Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984
398.9 UNG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hamdani Asjik
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1975
S10551
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1993
391.095 98 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iswandi
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pelaksanaan program PEL melalui pengadaan alat tangkap dalam upaya pemberdayaan masyarakat nelayan di Kelurahan Balohan Kecamatan Sukajaya Kota Sabang Daerah Istimewa Aceh. Perhatian kepada kelompok masyarakat nelayan di wilayah ini penting dilakukan karena di samping memiliki potensi perikanan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, juga masih terdapat masyarakat nelayan yang relatif masih miskin.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat di daerah yang berpotensi dengan cara meningkatkan nilai tambah produksinya melalui pembentukan dan pendayagunaan kelembagaan, mobilisasi sumber daya, serta jaringan kemitraan pengembangan usaha kecil sesuai kompetensi ekonomi lokal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tahapan dalam pelaksanaan program PEL melalui pengadaan alat tangkap di lapangan, hambatan-hambatan, dan alternatif pemecahannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif, dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan, wawancara mendalam (indept interview) dan observasi langsung dimana peneliti langsung berada di lapangan. Informan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling selanjutnya informan lain ditelusuri dengan mengikuti prinsip teknik snow ball.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan Program PEL melalui pengadaan alat tangkap meliputi beberapa tahap, yaitu tahap sosialisasi program, tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap pelestarian kegiatan. Sosialisasi program terdiri dari kegiatan penyebaran informasi dan pelatihan. Penyebaran informasi melalui mimbar ceramah di meunasah (surau) lebih efektif dari pada papan informasi dan brosur-brosur, hal ini disebabkan masyarakat setempat sangat patuh terhadap agama dan aturan adat. Papan informasi dan brosur-brosur ternyata kurang menarik minat kelompok sasaran, karena masih kurangnya kemampuan dan minat baca dari masyarakat, sehingga informasi tentang program hanya beredar dan dipahami oleh kalangan terbatas. Pertemuan diskusi kelompok sasaran melalui lembaga yang telah tumbuh dalam masyarakat menjadi sarana dalam penyampaian informasi. Dalam sosialisasi program juga dilaksanakan pelatihan manajemen keuangan dan industri bagi masyarakat pemanfaat serta sifat dari program tersebut.
Tahap persiapan pelaksanaan program meliputi pemilihan desa partisipasi, pembentukan kelompok, dan perumusan rencana kegiatan. Pemilihan desa partisipasi PEL dilaksanakan berdasarkan musyawarah, namun dalam hal ini terlihat adanya intervensi dimana forum musyawarah tersebut terlalu diarahkan oleh dikoordinator TPPK. Pembentukan, kelompok KMP masih dirasakan belum tepat sasaran yang mana keputusan lebih didominasi oleh pihak petugas dan begitu pula dengan perumusan rencana kerja masih terlihat kebutuhan yang diberikan belum mewakili dari kelompok masyarakat pemanfaat. Oleh karena itu persiapan pelaksanaan diharapkan dapat menjadi proses belajar bagi masyarakat, sehingga rencana program yang dibuat sesuai dengan kebutuhannya.
Pelaksanaan kegiatan meliputi tahap pengajuan dan pencairan dana, kegiatan kelompok sasaran, pemantauan, evaluasi dan pelaporan. kegiatan pengajuan dan pencairan dana dilakukan berdasarkan rencana kegiatan (RK) yang telah dimusyawarahkan ditujukan kepada pimpinan proyek agar dana dicairkan ke rekening TPPK yang ada di bank lokal (BM), selanjutnya diajukan ke KPKN dengan dilengkapi tanda tangan ketua TPPK dan FK. Dalam pelaksanaan kegiatan PEL, keterlibatan kelompok sasaran belum memberikan masukan-masukan yang bersifat pemikiran, hal ini terlihat dari peralatan yang di berikan belum sesuai dengan kebutuhan KMP. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan hasil dilaksanakan oleh tim pelaksana dengan melibatkan warga masyarakat sehingga terbentuk suatu sistem dalam komunitas untuk melakukan pengawasan secara internal, tetapi sayangnya kegiatan tersebut hanya dilakukan pada awal-awal program saja. Peningkatan pendapatan tidak disebabkan oleh kerjasama kelompok, akan tetapi penggunaan alat tangkap yang efektif.
