Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moch Zainul Arifin
"Penalaran mengenai kritik ideologi melalui karya sastra dapat dilihat dari segi bagaimana karya sastra merupakan representasi ideologi sosial sekaligus ideologi pengarang yang dihadirkan sebagai bentuk kritik terhadap tatanan sosial tersebut. Permasalahannya ialah ketika kritik tersebut justru menghadirkan suatu paradoks dengan apa yang pengarang sampaikan, maka bentuk kritik ideologi tersebut telah pengarang luapkan dalam bentuk karya sastra yang nyatanya bermedium bahasa. Dengan demikian, subjektivitas kepengarangan karya sastra hanya merupakan simbolisasi yang berbentuk post-ideologi yang Žižek istilahkan sebagai Sinisme. Permasalahan tersebut peneliti aplikasikan dalam novel Orang Asing karya Albert Camus. Penelitian ini membahas kritik Albert Camus dalam bentuk tindakan radikal tokoh utama Meursault. Akhirnya, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yakni (1) bagaimana absurditas direpresentasikan sebagai tindakan radikal dalam novel Orang Asing, dan (2) bagaimana radikalisasi tersebut justru menjadi sinisme simbolik dalam novel Orang Asing. Dengan demikian, dapat ditarik dalam satu asumsi bahwa kritik ideologi dan paham absurdisme melalui karya sastra tidak menawarkan apa-apa selama absurdisme dan kritik tersebut dilakukan melalui simbolisasi semata, tanpa tindakan otentis."
Banten: Kantor Bahasa Provinsi Banten, 2016
BEBASAN 3:1 (2016 )
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Daniel Fahmi Rizal
"ABSTRAK
Suatu teks tidak tercipta dalam keadaan kekosongan budaya. Dalam membaca teks sastra kita perlu mempertimbangkan teks-teks lain yang kiranya memengaruhi penulis. Untuk itulah perlu kita perhatikan prinsip intertekstualitas. Prinsip ini memaparkan bahwa setiap teks sastra dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Hal ini terlihat di dalam teks lakon Gundala Gawat dari kelompok teater Gandrik. Gandrik terkenal akan caranya membedah naskah pementasan sesuai kehendak mereka, sehingga naskah yang awalnya diproduksi penulis bisa berubah ketika dipentaskan dalam lakon. Faktor ini cukup menjadi alasan kecurigaan adanya teks-teks lain yang memengaruhi pementasan Gandrik. Oleh karena itu, teks-teks intertekstual tidak dapat dilepaskan dari pementasan Gundala Gawat.Dengan metode kualitatif, peneliti menghubungkan teks-teks lain yang memengaruhi tokoh Gundala dalam Gundala Gawat. Peneliti menemukan bahwa tokoh Gundala dalam Gundala Gawat memiliki keterkaitan dengan tokoh Gundala dalam teks komik dan teks naskah. Hasil analisis menunjukkan bahwa pementasan kelompok teater Gandrik terpengaruh dari pola teater tradisional. Gandrik mengolah naskah Gundala Gawat, yang sebelumnya terinspirasi dari komik Gundala Putera Petir, ke dalam lakon untuk menyuarakan ideologinya melalui tokoh Gundala. Ideologi Gandrik yang ditemukan berupa ideologi pembebasan, yakni ideologi Gandrik untuk mengajak penonton lakon sejenak menertawakan pihak-pihak yang melakukan represi terhadap kehidupan manusia Indonesia.
ABSTRACT
A text is not created in a state of cultural emptiness. When we read a literary text, we need to consider the other texts that affect the author. For that, we need to consider the principle of intertextuality. This principle means that every literary text is read with observing the other texts as a background. These principles need to be considered when we read the text of Gundala Gawat performance by the Gandrik theater group. Gandrik is famous for dissecting a script, so that texts that originally produced by the author could change when staged in the performance. This reason is enough to be a suspicious that any texts affect Gandrik rsquo s performance. Therefore, intertextual texts can not be separated from the Gundala Gawat performance.With qualitative methods, the study was connect the texts that affect Gundala Gawat. It was found that Gundala Gawat influenced by comics text by Hasmi, script text Goenawan Mohamad, and the patterns of traditional theaters. The finding of this intertextual texts will be a footing of the search Gandrik rsquo s ideology in the Gundala Gawat performance. The analysis showed that Gandrik detracted from the pattern of traditional theater. Gandrik process Gundala Gawat script, which previously inspired by Gundala Putera Petir comics, into the performance to voice their ideology. Gandrik ideology is found in the form of liberation ideology, the ideology that invite the audience to laughing at parties repression against Indonesians human life."
