maintain glycemic control of the patient.
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshinari Ogawa
Abstrak :

ABSTRACT
Purpose Geriatric surgery poses specific challenges due to patient vulnerability in relation to aging. We analyzed perioperative challenges concerning super-elderly patients with breast cancer. Methods Between 2013 and 2018, 908 patients with breast cancer were treated surgically. Of these, two patient groups were compared: Group A (≥ 85 years old, n = 34, 3,7%) and Group B (75-84 years old, n = 136, 15%). Results In Groups A and B, 26,4% and 36,8% of patients lived alone, respectively. Group A patients had higher rates of psychiatric and cardiovascular disease (32,4% and 41,2%) than Group B (8,8% and 16,2%) (p = 0,0009 and p = 0,0031, respectively). There was no marked difference in the type of surgery or length of hospital stay between groups, and most complications involved surgical site disorders. Postoperatively, Group A had a higher rate of delirium (29,4%) than Group B (3,7%) (p < 0,0001). The 30-day postoperative mortality rate was 0, and 76,5% of Group A and 45,6% of Group B patients received no adjuvant therapy (p = 0,0024). Conclusions Age alone does not constitute a contraindication for appropriate surgery, although there are some challenges necessary to consider for super-elderly patients.
Tokyo: Springer, 2019
617 SUT 49:10 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Dhirayati Sudarmadji
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan utama suatu pembedahan katarak adalah untuk mengembalikan penglihatan penderita seoptimal mungkin. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro katarak serta makin majunya cara-cara mengatasi komplikasi bedah katarak, maka komplikasi pembedahan sudah banyak berkurang, sehingga perhatian para ahli bedah katarak mulai beralih pada masalah kelainan refraksi yang ditimbulkan pasca bedah.

Kelainan refraksi yang seringkali terjadi pasca bedah katarak adalah timbulnya astigmatisme yang tinggi sehingga rehabilitasi penglihatan pada mata afakia dengan kaca mata atau lensa kontak tidak dapat secepatnya terpenuhi.

Jaffe (1984) telah menjabarkan patofisiologi dan faktor-faktor penyebab astigmatisme pasca bedah katarak. Namun tetap terdapat kesulitan untuk mengurangi astigmatisme pasca bedah karena kurangnya pengetahuan bagaimana kurvatura kornea berubah dengan berselangnya waktu. Rowan dan Thygeson (dikutip dari 2) mendapatkan rata-rata pengurangan astigmatisme sebesar 2.5 Dioptri pada 79 penderita 6 minggu pasca bedah katarak, namun hubungan antara astigmatisme anal pasca bedah dan astigmatisme akhir sulit dicari. Disebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kurvatura kornea pada bedah katarak, di antaranya: (a) letak, luas dan bentuk insisi katarak, (b) jenis benang penutup luka dan (e) teknik penjahitan luka katarak (1-9).

Reading (1964) menganalisa besar dan lama perubahan kurvatura kornea pada kasus EKIK dengan insisi katarak yang besar dan kecil, yang dijahit dengan jahitan terputus. Dikatakan bahwa perubahan klasik astigmatisme pasca bedah berupa memendeknya radius kurvatura horisontal dan memanjangnya radius kurvatura vertikal terjadi pada 6.5% segera pasca bedah dan 42.3% pada bulan pertama pasca bedah. Perubahan rata-rata radius kurvatura horisontal pada penderita dengan insisi katarak yang besar berbeda bermakna antara pra bedah dan pasca bedah terutama pada bulan pertama. Singh dan Kumar (1976) meneliti perubahan keratometrik pasca bedah katarak yang dijahit dengan jahitan preplaced dan postplaced. Dikatakan bahwa pada minggu ke enam, hampir seluruh kasus mengalami perubahan berupa pendataran kurvatura terpendek dan pencembungan kurvatura terpanjang, serta astigmatisme yang terjadi dalam waktu tersebut kebanyakan mengarah ke astigmatisme yang tidak lazim.

Faktor teknik penjahitan luka katarak mempunyai mempunyai peranan yang berarti terhadap terjadinya perubahan kurvatura kornea pasca bedah. Aposisi luka yang baik setelah penjahitan akan mempercepat proses penyembuhan sehingga diharapkan kurvatura kornea tidak banyak berubah lagi. Beberapa teknik penjahitan luka katarak telah diperkenalkan oleh para ahli bedah mata, di antaranya penjahitan secara terputus (interrupted) dan jelujur (continuous). Jahitan jelujur dapat satu arah atau bolak-balik (jahitan tali sepatu) (1). Masingmasing cara penjahitan ini mempunyai keunggulan dan kerugian.

Teknik penjahitan terputus merupakan cara penjahitan yang sering dipakai karena teknik ini cukup mudah, kemungkinan penyebaran infeksi ke sepanjang luka kecil serta bila satu simpul terputus atau longgar, tidak akan segera menyebabkan terbukanya seluruh luka (10). Namun usaha untuk mengurangi perubahan kurvatura kornea dengan penjahitan seperti ini lebih sulit dilakukan karena kekuatan masing-masing jahitan seringkali berbeda pada tiap meridian kornea (8).

1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yorva Sayoeti
Abstrak :
ABSTRAK
Mastoiditis masih dipandang sebagai penyakit yang serius karena setiap saat dapat mengancam kehidupan penderita atau penyakit yang berpotensi menyebabkan kematian (Rosen dkk., 1986). Ancaman kehidupan tersebut disebabkan karena timbulnya komplikasi, terutama komplikasi intrakranial seperti meningitis, abses otak, abses subdural, trombosis sinus lateral dan lain-lain.

Dalam kepustakaan negara maju dikatakan kejadian mastoiditis disertai komplikasi sampai saat ini telah banyak menurun sejak dimulainya penggunaan antibiotika pada pengobatan otitis media sebagai penyakit awal mastoiditis (Zoller dkk., 1972; Ginsburg dkk., 1980; Hawkins dan Dru, 1983; Ogle dan Lauer, 1986). Di negara berkembang mastoiditis dengan komplikasi intrakranial masih merupakan masalah yang berkepanjangan seperti yang dilaporkan oleh Samuel dkk. (1986). Dari 334 penderita mastoiditis dengan komplikasi, 224 di antaranya dengan komplikasi intrakranial, terutama terjadi pada anak dan dewasa muda (74%), dengan angka kematian seluruhnya 14%. Selain itu mastoiditis juga menyebabkan kerugian karena dapat menyebabkan cacat pendengaran yang mengganggu masa depan pendidikan maupun pekerjaan penderita (Djaafar, 1980).

Mengingat bahaya dan kerugian yang ditimbulkan mastoiditis seperti di atas, maka untuk mengetahui bagaimana aspek mastoiditis pada anak, khususnya di RSCM/FKUI Jakarta, dilakukan penelitian ini. Hal ini penting karena merupakan tantangan dan tanggung jawab kita sebagai dokter dalam usaha penanggulangan dan pencegahan mastoiditis pada anak.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>