Kemudian tahap pelestarian, dalam pelestarian program terlihat masih kurang berjalan karena tingkat kesadaran dari petugas masih kurang dalam mengarahkan dan memantau sistem perguliran dana, demikian juga dalam pemasaran, peran jaringan kemitraan dengan pihak swasta belum terlihat. Menurut pengamatan di lapangan terlihat bahwa terminasi yang dilakukan bukanlah karena masyarakat pemanfaat yang mandiri atau berhasil, melainkan karena habisnya waktu yang telah ditetapkan dalam proyek telah berakhir.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan program antara lain: kurangnya peran tim pelaksana (fasilitator) dalam pelaksanaan program, sosialisasi program kurang berhasil, kurangnya motivasi dan partisipasi masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas masyarakat, minimnya tanggungjawab serta sikap malas (budaya malas) yang dimiliki oleh anggota kelompok sasaran, dengan demikian tingkat keberhasilan program rendah atau tidak mencapai tujuan.
Perbaikan yang perlu dilakukan agar pelaksanaan program PEL melalui pengadaan alat tangkap berjalan dengan efektif maka perlu meningkatkan peran serta tim pendamping (fasilitator) sehingga kehadirannya dapat menjadi motivator, perlu dilakukan penataan ulang perencanaan agar tercipta keserasian antara tujuan dengan kebutuhan kelompok sasaran dalam pelaksanaan program, Pemerintah secara konsisten mendorong masyarakat untuk menuntut ilmu, disamping itu juga perlu dilakukan persiapan sosial dengan mengedepankan metode participatory rural appraisal (PRA), dan mengadakan pendekatan non-direktif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Bahan ajar muatan lokal warisan budaya materi (WBM) pada dasarnya merupakan bagian dari pelajaran sejarah namun lebih ditekankan kepada kajian kewilayahan yang memperlihatkan adanya kesinambungan sejarah masyarakat di wilayah itu dari masa yang tua dengan masa yang lebih muda.
Sesuai dengan namanya, muatan lokal WBM akan memberi perhatian kepada peninggalan-peninggalan berupa benda cagar budaya yang diperoleh dari wilayah yang menjadi perhatian, dalam hal ini adalah wilayah Daerah Istimewa Aceh. Peninggalanpeninggalan berupa materi yang umumnya `bisu' itu sering kurang dipahami peranannya oleh siswa sebagai bukti sejarah karena tidak dapat dihubungkan dengan pelajaran-pelajaran sejarah yang mereka peroleh sebelumnya di kelas yang lebih rendah.
Ketidakmengertian siswa untuk menghubungkan benda budaya dengan sejarah sejak lama sudah diketahui menjadi kendala di dalam proses perkembangan mental siswa untuk memahami peranan sejarah di dalam kehidupan sosial maupun pribadi mereka. Ketidakmengertian ini terutama disebabkan oleh kurangnya bahan-bahan pelajaran yang dapat membimbing mereka untuk memperoleh pemahaman itu.
Berdasarkan kenyataan ini maka sangatlah panting bagi guru sejarah yang membawakan bahan ajar muatan lokal WBM memahami Garis-garis Basal- Program Pengajaran (GBPP) agar dicapai kondisi yang memudahkan siswa di dalam memahami bahan ajar yang mereka terima. Kondisi ini diharapkan dapat tercapai karena secara mental maupun intelektual siswa kelas V sekolah dasar pada umumnya sudah cukup mampu menerima bahan ajar yang tidak lagi bersifat empirik. Setidaknya mereka diharapkan sudah mampu melakukan interpretasi dan analisis tingkat sederhana terhadap fakta-fakta sejarah yang dirangkai di dalam bahan ajar sebagai sebuah cerita."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Bahan ajar muatan lokal warisan budaya materi (WBM) pada dasarnya merupakan bagian dari pelajaran sejarah. Berbeda dengan pelajaran sejarah yang diangkat dari peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian berdasarkan kesaksian, bahan ajar WBM diangkat dari benda-benda basil budaya diperoleh melalui penelitian lapangan. Benda-benda ini dipilih berdasarkan daerah penemuan yang termasuk ke dalam "wilayah budaya Aceh" sesuai dengan sasaran umum program pengajaran berwawasan kebudayaan yang akan dikembangkan di daerah.
B. Fungsi
Sejarah mempunyai peran panting di dalam pembinaan rasa kebangsaan. Melalui sejarah siswa dapat diajak untuk memahami adanya kesamaan-kesamaan di dalam kebudayaan mereka dengan kebudayaan suku bangsa lain sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan rasa kebersamaan dan sekaligus mempertebal kesadaran akan jati diri budayanya.