2016
T48289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nella Putri Giriani
"Tesis ini membahas pendisiplinan dalam konstruksi keluarga pada tiga film Indonesia kontemporer, yaitu Kulari Ke Pantai (2018), Keluarga Cemara (2019), dan Dua Garis Biru (2019) melalui konsep Konsep keluarga menurut Alston (2008), Teori Foucault mengenai Disciplinary Power, dan Unsur Naratif Film dan Mise-en-Scene milik Bordwell dan Thompson (2008). Penelitian ini berupaya membongkar konstruksi keluarga melalui wacana dan ideologi yang dibangun dalam film. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana tiga film karya Gina S. Noer sebagai representasi sineas perempuan masa kini memberikan kontribusi pada kajian film Indonesia dalam melihat transformasi konstruksi
keluarga di masa Reformasi yang merefleksikan perubahan wacana kuasa dan ideologi gender Orde Baru. Hasil analisis menunjukkan bahwa kuasa yang berkaita dengan wacana seksualitas, kelas/ruang, dan gender yang dimunculkan dalam ketiga korpus ini menimbulkan pendisiplinan yang tumpeng tindih melalui pengajaran, internalisasi, pengawasan, dan pelaksanaan disiplin lainnya yang produktif dalam keluarga.
Pendisiplinan ini menghasilkan dan melatih tokoh bapak, ibu, dan anak untuk menjadi
individu yang patuh dengan konstruksi keluarga yang sesuai dengan nilai agama dan
sosial dalam masyarakat. Analisis lebih jauh dengan teori kuasa disiplin Foucault
menemukan adanya resistensi tokoh dalam keluarga untuk melawan norma dan nilai yang
konvensional, walaupun tidak berjalan dengan lama dan signifikan. Posisi ideologis yang
ambigu tersebut mengindikasikan bahwa ketiga korpus mengalami pergulatan nilai.
Adanya dominasi ideologi patriarki dan paternalistik menunjukkan bahwa ketiga film
pada akhirnya belum mampu meninggalkan konvensi struktur sosial yang ada. Budaya
patriarki yang secara hierarkies mengekslusifkan kuasa ayah, menempatkan Ibu pada
peran prokreasi, dan memosisikan anak sebagai objek paling bawah dalam keluarga
masih menyisakan jejaknya pada film-film Indonesia kontemporer.

This thesis discusses disiplinary power of family construction in three contemporary
Indonesian movies, namely Kulari Ke Pantai (2018), Keluarga Cemara (2019), and Dua
Garis Biru (2019) through the concept of the concept of family according to Alston
(2008), Foucault's Theory of Disciplinary Power, and Bordwell and Thompson's (2008)
Film Narrative and Mise-en-Scene Elements. This research seeks to dismantle the family
construction through discourse and ideology in the movies. This aims to show how three
films by Gina S. Noer as representations of female filmmakers today contribute to
Indonesian film studies in seeing the transformation of family construction during the era
of Reformasi which reflects the changes in the discourse of power and gender ideology
of the Orde Baru. The results of the analysis show that the power related to sexuality,
class / space, and gender discourses that appear in these three corpuses causes overlapping
discipline through teaching, internalization, supervision, and the implementation of other
productive disciplines in the family. This discipline produces and trains father, mother,
and child figures to become individuals who are obedient to family constructions that are
in accordance with religious and social values in society. Further analysis with Foucault's
theory of disciplinary power found the resistance of figures in the family to go against
conventional norms and values, although not significant. This ambiguous ideological
position indicates that the three corpuses experience a value struggle. The dominance of
patriarchal and paternalistic ideologies shows that the three films in the end have not been
able to leave the existing convention of social structures. The patriarchal culture that
hierarchically excludes the power of the father, positions the mother in the role of
procreation, and the child as the lowest object in the family still leaves its traces in
Indonesian contemporary movies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Unversitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library