Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Krisadelfa Sutanto
Abstrak :
Latar Belakang: Cedera tulang belakang dapat menyebabkan kelumpuhan kronis yang memengaruhi kebutuhan energi dan protein. Proses penyembuhan yang lama akibat trauma sistem saraf dan komplikasi akibat tirah baring lama berdampak pada penurunan angka harapan hidup dan kualitas hidup seseorang. Risiko malnutrisi akibat inaktivitas kronis dapat menyebabkan hilangnya massa otot yang juga berpengaruh pada status nutrisi. Terapi medik gizi bertujuan mengurangi respons metabolik, mempertahankan massa bebas lemak, dan mencegah komplikasi. Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan cedera tulang belakang yang memiliki karakteristik usia 29-58 tahun. Status gizi pasien saat admisi adalah berat badan BB normal. Terapi medik gizi yang diberikan menggunakan panduan sakit kritis. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna dengan target capaian 30 kkal/kg BB. Mikronutrien utama yang diberikan adalah vitamin B. Hasil: Dua pasien kasus pertama dan ketiga pulang dengan pemenuhan nutrisi sesuai rekomendasi dan dapat mengkonsumsi asupan melalui jalur oral. Dua pasien yang meninggal pasien kedua dan keempat, tata laksana nutrisi tidak mencapai target. Pasien kedua memiliki penyulit berupa atelektasis paru kanan, infeksi sekunder Pseudomonas aeroginosa dan Klebsiella pneumoniae, sedangkan pasien keempat memiliki penyulit berupa kontusio paru, infeksi Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae. Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat mendukung kesembuhan pasien. Penyulit seperti infeksi sekunder atau komorbid lain dapat menjadi kendala keberhasilan tatalaksana nutrisi yang optimal. ...... Background: Spinal cord injury causes chronic paralysis that affects energy and protein requirement. The long-term healing process due to nervous system trauma and complications caused by prolonged bed rest impact on decreasing life expectancy and quality of life. The risk of malnutrition due to chronic inactivity can lead to loss of muscle mass, that also affects nutritional status. The aims of medical nutrition therapy are to decrease metabolic response, maintain fat-free mass, and prevent complications. Methods: This case series reported four critically ill patients with spinal cord injury aged 29-58 years. All patients had normoweight. Medical nutrition therapy was given based on nutrition guidelines for critically ill patients. Nutrition was given in accordance with clinical and gastrointestinal tolerance, increased gradually up to 30 kcal/kg body weight. Micronutrient given was vitamin B. Results: Two patients the first and the third discharged with optimal nutrient intake given orally. Other two patients the second and the fourth had right atelectasis, secondary infecton of Pseudomonas aeruginosa and Klebisella pneumoniae, the latter had pulmonary contusions and secondary infection as well. Conclusion: Adequate nutrition supports patient rsquo;s recovery. Comorbidty and infection can be obstacle to achieve optimal nutrition.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pittara Pansawira
Abstrak :
ABSTRAK
Hiperglikemia sering terjadi pada pasien sakit kritis dan dapat menimbulkan volume residu lambung tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status hiperglikemia dengan status volume residu lambung tinggi pada pasien dewasa sakit kritis dalam 24 jam I dan II di ICU. Rancangan studi potong lintang, consecutive sampling, pada 96 subjek. Hasil penelitian, terdapat 45,8% subjek mengalami hiperglikemia pada 24 jam I dan 35,4% pada 24 jam II. Terdapat 28,1% subjek mengalami volume residu lambung tinggi pada 24 jam I dan 25% pada 24 jam II. Kesimpulannya, pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status hiperglikemia dengan status volume residu lambung tinggi.
ABSTRAK
Hyperglycemia commonly occurs in critically ill patients and can cause high gastric residual volume. The aim of this study is to determine the relationship between hyperglycemia status and high gastric residual volume status in adult critically ill patients within the first and second 24 hours of admission in ICU. The design was cross sectional with consecutive sampling in 96 subjects. There were 45.8% subjects who had hyperglycemia in the first 24 hours and 35.4% in the second. There were 28.1% subjects who had high gastric residual volume in the first 24 hours and 25% in the second. In conclusion, there was no significant relationship between hyperglycemia status and high gastric residual volume status in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadholirrahman Naufal Raditya
Abstrak :
Latar belakang: Cedera gastrointestinal akut seringkali terjadi secara sekunder terhadap penyakit kritis, namun penilaiannya tidak rutin dilaksanakan. Penilaian gagal organ pada pasien anak yang banyak digunakan di Indonesia adalah skor PELOD-2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan gagal organ yang dinilai berdasarkan skor PELOD-2 pada pasien anak sakit kritis. Metode: Studi potong lintang dengan data sekunder dari rekam medik pasien anak dengan cedera gastrointestinal akut di PICU RSCM dari bulan September 2019-September 2020. Derajat cedera gastrointestinal akut dinilai menggunakan kriteria AGI grading system, sedangkan gagal organ dinilai menggunakan skor PELOD-2. Uji statistic Chi Square, Kruskal Wallis dan Mann-Whitney dilakukan menggunakan aplikasi SPSS IBM versi 20. Hasil: Didapatkan 25 sampel dengan median skor PELOD-2 pada derajat satu sebesar 1 (0-5), dua sebesar 1 (0-9), tiga sebesar 9 (n=1), dan empat sebesar 9 (7-11). Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik (P= 0,004) dan terdapat peningkatan skor PELOD-2 pada derajat yang lebih tinggi. Selain itu hasil uji Chi Square menunjukkan terdapat hubungan antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan mortalitas pasien (P= 0,014). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan skor PELOD-2 dan luaran mortalitas pada pasien anak sakit kritis. ......Background: Acute gastrointestinal injury can be secondary to critical illness, however it is not often assessed. The instrument used to assess organ dysfunction in children is Pediatric Logistic Organ Dysfunction-2 (PELOD-2) Score. This study aims to explain association between AGI grade and organ dysfunction using PELOD-2 in critically ill pediatric patients. Methods: This is a cross-sectional study with data collected from medical records of pediatric patients with AGI in PICU of Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, starting from September 2019 to 2020. Patients were classified based on AGI grade. The severity of organ dysfunction was measured using PELOD-2. Data were analysed with Chi Square, Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test using SPSS IBM version 20. Results: From 25 included pediatric patients, median of PELOD-2 score in AGI grade 1, 2, 3 were 1, 1, 9 respectively. There is only one sample of AGI grade 3, therefore the median of PELOD-2 score cannot be calculated.. Kurskal-Wallis test showed significant association (P: 0.004) with higher PELOD-2 score in more severe AGI grade. Chi Square test also showed significant association (P= 0,014) with higher mortality rate in more sever AGI grade. Conclusion: There is significant association between AGI grade with PELOD-2 score and mortality rate in critically ill pediatric patients
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
To find out the difference between intensive insulin therapy and conventional insulin therapy in influencing the increase of superoxide dismutase (SOD) , decrease of cytokine production (TNF-x-and IL-6), increase of albumin level, and occurence of SIRS...
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini Permata Sari
Abstrak :
Latar Belakang: Jumlah pasien penyakit kritis semakin meningkat dengan mortalitas yang cukup tinggi, sehingga diperlukan model prediksi yang memiliki performa yang baik untuk memprediksi mortalitas. MSOFA adalah salah satu sistem skor yang dapat memprediksi mortalitas 28 hari. Walaupun validasi MSOFA menunjukkan hasil yang baik di berbagai negara, masih diperlukan untuk melakukan validasi di Indonesia dan mencari parameter lain untuk meningkatkan ketepatan prediksi mortalitas. Kadar magnesium darah perlu diperhitungkan penggunaannya dalam memprediksi mortalitas terutama jika ditambahkan pada skor MSOFA. Tujuan: Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi MSOFA serta nilai tambah kadar magnesium total dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis medis di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo (UPI RSUPNCM). Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien penyakit kritis medis yang dirawat di UPI RSUPNCM pada periode April-Juli 2013. Hasil pemeriksaan fisik, Glasgow Coma Scale, saturasi oksigen perifer, serum kreatinin dan magnesium dinilai saat pasien masuk ke UPI. Outcome dinilai saat pasien mencapai hari ke 28 setelah hari perawatan pertama. Performa kalibrasi dinilai dengan plot kalibrasi dan uji Hosmer-Lemeshow. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC). Kemampuan prediksi skor MSOFA bersama magnesium ditentukan dengan ROC dari nilai predicted probability terhadap mortalitas. Hasil: Sebanyak 150 pasien diikutsertakan dalam penelitian dengan angka mortalitas 33,3%. Plot kalibrasi MSOFA menunjukkan koefisien korelasi r = 0,7 dan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,08. Performa diskriminasi ditunjukkan dengan nilai AUC 0,83 (IK 95% 0,76-0,90). Kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis. Simpulan: MSOFA memiliki performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik dan kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis. ......Background: Critically ill patients are increasing in number with high mortality rate and good performance of prediction model is needed to predict mortality. MSOFA is one of the scoring systems which can predict 28 days mortality. MSOFA has showed a good validation in many patients abroad, yet still need to be tested in Indonesia and improving its performance. Total magnesium serum can be used as an added value to improve MSOFA performance. Objective: To evaluate calibration and discrimination of MSOFA and magnesium as an added value to predict mortality in critically ill patients. Methods: This is a prospective cohort study of medical critically ill patient who admitted to Intensive Care Cipto Mangunkusumo Hospital. Physical examination, Glasgow Coma Scale, peripheral oxygen saturation, creatinine and magnesium serum were obtained when the patient was admitted at ICU. Outcome was assessed when patients have reached 28 days after the first day of admission. Calibration was evaluated calibration plot and Hosmer-Lemeshow test. Discrimination was evaluated with area under the curve (AUC). Prediction performance of MSOFA and magnesium were evaluated with ROC curve. Results: 150 patients was submitted to this study with mortality rate 33,3%. Calibration plot of MSOFA showed r = 0,7 and Hosmer-Lemeshow test showed p = 0,08. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,83 (CI 95% 0,76-0,90). Magnesium total serum has no added value to MSOFA as a mortality predictor in critically ill patients. Conclusion: MSOFA has good callibration and discrimination performance, and magnesium blood level has no added value to MSOFA for predicting mortality in critically ill patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library