C. Tujuan
Sesuai dengan fungsi pengajaran muatan lokal WBM yang dibuat untuk meningkatkan kesadaran siswa akan arti penting sejarah dalam kehidupan berbangsa, maka tujuan yang hendak dicapai melalui pengajaran ini antara lain. ialah membentuk sikap toleran terhadap kebudayaan lain, merangsang hubungan sosial lintas budaya, dan meningkatkan kessadaran sejarah.
D. Ruang Lingkup
Adapun cakupan bahan ajar muatan lokal WBM adalah benda-bends purbakala yang ditemukan di Daerah Istimewa Aceh yang tidak secara khusus pada "wilayah budaya Aceh". Cakupan ini dipilih mengingat pada masa purba kebudayaan kelompok-kelompok masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"REBANA
I. Kesejarahan
Instrumen musik rebana sudah ada sejak 14 abad yang lalu, yakni sejak zaman kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pada zaman itu musik rebana berfungsi sebagai media hiburan, pergaulan sosial, dan sebagai pendukung upacara keagamaan.
Rebana mempunyai beberapa sebutan antara lain ; di Arab disebut Tar, di Sinkiang Cilia disebut Daira, dan di Maroko rebana disebut Bendir. Di Indonesia rebana juga disebut Robbana yang berarti "permohonan kepada Allah"
Seiring dengan perkembangan Agama Islam di Indonesia, daerah Istimewa Aceh khususnya, rebana mempengaruhi alat musik daerah setempat, dan sekarang terkenal dengan nama Rapa'i.
II. Instrument
Rebana merupakan salah satu jenis musik yang hidup dan berkembang di daerah Aceh. Rebana dibuat dari kayu yang diberi lobang pada diametemya,. dan salah satu sisinya ditutup dengan kulit. Sisi lainnya untuk dipegang saat memainkan alat musik tersebut. Ukuran besar kecil alat musik ini tidak sama satu yang lainnya, tergantung penomoran serta fungsi instrumen tersebut dalam sebuah ensambel Musik Rebana.
A. Instrumen Musik Pokok
Pengertian instrument musik pokok dalam hal ini adalah instrumen rebana itu sendiri. Jumlah rebana yang digunakan dalam sebuah group/kelompok seni musik Rebana adalah 6 buah dengan pengelompokkan nomor sebagai berikut :
1. Rebana kecil, nomor 1 dan nomor 2.
Sesuai dengan namanya, jenis rebana ini berukuran paling kecil. Suara yang dihasilkan oleh rebana kecil biasanya lebih nyaring/kecil dibanding dengan rebana yang berukuran sedang dan ' besar. Rebana kecil dalam ensambel musik Rebana berfungsi sebagai instrumen melody.
2. Rebana sedang, nomor 3 dan nomor 4.
Rebana ini berukuran menengah/sedang dibanding dengan rebana kecil dan rebana besar. Demikian pula suara yang dihasilkan' dari alat musik ini. Rebana sedang dalam ensambel musik Rebana berfungsi sebagai pengiring atau rithem."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny Rendra Setyawan
"Hubungan Pusat-Daerah Pada Masa Awal Orde Baru (1967-1978): Studi Kasen Daerah Istimewa Aceh. Sebuah bangsa ada karena adanya kehendak bersama, kesamaan sejarah yang sama, dan tujuan yang sama. Sebuah bangsa menjadi tidak ada adaiah karena adanya ketidakadilan, diskriminasi dan tertutupnya kran-kran kebebasan untuk mengekspresikan diri. Bangsa Indonesia lahir karena adanya cita-cita bersama dari seluruh suku bangsa yang ada untuk membebaskan diri dari belenggu imperialisme dan untuk setara dengan bangsa-bangsa lainnya, McIalui proses yang panjang kemudian terbentuklah negara Republik Indonesia. Proses pengelolaan negara yang terjadi di Indonesia mengalami fluktuasi sepanjang sejarah. Sejak zaman revolusi sampai masa Orde Baru Indonesia sebagai sebuah negara terus mengalami tantangan. Skripsi ini membahas hal tersebut dengan studi kasus di Daerah Istimewa Aceh. Daerah Aceh sejak masa kemerdekaan hingga Orde Baru adalah daerah yang terus menerus mengalami pergolakan. Pada masa kemerdekaan yang diperangi adalah Belanda, sedangkan pada masa-masa setelah itu peperangan yang terjadi adalah antara Aceh melawan Jakarta (daerah pusat). Pada masa Orde Baru Aceh adalah merupakan saiah satu daerah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi jika dibandingkan dengan pembangunan yang ada terasa kurang sebanding. Hal ini bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi di beberapa daerah lain mengalami hal yang sama. Hal ini terjadi karena pemerintah pusat telah menetapkan sebuah mekanisme tertentu untuk melemahkan daerah, balk secara politik maupun ekonomi. UU No 5 tahun 1974 yang merupakan produk dari Orde Baru ini, menjadi senjata yang sangat ampuh untuk menekan daerah. Sebagai contoh adalah masalah pengangkatan kepala daerah, walupu n di tiap daerah ada kepala daerah, tetapi yang menentukannya tetap pemerintah pusat. Disamping itu pola penyeragaman struktur pemerintahan daerah secara nasional menjadikan daerah ini menjadi teralienasi dari sistem budayanya sendiri. Dalam hal ekonomi pemerintah pusat membuat daerah-daerah menjadi mangalami ketergantungan yang tinggi terhadap pusat. Pemerintah lebih mengedepankan pemberian subsidi kepada daerah-daerah. terrnasuk Aceh. Dalam Realisasi Penerimaan Daerah Otonom Tingkat I, subsidi pemerintah pusat dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan rata-rata posisinya sekitar 60 % dari total penerimaan. Subsidi pemerintah pusat ini merupakan hasil yang diambiI dari daerah. Hal tersebut akhirnya menimbulkan reaksi, khususnya di Aceh. Walaupun reaksinya dalam skala kecil pada waktu itu, tetapi hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat telah membuat manajemen hubungan pusat-daerah secara kurang baik. Reaksi ini diwujudkan dengan perjuangan bersenjata yang dipimpin oleh Hasan Muhammad Tiro. Pada awainya gerakan ini merupakan gerakan elit dari kalangan intelektual Aceh yang merasa resah melihat kondisi Aceh pada sat itu, yang menurut mereka Aceh diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah pusat. Gerakan ini walaupun pada akhirnya dapat ditumpas oleh pemerintah, tetapi tidak mati, dan pada tahun-tahun berikutnya pendukungnya mulai bertambah banyak."
2000
S12414
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairan
"Kebijakan Daerah Operasi Miiiter (DOM) terhadap Aceh mulai tahun 1989 s.d. 1998 sebagal sebuah strategi Pemerintah Republik Indonesia untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), telah menimbulkan mala petaka yang beraklbat luka dan kedukaan bagi rakyat Aceh. Akibatnya tidak kurang dari 8.344 orang meninggal dunia, 575 orang hilang, 1.465 orang istri menjadi janda, 4.670 orang anak yatim, 298 orang cacat seumur hidup dan 34 orang perempuan diperkosa. Kekerasan seksual merupakan goncangan yang luar biasa yang tetjadi di Aceh sepanjang sejarah petjuangan rakyat Aceh (ketika masih sebagai sebuah bangsa yang berdaulat), belum pernah terjadi dan kenyataan ini terlalu menyakitkan bagi rakyat Aceh. Karena faktor budaya, korban merasa malu dan rendah diri dalam masyarakat. Ada kecenderungan korban merahasiakan kekerasan seksual yang dialaminya. Disisi lain, pada umumnya mereka perempuan yang berpendidikan rendah, cenderung tidak mempunyai ketrampilan khusus dan juga berpenghasilan rendah serta hidup dalam kemiskinan. Ada perempuan korban yang merasa malu melaporkan diri kepada pihak yang berkompeten. Selain rasa malu, para korban juga sulit menjangkau ibu kota kecamatan untuk melapor kejadian yang mereka alami, karena situasi konflik terus berlangsung dan juga Jarak yang harus ditempuh ke
kecamatan relatif jauh. Yang menjadi fokus masalah di sini adalah bagaimana persepsi korban tentang dirinya sendiri, interaksi mereka dengan orang lain, dan cara mereka melihat masa depannya sendiri.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif melalui pendekatan kualitatif yang berperspektif perempuan, bertujuan untuk memahami pengalaman korban perempuan dengan meneliti persepsi dirinya sendiri. interaksi dengan orang lain dan cara korban melihat masa depannya sendiri, agar dapat dijadikan landasan dalam membuat program untuk membantu perempuan korban kekerasan seksual. Informan penelitian diperoleh pada dua kecamatan yaitu kecamatan Peureulak dan Julok yang dilakukan pada bulan Pebruari s.d. Maret 2001 dan dilanjutkan pada bulan Juni 2001. Informan penelitian yang dijadikan kelompok kasus sebanyak 7 orang. Penelusurannya dilakukan dengan tehnik Snow Ball, dengan karakteristik
informan perempuan gadis (belum menikah), perempuan berkeluarga (menikah) dan perempuan janda. Kemudian dilengkapi dengan 4 informan lainnya yang dinggap dapat memperjelas informasi yang diperoleh. Metode pengambilan informasi dilakukan dengan pengamatan terlibat terhadap
kelompok kasus dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan
menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dilabelkan sebagai orang yang menyimpang dari norma yang berlaku tergantung proses terjadinya tindak kekerasan seksual itu sendiri. Reaksi masyarakat terhadap korban dapat berupa positif atau negatif. Secara umum peran keluarga, orang dekat korban dan tokoh agama ikut berpengaruh terhadap korban dalarn mengembalikan cara pandang korban terhadap dirinya sendiri, interaksi dengan orang lain dan cara melihat masa depannya sendiri setelah korban mengalami tindak kekerasan seksual. Pada umumnya korban masih melihat dirinya sendiri sebagai orang yang berguna setelah lingkungan memberikan reaksi simpati terhadap korban. Lalu dari interaksi antara korban dengan lingkungannya, muncul kembali semangat meraih masa depan dengan kemampuan yang dimiliki korban. Hal ini menunjukkan bahwa sosial
masyarakat Aceh signifikan ikut mempengaruhi persepsi diri korban. Di sisi lain, secara umum perempuan korban kekerasan seksual di Aceh mempunyai mental yang tangguh, hal ini ditandai oleh data lapangan dengan tidak
ditemukan satu orangpun korban yang bunuh diri akibat diperkosa. Ada kecenderungan signifikan hal tersebut berhubungan dengan budaya Aceh yang melarang seseorang bunuh diri karena itu adalah salah satu dosa besar
dalam Agama (Islam). Pembinaan korban relatif sulit dilaksanakan, Jika situasi keamanan masih rawan. Oleh karena itu untuk melakukan pembinaan yang sustainable melalui pemberdayaan, korban memeriukan situasi keamanan
yang kondusif. Memberikan bantuan kepada korban adalah baik. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan program konkrit yang dilaksanakan yaitu membuat pusat-pusat rehabilitasi mental pada tiap Puskesmas/Puskesmas
Pembantu oleh psikolog (ahli Jiwa) dan menghidupkan kembali pengajian tradisional secara regular dan konsultasi personal dalam dimensi keagamaan terhadap korban dengan rnemanfaatkan pesantren. Membuat pusat rehabilitasi personsMcommunity dalam rangka kesinambungan (sustainabelity) melalui pelatihan sesuai bakat, minat dan prospek bahan baku yang ada di desa korban (people centered development). Kemudian membantu melakukan
pangsa pasar untuk pemasaran produk secara berkelanjutan. Bagi korban yang tidak mempunyai ketrapilan khusus, dibimbing dengan memberikan modal usaha tradisional (misalnya beternak)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2001
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Propinsi Daerah Istimewa Aceh memiliki berbagai jenis musik tradisional baik vokal maupun instrumental, diantaranya berbagai jenis lagu daerah, dan musik rebana.
Keanekaragaman musik etnis yang hidup dan berkembang di daerah tersebut perlu diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini, agar mereka dapat mengenal dan mencintai musik yang ada di lingkungannya.
Pengertian musik vokal adalah sajian musik melalui kegiatan menyanyi 1 seni suara. Lagu-lagu daerah ini dinyanyikan secara tunggal atau kelompok, Sedang musik instrumental adalah sajian musik melalui permainan alat musik tradisional , misalnya : bermain rebana.
B. Fungsi
Kegiatan belajar seni musik tradisional Aceh bagi siswa SD mempunyai peranan penting dalam pembinaan dan pendidikan gencrasi muda, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan watak serta kepribadian anak. Materi seni musi tradisional bagi siswa SD berfungsi sebagai berikut :
Memberikan pengetahuan dasar tentang musik tradisional balk vokal maupun instrumental.
Menumbuhkan rasa kebersamaan, meningkatkan rasa percaya diri dan melatih keberanian untuk tampil di depan umum.
Menanamkan rasa cirita terhadap budaya daerah.
C. Tujuan
Tujuan pembelajaran seni musik tradisional di Sekolah Dasar adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan rasa keindahan pada diri siswa.
2. Terbentuknya sikap dan perilaku disiplin, tenggang rasa, dan kerja sarna pada siswa.
3. Mencintai dan menghargai karya-karya musik tradisi di daerahnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library